-->

Dari Yogyakarta untuk Indonesia


Menyimak Perkembangan Mutakhir Sastra Indonesia di Yogyakarta [1])

Tirto Suwondo [2])

/1/
Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara (SAKAT) yang dilandasi semangat kebersamaan di tengah keberagaman budaya (multikulturalisme) dalam upaya mewujudkan keharmonisan di antara negara serumpun ini mengambil tema “Teori/Kritik Sastra Loka (Sastra Tempatan)”. Sementara, subtema yang diajukan panitia kepada saya adalah “Lokalitas dalam Karya Sastra Indonesia.” Agaknya subtema ini terlalu luas; lagipula sebagian dari pokok persoalan (subtema) ini pernah saya bentangkan dalam seminar MABBIM/MASTERA di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada 7—8 Maret 2005.[3] Karena itu, dengan tetap mendekatkannya pada tema dan subtema tersebut, saya akan mengajak kita bersama menyimak (karya-karya) sastra yang berkembang belakangan (mutakhir) di salah satu wilayah (kota, provinsi) yang dalam konteks Indonesia menyandang predikat istimewa, yakni (Daerah Istimewa) Yogyakarta.[4]
Yogyakarta sebagai area pijak pembicaraan bukan berarti menafikan keberadaan kota-kota (loka-loka) lain seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Padang, Denpasar, Banjarmasin, dan lain-lain yang memang secara bersama membangun denyut budaya (sastra) Indonesia dengan “caranya” sendiri-sendiri. Yogyakarta hanyalah menjadi sebuah pilihan bahwa di kota ini --mungkin hal yang sama terjadi pula di kota-kota lain-- telah terbentuk semacam bangunan sistem budaya (sastra) yang turut menopang bangunan budaya (sastra) yang lebih luas. Untuk itu, pengertian “lokalitas” sebagaimana diajukan dalam subtema di atas tidak sekadar dipahami sebagai sebuah aspek “tertentu” yang “tertanam” di dalamnya, tetapi juga sebagai suatu lokus (loka) yang di dalamnya telah terjadi perjumpaan di antara mereka (lokalitas-nasionalitas-pluralitas) yang secara bersama-sama pula membangun sistem budaya (sastra) Indonesia.
Berkait dengan hal itu, dalam bentangan sederhana ini, selain dipaparkan mengenai sistem makro (ekstraestetik) sastra, dipaparkan pula kecenderungan sistem mikro (estetik) sastra[5] yang tumbuh dan berkembang di Yogyakarta.[6] Hanya saja, pemaparan keseluruhan sastra Indonesia di Yogyakarta dalam sepanjang sejarahnya rasanya tidak mungkin dilakukan; dan karenanya, dalam bentangan ini hanya dipaparkan secara selintas karya-karya sastra (dalam bentuk buku) yang lahir belakangan (dalam kurun waktu setelah tahun 2000).[7]

