Teori TAKMILAH: Cara Baru Pemahaman Sastra
Tuesday, January 10, 2017
Edit
Kita tahu bahwa sejak awal tahun 70-an
muncul kecenderungan baru dalam sastra Indonesia. Kalau sebelumnya berkiblat ke
Barat, sejak dekade awal Orde Baru itu sastra kita mulai kembali ke akar tradisi.
Kecenderungan ini mencapai puncak pada tahun 80-an yang ditandai semakin
bertambahnya jumlah karya yang mengakomodasi beragam aspek lokalitas (mantra,
mitos, spiritualitas, dll). Hal ini tidak lain disebabkan dunia kreativitas tak
lagi dimonopoli oleh para pengarang kota, tapi juga pengarang desa dan kota
kecil yang lebih dekat dengan budaya tradisi.
Kecenderungan itulah yang kemudian
menimbulkan kekhawatiran banyak ahli (teoretikus dan kritikus). Sebab, karya-karya
sastra yang berkecenderungan baru itu diduga tak lagi bisa tuntas jika hanya dilihat
dengan kacamata (teori) Barat. Maka, berkumpullah sejumlah pakar di Padang (Sumatra
Barat) pada Maret 1988 dan mereka kemudian bersepakat hendak mencari (melahirkan)
teori dan kritik yang relevan bagi sastra Indonesia. Tetapi, sampai kini tampak
usaha itu belum membuahkan hasil. Terbukti, telah lebih dari 15 tahun belum
satu pun lahir teori dan kritik yang relevan itu.
Beberapa tahun lalu memang kita pernah
mendengar istilah pasemon (Goenawan Mohammad) dan bangesgrengsem (Sapardi
Djoko Damono). Kedua istilah itu nada-nadanya akan diarahkan pula sebagai sebuah
cara baru pemahaman (cara analisis) sastra. Tetapi, ternyata, sampai sekarang belum
seorang pun berhasil memformulasikan gagasan Goenawan dan Sapardi itu menjadi sebuah
teori lengkap dengan perangkatnya (definisi, konsep dasar, metodologi, teknik
aplikasi, dll).
Di sinilah bedanya kita jika dibandingkan
dengan pakar-pakar sastra Malaysia. Di samping tetap mendalami teori dan kritik
sastra Barat, mereka juga mencoba melahirkan teori dan kritik sastra yang
relevan dengan sastra mereka (Melayu). Contoh nyata adalah teori Takmilah.
Teori ini baru digagas oleh Shafie Abu Bakar pada 1992 (empat tahun sesudah
pertemuan Padang). Tetapi, teori Takmilah cepat mendapat tempat di hati para
kritikus dan mereka saling menyempurnakan. Menurut catatan Mokhtar Hassan
(2003), sampai dengan tahun 1999, telah ada 7 skripsi/tesis sarjana dan 2
disertasi doktor yang menerapkan teori Takmilah. Dan sebelumnya (1989), sebenarnya
telah muncul teori Pengkaidahan Melayu hasil gagasan Dato’ Hashim Awang.
Tetapi, teori Takmilah tampak lebih populer dibanding teori Pengkaidahan
Melayu.
Teori Takmilah agaknya memang khas.
Teori itu berhubungan erat bahkan bersumber dari falsafah (Alquran) dan
prinsip-prinsip dasar ke-Islam-an. Karenanya ia disebut Teori Sastra Islam.
Menurut penggagasnya, mengkaji sastra dan kreativitasnya semata tanpa
melibatkan prinsip-prinsip Islam tidak akan timbul apa yang dinamakan sastra
Islam dan nilai-nilai Islam. Karena itu, mendekati sastra Islam mestilah
bersifat syumul dan bertolak dari falsafah tauhid yang doktrinik.
Itulah sebabnya, teori Takmilah dibangun setidaknya oleh tujuh prinsip yang
bermuara pada kata kamal (sempurna).
