Sekali lagi, Soal Wajah Sastra Yogya
Tuesday, January 10, 2017
Edit
Debat budaya yang dipicu Zainal Arifin
Thoha (KRM, 2-3-2003) lalu ditanggapi Ulfatin Ch (KRM, 16-3-2003) dan kemudian
ditanggapi lagi oleh Suwardi Endraswara (KRM, 23-3-2003) menarik untuk disimak,
kendati itu sudah usang. Sebab, bicara soal dikotomi senior-yunior sastrawan
Jogja, tak ada habis-habisnya, tak pula ada titik temunya. Tuduhan bahwa
sastrawan nggendero melupakan generasinya, sehingga para yunior merasa
kehilangan arah, proses kreasinya tak mampu meruah, dan sejenisnya, sudah lama
muncul. Sudah lama muncul pula para yunior berkilah untuk tidak perlu berharap
pada para senior, sebab alamlah yang menyeleksinya, dan terbukti banyak sudah
para yunior melampaui pendahulunya. Karenanya, meski itu realita dan bisa
dianggap dinamika, kini tak lagi penting berdebat tentangnya, sebab tak lagi
menarik.
Hanya saja, membaca tulisan Suwardi, saya jadi tertarik.
Pertama, soal keraguannya mengenai ada-tidaknya sastra-Yogya. Kedua, berkait
dengan pernyataan (keyakinannya) tentang lungset-nya wajah sastra-Yogya
semata disebabkan oleh ketidakjelasan si penanggung jawab (dalam hal ini
pemerintah, cq Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dewan Kebudayaan, Balai Bahasa,
Komisi B DPRD, dll yang oleh Suwardi dikatakan sebagai pemegang rebues
sastra). Itu sebabnya, perlu kiranya saya memberi sedikit catatan.
Sulit memang menentukan ada-tidaknya
sastra-Yogya. Perasaan sih, ada, tetapi yang mana? Sulit dijawab (diucapkan).
Sebab, jawaban perlu (menunjuk) bukti. Maka, paling mudah, jawabnya:
sastra-Yogya itu “ada” sekaligus “tidak ada”. “Ada” karena terbukti banyak
puisi, cerpen, dan novel yang ditulis sastrawan Yogya, terbit/beredar di Yogya,
dan dibaca masyarakat Yogya. Tapi, kalau bahasa dijadikan tolok ukur,
tentulah sastra-Yogya “tidak ada”. Yang ada hanya sastra Indonesia (kalau
berbahasa Indonesia) dan sastra Jawa (kalau berbahasa Jawa). Jadi, tepatnya,
yang ada adalah sastra Indonesia (Jawa) di Yogya. Andaikan di dalam karya
sastra Indonesia terlihat ada sisipan bahasa Jawa khas Yogya, atau darinya
muncul nuansa yang memperlihatkan ciri ke-Yogya-an, saya kira semua itu hanya
warna lokal, atau menunjukkan sifat kontekstual. Tentu saja, warna lokal atau
sifat kontekstual tidak akan menggeser kedudukannya sebagai sastra Indonesia.
Tak dipungkiri
memang banyak karya sastra Indonesia ditulis di Yogya, oleh sastrawan yang
(pernah) bermukim di Yogya, banyak pula karya yang berbicara tentang nuansa
sosial-budaya Yogya. Pengakuan Pariyem, misalnya, jelas karya itu
ditulis di Yogya, oleh penyair (Linus Suryadi A.G.) Yogya (lahir/tinggal di
Kadisobo, Sleman), dan walau terbit di Jakarta (Sinar Harapan, 1988), karya itu
mengungkapkan dunia batin wanita Yogya (Wonosari, Gunungkidul) yang jadi babu
di keluarga priyayi Yogya (Ndalem Cokrosentanan).
Ada juga Orang-Orang Kotagede, yang ditulis di Yogya, oleh cerpenis Yogya (Darwis Khudori), terbit di Yogya (Bentang, 2000), mengangkat liku-liku kehidupan masyarakat Yogya (Kotagede), dan saya kira dibaca oleh orang-orang Yogya. Tapi, apakah hanya karena itu lalu Pengakuan Pariyem dan Orang-Orang Kotagede dapat diklaim sebagai sastra-Yogya? Bukankah Yogya hanya sebuah kebetulan, dan kebetulan-kebetulan serupa bisa juga terjadi di kota-kota atau bahkan negara lain di dunia?
Ada juga Orang-Orang Kotagede, yang ditulis di Yogya, oleh cerpenis Yogya (Darwis Khudori), terbit di Yogya (Bentang, 2000), mengangkat liku-liku kehidupan masyarakat Yogya (Kotagede), dan saya kira dibaca oleh orang-orang Yogya. Tapi, apakah hanya karena itu lalu Pengakuan Pariyem dan Orang-Orang Kotagede dapat diklaim sebagai sastra-Yogya? Bukankah Yogya hanya sebuah kebetulan, dan kebetulan-kebetulan serupa bisa juga terjadi di kota-kota atau bahkan negara lain di dunia?