/2/
Secara makro tampak bahwa Yogyakarta telah mampu memperlihatkan dinamikanya sendiri dalam hal bangunan kebudayaan, dalam hal ini khususnya sastra. Predikatnya sebagai kota budaya, kota pendidikan, kota perjuangan, kota wisata, dan kota yang mewarisi nilai-nilai kultural-historis telah menjadi pemikat tersendiri bagi beragam entitas untuk masuk ke dalamnya. Kota budaya menjadi alasan utama mengapa di Yogyakarta terbangun sebuah perjumpaan dan tegur sapa budaya, termasuk seniman, sastrawan, dan budayawan. Kota pendidikan menjadi alasan mengapa di Yogyakarta terbangun suatu tradisi belajar yang cukup baik, termasuk tradisi membaca dan menulis (mengarang). Kota wisata agaknya juga menjadi alasan mengapa Yogyakarta acapkali hanya menjadi persinggahan sementara. Meski demikian, justru di situlah uniknya, dinamika menjadi tak pernah berakhir.
Keunikan itu pula yang memperlihatkan bahwa sebagian besar seniman dan sastrawan besar Indonesia pernah tinggal dan belajar berkarier di Yogyakarta. Sejak awal kemerdekaan, dari dekade ke dekade proses ini terus berlangsung sampai sekarang. Sampai pada dua dekade terakhir (sejak 2000) sastrawan yang masih tinggal di Yogyakarta --baik untuk sementara maupun yang telah menetap-- di antaranya Budi Sardjono, Ashadi Siregar, Emha Ainun Nadjib, Iman Budhi Santoso, Mustofa W. Hasjim, Joko Pinurbo, Joni Aria Dinata, Sutirman Eka Ardana, Joko Santoso, Otto Sukatno, Ulfatin Ch, Toto Sugiharto, Satmoko Budhi Santoso, Herlinatiens, Agus Wahyudi, Raudal Tanjung Banua, Asep Saeful Anwar, Mini GK, Esti Nuryani Kasam, Aguk Irawan, Tia Setiadi, Evi Idawati, Agus Noor, Rachmat Djoko Pradopo, Hamdi Salad, Khrisna Mihardja, Edi AH Iyubenu, Suminto A. Sayuti, Abdul Wachid, Labibah Zain, Ikun Sri Kuncoro, Eko Triyono, Risda Nur Widia, dan masih banyak lagi. Konon, kalau dihitung secara keseluruhan, baik tua maupun muda, di Yogyakarta terdapat tidak kurang dari 100 sastrawan. Mereka pula yang pada dua dekade balakangan membangun kehidupan sastra di Yogyakarta.
Meski tidak selalu berumur panjang, hingga kini tercatat bahwa dari jumlah 1300-an penerbit anggota IKAPI di Indonesia, 92 penerbit terdapat di Yogyakarta.[8] Banyaknya penerbit itulah yang turut membangun kehidupan perbukuan di Yogyakarta, termasuk di antaranya buku-buku sastra. Hanya saja, di antara 92 penerbit di Yogyakarta itu tidak lebih dari 15% yang bersedia menerbitkan buku-buku sastra. Di antara jumlah yang sedikit itu, penerbit yang belakangan masih aktif menerbitkan buku-buku sastra ialah Diva Press, Jalasutra, Narasi, Sheila, Galang, Arti Bumi Intaran, Sine Book, Garailmu, Matapena, Elmatera, Media Kreativa, Kepel, Kunci Ilmu, Gama Media, Bigraph Publishing, ISAC Books, Navilla, Hikayat, Pustaka Pelajar, LkiS, Pusaka Nusatama, Kunci Ilmu, YKF, Matahari, Adicita Karya Nusa, JWS Sastra, dan Bentang Budaya. Bahkan, penerbitan buku sastra itu bagi mereka hanya --seperti sering dikatakan Sapardi Djoko Damono-- karena idealisme belaka sebab buku-buku sastra tidak laku di pasaran. Karena itu, tidak mengherankan kalau buku-buku sastra seringkali justru diterbitkan oleh penerbit-penerbit kecil yang bukan anggota IKAPI; bahkan sering diterbitkan (dibiayai dan dijual kepada komunitasnya) sendiri oleh pengarangnya.
Selain didukung oleh banyaknya penerbit, pertumbuhan sastra di Yogyakarta dewasa ini juga didukung oleh lembaga-lembaga baik pemerintah maupun swasta. Sebagai misal, Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain mengadakan pelatihan penulisan sastra dan hasilnya kemudian diterbitkan (yang telah dirintis sejak 1995), setiap tahun (sejak 2007) Balai Bahasa juga memberikan penghargaan kepada buku-buku sastra terbaik yang diterbitkan oleh penerbit Yogyakarta.[9] Hal inilah yang mendorong munculnya pengarang-pengarang baik lama maupun baru untuk bergairah kembali menulis buku-buku sastra. Penghargaan tahun 2007 diberikan kepada novel Lumbini (Jalasutra, 2006) karya Kris Budiman.[10] Penghargaan tahun 2008 diperoleh novel Mahabbah Rindu (Diva Press, 2007) karya Abidah El-Khaileqy.[11] Novel Rumah Cinta (Arti Bumi Intaran, 2008) karya Mustofa W Hasjim menyabet penghargaan pada 2009.[12] Pada 2010 penghargaan dimenangkan novel Jejak Kala (Sheila, 2009) karya Anindita S Thayf.[13] Kumpulan cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (Bentang, 2010) karya Agus Noor memenangkan penghargaan tahun 2011.[14] Pada tahun 2012 penghargaan diperoleh novel Sang Nyai (Diva Press, 2011) karya Budi Sardjono.[15] Tahun 2013 penghargaan diberikan kepada kumpulan cerpen Lengkingan Viola (Java Karsa Media, 2012) karya Ramayda Akmal.[16] Novel Perempuan yang Memetik Mawar (Lukita, 2013) karya Dahlia Rasyad memenangkan penghargaan tahun 2014.[17] Penghargaan 2015 jatuh pada novel Sihir Pembayun (Diva Press, 2014) karya Joko Santoso.[18] Tahun 2016 penghargaan diperoleh novel Pameran Patah Hati (Ping, 2015) karya Mini GK.[19] Sementara, pada 2017 ini tim juri masih menimbang 27 buku sastra terbitan 2016.[20]
Dari upaya pemberian penghargaan tersebut tercatat bahwa sejak 2004 hingga 2016 di Yogyakarta telah terbit tidak kurang dari 150 buku sastra; dan buku-buku itu didominasi oleh novel. Jumlah tersebut masih dimungkinkan bertambah karena ada beberapa pengarang dan penerbit yang --dengan sengaja atau tidak-- tidak mengikutsertakan buku terbitannya ke ajang penghargaan. Dan, selain dipicu oleh kehadiran beberapa lembaga (pengayom) yang komit terhadap pertumbuhan sastra, baik pemerintah maupun swasta,[21] di Yogyakarta juga terbangun tradisi baca-tulis-diskusi-pentas oleh berbagai komunitas (kantong-kantong sastra) baik yang berafiliasi di bawah lembaga (misalnya perguruan tinggi seperti UGM, UNY, UIN, UAD, USD, Sarjana Wiyata) maupun komunitas yang sifatnya mandiri (dengan dasar cinta seni-sastra).[22] Itulah sebabnya, tradisi proses kreatif pengarang di Yogyakarta terus tumbuh.[23]
Hanya saja, di balik pertumbuhan karya sastra yang cukup menggembirakan tersebut, tradisi kritik --sebagaimana terjadi pada umumnya-- masih jauh tertinggal. Hal itu terbukti, ketika dijaring dalam rangka penghargaan terhadap buku-buku kritik sastra (2016), dalam rentang waktu beberapa tahun buku-buku tersebut langka adanya. Kendati demikian hal itu tidak berarti menghentikan dinamika kehidupan sastra di Yogyakarta.

