Sisi Lain Program Wajib Belajar dan GN-OTA
Tuesday, January 10, 2017
Edit
Dalam
artikel berjudul Catatan Pinggir Seputar
Pelaksanaan Gerakan Orangtua Asuh (KR,
3 Juni 1996), Edmundus GMS Sadipung setidak-tidaknya melontarkan tiga
kekhawatiran berikut. Pertama, ia
khawatir bahwa di sisi tertentu Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) bisa
mengendorkan semangat juang anak-anak asuh karena mereka tidak lagi harus
berjuang untuk mendapatkan biaya pendidikannya. Kedua, karena GN-OTA hanya dicanangkan sebagai gerakan pendukung
program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun --yang
berarti hanya sampai tingkat SMTP-- dikhawatirkan bahwa setelah lulus mereka
tidak ada lagi yang bertanggung jawab. Atau, siapakah yang kelak bertanggung
jawab jika anak-anak asuh tersebut masih ingin melanjutkan studinya. Ketiga, dengan dilaksanakannya GN-OTA,
dikhawatirkan gaya hidup kota para orang tua asuh akan mempengaruhi gaya hidup
dan pola tingkah laku anak asuh.
Tentang
kekhawatiran pertama saya kira tidak
perlu terjadi. Mengapa? Karena, bukankah selama ini anak-anak seusia SD dan
SMTP hampir tidak pernah berpikir bagaimana cara mendapatkan biaya pendidikan
bagi dirinya sendiri? Menurut hemat saya, justru dengan bantuan finansial dari
orang tua asuh itulah anak-anak asuh merasa dirinya dipacu untuk belajar lebih
keras. Di sini semangat juang mereka muncul, karena --dengan dukungan moral dari guru dan orang
tua asuh-- mereka merasa dituntut atau merasa “berhutang budi” yang kelak harus
mereka bayar. Kita yakin, dan diha-rapkan menjadi yakin, anak-anak asuh akan
berpikir bahwa kesempatan itu hanya sekali datang. Jika sekali kesempatan itu
tidak diambil, hancurlah masa depan yang mereka cita-citakan sejak awal. Saya
kira itulah yang justru menjadi pemicu tumbuhnya semangat juang bagi mereka.
Khusus
untuk kekhawatiran kedua, agaknya
memang sangat ber-alasan. Secara pribadi saya setuju. Bahkan juga
bertanya-tanya, akan dikemanakan anak-anak asuh tersebut setelah mereka
menyelesaikan pendidikan dasarnya selama 9 tahun. Mengapa, karena, kita tahu
bahwa output program pendidikan dasar
boleh dikatakan belum mencapai tingkat usia produktif. Mereka belum mampu
bekerja, apalagi ‘menciptakan’ pekerjaan. Sebab, umumnya mereka masih remaja
(di bawah 15 tahun) dan masih perlu banyak dibimbing dan dibina terus-menerus.
Karena itulah Edmundus benar, pelaksanaan program Wajar Dikdas 9 Tahun dan
GN-OTA masih perlu diperiksa dan dicermati kembali oleh pihak penyelenggara,
kira-kira mana yang perlu diberi prioritas utama.
Namun,
satu hal yang belum diungkapkan oleh Edmundus --yang mungkin belum disadari
juga oleh banyak orang--, ialah bahwa ‘dwi-program’ ini (Wajar dan GN-OTA)
sesungguhnya merupakan program pemerintah yang berkelanjutanan. Meskipun program
lanjutannya belum jelas, tetapi realitas menunjukkan demikian. Hal itu
terbukti, setelah pemerintah mencanangkan program Wajar Dikdas Enam Tahun pada
1984, kemudian program tersebut ditingkatkan menjadi program Wajar Dikdas
Sembilan Tahun pada 1994. Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa
program ini akan ditingkatkan lagi sampai ke tingkat pendidikan menengah
(Dikmen). Untuk itu kita tidak perlu risau karena kemungkinan akan muncul
program Wajib Belajar Duabelas Tahun.
Hanya
persoalannya, mengapa Lembaga Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (Lembaga GN-OTA)
yang sekarang sudah dirintis mulai dari tingkat nasional sampai ke tingkat
kelurahan itu seolah-olah ‘hanya’ sebagai wadah kepedulian dan partisipasi
masyarakat sebagai orang tua asuh dalam rangka menunjang program Wajar Dikdas
Sembilan Tahun (Republika, 1 Juni
1996). Padahal tidak sedikit jumlah lulusan SMTP yang tidak mampu melanjutkan
studinya ke SMU (SMTA). Berniat sekolah lagi biaya tak ada, dan hendak bekerja
pun mereka belum punya keterampilan apa-apa. Jika kita mau jujur, justru usia
selepas SMP itulah yang akhir-akhir ini disinyalir sebagai subjek aktif
kenakalan remaja, keresahan sosial, dan bahkan men-jurus pada kriminalitas.
Oleh
sebab itu, diharapkan GN-OTA juga membuka peluang bagi anak usia sekolah
menengah untuk memperoleh kesempatan menjadi anak asuh. Dan karena itu pula,
kehadiran program Wajar Dikmen, bukan hanya Wajar Dikdas, dirasakan amat
penting dan semakin mendesak. Saya kira kita tidak perlu menunggu terlalu lama,
atau menunggu tuntasnya Wajar Dikdas Sembilan Tahun terlebih dahulu yang
diperkirakan baru akan beres 30 tahun lagi itu. Akan lebih baik seandainya dua
program wajar itu dilaksanakan secara bersamaan; toh model perealisasiannya
bisa dilakukan secara ber-tahap atau menggunakan sistem skala prioritas.
