Dari Yogyakarta untuk Indonesia
Saturday, September 23, 2017
Edit
Menyimak Perkembangan Mutakhir Sastra Indonesia di Yogyakarta [1])
Tirto Suwondo [2])
/1/
Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara (SAKAT) yang
dilandasi semangat kebersamaan di tengah keberagaman budaya (multikulturalisme) dalam upaya
mewujudkan keharmonisan di antara negara serumpun ini mengambil tema
“Teori/Kritik Sastra Loka (Sastra Tempatan)”. Sementara, subtema yang diajukan
panitia kepada saya adalah “Lokalitas dalam Karya Sastra Indonesia.” Agaknya
subtema ini terlalu luas; lagipula sebagian dari pokok persoalan (subtema) ini
pernah saya bentangkan dalam seminar MABBIM/MASTERA di Mataram, Lombok, Nusa
Tenggara Barat (NTB), pada 7—8 Maret 2005.[3] Karena
itu, dengan tetap mendekatkannya pada tema dan subtema tersebut, saya akan mengajak
kita bersama menyimak (karya-karya) sastra yang berkembang belakangan
(mutakhir) di salah satu wilayah (kota, provinsi) yang dalam konteks Indonesia menyandang
predikat istimewa, yakni (Daerah Istimewa) Yogyakarta.[4]
Yogyakarta sebagai area pijak pembicaraan bukan berarti
menafikan keberadaan kota-kota (loka-loka) lain seperti Jakarta, Bandung,
Surabaya, Medan, Padang, Denpasar, Banjarmasin, dan lain-lain yang memang secara
bersama membangun denyut budaya (sastra) Indonesia dengan “caranya”
sendiri-sendiri. Yogyakarta hanyalah menjadi sebuah pilihan bahwa di kota ini
--mungkin hal yang sama terjadi pula di kota-kota lain-- telah terbentuk
semacam bangunan sistem budaya (sastra) yang turut menopang bangunan budaya
(sastra) yang lebih luas. Untuk itu, pengertian “lokalitas” sebagaimana
diajukan dalam subtema di atas tidak sekadar dipahami sebagai sebuah aspek “tertentu”
yang “tertanam” di dalamnya, tetapi juga sebagai suatu lokus (loka) yang di dalamnya
telah terjadi perjumpaan di antara mereka (lokalitas-nasionalitas-pluralitas)
yang secara bersama-sama pula membangun sistem budaya (sastra) Indonesia.
Berkait dengan hal itu, dalam bentangan sederhana ini,
selain dipaparkan mengenai sistem makro (ekstraestetik) sastra, dipaparkan pula
kecenderungan sistem mikro (estetik) sastra[5] yang
tumbuh dan berkembang di Yogyakarta.[6]
Hanya saja, pemaparan keseluruhan sastra Indonesia di Yogyakarta dalam sepanjang
sejarahnya rasanya tidak mungkin dilakukan; dan karenanya, dalam bentangan ini hanya
dipaparkan secara selintas karya-karya sastra (dalam bentuk buku) yang lahir
belakangan (dalam kurun waktu setelah tahun 2000).[7]
/2/
Secara makro tampak bahwa Yogyakarta telah mampu
memperlihatkan dinamikanya sendiri dalam hal bangunan kebudayaan, dalam hal ini
khususnya sastra. Predikatnya sebagai kota budaya, kota pendidikan, kota
perjuangan, kota wisata, dan kota yang mewarisi nilai-nilai kultural-historis
telah menjadi pemikat tersendiri bagi beragam entitas untuk masuk ke dalamnya. Kota
budaya menjadi alasan utama mengapa di Yogyakarta terbangun sebuah perjumpaan
dan tegur sapa budaya, termasuk seniman, sastrawan, dan budayawan. Kota pendidikan
menjadi alasan mengapa di Yogyakarta terbangun suatu tradisi belajar yang cukup
baik, termasuk tradisi membaca dan menulis (mengarang). Kota wisata agaknya juga
menjadi alasan mengapa Yogyakarta acapkali hanya menjadi persinggahan sementara.
Meski demikian, justru di situlah uniknya, dinamika menjadi tak pernah
berakhir.