/3/
Persoalan berikut yang perlu dikemukakan ialah bagaimana kecenderungan (tematik, stilistik, estetik) karya-karya sastra yang “menjamur” di Yogyakarta itu? Di satu sisi diharapkan dalam kehidupan sastra di Yogyakarta lahir sejumlah karya yang berkualitas, tetapi di sisi lain fakta menunjukkan bahwa sebagian besar karya yang ada menunjukkan jarak yang relatif jauh dari ”kanon literer”. Tema dan masalah yang diangkat cenderung tidak mengalami ”pendalaman” bahkan ada yang cenderung hanya ingin bertausiah lewat sastra, memberi nasihat, dan ”sok moralis.” Fakta cerita dan sarana-sarana sastra yang ada juga tidak diberdayakan secara maksimal sehingga tingkat kemasukakalan atau plausibilitasnya rendah, aspek lifelike terabaikan, dan pada gilirannya terasa janggal, tanpa kejutan, datar, dan membosankan. Hal demikian dapat dipahami karena sebagian besar karya sudah diberi ”label” tertentu (seperti novel motivasi, novel religius, novel penyejuk hati, novel ajaran, dll.) yang akibatnya karya-karya itu menjadi sangat tendensius dan terkesan sebagai karya pesanan. Bahkan, gambar cover buku pun telah mengisyaratkan hal yang fashionable.[24]
Satu hal yang pantas dicatat ialah bahwa pada dua dekade belakangan muncul kecenderungan untuk mengejawantahkan mitos. Hal demikian tampak, misalnya, mitos tentang Nyai Roro Kidul dalam novel Sang Nyai (2011) karya Budi Sardjono, mitos tentang Kraton Boko dalam novel Roro Jonggrang (2011) karya Arie Sudibyo, mitos tentang wayang dalam novel Semar Mesem (2011) karya R. Toto Sugiharto, mitos tentang pesugihan Gunung Kawi dalam novel Menagih Janji Misteri Gunung Kawi (2016) karya Otto Sukatno, dan mitos tentang Roro Mendut dalam novel Putri Pesisir (2016) karya Ardian Kresna. Pengejawantahan mitos ke dalam sastra memang memiliki risiko tersendiri. Tantangannya ialah apakah mitos itu menjadi semacam pakem ataukah hanya sebagai suatu titik pijak (bahan). Jika menjadi pakem tentu akan tampak pretensius dan cenderung melakukan pengukuhan terhadap mitos tersebut. Tetapi, jika hanya menjadi titik pijak, hanya sekadar sebagai context bound, dimungkinkan dapat memunculkan sesuatu yang baru, bahkan bisa jadi melahirkan pemikiran-pemikiran dekonstruktif, misalnya, seperti “lakon carangan” dalam wayang. Dan faktanya, dalam novel-novel yang lahir belakangan secara umum mitos diperlakukan sebagai pakem.
Dalam beberapa tahun belakangan pengarang Yogyakarta tampaknya juga tersihir oleh kecenderungan untuk merekonstruksi tokoh-tokoh atau peristiwa sejarah kejayaan masa lalu. Novel-novel yang mencoba mengangkat sejarah itu, terutama sejarah Jawa, di antaranya The True Story of Majapahit: Orang-Orang yang Berdiri di Balik Lahirnya Majapahit (2009), Gajah Mada: Menangkis Ancaman Pemberontakan Ra Kuti (2009), Trunojoyo: Sebuah Novel Epos (2009), Siasat dan Kemelut Atas Tahta (2010) karya Gamal Kamandoko; Centhini: Sebuah Novel Panjang (2009) karya Sunardian Wirodono; Gadis-Gadis Amangkurat: Cinta yang Menikam (2011) karya Rh. Widada; Ratu Kalinyamat (2010) karya Murtadho Hadi; Diponegoro (2010) karya Yudhi AW; Api Paderi (2010) karya Mohammad Solihin; Dendam di Bumi Mangir (2010) karya A. Darmasto; Joko Tingkir (2010) karya Agus Wahyudi; Sihir Pembayun (2014) dan Penangsang Memanah Rembulan (2016 karya Joko Santoso.
Hanya saja, sayangnya, sebagian besar novel-novel itu tidak pula menyajikan hal-hal atau tafsir baru, apalagi menghadirkan wacana baru, sehingga membaca novel jenis itu tidak ubahnya membaca buku sejarah yang telah ada. Akibatnya, novel-novel itu hanya tampak sebagai cetak ulang buku-buku sejarah dan cenderung tidak memiliki kontribusi yang memperkaya wawasan pemahaman atas sejarah itu sendiri. Dari sejumlah novel yang mencoba mengartikulasikan aspek sejarah itu, yang terlihat sedikit mampu keluar dari atau mampu menghadapi tantangan atas novel sejarah di antaranya ialah Dendam di Bumi Mangir dan Penangsang Memanah Rembulan. Dalam Dendam di Bumi Mangir epos kepahlawanan dapat diekplorasi dengan matang dan dewasa sehingga tokoh-tokoh menjadi hidup dan berkarakter kuat. Sementara, dalam Penangsang Memanah Rembulan konflik-konflik politik, agama, kekuasaan, dan kemanusiaan dengan latar belakang sejarah Jawa abad ke-16 (pada masa kekuasaan Sutawijaya) dapat direkonstruksi dengan jernih.
Selain hal seperti yang telah dikemukakan, dalam dua dekade terakhir, ada beberapa karya sastra Indonesia di Yogyakarta yang memiliki kadar literer yang cukup (tinggi). Misalnya saja buku kumpulan cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (2010) karya Agus Noor. Sebab, cerpen-cerpen dalam kumpulan ini disajikan dengan teknik penulisan yang avant garde, pemilihan diksi dan ekspresi yang sangat literer, dan tepat dalam pengungkapan dan pemilihan peristiwa. Sepintas memang terasa sulit ditemukan apa tema kumpulan cerpen ini karena antara satu cerpen dan cerpen lainnya bercerita tentang hal-hal yang berbeda. Akan tetapi, setelah dicoba dirunut benang merahnya, hal-hal yang berbeda itu tersatukan ke dalam sesuatu yang lebih universal. Cerpen-cerpen itu bercerita tentang cinta dan kesetiaan, bertahan hidup dan kematian, kemiskinan dan kebahagiaan, dan sejenisnya, yang semua itu berujung pada kehidupan. Semua cerita di dunia ini memang memaparkan kehidupan seperti yang demikian sehingga untuk menjadikannya istimewa, si pencerita mesti harus bekerja keras; dan terbukti pengarang cerpen dalam kumpulan ini mampu dan berhasil melakukannya.
Buku kumpulan cerpen Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? (2016) karya Eko Triono agaknya juga melahirkan harapan baru bagi masa depan sastra dan pengarang Yogyakarta. Jelajah imajinasi yang tergambar di dalamnya manakjubkan; pilihan tema, eksplorasi gagasan, dan gaya berceritanya yang bernas menunjukkan cakrawala yang begitu luas dan unik. Sebagai seorang penulis muda ia telah mendekati piawai ketika mendekonstruksi cara-cara berpikir lama; dan karenanya dalam buku ini cerpen-cerpennya begitu mengejutkan. Meski sedikit berbeda, buku kumpulan cerpen Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia seperti Mersault (2016) karya Risda Nur Widia juga menunjukkan hal sejenis. Pengarang yang juga masih muda ini telah memiliki gaya yang khas, ringan, jernih, dan menunjukkan keahliannya dalam bercerita.

