Tak Seorang pun Sastrawan Hidup Layak; Perlu Rekonstruksi Penerbitan: Merenungi Kembali Kondisi Kesastraan Yogya
Monday, January 09, 2017
Edit
Sejarah
mencatat bahwa tradisi bersastra di Yogya telah memiliki sejarah cukup panjang.
Pada dua setengah abad lalu, misalnya, ketika Kompeni mencengkeramkan kukunya
dengan kokoh sehingga mudah mencampuri urusan intern kerajaan, terutama setelah
Perjanjian Giyanti (1755), di Yogya
telah terbangun suatu kegiatan seni-budaya yang saat itu dipelopori oleh para
pembesar (sultan dan sunan) yang berkuasa.
Semula
kegiatan yang mereka lakukan hanya untuk mengantisipasi krisis moral akibat
krisis politik (akibat penjajahan). Tetapi, kegiatan itu kemudian berubah
menjadi tradisi bersastra yang menyegarkan sehingga pada abad ke-18 pertumbuhan
sastra daerah (Jawa) mencapai zaman
keemasan. Beberapa tokoh yang berperan antara lain Paku Buwana IV, Paku
Buwana IX, Paku Buwana X, Mangkunegara IV, dan Ranggawarsita. Semula tradisi
itu hanya berkembang di istana (Mataram) dengan berbagai karya sastra priyayi untuk kepentingan legitimasi
kekuasaan raja, tetapi kemudian berkembang juga di daerah-daerah pesisir; hal
itu ditandai oleh munculnya karya sastra singir
atau sastra pesantren di daerah sekitar pantai utara Jawa.
Sejarah
mencatat pula pada masa itu para pujangga mendapat tempat terhormat di keraton
karena melalui seni-sastra ia dianggap sebagai orang terpilih yang mampu
membimbing rakyat. Hasil karyanya pun kemudian diakui sebagai adiluhung sehingga dihormati dan
dijunjung tinggi oleh masyarakat. Karena itu, para pujangga lalu mendapat
perlindungan penuh, dan mereka diberi hak untuk ikut menikmati berbagai
fasilitas yang disediakan keraton sehingga kehidupan sosial dan ekonominya
terjamin.
Jelas
bahwa kondisi tersebut berbeda dengan kondisi sastrawan di zaman modern ini;
dan hal ini telah berlangsung sejak era kepujanggaan Ranggawarsita berakhir
(akhir abad ke-19). Sebab, sejak awal abad ke-20, lebih-lebih setelah
kemerdekaan, sastrawan harus berjuang mati-matian untuk mempertahankan hidup
karena hidup mereka sepenuhnya ditentukan oleh pasar. Perjuangan itu semakin berat karena kenyataan menunjukkan di
pasar harga karya seni (sastra) begitu rendah sehingga pengarang tidak mungkin
mengandalkan hidup dari hasil karangannya.
Demikian
juga yang terjadi di Yogya dewasa ini. Tak seorang pun sastrawan Yogya hidup
layak dari hasil karangannya sehingga profesinya sebagai sastrawan hanya hobi
belaka. Umumnya profesi pokok mereka adalah dosen (Umar Kayam, Kuntowijoyo,
Bakdi Sumanto, Rachmat Djoko Pradopo, Y.B. Mangunwijaya, Ashadi Siregar,
Suminto A. Sayuti, Darmanto Jatman, Faruk, Andrik Purwasito, Sujarwanto, Tuti
Nonka, dll.); sebagai redaktur, wartawan, atau pengelola penerbitan (Mohammad
Diponegoro, Achmad Munif, Agnes Yani Sarjono, Dhorotea Rosa Herliani, Joko
Pinurbo, Ahmadun Yosi Herfanda, Arwan Tuti Artha, Mustofa W. Hasjim, dll.);
sebagai karyawan instansi (Kuswahyo S.S. Rahardjo, dll.); atau sebagai
penerjemah (Landung Rusyanto Simatupang), dan sebagainya.