Keunikan itu pula yang memperlihatkan bahwa sebagian
besar seniman dan sastrawan besar Indonesia pernah tinggal dan belajar berkarier
di Yogyakarta. Sejak awal kemerdekaan, dari dekade ke dekade proses ini terus
berlangsung sampai sekarang. Sampai pada dua dekade terakhir (sejak 2000)
sastrawan yang masih tinggal di Yogyakarta --baik untuk sementara maupun yang
telah menetap-- di antaranya Budi Sardjono, Ashadi Siregar, Emha Ainun Nadjib,
Iman Budhi Santoso, Mustofa W. Hasjim, Joko Pinurbo, Joni Aria Dinata, Sutirman
Eka Ardana, Joko Santoso, Otto Sukatno, Ulfatin Ch, Toto Sugiharto, Satmoko
Budhi Santoso, Herlinatiens, Agus Wahyudi, Raudal Tanjung Banua, Asep Saeful
Anwar, Mini GK, Esti Nuryani Kasam, Aguk Irawan, Tia Setiadi, Evi Idawati, Agus
Noor, Rachmat Djoko Pradopo, Hamdi Salad, Khrisna Mihardja, Edi AH Iyubenu,
Suminto A. Sayuti, Abdul Wachid, Labibah Zain, Ikun Sri Kuncoro, Eko Triyono,
Risda Nur Widia, dan masih banyak lagi. Konon, kalau dihitung secara
keseluruhan, baik tua maupun muda, di Yogyakarta terdapat tidak kurang dari 100
sastrawan. Mereka pula yang pada dua dekade balakangan membangun kehidupan
sastra di Yogyakarta.
Meski tidak selalu berumur panjang, hingga kini tercatat
bahwa dari jumlah 1300-an penerbit anggota IKAPI di Indonesia, 92 penerbit
terdapat di Yogyakarta.[8]
Banyaknya penerbit itulah yang turut membangun kehidupan perbukuan di
Yogyakarta, termasuk di antaranya buku-buku sastra. Hanya saja, di antara 92
penerbit di Yogyakarta itu tidak lebih dari 15% yang bersedia menerbitkan
buku-buku sastra. Di antara jumlah yang sedikit itu, penerbit yang belakangan masih
aktif menerbitkan buku-buku sastra ialah Diva
Press, Jalasutra, Narasi, Sheila, Galang, Arti Bumi Intaran, Sine Book,
Garailmu, Matapena, Elmatera, Media Kreativa, Kepel, Kunci Ilmu, Gama Media,
Bigraph Publishing, ISAC Books, Navilla, Hikayat, Pustaka Pelajar, LkiS, Pusaka
Nusatama, Kunci Ilmu, YKF, Matahari, Adicita Karya Nusa, JWS Sastra, dan Bentang Budaya. Bahkan, penerbitan buku
sastra itu bagi mereka hanya --seperti sering dikatakan Sapardi Djoko Damono-- karena
idealisme belaka sebab buku-buku sastra tidak laku di pasaran. Karena itu,
tidak mengherankan kalau buku-buku sastra seringkali justru diterbitkan oleh
penerbit-penerbit kecil yang bukan anggota IKAPI; bahkan sering diterbitkan
(dibiayai dan dijual kepada komunitasnya) sendiri oleh pengarangnya.
Selain didukung oleh banyaknya penerbit, pertumbuhan
sastra di Yogyakarta dewasa ini juga didukung oleh lembaga-lembaga baik
pemerintah maupun swasta. Sebagai misal, Balai Bahasa Daerah Istimewa
Yogyakarta. Selain mengadakan pelatihan penulisan sastra dan hasilnya kemudian
diterbitkan (yang telah dirintis sejak 1995), setiap tahun (sejak 2007) Balai
Bahasa juga memberikan penghargaan kepada buku-buku sastra terbaik yang
diterbitkan oleh penerbit Yogyakarta.[9]
Hal inilah yang mendorong munculnya pengarang-pengarang baik lama maupun baru
untuk bergairah kembali menulis buku-buku sastra. Penghargaan tahun 2007 diberikan
kepada novel Lumbini (Jalasutra,
2006) karya Kris Budiman.[10] Penghargaan
tahun 2008 diperoleh novel Mahabbah Rindu
(Diva Press, 2007) karya Abidah El-Khaileqy.[11]
Novel Rumah Cinta (Arti Bumi Intaran,
2008) karya Mustofa W Hasjim menyabet penghargaan pada 2009.[12]
Pada 2010 penghargaan dimenangkan novel Jejak
Kala (Sheila, 2009) karya Anindita S Thayf.[13]
Kumpulan cerpen Sepotong Bibir Paling
Indah di Dunia (Bentang, 2010) karya Agus Noor memenangkan penghargaan
tahun 2011.[14]
Pada tahun 2012 penghargaan diperoleh novel Sang
Nyai (Diva Press, 2011) karya Budi Sardjono.[15]
Tahun 2013 penghargaan diberikan kepada kumpulan cerpen Lengkingan Viola (Java Karsa Media, 2012) karya Ramayda Akmal.[16]
Novel Perempuan yang Memetik Mawar
(Lukita, 2013) karya Dahlia Rasyad memenangkan penghargaan tahun 2014.[17]
Penghargaan 2015 jatuh pada novel Sihir