/4/
Paparan di atas memperlihatkan bahwa hingga dua dekade belakangan Yogyakarta masih menunjukkan dinamikanya dalam hal kehidupan sastra. Meski tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan, berbagai komponen terlihat masih menunjukkan perannya masing-masing yang sistemik. Pengarang masih terus aktif, kreatif, dan bertumbuh; penerbit masih memperlihatkan kemauannya menerbitkan buku-buku sastra; dan beberapa lembaga pendukung juga masih menunjukkan kepedulian terhadapnya. Sebagaimana terjadi pada umumnya, di Yogyakarta tidak hanya tumbuh karya sastra dalam bentuk (buku) cetak, tetapi juga tumbuh dalam media jaringan (internet).
Hanya saja, dilihat dari sisi kesastraan dan kecenderungan estetiknya, karya-karya sastra yang lahir sebagian belum menunjukkan kebaruan (eksplorasi estetik). Hal itu tidak hanya tampak dalam karya-karya fiksi (novel dan cerpen), tetapi juga dalam karya-karya puisi. Bahkan, karya-karya (buku) drama tidak tampak hidup di Yogyakarta. Dalam dua dekade terakhir, misalnya, hanya dijumpai beberapa buku drama, yakni Pada Sebuah Gardu (Nouvalitera, 2012) karya Khrisna Mihardja, Tak Ada Bintang di Dadanya (Interlude, 2016), dan Kisah Dua Lelaki Hamil (2016) karya Sri Harjanto Sahid.[25]
Kendati demikian, satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa sebagian besar karya sastra Indonesia di Yogyakarta menampakkan kecenderungan untuk mengeksplorasi lokalitas --yang dihadapkan pada problem dan realitas kemanusiaan umumnya--; dan kecenderungan ini tampak dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan pengarangnya (Melayu, Jawa, Madura, pesantren, dan sejenisnya). Agaknya, demikian yang dapat dipersembahkan oleh Yogyakarta untuk Indonesia, untuk Asia Tenggara, bahkan juga untuk dunia. ***