Jika
saat ini hidup mereka tampak mapan, kemapanan itu tidaklah berkat profesinya
sebagai pengarang, tetapi oleh profesi pokoknya. Karenanya, pengarang yang
tidak punya pekerjaan tetap yang mampu menunjang hidupnya secara rutin,
biasanya mereka lebih suka hijrah
dari Yogya; dan di benaknya Yogya hanya sebagai “kawah candradimuka” belaka.
Dapat disebutkan, misalnya, W. S. Rendra, Danarto, Sapardi Djoko Damono,
Motinggo Busye, Subagyo Sastrowardoyo, dan beberapa sastrawan lain yang
sekarang bermukim di Jakarta.
Kondisi
itulah yang mengakibatkan di Yogya sering terjadi “krisis” sastrawan karena
kota ini sering harus bersayonara dengan para sastrawan yang seharusnya menjadi
“milik” Yogya. Memang “krisis” itu sering segera dapat diatasi karena ada
beberapa sastrawan yang mau berkorban (tenaga, waktu, dan pikiran) untuk
membina calon-calon pengarang. Taruhlah misalnya Umbu Landu Paranggi (dibantu
Ragil Suwarno, Teguh Ranusastra, Soeparno S. Adhy, Iman Budi Santosa, dll.)
yang pada 1970-an suntuk mengurusi PSK (Persada
Studi Klub) dan membimbing para seniman melalui mingguan Pelopor Yogya. Upaya itu pantas diacungi
jempol karena dari PSK kemudian lahir beberapa sastrawan penting seperti Emha
Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, dsb. Upaya itu lalu diteruskan oleh Ragil
Suwarno Pragolapati yang hingga 1980-an sibuk membina calon-calon pengarang
melalui studi-klub Semangat, kelompok
Sindikat Pengarang Yogya, SYS (Sastra-Yoga-Spiritualitas), atau Mitra Lirika. Dari “padepokan” ini lalu
muncullah beberapa pengarang muda berbakat. Hanya sayangnya, setelah Umbu Landu
pulang kampung (Lombok, NTB) dan Ragil Suwarno belum kembali dari “Istana Ratu
Pantai Selatan” (bukit Semar), sampai kini belum ada yang menggantikan posisi
dan kedudukannya.
Kenyataan
inilah yang perlu dipikirkan oleh komunitas sastra di Yogya karena, kalau
tidak, tradisi bersastra yang telah terbangun sejak lama itu pasti akan
mengalami jalan buntu. Memang di Yogya banyak muncul kantung-kantung sastra
seperti yang dibangun para mahasiswa di UGM, IAIN, UNY, UAD, USD, ISI, SARWI,
ASDRAFI, dan UWM. Selain itu, ada instansi pemerintah (Balai Bahasa) yang
setiap tahun (sejak 1994) membina proses kreatif para guru dan siswa SLTA dan
SLTP melalui Bengkel Sastra. Bahkan
akhir-akhir ini juga lahir HISMI, Studi
Pertunjukan Sastra, Koperasi Seniman (Kodya), Kelompok Infus (Kulonprogo), Kelompok
Al-Badar (Bantul), Kelompok IMA-NBA
(Sleman), dan Kelompok Sastra Gunungkidul
(Wonosari) yang secara berkala mengadakan diskusi dan tegur sapa budaya.
Hanya
saja, berbagai grup sastra itu bersifat temporer, lagi pula selalu diliputi
kesulitan dana, sehingga suatu saat pasti mudah macet. Kalau ini yang terjadi,
sistem kepengarangan yang sudah terbangun sejak lama pasti akan segera
berakhir. Namun, semua itu dapat dimengerti karena sistem lain yang
mendukungnya, misalnya sistem penerbit, belum terarah pada upaya membangun
sistem sastra Indonesia di Yogya dengan baik. Hal itu terbukti, sebagian besar
penerbit di Yogya masih terjerat pada upaya meraih keuntungan finansial semata
sehingga sisi lain yang berkait dengan wawasan dan idealisme tersisihkan.
