Religiusitas dalam Beberapa Karya Prosa Indonesia
Friday, January 13, 2017
Edit
Kajian tentang
religiusitas dalam kesusastraan Indonesia sebenarnya telah banyak dilakukan
orang, tetapi kajian-kajian itu sering keliru dalam memformulasikan pengertian
religiusitas. Kekeliruan yang paling mendasar ialah bahwa religiusitas sering
dibedakan dari agama sehingga
religiusitas dianggap sebagai representasi sikap orang tidak beragama. Padahal,
apabila dikaji lebih mendalam,
religiusitas sangat koheren dengan agama karena keduanya sama-sama berorientasi
terhadap Yang Tunggal, Yang Di Atas, atau Sang Pencipta (Tuhan). Oleh karena
itu, ketika membahas aspek religiusitas dalam sastra, orang cenderung membatasi
data hanya pada karya-karya yang di dalamnya terdapat ungkapan yang menunjuk agama (tertentu) saja.
Kenyataan
menunjukkan bahwa secara historis kesusastraan Indonesia berkembang dalam beberapa
dekade. Karya-karya yang terbit pada setiap dekade pun terdiri atas beberapa
jenis (genre). Konsekuensinya ialah
sangat tidak mungkin esai pendek ini mampu menyajikan bahasan karya sastra
secara keseluruhan. Oleh sebab itu, agar tidak terjadi kerancuan pemahaman
akibat luasnya data, karya-karya yang dijadikan pendukung bahasan dalam esai
ini dibatasi pada beberapa karya prosa, khususnya cerpen dan novel. Namun,
sebelum bahasan pokok disajikan, terlebih dulu diuraikan selintas tentang
pengertian religiusitas. Hal ini dianggap penting dan perlu dikemukakan
terlebih dahulu dengan pertimbangan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam
memformulasikan pengertian religiusitas.
II
Seperti telah dikatakan, dewasa ini
orang cenderung membedakan ungkapan religiusitas (religiosity) dari agama (religio,
religion) sehingga religiusitas sering dipertentangkan dengan
ketidakberagamaan seseorang. Sesungguhnya pembicaraan mengenai religiusitas
berkaitan dengan adanya kenyataan tentang merosotnya kualitas penghayatan orang
dalam beragama; atau berkaitan dengan hilangnya dimensi kedalaman dan hakikat
dasar yang universal dari religi (Tillich, 1966: 26-29). Jadi, religiusitas
merupakan kritik terhadap kualitas keberagamaan seseorang di samping terhadap
agama sebagai lembaga dan ajaran. Oleh karena itu, religiusitas hanya mungkin
dipertentangkan dengan irreligiusitas, bukan dengan ketidakberagamaan
seseorang. Dikatakan demikian karena religiusitas berkaitan dengan kebebasan
orang untuk menjaga kualitas keberagamaannya dilihat dari dimensinya yang
paling dalam dan personal yang acapkali berada di luar katagori-katagori ajaran
agama.
Sebagai suatu kritik, religiusitas
dimaksudkan sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang yang beragama menjadi
semakin intens. Eliade (Moedjanto dan Sunardi, 1995:208) menyatakan bahwa
semakin orang religius, hidup orang itu semakin menjadi nyata. Dengan kata lain, intensitas keberagamaan seseorang dapat
diukur sejauh mana orang itu menjadi semakin nyata (real) atau merasa semakin ada dengan hidupnya sendiri. Bagi orang
yang beragama, intensitas itu tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya untuk
membuka diri terus-menerus terhadap Pusat Kehidupan, atau menurut istilah
Eliade, untuk mempertahankan diri selalu berada dalam Journey to the Centre. Inilah yang disebut religiusitas sebagai
inti kualitas hidup manusia (Najib, 1992:213) karena ia adalah dimensi yang
berada di dalam lubuk hati, sebagai riak getaran nurani pribadi, dan menapaskan
intimitas jiwa (Mangunwijaya, 1982:11--15).
Jika dilacak dari berbagai
peristiwa sejarah manusia dalam upayanya meraih dimensi terdalam dan paling
eksistensial pada dirinya, religiusitas merupakan sesuatu yang (1) melintasi
agama-agama, (2) melintasi rasionalisasi, (3) menciptakan keterbukaan
antarmanusia, dan (4) tidak identik dengan sikap pasifisme (Moedjanto dan
Sunardi, 1995:209-212). Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa religiusitas
pada dasarnya bersifat mengatasi atau lebih dalam daripada agama yang tampak,
formal, dan resmi karena ia tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak),
tetapi dalam pengalaman dan penghayatan yang mendahului analisis dan
konseptualisasi (Mangunwijaya, 1982:11-12,16). Dengan demikian, religiusitas
tidak langsung berhubungan dengan ketaatan ritual --yang hanya sebagai huruf -- tetapi dengan yang lebih
mendasar dalam diri manusia, yaitu roh;
karena huruf membunuh, sedangkan roh menghidupkan (Mangunwijaya,
1982:15).