[1] Dibentangkan pada Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara (SAKAT) yang diselenggarakan oleh MASTERA INDONESIA (Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta, pada 11—12 September 2017.

[2] Pemerhati sastra, bekerja pada Balai Bahasa Jawa Tengah (mantan Kepala Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta periode Januari 2007 hingga Agustus 2017).

[3] Dalam versi perbaikannya makalah dengan tajuk “Dinamika Sastra Indonesia di Tengah Kebhinekaan Sastra Daerah” itu kemudian dimuat di majalah sastra Horison, Januari 2008.

[4] Hal ini diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kewenangan dalam urusan keistimewaan yang dimaksud di dalam UU ini mencakupi lima hal, yakni (1) tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; (2) kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; (3) kebudayaan; (4) pertanahan; dan (5) tata ruang. Di antara lima hal ini yang mendapatkan porsi dana terbesar adalah bidang kebudayaan; dan karenanya, diharapkan, di masa depan kehidupan sastra lebih menjanjikan.

[5] Menurut Damono (1993) dalam bukunya Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, sistem makro disebut juga sistem sosial yang menjadi lingkungan pendukung keberadaan sastra yaitu pengarang, penerbit, pengayom, kritik, dan pembaca; sedangkan sistem mikro disebut juga sistem formal yang menandai ciri-ciri (sistem) sastra.

[6] Yang dimaksud dengan sastra yang tumbuh dan berkembang di Yogyakarta dalam konteks ini ialah (karya) yang ditulis oleh pengarang yang berdomisili (penduduk asli dan atau tinggal sementara) di Yogyakarta dan diterbitkan oleh penerbit di Yogyakarta.

[7] Lagi pula, perkembangan sistem makro dan mikro sastra Indonesia di Yogyakarta sejak awal kemerdekaan telah dipaparkan oleh Widati dkk. dalam buku Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1945--2000 terbitan Balai Bahasa Yogyakarta tahun 2009.

[8] Konon, jika ditambah dengan usaha percetakan dan penerbit-penerbit yang bukan anggota IKAPI, termasuk penerbit koran dan majalah, jumlahnya mencapai lebih dari 300.