Sebagai
kota budaya, pariwisata, dan pendidikan, Yogya agaknya potensial untuk tumbuh
dan berkembangnya lembaga penerbitan (majalah dan koran). Hal itu dapat
diprediksi dari banyaknya masyarakat yang memiliki kemampuan baca-tulis; dan
semua itu berkait erat dengan peran masa lalu keraton sebagai pusat kekuasaan
dan kebudayaan. Peluang inilah yang ditangkap oleh para pengusaha sehingga
sejak Indonesia merdeka, di Yogya muncul berbagai majalah dan koran.
Pada
masa Orla, misalnya, terbit Minggu Pagi
(1945), Indonesia (1948), Arena dan Patriot,
Seriosa, Sastra, Pesat, Budaya, dan Basis (1950--1960-an). Terbitan ini kebanyakan sudah almarhum; yang
bertahan hingga masa Orba hanya Minggu
Pagi dan Basis. Namun, pada era
Orba kemudian muncul lagi Bernas, Masa Kini (Yogya Post), dan Eksponen (1970-an). Harian Masa Kini (Yogya Post) hidup kembang
kempis, sementara Eksponen kini telah
mati.
Beberapa
lembaga penerbitan itulah yang selama ini mendukung pertumbuhan sastra
Indonesia di Yogya. Hanya saja, lembaga pers itu baru aktif mempublikasikan
sastra sejak 1960-an. Minggu Pagi,
misalnya, selain memuat artikel, juga memuat cerpen, cerbung, dan puisi. Pada
1960-an cerbung Hilanglah Si Anak Hilang
Nasjah Djamin dimuat Minggu Pagi,
selain karya Motinggo Busye, Bastari Asnin, dan Rendra. Sementara Pesat dan Budaya (milik P dan K) juga memuat artikel, puisi, dan drama. Meski
sebagai majalah kebudayaan umum, sejak terbit pertama (1950), Basis juga memberi ruang bagi puisi
karya penyair Yogya. Meski terlambat, KRM
juga memberi ruang khusus bagi cerpen, puisi, dan artikel sastra dan budaya.
Kondisi ini makin semarak ketika Bernas
dan Masa Kini (Yogya Post) juga
berbuat sama.
Nyata
bahwa dinamika perkembangan sastra di Yogya sepenuhnya didukung pers. Sebab,
tak satu pun penerbit buku berminat menerbitkan buku novel, puisi, cerpen, atau
drama. Kalaupun ada, seperti Bentang yang menerbitkan Pasar dan Impian Amerika
(Kuntowijoyo), Golf untuk Rakyat
(Darmanto Jt), Jentera Lepas (Ashadi
Siregar), Orang-Orang Rangkas Bitung
(Rendra), Sesobek Buku Harian Indonesia
dan Syair-Syair Asmaul Husna (Emha A.
Nadjib), Kali Mati (Joni Ariadinata),
atau karya Ahmad Tohari, Mustofa W. Hasyim, dll, atau Pustaka Pelajar yang
menerbitkan cerpen suntingan mahasiswa sastra UGM, itu pun baru terjadi pada
pertengahan tahun 1990-an. Sementara itu, penerbit lain, baik yang berinduk
pada perguruan tinggi seperti Gama Press, UNY Press, atau IAIN Press maupun
yang swasta penuh belum berminat menerbitkan buku sastra.
Kalau
akhir-akhir ini ada penerbit (swasta) berlomba menerbitkan sastra, misalnya
YUI, Adicita, Mitra Gama, Gama Media, Kota Kembang, Sipres, Kalika, dll, itu
semata hanya karena ada support dari Ford Foundation bekerja sama Yayasan
Adikarya IKAPI, atau karena ada proyek penerbitan buku (dengan dana Bank Dunia)
yang dikelola Pusat Perbukuan. Jika suatu saat bantuan itu berakhir, apakah
mereka masih berminat menerbitkan buku sastra? Kalau tidak, jelas bahwa mereka
tidak sungguh-sungguh membangun keberlangsungan hidup sastra di Yogya, tetapi
hanya sekedar “mengambil kesempatan” untuk meraup keuntungan belaka.