Beberapa pernyataan di
atas mengindikasikan bahwa religiusitas sesungguhnya merupakan suatu sikap atau
tindakan manusia yang dilakukan secara terus-menerus dalam upaya mencari
jawaban atas sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan aspek eksistensialnya.
Akan tetapi, jawaban atas sejumlah pertanyaan itu tidak pernah dapat diperoleh
karema ia hanya bagai bayangan yang berkelebat saja di batin manusia. Dengan
demikian, religiusitas lebih menunjuk ke suatu pengalaman, yaitu pengalaman
religius, sehingga yang muncul adalah rasa rindu, rasa ingin bersatu, dan rasa
ingin berada bersama dengan sesuatu yang abstrak (Najib, 1992:213).
Salah satu cara yang dapat
dilakukan manusia untuk meraih pengalaman religius adalah dengan meningkatkan
kepekaannya menangkap simbol atau lambang-lambang yang ada di sekelilingnya.
Dengan menangkap simbol atau lambang-lambang itu manusia akan memperoleh
pengalaman estetik, dan pengalaman estetik itulah yang akan mengarahkan atau
membangkitkan pengalaman religius. Di sinilah letak keeratan hubungan antara
pengalaman estetik dan pengalaman religius. Jika diibaratkan sebagai simpul,
dalam pengalaman estetik simpul baru mulai diurai, sedangkan dalam pengalaman
religius simpul sudah terurai (Hartoko, 1984:51).
Pada dasarnya karya sastra
adalah wujud representasi dunia dalam bentuk lambang (kebahasaan). Oleh karena
itu, sesuai dengan pernyataan di atas, karya sastra merupakan salah satu media
yang dapat menjadi sumber pengalaman estetik yang pada gilirannya akan
menghantarkan seseorang untuk mencapai pengalaman religius. Dikatakan demikian
karena persona atau tokoh-tokoh di dalam karya sastra juga memiliki keinginan
dan kerinduan seperti halnya manusia sehingga mereka juga berusaha mencari
jawaban atas berbagai pertanyaan eksistensial mengenai dirinya. Itulah
sebabnya, langsung atau tidak, karya sastra juga mengandung sesuatu --yang oleh
Darma (2984:79) disebut amanat atau moral-- yang mampu membangkitkan
religiusitas manusia (pembaca).
Bertolak dari pernyataan
di atas, pemahaman terhadap religiusitas dalam sastra menjadi sangat penting,
tidak terkecuali religiusitas dalam kesusastraan Indonesia. Hal itu bukan hanya
karena alasan untuk memperoleh pengetahuan tentang religiusitas dalam sastra
(Indonesia), melainkan juga karena --secara pragmatis sebagai suatu “gerakan
mencari dimensi yang hilang dari religi”-- religiusitas merupakan sesuatu yang
dapat digunakan sebagai sarana pembinaan dan pendewasaan mental manusia yang
saat ini dinilai telah mengalami reduksi akibat merebaknya paham rasionalisme.
Demikian pengertian singkat mengenai religiusitas. Selanjutnya, bahasan lengkap
mengenai religiusitas dalam kesusastraan Indonesia disajikan dalam paparan
berikut.
III
Mangunwijaya (1982:11)
menyatakan bahwa "pada awal mula segala sastra adalah religius".
Pernyataan tersebut tidaklah salah, tetapi jika dinyatakan "sejak awal
mula segala sastra adalah religiusitas" belum tentu benar. Dalam kancah
kesusastraan Indonesia, contoh mengenai hal itu cukup banyak. Dalam karya
(novel) yang terbit pada masa sebelum perang, misalnya, di antaranya Suara Azan dan Lonceng Gereja (1938), Melalui Jalan Raya Dunia (1938), dan Bermandi Cahaya Bulan (1937) karya A
Hasjmy atau Tuan Direktur (1939) dan Merantau ke Deli (1941) karya Hamka,
memang terasa ada nuansa religius, tetapi karya-karya itu tidak mengungkapkan
kadar penghayatan keberagamaan yang intens dan dalam (religiusitas). Dinyatakan
demikian karena di dalam karya-karya itu Islam hanya dipandang dari sisi
luarnya saja, tidak dipahami intinya yang paling dalam, bahkan hanya
dimanipulasi sebagai alat propaganda agama.