Pembayun (Diva Press, 2014) karya Joko Santoso.[18]
Tahun 2016 penghargaan diperoleh novel Pameran
Patah Hati (Ping, 2015) karya Mini GK.[19]
Sementara, pada 2017 ini tim juri masih menimbang 27 buku sastra terbitan 2016.[20]
Dari upaya pemberian penghargaan tersebut tercatat bahwa
sejak 2004 hingga 2016 di Yogyakarta telah terbit tidak kurang dari 150 buku
sastra; dan buku-buku itu didominasi oleh novel. Jumlah tersebut masih
dimungkinkan bertambah karena ada beberapa pengarang dan penerbit yang --dengan
sengaja atau tidak-- tidak mengikutsertakan buku terbitannya ke ajang
penghargaan. Dan, selain dipicu oleh kehadiran beberapa lembaga (pengayom) yang
komit terhadap pertumbuhan sastra, baik pemerintah maupun swasta,[21] di
Yogyakarta juga terbangun tradisi baca-tulis-diskusi-pentas oleh berbagai
komunitas (kantong-kantong sastra) baik yang berafiliasi di bawah lembaga
(misalnya perguruan tinggi seperti UGM, UNY, UIN, UAD, USD, Sarjana Wiyata)
maupun komunitas yang sifatnya mandiri (dengan dasar cinta seni-sastra).[22]
Itulah sebabnya, tradisi proses kreatif pengarang di Yogyakarta terus tumbuh.[23]
Hanya saja, di balik pertumbuhan karya sastra yang cukup
menggembirakan tersebut, tradisi kritik --sebagaimana terjadi pada umumnya--
masih jauh tertinggal. Hal itu terbukti, ketika dijaring dalam rangka
penghargaan terhadap buku-buku kritik sastra (2016), dalam rentang waktu
beberapa tahun buku-buku tersebut langka adanya. Kendati demikian hal itu tidak
berarti menghentikan dinamika kehidupan sastra di Yogyakarta.
/3/
Persoalan berikut yang perlu dikemukakan ialah bagaimana
kecenderungan (tematik, stilistik, estetik) karya-karya sastra yang “menjamur”
di Yogyakarta itu? Di satu sisi diharapkan dalam kehidupan sastra di Yogyakarta lahir sejumlah
karya yang berkualitas, tetapi di sisi lain fakta menunjukkan bahwa sebagian
besar karya yang ada menunjukkan jarak yang relatif jauh dari ”kanon literer”.
Tema dan masalah yang diangkat cenderung tidak mengalami ”pendalaman” bahkan
ada yang cenderung hanya ingin bertausiah lewat sastra, memberi nasihat, dan
”sok moralis.” Fakta cerita dan sarana-sarana sastra yang ada juga tidak
diberdayakan secara maksimal sehingga tingkat kemasukakalan atau
plausibilitasnya rendah, aspek lifelike terabaikan, dan pada gilirannya
terasa janggal, tanpa kejutan, datar, dan membosankan. Hal demikian dapat dipahami karena sebagian
besar karya sudah diberi ”label” tertentu (seperti novel motivasi, novel religius, novel penyejuk hati,
novel ajaran, dll.) yang akibatnya karya-karya itu menjadi sangat tendensius dan
terkesan sebagai karya pesanan. Bahkan, gambar cover buku pun telah
mengisyaratkan hal yang fashionable.[24]
Satu hal yang pantas dicatat ialah bahwa pada dua dekade belakangan
muncul kecenderungan untuk mengejawantahkan mitos. Hal demikian tampak,
misalnya, mitos tentang Nyai Roro Kidul dalam novel Sang Nyai (2011) karya Budi Sardjono, mitos tentang Kraton Boko
dalam novel Roro Jonggrang (2011)
karya Arie Sudibyo, mitos tentang wayang dalam novel Semar Mesem (2011) karya R. Toto Sugiharto, mitos tentang pesugihan
Gunung Kawi dalam novel Menagih Janji
Misteri Gunung Kawi (2016) karya Otto Sukatno, dan mitos tentang Roro
Mendut dalam novel Putri Pesisir
(2016) karya Ardian Kresna. Pengejawantahan mitos ke dalam sastra memang
memiliki risiko tersendiri. Tantangannya ialah apakah mitos itu menjadi semacam
pakem ataukah hanya sebagai suatu titik pijak (bahan). Jika menjadi pakem tentu
akan tampak pretensius dan cenderung melakukan pengukuhan terhadap mitos
tersebut. Tetapi, jika hanya menjadi titik pijak, hanya sekadar sebagai context bound, dimungkinkan dapat
memunculkan sesuatu yang baru, bahkan bisa jadi melahirkan pemikiran-pemikiran
dekonstruktif, misalnya, seperti “lakon carangan” dalam wayang. Dan faktanya,
dalam novel-novel yang lahir belakangan secara umum mitos diperlakukan sebagai
pakem.