Kendati
kiprah penerbit buku memprihatinkan, tidak berarti di Yogya sepi terbitan buku
sastra. Buku-buku yang telah terbit, terutama antologi, hingga kini mencapai
puluhan, bahkan mungkin lebih dari seratus judul. Tetapi, buku-buku itu tidak
diterbitkan penerbit profesional, tetapi oleh kelompok tertentu yang sifatnya
temporer. Kelompok mahasiswa sastra UGM, misalnya, bekerja sama dengan Pustaka
Pelajar menerbitkan Nyidam (1994) dan
Maling (1994); MPI bersama IKIP
Muhammadiyah (UAD) menerbitkan Seninjong
(1986) Andrik Purwasito, Sajak Penari
(1990) Ahmadun Y. Herfanda, Cahaya Maha
Cahaya (1988) Emha Ainun Nadjib, Syair-Syair
Cinta (1989) Suminto A. Sayuti; dan IAIN Suka menerbitkan Sangkakala (1988) dan Kafilah Angin (1990); ditambah terbitan
Sarwi, USD, UNY, dsb. Sementara itu, Taman Budaya (DKY), tiap tahun (sejak
1989), selain menerbitkan antologi cerpen, puisi, dan drama melalui FKY, juga
menerbitkan Aku Angin (1986), Tugu (1986), dan Zamrud Katulistiwa (1997). Sejak 1995, Balai Bahasa menerbitkan
antologi cerpen/ puisi karya peserta bengkel, antara lain Kalicode (1996) dan Noktah
(1998). Pengarang yang sering terlibat dalam bengkel ini Suminto A.S., Sri
Harjanto, Agus Noor, Landung Simatupang, Iman Budi Santosa, dan Joni
Ariadinata.
Hanya
saja, buku-buku tersebut sebagian besar bersifat terbatas sehingga para
sastrawan di Yogya pun tidak sempat baca. Inilah yang menyebabkan karya-karya
itu sering tidak diakui sebagai sastra nasional, tetapi sastra lokal. Karena
itu, tak heran kalau pada awal 1980-an muncul gugatan keberadaan sastra pusat
(Jakarta); seolah yang diakui sebagai sastra Indonesia hanya karya yang
diterbitkan dan dibicarakan di Jakarta. Namun, gugatan itu sebenarnya identik
dengan gugatan terhadap diri sendiri karena belum diakuinya sastra Yogya
sebagai sastra nasional juga karena para pendukung sistem sastra di Yogya belum
berjuang keras untuk mengangkat karya-karya itu ke forum nasional atau internasional.
Karena
itu perlu kini dilakukan rekonstruksi terhadap sistem-sistem makro, terutama
sistem penerbitan, agar keberadaan sastra Indonesia di Yogya memperoleh tempat
sebagaimana mestinya. Karena itu peran besar penerbit (buku) di Yogya sangat dinanti-nanti;
sayang kalau hasil produksi sastra yang melimpah di Yogya akan terkubur
sia-sia; dan sayang pula kalau sastrawan potensial seperti Kuntowijoyo, Umar
Kayam, Bakdi Sumanto, Emha, Darwis Khudori, Indra Tranggono, Joni Ariadinata,
Agus Noor, Abidah El-Khalieqy, Teguh Winarso, Achid BS, dsb harus “melempar”
karyanya ke penerbit di luar Yogya. Hanya saja, yang jadi soal adalah:
beranikah para penerbit Yogya menghadapi tantangan itu? Mampu dan maukah para
penerbit menepis kesan tentang sering terjadinya “penipuan” (soal jumlah oplah
dan fee) terhadap pengarang? Beberapa
pertanyaan ini agaknya perlu diperhatikan oleh penerbit.
Selain
itu, budaya kritik dan sosialisasi sastra juga perlu digalakkan. Kritik
hendaknya tidak hanya mengarah pada budaya kelisanan (seminar, lokakarya, dll),
tetapi juga sampai ke publikasi media massa (lokal dan nasional). Kritikus
hendaknya juga tidak hanya mensosialisasikan karya yang telah memiliki akses
nasional, tetapi juga karya lokal, agar karya-karya produk Yogya tidak
tergeletak merana. Budaya ewuh-pekewuh
(hanya karena mengkritik karya kawan sendiri) yang masih menyelimuti kehidupan
kritik sastra di Yogya pun agaknya perlu pula dieliminir jauh-jauh.