Bukankah pelaksanaan program Wajar Enam Tahun dan Sembilan Tahun juga demikian?
Kita
sadar bahwa memang program itu merupakan ‘kerja raksasa tapi tak kentara’ yang
mahal harga dan biayanya. Kondisi dan realitas sosial, ekonomi, politik, dan
budaya di negeri ini tampaknya masih menjadi ‘batu sandungan’ yang amat serius
bagi pelaksanaan program Wajar dan OTA.
Di antara ‘batu sandungan’ (kendala) itu ialah: pertama,
masih terdapat 25 juta masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan
--sehingga terpaksa seluruh anggota keluarga bekerja demi menopang
hidupnya--; kedua, kondisi geografis Indonesia yang bisa disebut negara ‘seribu
pulau’ ini masih menyulitkan distribusi pendidikan; ketiga,
sarana dan prasarana pendidikan sendiri belum mampu menampung jumlah usia
sekolah yang ada; dan keempat, masih
sedikitnya tenaga guru yang benar-benar bersedia ‘meng-abdi’ di berbagai daerah
terpencil. Karena itu, tak heran jika pelaksanaan program dan gerakan ini
menjadi amat berat sehingga perlu penanganan serius. Namun, jika kita berharap
agar kesenjangan sosial-ekonomi ma-syarakat tidak terlalu lebar, pastilah kita
berpandangan bahwa ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi
juga tanggung jawab kita bersama.
Baiklah,
kita kembali pada persoalan ketiga
berkenaan dengan ke-khawatiran Edmundus GMS Sadipung. Saya kira kita juga tidak
perlu khawatir akan terjadi penetrasi
pola tingkah laku dan gaya hidup orang tua asuh (yang ‘kota’) terhadap
anak-anak asuh (yang ‘luar kota/desa’). Di satu sisi mungkin bisa terjadi.
Tetapi satu hal yang perlu disadari, bahwa dalam konteks kehidupan sekarang
ini, gaya hidup modern sebenarnya telah merambah secara general; artinya antara ‘kota’ dan ‘luar kota/desa’ hampir tak ada
bedanya. Gaya hidup konsumtif atau pola
tingkah laku aktif, reaktif, agresif, progresif, dan bahkan destruktif,
semuanya telah lahir dalam masyarakat kita, tidak terbatas di kota tetapi juga
di desa. Ini bukan saja akibat merebaknya
liberal culture yang disertai kecanggihan teknologi informasi, tetapi juga
akibat terakumulasinya berbagai tingkah laku yang tercipta berkat urban oriented. Oleh karenanya,
kekhawatiran adanya pene-trasi negatif
tidaklah perlu, sebab hal yang kita khawatirkan itu sesung-guhnya sudah lama
terjadi.
Satu
hal lagi yang perlu diingat ialah bahwa dalam pelaksanaan program OTA --yang
mulai saat ini dikoordinasi oleh Lembaga GN-OTA-- tidak selalu tercipta ‘hubungan dekat’ antara
orang tua asuh dan anak asuh. Sebab, orang tua asuh, baik perorangan ataupun
kelompok, dapat me-nyalurkan bantuannya lewat Lembaga GN-OTA. Dan lembaga
itulah yang pada gilirannya menyalurkan bantuan kepada anak asuh yang telah
terdaftar, mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, dati II, dati I, dan
seterusnya. Jadi, antara orang tua asuh dan anak asuh tidak selalu bisa
berkumpul atau ‘berhubungan dekat’.
Kalau
toh tercipta ‘hubungan dekat’, sebenarnya justru itulah yang diharapkan. Karena
dengan demikian bantuan yang diberikan tidak hanya berupa material, tetapi juga
mental, moral, dan spiritual. Berkat hubungan dekat itu orang tua asuh bisa
memberikan pendidikan dan pengajaran secara langsung. Sebab, biasanya
pendidikan mental itulah yang sering terabaikan oleh orangtua si anak itu
sendiri akibat ketidakmampuannya di bidang ekonomi atau kerendahan pengetahuan.
Selain itu, harus disadari pula, Lembaga GN-OTA dalam tugasnya tidak akan
mengambil alih tugas, peran, dan kewajiban orangtua dalam memberikan pendidikan
kepada anak-anaknya. Jadi, lembaga GN-OTA sifatnya hanya membantu meringankan
beban orang tua, baik material maupun spiritual.
Demikian
sisi lain dari program GN-OTA dan Wajib Belajar yang memerlukan partisipasi
banyak pihak. Bagi yang hendak berpartisipasi dalam program bertujuan mulia ini
bisa menyalurkan bantuannya melalui Lembaga GN-OTA. Bantuan berupa uang dapat
dikirim lewat BRI, atas nama GN-OTA, nomor rekening 31.51.17845. Tugas-tugas
lain GN-OTA antara lain adalah mengirimkan bukti penerimaan uang, mengirimkan
data anak asuh yang dibantu, menyalurkan barang-barang bantuan, dan
me-ngirimkan laporan perkembangan anak asuh. Moga-moga ini bisa membuka ‘pintu
hati’ siapa saja. ***
Dimuat KR, 11 Juni 1996