Sikap tokoh Amir dalam Suara Azan dan Lonceng Gereja agaknya
dapat dijadikan bukti tentang hilangnya dimensi religiusitas. Dalam novel itu
Amir tidak menghayati bagaimana seharusnya Islam dipraktikkan secara harmonis
dan manusiawi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi Islam justru digunakan
sebagai alat untuk menggoyahkan iman dan keyakinan agama lain (Kristen). Sikap
inilah yang dianggap sebagai "tidak dewasa" karena Islam sendiri
sesungguhnya menentang keras adanya perpecahan. Oleh karena itu, novel
tersebut, juga novel A Hasjmy dan Hamka lainnya, gagal mengungkapkan nuansa
batin yang paling inti dari agama, gagal pula dalam menyampaikan apa yang oleh
Garaudy (Hadi, 1988) disebut sebagai berita
kewahyuan atau semangat kenabian (semangat profetik).
Novel Bergelimang Dosa (1938) karya A. Damhoeri tampaknya merupakan
kekecualian di antara beberapa novel yang terbit pada masa sebelum perang. Meskipun
dalan Bergelimang Dosa tokoh Tengku
Sjamsir digambarkan sebagai tokoh "hitam", kadar penghayatan
keberagamaannya justru lebih dalam daripada tokoh Amir dalam Suara Azan dan Lonceng Gereja. Kedalaman
penghayatan Tengku Sjamsir mencapai puncak ketika tiba-tiba ia mendengaar suara
azan Subuh dan alunan ayat suci Alquran di tengah bergejolaknya hendak
memperkosa Nurhayati. Suara azan dan alunan ayat suci itulah yang menjadi
penggugah kesadaran Tengku Sjamsir sehingga -- meskipun berakhir di dalam penjara
-- ia merasa bahwa di balik kehidupan yang tampak masih ada kekuatan lain
(Tuhan) yang lebih besar sehingga keinginannya untuk bersatu dan berada
bersama-Nya semakin menggelora.
Kenyataan membuktikan pula
bahwa hingga era sesudah perang persoalan religiusitas dalam sastra Indonesia
masih menjadi fenomena yang menarik. Ketika novel Atheis karya Achdiat Kartamihardja terbit (1949), publik sastra
segera menganggap bahwa novel itu mengungkapkan dimensi religius yang mendalam.
Namun, jika dipahami sikap dan kadar penghayatan keberagamaan tokoh-tokohnya
(Hasan, Rusli, Anwar, Kartini), tampak bahwa mereka sesungguhnya hanya
mempertanyakan adat atau agama formal sehingga mereka belum menyentuh dimensi
eksistensial manusia yang lebih substansial.
Hal tersebut berbeda,
misalnya, dengan novel Bukan Pasar Malam
yang terbit pada tahun 1951. Walaupun tidak secara ekplisit mempresentasikan
persoalan agama (religi), novel karya
Pramoedya Ananta Toer itu justru lebih intens mengemukakan kadar religiusitas.
Dikatakan demikian karena --melalui sikap tokohnya, seorang lelaki bekas
pejuang yang mengalami tragika hidup-- novel yang tanpa akhir cerita (open ended) itu mampu menggugah
kesadaran manusia (pembaca) sehingga manusia diharuskan untuk bertanya apa
sesungguhnya makna “kematian dalam kesendirian”. Pertanyaan itulah yang
bertalian erat dengan dimensi terdalam manusia yang selamanya tidak akan pernah
terjawab, kecuali manusia mengakui bahwa semua itu merupakan misteri Tuhan.
Kendati masalah yang
dikemukakan berbeda, cerpen Datangnya dan
Perginya (1956) dan novel Kemarau
(1967) karya A.A. Navis agaknya merupakan karya yang berhasil dalam
menyelesaikan fenomena religiusitas dalam sastra Indonesia. Secara dialektis,
dalam cerpennya A.A. Navis melontarkan sebuah tesis bahwa keharmonisan keluarga
(Masri-Arni, saudara seayah) lebih penting daripada hukum-hukum formal agama;
sedangkan dalam novelnya ia mengajukan antitesis --sekaligus sintesis-- bahwa
bagaimanapun juga hukum agama harus diutamakan. Terhadap hal tersebut, Mangunwijaya
(1982:14) menyatakan bahwa --tanpa
mengabaikan hukum formal agama-- ia lebih mendukung sikap tokoh Ayah dalam Datangnya dan Perginya daripada sikap
ayah (Sultan Duano) dalam Kemarau.