Dalam beberapa tahun belakangan pengarang Yogyakarta
tampaknya juga tersihir oleh kecenderungan untuk merekonstruksi tokoh-tokoh
atau peristiwa sejarah kejayaan masa lalu. Novel-novel yang mencoba mengangkat
sejarah itu, terutama sejarah Jawa, di antaranya The True Story of Majapahit: Orang-Orang yang Berdiri di Balik Lahirnya
Majapahit (2009), Gajah Mada: Menangkis
Ancaman Pemberontakan Ra Kuti (2009), Trunojoyo:
Sebuah Novel Epos (2009), Siasat dan
Kemelut Atas Tahta (2010) karya Gamal Kamandoko; Centhini: Sebuah Novel Panjang (2009) karya Sunardian Wirodono; Gadis-Gadis Amangkurat: Cinta yang Menikam
(2011) karya Rh. Widada; Ratu Kalinyamat
(2010) karya Murtadho Hadi; Diponegoro
(2010) karya Yudhi AW; Api Paderi
(2010) karya Mohammad Solihin; Dendam di
Bumi Mangir (2010) karya A. Darmasto; Joko
Tingkir (2010) karya Agus Wahyudi; Sihir
Pembayun (2014) dan Penangsang
Memanah Rembulan (2016 karya Joko Santoso.
Hanya saja,
sayangnya, sebagian besar novel-novel itu tidak pula menyajikan hal-hal atau tafsir baru, apalagi
menghadirkan wacana baru, sehingga membaca novel jenis itu tidak ubahnya
membaca buku sejarah yang telah ada. Akibatnya, novel-novel itu hanya tampak sebagai cetak ulang buku-buku
sejarah dan cenderung tidak memiliki kontribusi yang memperkaya wawasan
pemahaman atas sejarah itu sendiri. Dari sejumlah
novel yang mencoba mengartikulasikan aspek sejarah itu, yang terlihat sedikit
mampu keluar dari atau mampu menghadapi tantangan atas novel sejarah di antaranya ialah Dendam di
Bumi Mangir dan Penangsang Memanah Rembulan. Dalam Dendam di Bumi Mangir epos kepahlawanan
dapat diekplorasi dengan matang dan dewasa sehingga tokoh-tokoh menjadi hidup
dan berkarakter kuat. Sementara, dalam Penangsang
Memanah Rembulan konflik-konflik politik, agama, kekuasaan, dan kemanusiaan
dengan latar belakang sejarah Jawa abad ke-16 (pada masa kekuasaan Sutawijaya)
dapat direkonstruksi dengan jernih.
Selain hal seperti yang telah dikemukakan, dalam dua
dekade terakhir, ada beberapa karya sastra Indonesia di Yogyakarta yang
memiliki kadar literer yang cukup (tinggi). Misalnya saja buku kumpulan cerpen Sepotong
Bibir Paling Indah di Dunia (2010) karya Agus Noor. Sebab,
cerpen-cerpen dalam kumpulan ini disajikan dengan teknik penulisan yang avant garde, pemilihan diksi dan
ekspresi yang sangat literer, dan tepat dalam pengungkapan dan pemilihan
peristiwa. Sepintas memang terasa sulit ditemukan apa tema kumpulan cerpen ini
karena antara satu cerpen dan cerpen lainnya bercerita tentang hal-hal yang
berbeda. Akan tetapi, setelah dicoba dirunut benang merahnya, hal-hal yang
berbeda itu tersatukan ke dalam sesuatu yang lebih universal. Cerpen-cerpen itu
bercerita tentang cinta dan kesetiaan, bertahan hidup dan kematian, kemiskinan
dan kebahagiaan, dan sejenisnya, yang semua itu berujung pada kehidupan. Semua
cerita di dunia ini memang memaparkan kehidupan seperti yang demikian sehingga
untuk menjadikannya istimewa, si pencerita mesti harus bekerja keras; dan
terbukti pengarang cerpen dalam kumpulan ini mampu dan berhasil melakukannya.
Buku kumpulan cerpen Agama
Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? (2016) karya Eko Triono agaknya juga
melahirkan harapan baru bagi masa depan sastra dan pengarang Yogyakarta.
Jelajah imajinasi yang tergambar di dalamnya manakjubkan; pilihan tema,
eksplorasi gagasan, dan gaya berceritanya yang bernas menunjukkan cakrawala
yang begitu luas dan unik. Sebagai seorang penulis muda ia telah mendekati
piawai ketika mendekonstruksi cara-cara berpikir lama; dan karenanya dalam buku
ini cerpen-cerpennya begitu mengejutkan. Meski sedikit berbeda, buku kumpulan
cerpen Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia
seperti Mersault (2016) karya Risda Nur Widia juga menunjukkan hal sejenis.