Pertama, prinsip ketuhanan yang
bersifat sempurna (kamal). Prinsip
ini bertolak dari konsep bahwa keindahan merupakan manifestasi kesempurnaan
Allah; jadi, dalam hal ini, segala sesuatu harus demi Allah yang sempurna. Kedua,
prinsip kerasulan sebagai insan sempurna (kamil). Prinsip ini didasari
oleh ketentuan bahwa sastra mestilah berperan meningkatkan kualitas keinsanan
seperti yang diteladankan Rasullullah. Ketiga, prinsip keislaman yang
bersifat paling sempurna (akmal). Prinsp ini berpijak pada konsep bahwa
sastra berperan membentuk individu, masyarakat, dan umat yang mempraktikkan ke-syumul-an
Islam; oleh karenanya sastra tak (boleh) bertentangan dengan akidah dan syariat
Islam. Keempat, prinsip ilmu dan sastra yang saling menyempurnakan (takamul).
Dalam prinsip ini sastra mesti harus meningkatkan kualitas akaliah (ilmu,
rasional) dan rohaniah (jiwa dll).
Kelima, prinsip sastra yang
berciri estetik dan bersifat ke arah kesempurnaan (takmilah). Dalam
prinsip ini, yang dilihat adalah keindahan lahiriah (teknik, bentuk, struktur,
stilistik, dll) dan maknawi (pesan, tema, pandangan, dll). Keenam,
prinsip pengarang yang harus menyempurnakan diri (istikmal). Yang
penting dalam prinsip ini ialah bahwa kalau pengarang akan menciptakan sastra
harus melengkapi diri dengan ilmu keislaman dan ilmu sastra. Ketujuh,
prinsip khalayak (pembaca) ke arah insan sempurna (kamil). Prinsip ini
berpedoman pada konsep bahwa hendaknya sastra memberikan pendidikan dan pengajaran
(yang baik) kepada pembaca (khalayak, masyarakat).
Begitulah tujuh prinsip yang membangun
teori Takmilah. Istilah yang dipergunakan memang berbeda-beda (kamal, kamil,
akmal, takamul, takmilah, istikmal, kamil), tetapi semua itu disaring dari
kata kamal (sempurna) dan akhirnya dipilihlah istilah takmilah (menyempurnakan)
sebagai nama teorinya. Dan karena teori ini diformulasikan berdasarkan
prinsip-prinsip dasar Islam (Alquran dan Hadis), barangkali hanya sastra Islam
yang paling cocok bagi penerapan teori Takmilah. Dan karena sastra Melayu di
Malaysia didominasi oleh atau bahkan mungkin semua berunsur Islam, wajar kalau
gagasan Takmilah segera dapat diterima sebagai teori dan mendapat banyak
pengikut.
Dan barangkali di sini pula bedanya
dengan kondisi sastra Indonesia. Meski bahasa yang digunakannya serumpun
(Melayu/Indonesia), sastra Indonesia relatif lebih beragam jika dibandingkan
dengan sastra Melayu di Malaysia. Keberagaman ini terjadi karena Indonesia
bersifat multietnis, ras, agama, budaya, tradisi, perilaku, dan sebagainya
sehingga sastra Islam tak berkembang secara dominan. Tapi justru keberagaman
itulah yang sekaligus menjadi keunggulan kita. Walaupun, akibatnya, tak mudah
bagi pakar-pakar sastra Indonesia menggagas teori baru yang relevan bagi sastra
Indonesia.
Tapi, betapa pun, terlepas dari ketegangan-ketegangan
politik yang sedang terjadi, tak ada salahnya pakar-pakar sastra Indonesia
membangun tradisi berpikir seperti Malaysia. Kalau kita mencontoh atau belajar
dari mereka mungkin akan tidak mengenakkan karena –jika dilihat sejarahnya--akan
terjadi semacam flashback. Sebagian dari kita mungkin akan berkata bahwa
daripada belajar dari Malaysia lebih baik langsung belajar dari Eropa, Amerika,
atau Jepang karena memang negara-negara ini memiliki tradisi berpikir yang
lebih tua dan kuat (mapan). ***
Dimuat Kedaulatan Rakyat, 8
Mei 2005