Lalu bagaimana dengan novel Pasar yang
ditulis sastrawan Yogya (Kuntowijoyo), diterbitkan di Yogya (Bentang, 1994),
mengorek kegelisahan seorang mantri pasar di Gemolong, Sragen, Jawa Tengah?
Bagaimana pula Para Priyayi (1992) yang ditulis di Amerika oleh
sastrawan Yogya (Umar Kayam), terbit di Jakarta, dan mengungkapkan perjuangan
seorang pemuda Wanagalih bernama Lantip dalam meraih status sosial priyayi
baru? Bagaimana Burung-Burung Manyar yang ditulis sastrawan Yogya (Y.B.
Mangunwijaya) dan mengungkap liku-liku kehidupan Teto dan Atik di sekitar
perang dan kemanusiaan pada umumnya? Bagaimana pula novel Ombak dan Pasir
atau Di Bawah Kaki Pak Dirman karya Nasjah Djamin, cerpen-cerpen
Mohammad Diponegoro, Bakdi Sumanto, Arwan Tuti Artha, Agus Noor, Indra
Tranggono, atau puisi-puisi Rendra, Darmanto Jatman, Kirdjomulyo, Cak Nun, Ahmadun
YH, Iman Budi Santosa, dan sebagainya?
Saya kira, pertanyaan itu dapat
diperpanjang lagi, dan tentu kita akan kesulitan jika melihat dan menentukan
identitas kesusastraan berdasarkan pertimbangan geografis. Sebab ada banyak
karya sastra yang memang ditulis di Yogya, oleh pengarang Yogya, tapi tidak
terbit di Yogya, tidak pula berbicara tentang Yogya, dan sebaliknya. Karenanya,
bertanya soal rumusan ada tidaknya sastra-Yogya juga jadi tak penting, sebab
jawabnya bisa sangat relatif-tentatif.
Kalau kita tengok buku Begini, Begini, dan Begitu (FKY,
1997), antologi esai sastra-Yogya, saya kira kita juga tak menemukan rumusan
ada-tidaknya sastra-Yogya. Yang jelas ada adalah bahwa di Yogya ada denyut nadi
kesastraan, sistem makro kesenian, dan sastra (Indonesia) berada di dalamnya.
Dan kalau denyut nadi itu kini terserang asam urat, lesu, yang perlu
dirumuskan adalah bagaimana meramu obatnya, mereparasi sistem dan
infrastrukturnya. Nah, ini butuh: tegur sapa kreatif terus-menerus. Siapa?
Tentu saja siapa pun yang merasa berada dan hidup dalam sistem itu.
Berikutnya, Mas Suwardi yakin, soal
buram-ringsek-nya wajah sastra-(kepenyairan)-Yogya, pusaran gelisahnya
terletak pada pemerintah; ini seolah seluruh beban bruk dilimpahkan di
pundaknya. Terus terang, terang terus, ini bukan sebuah pembelaan (apalagi
dengan emosi). Tapi, kalau begitu, rasanya kok kurang pas (bijak?). Memang,
sebagai pengemban, pamomong, dan pengayom, pemerintah (sampeyan
juga masuk di sini, kan?) sering alpa pada tanggung jawabnya; mereka sibuk
menyusun rencana dan program besar atas nama pembangunan, tapi ketika sampai di
lapangan, mereka jadi ribut soal posisi (perut?) (dan keluhan Lephen di KRM ini
juga bisa dimengerti); dan karenanya layak kalau rebues-nya disita.
Tapi, apakah pemegang rebues sastra hanya pemerintah? Saya kira tidak.
Seniman bukan penumpang, pemerintah bukan sopir.
Nah, kalau dunia sastra (-Yogya)
ibarat hutan rimba gelap penuh hewan buruan, saya kira semua pihak punya beban
dan tanggung jawab yang sama dalam berburu. Agar tak ada salah satu, salah dua,
atau bahkan semua tewas diterkam singa, masing-masing perlu membangun kekuatan
bersama. Yang satu tidak jadi beban yang lain, tetapi mandiri dalam
kebersamaan. Wah, kayak bahasa birokrat/pejabat saja, sorry.
Habis, bagaimana lagi?
Jadi, yang penting kini, tidak perlu ada dikotomi:
senior-yunior wajib tetap kreatif-inovatif, tetap menjalin dialog, tidak saling
melempar tanggung jawab, tidak terlalu bergantung pada pamomong atau
pemegang rebues (Dewan Kebudayaan, Dinas Kebudayaan, Balai Bahasa,
Koperasi Seniman, dll, lebih-lebih DPRD). Sebab muara dari seluruh persoalan
ini adalah kita sama-sama berada dalam sistem negara yang pilar-pilar demokrasi
ekonomi, sosial, politik, dan budayanya telah lama dikubur sangat dalam oleh pola
kapitalisme. Konon, seniman/sastrawan adalah pejuang humanisme, juga moral dan
religius. Tapi, anehnya, mereka masih bisa dipaksa untuk setia pada sikap
kapitalistik. ***
Dimuat Kedaulatan Rakyat Minggu, 6 April
2003.