[9] Khusus penghargaan pertama (2007) diberikan kepada buku sastra terbaik terbitan 3 tahun terakhir (hingga 2006), sedangkan penghargaan selanjutnya (sejak 2008) diberikan kepada buku sastra terbaik yang terbit pada tahun sebelumnya, demikian seterusnya hingga sekarang. Kegiatan pemberian penghargaan sastra ini didukung oleh IKAPI DIY.

[10] Buku-buku sastra terbitan 2004--2006 pada masa penghargaan 2007 di antaranya Dunia Seribu Wajah (cerpen, 2005) karya Arwan Tuti Arta; Mitos Kentut Semar (puisi, 2006) karya Rachmat Djoko Pradopo; Saru Siku (novel, 2006) karya Otto Sukatno; Bersampan Ke Seberang (cerpen, 2006) karya Satmoko Budhi Santoso.

[11] Buku-buku sastra terbitan 2007 pada masa penghargaan 2008 di antaranya Sinden (novel) karya Purwadmadi; Ki Ageng Miskin (puisi) karya Mustofa W Hasjim; Perempuan Panggung (novel) karya Iman Budhi Santoso; Ketika Kemarau Melintas di Biara (puisi) karya Rosindus JM Tae; Sali (novel), Zaman (novel), dan Ronggeng (novel) karya Dewi Linggasari; Sosok (novel) karya Nani Tato K; Kabut Kelam (novel) karya Ahmad Munif; dan Hikayat Kampung Mati (novel) karya Marhalim Zaini.

[12] Buku-buku sastra terbitan 2008 pada masa penghargaan 2009 di antaranya Asrama Putri (novel) karya Dewi Linggasari; Singgasana (novel) karya Lila Mahardika; Perempuan Kedua (cerpen) karya Labibah Zain; Perempuan di Bawah Gerimis (novel) karya Ahmad Munif; Nirzona (novel) karya Abidah El-Khalieqy; Lafazs-Lafazs Cinta (novel) karya Hadi S Khuli; Rahasia Wanita (novel) karya Qotrun Nada; Kepribadian Wanita (novel) karya Suminaring Prasojo; Sujud Nisa di Kaki Tahajjud Subuh (novel) karya Kartini Nainggolan; Sang Pelopor (novel) karya Alang-Alang Timur; Mata Air Akar Pohon (puisi) karya Nur Wahida Idris.

[13] Buku-buku sastra terbitan 2009 pada penghargaan 2010 di antaranya Titian Sang Penerus (novel) karya Alang-Alang Timur; Hakikat (novel) karya M Hilmi Asad; Sepertiga Malam (novel) karya Syaiful Erfad; Bisikan Surga (novel) karya Yani Rahma Nugraheni; Mencintai Malaysia (novel) karya Sidik Jatmika; Maestro (novel) karya Alex Suhendra; Perempuan Kedua (novel) dan Nayla (novel) karya Siti Rofikah; Doa untuk Dinda (novel) karya Endik Koeswoyo; Cinta 1001 Malam di Khatulistiwa (puisi) dan Karnaval Cinta (puisi) karya Cecilia Guno Samekto; Negeri Kong Draman (puisi) karya Akhmad Fikri; Tidur Tanpa Mimpi (puisi) karya Rachmat Djoko Pradopo; The True Story of Majapahit (novel), Gajah Mada (novel), dan Trunojoyo (novel) karya Gamal Kamandoko; Centhini (novel) karya Sunardian Wirodono; dan Juragan Subeyojeka (novel) karya Nur Iswantara.

[14] Buku-buku sastra terbitan 2010 pada masa penghargaan 2011 di antaranya Awan Abrit (puisi) karya Fitra Firdaus A; Analea Cewek Penggila Bola (novel) karya Isna K; Joko Tingkir (novel) karya Agus Wahyudi; Siasat dan Kemelut atas Tahta (novel) karya Gamal Kamandoko; Ratu Kalinyamat (novel) karya Murtadho Hadi; Diponegoro (novel) karya Yudhi AW; Api Paderi (novel) karya Mohammad Solihin; Positif (novel) karya Maria Silvi; Memorabilia dalam Keabadian (novel) karya laila  Nurazizah; Dunia Padmini (novel) karya Trie Utami; Mata Blater (cerpen) karya Mahwi Air Tawar; dan Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (cerpen) karya Agus Noor.