Namun,
disadari bahwa usaha itu tidak mudah. Mengandalkan sistem pengarang, penerbit,
dan kritik tidaklah cukup. Agaknya ada satu hal yang pantas diperhatikan, yaitu
pengayom (maecenas). Sebab, pengayom
ini dari dulu diyakini sebagai “ibu yang siap melindungi, menyusui, dan
berkorban demi kelangsungan hidup anak-anaknya”. Mereka itulah yang selama ini
memungkinkan terjalinnya hubungan erat antara pengarang, karya sastra, dan
masyarakat pembaca. Tanpa pengayom, mustahil karya sastra yang ditulis
pengarang dapat diterbitkan dan kemudian dinikmati oleh pembaca.
Seperti
diketahui pengayom sastra di Yogya cukup banyak, misalnya lembaga penerbitan
dan pers, lembaga pendidikan tinggi, dan instansi atau lembaga-lembaga
kebudayaan lain baik swasta maupun pemerintah. Dari usaha pers, misalnya, PT BP
KR yang menerbitkan KR dan MP telah cukup lama (sejak 1960-an)
memberikan hak hidup bagi sastra Yogya. Hal ini dilakukan pula oleh pers yang
muncul sesudahnya (Bernas, Masa Kini,
Yogya Post, Eksponen, dan Basis). Melalui pembukaan rubrik-rubrik
puisi, cerpen, resensi, dan sejenisnya, lembaga pers ini menunjukkan peran
aktifnya sebagai pengayom.
Kepengayoman
sastra Indonesia-Yogya juga dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi,
setidaknya yang memiliki jurusan sastra. UGM, misalnya, melalui Fakultas Sastra
dengan KMSI dan FPSB telah memberikan andil cukup besar bagi keberlangsungan
hidup sastra di Yogya. Pusat Studi Kebudayaan (sekarang PPKPS) pimpinan Umar
Kayam (lalu Safri Sairin dan kemudian Faruk) juga secara berkala menyediakan
berbagai fasilitas untuk pertemuan dan diskusi sastra. Barangkali ini tidak
lepas dari peran aktif Faruk, Rachmat Djoko Pradopo, Bakdi Soemanto, Kris
Budiman, Aprinus Salam, dll yang hingga kini tetap commited terhadap perkembangan sastra di Yogya. Dari komunitas
kecil ini kemudian terbit beberapa antologi puisi dan cerpen, baik karya para
pengarang Yogya maupun karya para mahasiswa setempat.
IKIP
(sekarang UNY), meski kurang begitu gencar kiprahnya, juga berperan sebagai
pengayom. Melalui FKSS (FPBS, kini FBS), dengan tokoh-tokoh seperti Suminto A.
Sayuti (sekarang Dekan), Ahmadun Y. Herfanda (sekarang wartawan Republika),
Budi Nugroho, dll, telah membentuk kelompok pecinta sastra yang sekali waktu
menyelenggarakan pertemuan dan diskusi sastra. Selain itu, melalui majalah Diksi, UNY juga menyajikan berbagai esai
sastra. Hal yang sama dilakukan IKIP Muhammadiyah (UAD). Melalui FKIP JPBS
dengan MPI (Masyarakat Poetika Indonesia)
dan LP3S (Lembaga Pengkajian, Penelitian,
dan Pengembangan Sastra) juga sering mengadakan pelatihan sastra, pembacaan
dan lomba puisi, penerbitan antologi, penerbitan majalah Citra, Bahastra, Poetika, dsb. Ini semua tidak lepas dari peran
beberapa aktivis seperti Suminto A. Sayuti, Jabrohim, Nursisto, Rina Ratih,
Joni Ariadinata, dan sebagainya.