Berbeda dengan sikap
Mangunwijaya, secara pribadi penulis (saya) tidak ragu-ragu mendukung sikap A.
A. Navis, baik dalam cerpen maupun dalam novelnya. Kalau Mangunwijaya
menganggap bahwa sikap ayah dalam cerpen merupakan wujud intesitas penghayatan
(religiusitas) yang otentik; sementara sikap ayah dalam novel merupakan wujud
religiusitas formal agamis; saya pribadi cenderung menyatakan bahwa keduanya
sama-sama merupakan wujud penghayatan keberagamaan secara otentik. Dinyatakan
demikian karena --walaupun pemecah persoalannya berupa hukum agama-- aspek
“kemanusian” digunakan pula oleh pengarang untuk menyelesaikan masalah di akhir
novel sepeti halnya penyelesaian di akhir cerpen. Buktinya ialah bahwa di akhir
novel kedua tokoh (Masri dan Ami) tetap menemukan kebaikan dan kebahagiaan
meskipun mereka harus saling berpisah. Hal itu berarti bahwa tujuan
religiusitas, yaitu "menuntun manusia ke arah segala makna yang baik"
tetap tercapai.
Meskipun tema dan masalah
yang diungkapkan berbeda, hal di atas agaknya sesuai pula dengan sikap yang
dipilih tokoh Mami dalam novel Hilanglah
si Anak Hilang (1963) karya Nasjah Djamin. Dikisahkan bahwa Marni
--meskipun sudah menjadi istri seorang kakek-- berzina dengan si Kuning, bekar
pacarnya, sehingga ia dimarahi dan dianggap telah menodai nama baik keluarga.
Oleh sebab itu, Marni mengambil sikap yang tragis, yakni bunuh diri. Namun,
tindakan bunuh diri Marni tidak datang dari suatu keputusan atau melarikan diri
dari kesulitan, tetapi datang dari perasaan khawatir akan kehilangan
satu-satunya pegangan hidup, yaitu cinta murni si Kuning. Ia merasa lebih baik
mati senyampang cinta masih menyala indah meskipun sadar tindakan itu
menyimpang dari hukum agama. Jadi, kematian Marni adalah kematian yang penuh
kesadaran dan pengahayatan seperti layaknya orang Jepang melakukan harakiri.
Inilah tindakan yang sangat manusiawi, sangat religius, seperti halnya tindakan
tokoh Raumanen dalam novel Ramunanen
(1977) karya Marianne Katoppo.
Ada lagi fenomena menarik
ketika berhadapan dengan karya-karya prosa Kuntowijoyo, terutama novel Khotbah di Atas Bukit (1976) dan
cerpen-cerpennya dalam antologi Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga (1992). Di satu sisi novel Khotbah di Atas Bukit memang terasa sangat religius, tetapi di sisi
lain --karena novel ini lebih surealis-- dimensi religiusitasnya terasa lemah.
Melalui dialog antara Barman tua dan Humam diketahui bahwa novel tersebut
cenderung menampilkan paham eksistensialisme --seperti juga dilakukan Iwan
Simatupang dalam Ziarah (1968), Merahnya Merah (1968), dan Kering (1972)-- yang dikemas dengan
pandangan mistik sehingga sikap yang menunjukkan adanya gambaran kadar
penghayatan keberagamaan yang dalam dan intens terabaikan. Jadi, yang eksplisit
dalam novel itu hanya sebuah pernyataan bahwa "hidup ini memang tak
terpahami."
Persoalan akan menjadi
lain jika kita membaca cerpen Sepotong
Kayu untuk Tuhan dalam antologi Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga. Meskipun terlihat ada unsur agama (formal) dan
mistik, dalam cerpen itu persoalan religiusitas diungkapkan secara lebih
bermakna. Dikisahkan bahwa ada seorang lelaki tua ingin menyumbang kayu untuk
pembangunan surau di desanya. Karena ingin sumbangannya itu dirahasiakan
--dalam hal ini ia yakin bahwa Tuhan pasti tahu dan hanya Dia yang ia
inginkan-- dalam kegelapan malam melalui sungai ia menghanyutkan kayu itu
sampai ke tempat yang paling dekat dengan pembangunan surau. Namun, tanpa
diduga, ketika pagi-pagi ia datang ketempat itu, diketahui bahwa kayu itu
hilang hanyut oleh banjir. Peristiwa hilangnya kayu tersebut sempat mengejutkan
dirinya, tetapi ia merasa bahwa "sesungguhnya tidak ada yang hilang"
karena semua itu dianggap telah sampai ke Tuhan. "Sampai kepadaMukah, Tuhan?" demikian kata
lelaki tua itu di akhir cerita.
Hal lain yang lebih
menarik ialah bahwa di dalam cerpen tersebut tersirat sindiran bagi kaum
agamawan sekaligus kelembagaan formal agama yang kira-kira berbunyi
"sumbangkanlah baktimu tidak usah melalui agama, tetapi langsung saja.”
Sindiran yang sangat menusuk perasaan kaum agamawan itu menyarankan agar kaum
agamawan sadar bahwa sesungguhnya agama (dan lembaganya) hanya merupakan sarana
atau jalan, bukan tujuan terakhir kehidupan manusia. Oleh karena itu,
kelembagaan formal agama hanyalah sia-sia belaka apabila manusia tidak mampu
merepresentasikan sikap dan tindakan religiusitasnya yang paling murni sehingga
menyentuh hakikat dan nurani terdalam manusia.
Demikian gambaran singkat
religiusitas dalam beberapa karya prosa Indonesia. Sebenarnya contoh lain masih
cukup banyak, di antaranya novel Tuyet
(1978) karya Bur Rasuanto, Perjalanan ke
Akherat (1963) karya Djamil Suherman, Hati
Nurani Manusia (1965) karya Idrus, Burung-Burung
Manyar (1981) karya Mangunwijaya, Pergolakan
(1974) karya Wildan Yatim, Telegram (1972) karya Putu Wijaya, atau beberapa
cerpen dalam Gergasi (1993) karya
Danarto, Odah dan Cerita Lainnya (1986)
karya Mohammad Diponegoro, dan Orang-Orang
Bloomington (1980) karya Budi Darma. Akan tetapi, secara umum --walaupun
masalah yang digarap berbeda-beda-- dapat dikatakan bahwa religiusitas dalam
beberapa karya tersebut memiliki kecenderungan yang serupa dengan gambaran
religiusitas yang telah dipaparkan di atas. Oleh karena itu, sebagai data
pendukung, beberapa karya prosa yang dianalisis di atas cukup menjadi bukti
bahwa religiusitas merupakan salah satu dari sekian banyak konsep estetika yang
berkembang dalam sastra Indonesia. Meskipun dalam dekade 1990-an muncul
beberapa karya prosa yang sibuk dengan konsep postmodern, religiusitas masih tetap menjadi konsep estetika yang
menarik sehingga dipertahankan oleh beberapa pengarang dalam proses kreatifnya.
IV
Dari seluruh paparan di
atas akhirnya dapat disimpulkan beberapa hal berikut. Selama ini orang
menganggap bahwa ungkapan religiusitas bertentangan dengan ketidakberagamaan
seseorang. Oleh karena itu, ketika berbicara mengenai religiusitas dalam
sastra, karya-karya yang dibicarakan hanya terbatas pada karya-karya yang
menunjuk agama tertentu. Padahal, sesungguhnya, selain memang berhubungan
dengan agama, religiusitas juga bersentuhan erat dengan sikap yang kadar
penghayatannya terhadap agama lebih dalam sehingga yang muncul ke permukaan
hanya berupa ungkapan yang seolah-olah tidak bersentuhan dengan agama atau
bahkan bertentangan dengan agama. Oleh sebab itu, jika berbicara tentang
religiusitas dalam sastra, karya-karya sastra yang tidak secara eksplisit mengungkapkan
persoalan agama (tertentu) juga perlu dan harus ikut dipertimbangkan.
Hasil pengamatan terhadap beberapa
karya prosa Indonesia membuktikan bahwa religiusitas telah menjadi fenomena
menarik yang sejak periode sebelum perang diangkat oleh para pengarang sebagai
tema besar dalam karya-karyanya. Hanya saja, karena orang sering salah paham
dalam menafsirkan pengertian religiusitas, tema besar tersebut kemudian
diabaikan sehingga mereka lebih tertarik pada persoalan-persoalan lain seperti
sosiologi, psikologi, moral, politik, dan sebagainya. Akibatnya, dalam kancah
penelitian kesusastraan Indonesia, topik menarik mengenai religiusitas ini
belum mampu menumbuhkan minat yang besar bagi para pengamat dan peneliti sastra
di Indonesia. *** (Rina Ratih Sri Sudaryani).
Pemenang Pertama Lomba Penulisan Esai
Bahasa dan Sastra yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Jakarta 1998.