[15] Buku-buku sastra terbitan 2011 pada masa penghargaan 2012 di antaranya Bunga Tabur Terakhir (cerpen) karya GM Sudarta; Di Tepi Damba (puisi) karya Anak Padmawidya; Red Blood Ring (novel) karya Jojo Alexander; Hati Sinden (novel) karya Dwi Rahayuningsih; Sang Nyai (novel) karya Budi Sardjono; Menapak Jejak (puisi) karya Dewi Linggasari; Roro Jonggrang (novel) karya Arie Sudibjo; Semar Mesem (novel) karya R Toto Sugiharto; Gadis-Gadis Amangkurat (novel) karya R Widada; Hikayat Kata (puisi) karya Bambang Widyatmoko; Aku dan Puisi karya mahasiswa USD; Yang (puisi) karya Abdul Wachid; dan Ning (novel) karya Mazadek Hari.

[16] Buku-buku sastra terbitan 2012 pada masa penghargaan 2013 di antaranya Lengkingan Viola (cerpen) karya Ramayda Akmal; Genderang Baratayuda (novel) karya R Toto Sugiharto; Mengenali Yogya (puisi) karya Ons Untoro; Musim Hujan Datang di Hari Jumat (puisi) dan Ketika Tuhan Melukis Hati Manusia (puisi) karya Mustofa W Hasjim; Cinta, Luka, Cemburu (puisi) dan Terpahat pada Awan (puisi) karya Rina Eklesia; Pengembaraan Debu (puisi) karya Hari Palguna; Misteri Gadis Kaligrafi (novel) karya Faturrohman Karyadi; Tartila (novel) karya Arifa; Kontroversial (cerpen), Pada Sebuah Gardu (drama), Citra (novel), Merapiku, Puisiku, dan Orang-Orang di Sekelilingku (puisi), dan Demit (cerpen) karya Khrisna Mihardja; Sastra Jendra Hayuningrat (novel) karya Agus Sunyoto; Tuan Dalang (novel) karya Dwi Rahayuningsih; Api Merapi (novel) karya Budi Sardjono; Conserto Al Malioboro (novel) karya Angsel Watra; Lintang (novel) karya Nana Rina; Pertanyaan Srikandi (puisi) karya Wiyatmi; dan Perempuan Berlipstik Kapur (cerpen) karya Esti Nuryani Kasam.

[17] Buku-buku sastra terbitan 2013 pada masa penghargaan 2014 di antaranya Perempuan yang Memetik Mawar (novel) karya Dahlia Rasyad; Ziarah Tanah Jawa (puisi) karya Iman Budhi Santoso; Burung-Burung di Tiang Duka (puisi) karya Aly D Musrifa; Roro Jonggrang (novel) karya Budi Sardjono; 9 Kubah (puisi) karya Evi Idawati; Panji Asmorobangun (novel) karya Toto R Sugiharto; Rahim Titipan (novel) karya Satmoko Budhi Santoso; Senapan Tak Berpeluru (novel) karya Joko Santoso; Senja di Chao Praya (novel) karya Endah Setyawati; Nyanyian Raflesia (novel) karya Setyawati Iriani Nugroho; Tuhan, Maaf, Engkau Kumadu (novel) karya Aguk Irawan; dan Bangsal Sri Manganti (puisi) karya Suminto A Sayuti.

[18] Buku-buku sastra terbitan 2014 pada masa penghargaan 2015 di antaranya Sihir Pembayun (novel) karya Joko Santoso; Nyai Gowok (novel) karya Budi Sardjono; Rajawali Satu Sayap (novel) karya Ulfatin Ch.; Matapangara (novel) karya Raedu Basha; Lamsijan (novel) karya Asep Saeful Anwar; Antologi Puisi Wayang (puisi) karya Purwadmadi; Tasbih Merapi (puisi) karya Hamdi Salad; Persinggahan Akhir Tahun (puisi) karya Suminto A Sayuti; dan Mahabarata (novel) karya Herjaka HS.

[19] Buku-buku sastra terbitan 2015 pada masa penghargaan 2016 di antaranya Maria Zaitun: Adaptasi Nyanyian Angsa WS Rendra (novel) karya Joko Santoso; Bunga-Bunga Kesunyian (cerpen) karya Risda Nur Widia; Teratak Daun Rumbia (cerpen) karya Susi Purwani; Ken Arok dan Ken Dedes (novel) karya Gamal Kamandoko; Kawin Muda (cerpen) karya Jajak MD; Pameran Patah Hati (novel) karya Mini GK; Memorabilia (novel) karya Kiki Ramdani; dan Hujan Pertama untuk Aysila (novel) karya Edi AH Iyubenu.