IKIP
Sanata Darma (sekarang USD) agaknya juga berbuat sama. Melalui majalah Gatra, Fakultas Sastra USD sering
menyajikan puisi, cerpen, dan esai sastra, di samping mengadakan pelatihan dan
diskusi sastra. Orang-orang yang aktif di dalamnya B. Rahmanto, Joko Pinurbo,
Dhorotea Rosa Herliani, Fx. Santosa, dsb. Demikian juga Universitas Taman Siswa
(Sarwi). Meski perannya agak kurang, lembaga ini kadang juga mengadakan seminar
dan diskusi sastra. Selain itu, peran IAIN Suka juga cukup penting. Dari kampus
ini bahkan telah lahir beberapa penyair yang cukup potensial, di antaranya
Faisal Ismail, Mathori A. Elwa, Abidah El-Khalieqy, dll; dan mereka sekarang
telah pula menerbitkan beberapa buku antologi.
Di
samping pers, lembaga pendidikan tinggi, atau lembaga lain seperti LIP (Lembaga
Indonesia Perancis) atau Yayasan Hatta (berkat peran Bang Fauzi saat itu),
kehidupan sastra Indonesia-Yogya juga mendapat pengayoman dari lembaga-lembaga
pemerintah (Taman Budaya, Balai Bahasa, Dinas Kesenian, Balai Kajian Sejarah,
dll). Berbagai lembaga ini umumnya setiap tahun mengalokasikan dana untuk
acara-acara kesenian, misalnya pembacaan, lomba, atau diskusi sastra. Peran
penting Taman Budaya (sekarang terlikuidasi) adalah senantiasa menyediakan
tempat untuk komunitas sastra di Yogya. Balai Bahasa membina Sanggar Sastra Indonesia
dan menerbitkan bulletin Girli
(Pinggir Kali) yang dipandegani Herry Mardianto, di samping membina siswa dan
guru dalam hal proses kreatif melalui Bengkel
Sastra. Sementara itu, Dinas Kesenian dan Balai Kajian Sejarah setiap tahun
juga mengadakan lomba penulisan puisi dan cerpen. Inilah beberapa lembaga
pengayom sastra Indonesia di Yogya. Dan ini tidak terbatas pada lembaga-lembaga
yang berdomisili di Kotamadya, tetapi juga di Sleman, Bantul, Kulonprogo, dan
Gunungkidul.
Hanya
sayangnya, sistem pengayom ini banyak kendalanya. Kendala paling utama adalah
minimnya dana. Karena dana terbatas, kegiatan sastra tidak dapat dilaksanakan
secara berkelanjutan dan semakin meningkat, baik kualitas maupun kuantitasnya.
Selain itu, juga ada kendala mengenai birokrasi. Struktur pemerintahan yang
rumit dan berbelit-belit acap kali memberi kesan menghambat proses kerja
kesenian. Hal ini, misalnya, dapat diamati ketika diselenggarakan FKY setiap
tahun atau ketika digelar Kemah Budaya
2000 di Parangtritis. Menurut berita di media massa, terkesan ada rasa
ketidakharmonisan antara pengayom dan para pelaku kesenian.
Kendati
muncul kendala atau hambatan tertentu, bagaimanapun keberadaan pengayom tetap
penting karena realitas menunjukkan bahwa tanpa “orang tua asuh” itu ternyata
kehidupan seni-sastra, tidak terkecuali sastra Indonesia di Yogya,
terseok-seok, tertatih-tatih. Hal yang agaknya penting untuk dipikirkan
sekarang ialah bagaimanakah caranya agar dunia sastra tidak “terlalu
bergantung” pada pengayom.***
Artikel ini oleh
Minggu Pagi dibagi menjadi dua, yakni
(1) “Perlu Rekonstruksi Sistem Penerbitan”, Minggu Pagi No. 10, Thn. 54,
Minggu II/Juni 2001 dan (2) “Tak Seorang pun Sastrawan Hidup Layak”, Minggu
Pagi No. 12, Thn. 54, Minggu IV/Juni 2001. Setelah itu dimuat dalam buku MEMBACA SASTRA JOGJA
terbitan Balai Bahasa Provinsi DIY, 2012, hlm.94--104.