Pengarang yang juga masih muda ini telah memiliki gaya yang khas, ringan,
jernih, dan menunjukkan keahliannya dalam bercerita.
/4/
Paparan di atas memperlihatkan bahwa hingga dua dekade
belakangan Yogyakarta masih menunjukkan dinamikanya dalam hal kehidupan sastra.
Meski tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan, berbagai komponen terlihat
masih menunjukkan perannya masing-masing yang sistemik. Pengarang masih terus
aktif, kreatif, dan bertumbuh; penerbit masih memperlihatkan kemauannya
menerbitkan buku-buku sastra; dan beberapa lembaga pendukung juga masih menunjukkan
kepedulian terhadapnya. Sebagaimana terjadi pada umumnya, di Yogyakarta tidak
hanya tumbuh karya sastra dalam bentuk (buku) cetak, tetapi juga tumbuh dalam
media jaringan (internet).
Hanya saja, dilihat dari sisi kesastraan dan
kecenderungan estetiknya, karya-karya sastra yang lahir sebagian belum
menunjukkan kebaruan (eksplorasi estetik). Hal itu tidak hanya tampak dalam
karya-karya fiksi (novel dan cerpen), tetapi juga dalam karya-karya puisi.
Bahkan, karya-karya (buku) drama tidak tampak hidup di Yogyakarta. Dalam dua
dekade terakhir, misalnya, hanya dijumpai beberapa buku drama, yakni Pada Sebuah Gardu (Nouvalitera, 2012)
karya Khrisna Mihardja, Tak Ada Bintang
di Dadanya (Interlude, 2016), dan Kisah
Dua Lelaki Hamil (2016) karya Sri Harjanto Sahid.[25]
Kendati demikian, satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa
sebagian besar karya sastra Indonesia di Yogyakarta menampakkan kecenderungan untuk
mengeksplorasi lokalitas --yang dihadapkan pada problem dan realitas
kemanusiaan umumnya--; dan kecenderungan ini tampak dipengaruhi oleh latar
belakang kehidupan pengarangnya (Melayu, Jawa, Madura, pesantren, dan
sejenisnya). Agaknya, demikian yang dapat dipersembahkan oleh Yogyakarta untuk
Indonesia, untuk Asia Tenggara, bahkan juga untuk dunia. ***
[1] Dibentangkan pada Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia
Tenggara (SAKAT) yang diselenggarakan oleh MASTERA INDONESIA (Pusat
Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta,
pada 11—12 September 2017.
[2] Pemerhati sastra, bekerja pada Balai Bahasa Jawa Tengah
(mantan Kepala Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta periode Januari 2007
hingga Agustus 2017).
[3] Dalam versi perbaikannya makalah dengan tajuk “Dinamika
Sastra Indonesia di Tengah Kebhinekaan Sastra Daerah” itu kemudian dimuat di
majalah sastra Horison, Januari 2008.
[4] Hal ini diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2012
tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kewenangan dalam urusan
keistimewaan yang dimaksud di dalam UU ini mencakupi lima hal, yakni (1) tata cara
pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; (2) kelembagaan
Pemerintah Daerah DIY; (3) kebudayaan; (4) pertanahan;
dan (5) tata ruang. Di antara lima hal ini yang mendapatkan porsi dana terbesar adalah bidang
kebudayaan; dan karenanya, diharapkan, di masa depan kehidupan sastra lebih
menjanjikan.
[5]
Menurut Damono (1993) dalam bukunya Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi,
Isi, dan Struktur terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, sistem
makro disebut juga sistem sosial yang menjadi lingkungan pendukung keberadaan
sastra yaitu pengarang, penerbit, pengayom, kritik, dan pembaca; sedangkan
sistem mikro disebut juga sistem formal yang menandai ciri-ciri (sistem)
sastra.
[6]
Yang dimaksud dengan sastra yang
tumbuh dan berkembang di Yogyakarta dalam konteks ini ialah (karya) yang
ditulis oleh pengarang yang berdomisili (penduduk asli dan atau tinggal
sementara) di Yogyakarta dan diterbitkan oleh penerbit di Yogyakarta.
[7]
Lagi pula, perkembangan sistem makro
dan mikro sastra Indonesia di Yogyakarta sejak awal kemerdekaan telah
dipaparkan oleh Widati dkk. dalam buku Sastra
Indonesia di Yogyakarta Periode 1945--2000 terbitan Balai Bahasa Yogyakarta
tahun 2009.
[8]
Konon, jika ditambah dengan usaha
percetakan dan penerbit-penerbit yang bukan anggota IKAPI, termasuk penerbit
koran dan majalah, jumlahnya mencapai lebih dari 300.