[20] Sementara, buku-buku sastra terbitan 2016 pada masa penghargaan 2017 di antaranya Anak-Anak Minyak (novel) karya Imperial Jathe; Penangsang Memanah Rembulan (novel) karya Joko Santoso; Fazan (novel) karya Yudhi AW; Gejolak Jiwa (puisi) karya Supriadi; Muslimah Bintang Tujuh (novel) karya Rudi Hendrik; Menagih Janji Misteri Gunung Kawi (novel) karya Otto Sukatno CR; Sebutir Debu di Kaki Ka’bah dan Emak Tonce (novel) karya Pago Hardian; Pulung (cerpen) karya Nunung Deni P; Kado Kemenangan (cerpen) karya Marwanto; Bulan Bukit Menoreh (puisi) karya Marjudin Suaeb; Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault (cerpen) karya Risda Nur Widia; Ombak Negeri Legenda (puisi) karya Aly D Musrifa; Mantra Bumi (puisi) karya Aprinus Salam; Memorabilia dan Melankolia (cerpen) karya Agus Noor; Kisah Dua Lelaki Hamil (drama) karya Sri Harjanto Sahid; Perempuan yang Mencintaimu dalam Kesunyian (novel) karya Vita Agustina; Energy Bangun Pagi Bahagia (puisi) karya Andy Sri Wahyudi; Aku Ingin Meniup Balon (novel) karya Aik Vela Pratisca; Kecamuk Kota (puisi) karya Rudi Santoso; Bukan Semilah (novel) karya Nadin T; Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? (cerpen) karya Eko Triyono; Tak Ada Bintang di Dadanya (drama) karya Hamdi Salad; Malioboro 2057 (puisi) karya Sutirman Eka Ardana; Lukisan Anonim (puisi) karya Umi Kulsum; Potret Wanita Jawa (puisi) karya Fitri Merawati; Kidung Rindu di Tapal Batas (novel) karya Aguk Irawan; dan Putri Pesisir (novel) karya Ardian Kresna.

[21] Pengayom swasta (mandiri) ini di antaranya dilakukan oleh Yayasan Sastra Yogyakarta (YASAYO) milik Rachmat Djoko Pradopo yang hampir setiap tahun memberikan penghargaan kepada pengarang dan peneliti sastra Indonesia dan Jawa. Seratus persen dana yang digunakan oleh Yasayo adalah dana pribadi.

[22] Menurut data yang dihimpun oleh Himpunan Sastrawan dan Komunitas Sastra DIY (HSKS DIY) pada 2015 tercatat tidak kurang 60 komunitas sastra yang masih aktif. Beberapa di antaranya Studio Pertunjukan Sastra, Sastra Bulan Purnama Tembi, Forum Apresiasi Sastra LSBO, Ngopinyastro, Diskusi Sastra PKKH, Teater Eska, Studi Sastra dan Teater Sila, Masyarakat Poetika Indonesia, Sanggar Seni Sastra Kulonprogo, Malam Selasa Sastra, Rubud EAN, dll. Memang tidak semua komunitas tersebut berfokus pada sastra, tetapi sastra mendapat porsi yang cukup baik. Bagi yang fokus pada sastra umumnya menyelenggarakan kegiatan rutin. Studio Pertunjukan Sastra, misalnya, selama hampir sepuluh tahun telah melaksanakan kegiatan dan pertunjukan sastra tidak kurang dari 126 kali (rutin sebulan sekali dan belum lagi kegiatan insindental). 

[23] Berkait dengan hal ini telah terbit buku Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku: Proses Kreatif Pengarang Yogyakarta (2016) dan Njajah Desa Milang Kori: Proses Kreatif Novelis Yogyakarta (2017), keduanya terbitan Balai Bahasa DIY. Buku pertama memuat tulisan proses kreatif 50 pengarang dan buku kedua memuat tulisan proses kreatif 20 novelis Yogyakarta.

[24] Hal ini misalnya tampak dalam novel Lafazs-Lafazs Cinta (Hadi S Khuli, 2008), Rahasia Wanita (Qotrun Nada, 2008), Doa untuk Dinda (Endik Koeswoyo, 2009), Titian Sang Penerus (Alang-Alang Timur, 2009), Hakikat (M. Hilmi Asad, 2009), Sepertiga Malam (Syaiful Erfad, 2009), Bisikan Surga (Yani Rahma Nugraheni, 2009).
[25] Hanya saja, jika telusur lebih jauh, naskah-naskah  drama cukup banyak jumlahnya, tetapi naskah-naskah itu tidak diterbitkan menjadi buku kumpulan drama. Hal demikian dapat dirunut melalui buku Orang-Orang Panggung Daerah Istimewa Yogyakarta (Herry Mardianto dkk.) terbitan Balai Bahasa DIY tahun 2016 yang memuat biografi 40 seniman panggung DIY.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel