UU Bahasa, Media Massa, dan Pengutamaan Penggunaan Bahasa Indonesia
Saturday, January 14, 2017
Edit
SATU lagi tugas berat bagi media
massa berkait dengan lahirnya Undang-Undang Bahasa yang tergabung dalam UU No.
24 Tahun 2009 tentang “Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan.”
Kalau tugasnya selama ini sebagai media pendidikan dan sarana kontrol sosial belum
dapat dilaksanakan secara maksimal, kini media massa dibebani tugas baru lagi yang
tidak ringan. Tugas (dan kewajiban) itu ialah mengembangkan, membina, dan
mengutamakan penggunaan bahasa
Indonesia.
Beban tugas tersebut bersifat
mengikat karena dalam pasal 39 ayat 1 secara tegas dinyatakan bahwa “bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi melalui media massa.” Mengapa tugas
itu mengikat? Karena, dalam kedudukannya sebagai bahasa negara (sesuai pasal 36
UUD 45), fungsi bahasa Indonesia salah satunya adalah sebagai bahasa media
massa (pasal 25 ayat 3). Karena itu, persoalan bahasa di media massa bukan
sekadar persoalan “main-main”, apalagi “dapat dipermainkan”, tetapi merupakan persoalan
penting yang harus diperhatikan.
Kata “wajib” pada pernyataan pasal 39 ayat 1 juga harus dipahami bahwa
tugas mengembangkan, membina, dan mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia mau
tak mau harus dilaksanakan oleh media massa (cetak/elektronik). Kalau tidak,
berarti media massa tersebut dapat dianggap telah melanggar Undang-Undang. Namun,
betulkah, atau haruskah begitu? Nanti dulu.
Di satu sisi, UU itu memang mewajibkan media massa menggunakan bahasa
Indonesia (pasal 39 ayat 1). Tetapi, di sisi lain, UU itu juga membolehkan
penggunaan bahasa asing atau daerah jika memang media itu memiliki tujuan dan
sasaran khusus (pasal 39 ayat 2). Kalau sejak awal media itu bertujuan dan bersasaran
umum, secara konsisten tentu harus menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi, kalau ternyata
sering menggunakan bahasa daerah dan atau asing, sementara media itu tidak tergolong
sebagai media yang bertujuan dan bersasaran (pembaca) khusus, tentu itu dapat dianggap
melanggar UU.
Lalu bagaimana realitas penggunaan bahasa di media massa kita? Baiklah. Kita tahu bahwa di dalam media massa kita, ambil contoh KR, Bernas, Harjo, Merapi, dan Meteor, masih bertebaran kata-kata/istilah
asing dan daerah. Padahal, media-media itu bukanlah media yang bersasaran
pembaca khusus, melainkan media (untuk) umum. Sebagai media yang bertujuan dan
bersasaran umum, mestinya ia secara konsisten menghindari pemakaian kata dan istilah
asing/daerah.
Tetapi, dapat dipahami bahwa penggunaan kata/istilah asing itu menjadi suatu
keniscayaan karena hal itu dipandang lebih nge-trend, modern, intelek. Lebih-lebih, masyarakat pembacanya,
terutama di Jogja, sebagian besar adalah kaum cerdik pandai. Selain itu, penggunaan
kata/istilah daerah --terutama Jawa-- juga dapat dipandang wajar karena
masyarakat pembaca media itu sebagian terbesar adalah masyarakat berbahasa ibu bahasa
Jawa. Jadi, kata/istilah Jawa dirasa lebih pas dan mengena; lebih-lebih bagi
kata/istilah yang akan berubah makna jika diungkapkan dalam bahasa Indonesia.
Dengan begitu, tidaklah menjadi masalah, penggunaan kata/istilah asing dan
daerah itu.
Barulah hal itu menjadi masalah ketika sebagai media umum mereka
(media-media itu) tidak menempatkan bahasa Indonesia sebagai yang utama. Seringkali kata dan istilah asing atau daerah digunakan
dan ditulis apa adanya tanpa ada keterangan penjelas dalam bahasa Indonesia. Padahal,
kalau istilah asing/daerah itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia –dan
itu dapat dicek dalam kamus--, mestinya kata dan istilah bahasa Indonesia-lah
yang digunakan.
Kalau dengan pertimbangan tertentu istilah asing atau daerah ingin
dipertahankan, tentu hal itu harus diperlakukan sesuai aturan/pedoman yang
telah diberlakukan. Kecuali kata/istilah asing/daerah itu telah resmi dan sah
menjadi warga kosa kata bahasa Indonesia. Untuk mengetahui apakah kata/istilah
asing/daerah itu telah sah menjadi warga kosa kata bahasa Indonesia, kuncinya
sederhana: cek dalam buku (kamus, pengindonesiaan istilah asing, dll.)
Sekali lagi, jika kata/istilah asing’daerah ingin tetap digunakan, ia mesti
ditulis/ dicetak dalam bentuk tertentu (miring)
atau sekaligus diberi arti atau penjelasan bahasa Indonesia. Sebagai misal, tidak
seperti ini: Jangan Berpikir “Impeachment” (Bernas,
26/1/2010), tetapi (1) Jangan Berpikir Impeachment;
(2) Jangan Berpikir Pemakzulan, (3) Jangan Berpikir Pemakzulan (Impeachment), atau (4) Jangan Berpikir Impeachment ’Pemakzulan’. Dan, perlu
diketahui, istilah impeachment ini
pun masih sering digunakan secara tidak tepat.
Itu hanyalah contoh kecil dan hal serupa cukup banyak ditemukan di media
massa kita. Jadi, intinya, umumnya media massa belum sepenuhnya memerhatikan
hal ini. Kewajiban menempatkan bahasa Indonesia di atas bahasa-bahasa lain
sebagaimana disarankan UU No. 24/2009 belum sepenuhnya direalisasikan.
Kurangnya perhatian itu semakin tampak dengan adanya kenyataan sebagian
besar iklan yang dimuat di media massa masih menggunakan bahasa asing, terutama
Inggris. Memang bahasa iklan bukanlah urusan pelaku media massa, tetapi urusan
perusahaan (pemesan) iklan. Namun, realitas itu membuktikan betapa usaha
pengutamaan penggunaan bahasa Indonesia belum menyatu ke dalam kesadaran
bersama masyarakat (bangsa) yang telah bertekad “menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia”. Padahal, dijelaskan pula dalam UU No. 24/2009, iklan juga
wajib menggunakan bahasa Indonesia (pasal 38).
Akhirnya, kita berharap mulai
sekarang media massa dapat menjadi ruang sosialisasi UU Bahasa sekaligus menjadi
pelopor dalam usaha mengembangkan, membina, dan mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia. Kalau tidak,
lalu siapa dan kapan lagi? ***
Dimuat BERNAS, Selasa 9 Februari 2010