[9]
Khusus penghargaan pertama (2007)
diberikan kepada buku sastra terbaik terbitan 3 tahun terakhir (hingga 2006), sedangkan
penghargaan selanjutnya (sejak 2008) diberikan kepada buku sastra terbaik yang
terbit pada tahun sebelumnya, demikian seterusnya hingga sekarang. Kegiatan
pemberian penghargaan sastra ini didukung oleh IKAPI DIY.
[10]
Buku-buku sastra terbitan 2004--2006
pada masa penghargaan 2007 di antaranya Dunia
Seribu Wajah (cerpen, 2005) karya Arwan Tuti Arta; Mitos Kentut Semar (puisi, 2006) karya Rachmat Djoko Pradopo; Saru Siku (novel, 2006) karya Otto
Sukatno; Bersampan Ke Seberang
(cerpen, 2006) karya Satmoko Budhi Santoso.
[11]
Buku-buku sastra terbitan 2007 pada
masa penghargaan 2008 di antaranya Sinden
(novel) karya Purwadmadi; Ki Ageng Miskin
(puisi) karya Mustofa W Hasjim; Perempuan
Panggung (novel) karya Iman Budhi Santoso; Ketika Kemarau Melintas di Biara (puisi) karya Rosindus JM Tae; Sali (novel), Zaman (novel), dan Ronggeng
(novel) karya Dewi Linggasari; Sosok
(novel) karya Nani Tato K; Kabut Kelam
(novel) karya Ahmad Munif; dan Hikayat
Kampung Mati (novel) karya Marhalim Zaini.
[12]
Buku-buku sastra terbitan 2008 pada
masa penghargaan 2009 di antaranya Asrama
Putri (novel) karya Dewi Linggasari; Singgasana (novel) karya Lila
Mahardika; Perempuan Kedua (cerpen)
karya Labibah Zain; Perempuan di Bawah
Gerimis (novel) karya Ahmad Munif; Nirzona
(novel) karya Abidah El-Khalieqy; Lafazs-Lafazs
Cinta (novel) karya Hadi S Khuli; Rahasia Wanita (novel) karya Qotrun
Nada; Kepribadian Wanita (novel)
karya Suminaring Prasojo; Sujud Nisa di
Kaki Tahajjud Subuh (novel) karya Kartini Nainggolan; Sang Pelopor (novel) karya Alang-Alang Timur; Mata Air Akar Pohon (puisi) karya Nur Wahida Idris.
[13]
Buku-buku sastra terbitan 2009 pada
penghargaan 2010 di antaranya Titian Sang
Penerus (novel) karya Alang-Alang Timur; Hakikat (novel) karya M Hilmi Asad; Sepertiga Malam (novel) karya Syaiful Erfad; Bisikan Surga (novel) karya Yani Rahma Nugraheni; Mencintai Malaysia (novel) karya Sidik
Jatmika; Maestro (novel) karya Alex
Suhendra; Perempuan Kedua (novel) dan
Nayla (novel) karya Siti Rofikah; Doa untuk Dinda (novel) karya Endik
Koeswoyo; Cinta 1001 Malam di
Khatulistiwa (puisi) dan Karnaval
Cinta (puisi) karya Cecilia Guno Samekto; Negeri Kong Draman (puisi) karya Akhmad Fikri; Tidur Tanpa Mimpi (puisi) karya Rachmat Djoko Pradopo; The True Story of Majapahit (novel), Gajah Mada (novel), dan Trunojoyo (novel) karya Gamal Kamandoko;
Centhini (novel) karya Sunardian
Wirodono; dan Juragan Subeyojeka
(novel) karya Nur Iswantara.
[14]
Buku-buku sastra terbitan 2010 pada
masa penghargaan 2011 di antaranya Awan
Abrit (puisi) karya Fitra Firdaus A; Analea
Cewek Penggila Bola (novel) karya Isna K; Joko Tingkir (novel) karya Agus Wahyudi; Siasat dan Kemelut atas Tahta (novel) karya Gamal Kamandoko; Ratu Kalinyamat (novel) karya Murtadho
Hadi; Diponegoro (novel) karya Yudhi
AW; Api Paderi (novel) karya Mohammad
Solihin; Positif (novel) karya Maria
Silvi; Memorabilia dalam Keabadian
(novel) karya laila Nurazizah; Dunia Padmini (novel) karya Trie Utami; Mata Blater (cerpen) karya Mahwi Air
Tawar; dan Sepotong Bibir Paling Indah di
Dunia (cerpen) karya Agus Noor.
