Sekilas tentang Kritik Cerita Anak dan Remaja
Thursday, January 05, 2017
Edit
Sampai dekade balakangan masih muncul
beberapa sinyalemen yang menyatakan bahwa saat ini terjadi diskriminasi dalam
kritik cerpen Indonesia. Dalam beberapa sinyalemen itu antara lain dikeluhkan
bahwa kritik terhadap cerpen Indonesia masih terbatas pada cerpen-cerpen
dewasa, sedangkan cerpen anak dan remaja diabaikan. Berkenaan dengan realitas
itu kemudian ada seseorang bertanya, bahkan menawarkan, apakah perlu para
penulis cerpen anak dan remaja mengadakan gebrakan politik sastra.
Tulisan ini tidak bermaksud menyanggah sinyalemen tersebut, tetapi hanya sedikit menggarisbawahi dan memperjelas mengapa situasi kritik (pembahasan) cerpen Indonesia saat ini mengalami stagnasi. Kita setuju bahwa di antara ribuan karya cerpen yang lahir hanya ada beberapa kritik cerpen saja. Dapat dibayangkan, dari sekian puluh (ratus) surat kabar yang terbit, hampir dipastikan setiap minggu memuat cerpen, tetapi tidak memuat kritik cerpen. Jumlah itu masih ditambah cerpen yang terbit di majalah-majalah berkala lainnya.
Tulisan ini tidak bermaksud menyanggah sinyalemen tersebut, tetapi hanya sedikit menggarisbawahi dan memperjelas mengapa situasi kritik (pembahasan) cerpen Indonesia saat ini mengalami stagnasi. Kita setuju bahwa di antara ribuan karya cerpen yang lahir hanya ada beberapa kritik cerpen saja. Dapat dibayangkan, dari sekian puluh (ratus) surat kabar yang terbit, hampir dipastikan setiap minggu memuat cerpen, tetapi tidak memuat kritik cerpen. Jumlah itu masih ditambah cerpen yang terbit di majalah-majalah berkala lainnya.
Jika dikalkulasikan, berapa ribu jumlah cerpen yang lahir
dalam seminggu, sebulan, atau setahun? Sementara di tengah membanjirnya
karya-karya cerpen, dalam waktu sekian minggu atau sekian bulan, kita belum tentu
dapat memukan satu atau dua buah karya kritik. Karena itu miskinnya karya
kritik dalam peta kesusastraan Indonesia tidak hanya terbatas pada kritik
cerpen remaja dan anak-anak, tetapi juga pada cerpen-cerpen dewasa yang
tergolong serius.
Kita bisa melihat, berapa jumlah cerpen yang muncul di Kompas, Suara Pembaruan,
Republika, Jawa Pos, Surabaya Post, Pikiran
Rakyat, Media Indonesia, Matra, atau Horison
dalam setahun? Kita juga melihat, berapa gelintir kritik cerpen yang hadir di
majalah dan koran-koran itu? Jelas hal itu sangat tidak seimbang. Padahal, dari
segi kualitas, cerpen-cerpen itu cukup bagus.
Sementara nasib cerpen keluarga di berbagai majalah
wanita juga sama: hadir tanpa kritik. Padahal cerpen-cerpen di Kartini, Femina, Keluarga, atau Sarinah, juga cukup ber-kualitas.
Apalagi cerpen-cerpen hasil sayem-bara yang diselenggarakan rutin setiap tahunnya.
Jika realitas menunjukkan cerpen “sastra” saja kurang
mendapat perhatian serius, tidak heran jika cerpen remaja dan anak-anak juga
tidak memperoleh perhatian semestinya. Namun terhadap realitas itu kita tidak
perlu menuding siapa yang bersalah. Sebab jarang orang (kritikus) mampu dan
bersedia melakukan kritik terhadap apa yang mungkin tidak disenangi atau
dianggap bukan bidangnya.
Sebagai misal, kritikus sastra “serius” tidak
memperhatikan sastra remaja dan anak itu bukan berarti mereka tidak mampu
melakukannya. Tetapi mungkin menganggap hal itu bukan bidangnya, atau mungkin
tidak tertarik karena jenis sastra (remaja/anak) itu dianggap “bukan sastra”.
Mereka mungkin menganggap bahwa yang
“sastra” hanyalah karya yang lahir dari abstraksi kehidupan (istilah
Budi Darma) yang serba serius dan berat. Padahal, betapapun sederhananya,
realitas menunjukkan bahwa yang dicakup oleh sastra anak dan remaja adalah juga
abstraksi kehidupan.
Di sisi lain, jika diharapkan kritik datang dari kalangan
remaja dan anak-anak sendiri, permasalahannya ialah pada umumnya mereka belum
memiliki tradisi kritik dan penulisan yang baik. Tidak terbentuknya tradisi semacam
itu salah satunya disebabkan oleh kurang intensifnya pelajaran mengarang di
sekolah. Kurang intensifnya pelajaran mengarang barangkali juga disebabkan oleh
belum terbentuknya tradisi baca yang baik.