[15]
Buku-buku sastra terbitan 2011 pada
masa penghargaan 2012 di antaranya Bunga
Tabur Terakhir (cerpen) karya GM Sudarta; Di Tepi Damba (puisi) karya Anak Padmawidya; Red Blood Ring (novel) karya Jojo Alexander; Hati Sinden (novel) karya Dwi Rahayuningsih; Sang Nyai (novel) karya Budi Sardjono; Menapak Jejak (puisi) karya Dewi Linggasari; Roro Jonggrang (novel) karya Arie Sudibjo; Semar Mesem (novel) karya R Toto Sugiharto; Gadis-Gadis Amangkurat (novel) karya R Widada; Hikayat Kata (puisi) karya Bambang Widyatmoko; Aku dan Puisi karya mahasiswa USD; Yang (puisi) karya Abdul Wachid; dan Ning (novel) karya Mazadek Hari.
[16]
Buku-buku sastra terbitan 2012 pada
masa penghargaan 2013 di antaranya Lengkingan
Viola (cerpen) karya Ramayda Akmal; Genderang
Baratayuda (novel) karya R Toto Sugiharto; Mengenali Yogya (puisi) karya Ons Untoro; Musim Hujan Datang di Hari Jumat (puisi) dan Ketika Tuhan Melukis Hati Manusia (puisi) karya Mustofa W Hasjim; Cinta, Luka, Cemburu (puisi) dan Terpahat pada Awan (puisi) karya Rina
Eklesia; Pengembaraan Debu (puisi)
karya Hari Palguna; Misteri Gadis
Kaligrafi (novel) karya Faturrohman Karyadi; Tartila (novel) karya Arifa; Kontroversial
(cerpen), Pada Sebuah Gardu (drama), Citra (novel), Merapiku, Puisiku, dan Orang-Orang di Sekelilingku (puisi), dan Demit (cerpen) karya Khrisna Mihardja; Sastra Jendra Hayuningrat (novel) karya
Agus Sunyoto; Tuan Dalang (novel) karya
Dwi Rahayuningsih; Api Merapi (novel)
karya Budi Sardjono; Conserto Al
Malioboro (novel) karya Angsel Watra; Lintang
(novel) karya Nana Rina; Pertanyaan
Srikandi (puisi) karya Wiyatmi; dan Perempuan
Berlipstik Kapur (cerpen) karya Esti Nuryani Kasam.
[17]
Buku-buku sastra terbitan 2013 pada
masa penghargaan 2014 di antaranya Perempuan
yang Memetik Mawar (novel) karya Dahlia Rasyad; Ziarah Tanah Jawa (puisi) karya Iman Budhi Santoso; Burung-Burung di Tiang Duka (puisi)
karya Aly D Musrifa; Roro Jonggrang (novel)
karya Budi Sardjono; 9 Kubah (puisi)
karya Evi Idawati; Panji Asmorobangun
(novel) karya Toto R Sugiharto; Rahim
Titipan (novel) karya Satmoko Budhi Santoso; Senapan Tak Berpeluru (novel) karya Joko Santoso; Senja di Chao Praya (novel) karya Endah
Setyawati; Nyanyian Raflesia (novel)
karya Setyawati Iriani Nugroho; Tuhan,
Maaf, Engkau Kumadu (novel) karya Aguk Irawan; dan Bangsal Sri Manganti (puisi) karya Suminto A Sayuti.
[18]
Buku-buku sastra terbitan 2014 pada
masa penghargaan 2015 di antaranya Sihir
Pembayun (novel) karya Joko Santoso; Nyai
Gowok (novel) karya Budi Sardjono; Rajawali
Satu Sayap (novel) karya Ulfatin Ch.; Matapangara
(novel) karya Raedu Basha; Lamsijan
(novel) karya Asep Saeful Anwar; Antologi
Puisi Wayang (puisi) karya Purwadmadi; Tasbih
Merapi (puisi) karya Hamdi Salad; Persinggahan
Akhir Tahun (puisi) karya Suminto A Sayuti; dan Mahabarata (novel) karya Herjaka HS.
[19]
Buku-buku sastra terbitan 2015 pada
masa penghargaan 2016 di antaranya Maria
Zaitun: Adaptasi Nyanyian Angsa WS Rendra (novel) karya Joko Santoso; Bunga-Bunga Kesunyian (cerpen) karya
Risda Nur Widia; Teratak Daun Rumbia
(cerpen) karya Susi Purwani; Ken Arok dan
Ken Dedes (novel) karya Gamal Kamandoko; Kawin Muda (cerpen) karya Jajak MD; Pameran Patah Hati (novel) karya Mini GK; Memorabilia (novel) karya Kiki Ramdani; dan Hujan Pertama untuk Aysila (novel) karya Edi AH Iyubenu.
[20]
Sementara, buku-buku sastra terbitan
2016 pada masa penghargaan 2017 di antaranya Anak-Anak Minyak (novel) karya Imperial Jathe; Penangsang Memanah Rembulan (novel) karya Joko Santoso; Fazan (novel) karya Yudhi AW; Gejolak Jiwa (puisi) karya Supriadi; Muslimah Bintang Tujuh (novel) karya
Rudi Hendrik; Menagih Janji Misteri
Gunung Kawi (novel) karya Otto Sukatno CR; Sebutir Debu di Kaki Ka’bah dan Emak
Tonce (novel) karya Pago Hardian; Pulung
(cerpen) karya Nunung Deni P; Kado
Kemenangan (cerpen) karya Marwanto; Bulan
Bukit Menoreh (puisi) karya Marjudin Suaeb; Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault (cerpen) karya
Risda Nur Widia; Ombak Negeri Legenda
(puisi) karya Aly D Musrifa; Mantra Bumi
(puisi) karya Aprinus Salam; Memorabilia
dan Melankolia (cerpen) karya Agus Noor; Kisah Dua Lelaki Hamil (drama) karya Sri Harjanto Sahid; Perempuan yang Mencintaimu dalam Kesunyian
(novel) karya Vita Agustina; Energy
Bangun Pagi Bahagia (puisi) karya Andy Sri Wahyudi; Aku Ingin Meniup Balon (novel) karya Aik Vela Pratisca; Kecamuk Kota (puisi) karya Rudi Santoso;
Bukan Semilah (novel) karya Nadin T; Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? (cerpen)
karya Eko Triyono; Tak Ada Bintang di
Dadanya (drama) karya Hamdi Salad; Malioboro
2057 (puisi) karya Sutirman Eka Ardana; Lukisan
Anonim (puisi) karya Umi Kulsum; Potret
Wanita Jawa (puisi) karya Fitri Merawati; Kidung Rindu di Tapal Batas (novel) karya Aguk Irawan; dan Putri Pesisir (novel) karya Ardian
Kresna.
[21]
Pengayom swasta (mandiri) ini di
antaranya dilakukan oleh Yayasan Sastra Yogyakarta (YASAYO) milik Rachmat Djoko
Pradopo yang hampir setiap tahun memberikan penghargaan kepada pengarang dan
peneliti sastra Indonesia dan Jawa. Seratus persen dana yang digunakan oleh
Yasayo adalah dana pribadi.
[22]
Menurut data yang dihimpun
oleh Himpunan Sastrawan dan Komunitas Sastra DIY (HSKS DIY) pada 2015 tercatat tidak kurang 60
komunitas sastra yang masih aktif. Beberapa di antaranya Studio Pertunjukan Sastra, Sastra Bulan Purnama Tembi,
Forum Apresiasi Sastra LSBO, Ngopinyastro, Diskusi Sastra PKKH, Teater Eska,
Studi Sastra dan Teater Sila, Masyarakat Poetika Indonesia, Sanggar Seni Sastra
Kulonprogo, Malam Selasa Sastra, Rubud EAN, dll. Memang tidak semua komunitas
tersebut berfokus pada sastra, tetapi
sastra mendapat porsi yang cukup baik. Bagi yang fokus pada sastra umumnya
menyelenggarakan kegiatan rutin. Studio Pertunjukan Sastra, misalnya, selama hampir sepuluh tahun telah
melaksanakan kegiatan dan pertunjukan sastra tidak kurang dari 126 kali (rutin
sebulan sekali dan belum lagi kegiatan insindental).
[23]
Berkait dengan hal ini telah terbit
buku Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku:
Proses Kreatif Pengarang Yogyakarta (2016) dan Njajah Desa Milang Kori: Proses Kreatif Novelis Yogyakarta (2017),
keduanya terbitan Balai Bahasa DIY. Buku pertama memuat tulisan proses kreatif
50 pengarang dan buku kedua memuat tulisan proses kreatif 20 novelis
Yogyakarta.
[24]
Hal ini misalnya tampak dalam novel Lafazs-Lafazs Cinta (Hadi S Khuli,
2008), Rahasia Wanita (Qotrun Nada,
2008), Doa untuk Dinda (Endik
Koeswoyo, 2009), Titian Sang Penerus
(Alang-Alang Timur, 2009), Hakikat
(M. Hilmi Asad, 2009), Sepertiga Malam
(Syaiful Erfad, 2009), Bisikan Surga
(Yani Rahma Nugraheni, 2009).
[25]
Hanya saja, jika telusur lebih jauh,
naskah-naskah drama cukup banyak
jumlahnya, tetapi naskah-naskah itu tidak diterbitkan menjadi buku kumpulan
drama. Hal demikian dapat dirunut melalui buku Orang-Orang Panggung Daerah Istimewa Yogyakarta (Herry Mardianto
dkk.) terbitan Balai Bahasa DIY tahun 2016 yang memuat biografi 40 seniman
panggung DIY.