Agaknya saat ini kita tidak hanya butuh Gerakan Disiplin Nasional (GDN), tetapi
juga butuh Gerakan Disiplin Baca Sastra
Nasional (GDBSN). Barangkali ini
yang perlu diperhatikan para pakar pendidikan dan peng-ajaran sastra. Jika
kenyataannya demikian, sulit kiranya mengharap para remaja dan anak-anak mampu
menulis bahasan atau kritik sastra.
Sementara itu,
jika kritik sastra remaja dan anak-anak diharapkan datang dari para penulisnya
sendiri, hal ini juga tidak mudah dilakukan. Sebab umumnya pengarang tidak
bersedia merangkap tugas sekaligus sebagai kritikus. Bila ini terjadi, biasanya
hasilnya akan setengah-setengah, baik karya kreatifnya maupun karya kritiknya.
Bisa dibayangkan betapa sulitnya harus menilai (mengkritik) dirinya sendiri.
Karena itu ia lebih suka meninggalkan
salah satu bidang dan menekuni bidang yang lain.
Beberapa sinyalemen di atas menyadarkan kita betapa
sulitnya meng-harapkan kesuburan kritik sastra remaja dan anak-anak (juga
dewasa). Saya kira ketidaksuburan kritik sastra bukan akibat dari adanya
diskriminasi, bukan juga karena sedikitnya karya yang berkualitas, tetapi lebih
karena sifat khas sastra remaja dan anak-anak itu sendiri.
Kita tahu bahwa sastra, terutama sastra anak-anak,
ditulis untuk dikonsumsi oleh anak-anak. Dengan demikian sejak belum lahir
ia sudah dimuati oleh sifat-sifat
pragmatis. Sangat jarang karya sastra anak-anak yang tidak bertujuan membina
dan mendidik. Ia ditulis memang untuk tujuan praktis agar anak-anak bisa
memiliki kepekaan, kemampuan, dan wawasan yang luas di masa datang.
Karena sifat pragmatis itulah karya sastra anak-anak
seolah hanya berfungsi sebagai alat (sarana) “propaganda”, yaitu propaganda
nilai-nilai positif. Di sini sebenarnya letak kesulitannya jika kita membuat
kritik objektif atas sastra anak-anak. Kecuali, mungkin, hanya dalam hal teknis
pengungkapannya saja.
Namun ada satu hal yang pantas dipahami. Kita tidak perlu
pesimis atas minimnya pembahasan dan kritik cerita anak dan remaja. Sebagai
pecinta sastra kita cukup berbangga dengan semakin lebarnya media massa
menyediakan ruang gerak sastra kita. Justru yang perlu dikhawatirkan ialah jika
sebuah media massa tidak membuka lahan bagi pemuatan cerpen, puisi, cerita
bersambung, dan karya kreatif-imajinatif lainnya.
Kita juga tidak perlu sedih seandainya tidak lahir
pembahasan dan kritik sastra. Bagi pembaca atau penikmat, yang terpenting bukan
hasil bahasan atau kritik, melainkan karya sastra (cerita) itu sendiri. Karena
itu ia pantas diberi hak hidup. Selama ia bertahan hidup, ia akan senantiasa
hidup di hadapan para pembaca dan
penikmatnya.
Dilihat dari sisi tertentu, memang bentuk pembahasan atau
kritik sastra amat diperlukan, tetapi sebatas untuk keperluan yang bersifat
teknis dan ideologis. Sebagai contoh, mahasiswa melakukan pembahasan sastra
untuk persyaratan kelulusan (skripsi, tesis, disertasi). Seorang guru menyusun
bahasan sastra untuk keperluan pengajaran. Dosen dan peneliti melakukan
analisis dan kritik sastra karena terikat oleh kontrak proyek. Pakar-pakar
tertentu membahas sastra untuk kepentingan penulisan sejarah sastra, dan masih
banyak lagi contoh.
Namun, semua itu tidak terlalu berpengaruh bagi
kelangsungan hidup sastra itu sendiri. Karena itu, para pengarang sastra, tidak
terkecuali pengarang sastra remaja dan anak-anak, tidak perlu mempermasalahkan
apakah dirinya akan tercatat dalam sejarah atau tidak.
Jika saat ini muncul tuntutan bahwa karya sastra dan
kritik sastra harus hidup berdampingan, khususnya di seputar sastra remaja dan
anak-anak, sesungguhnya kita juga tidak perlu cemas. Sebab di tengah keringnya
pembahasan dan kritik sastra, masih ada beberapa pihak yang peduli terhadap
perkembangan kritik sastra remaja dan anak-anak.
Untuk menyebut beberapa contoh saja, Dr. Riris Sarumpaet
agaknya pernah menulis buku bahasan sastra jenis tersebut. Demikian juga
beberapa penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan perguruan tinggi.
Malahan Pusat Bahasa saat ini tidak hanya melakukan penelitian terhadap karya
sastra, tetapi juga membuka proyek khusus penulisan cerita anak-anak.
Dan dalam beberapa tahun terakhir ini, Minggu Pagi di Yogyakarta, setiap satu
atau dua bulan menyediakan satu ruang khusus yang berisi kritik cerpen dan
puisi. Yang dikritik adalah puisi dan cerpen-cerpen yang dimuat dalam
bulan-bulan itu, tidak terkecuali puisi dan cerpen remaja dan anak. Selain itu, Korrie Layun Rampan agaknya juga
cukup aktif menangani masalah ini. ***