Refleksi Sumpah Pemuda 28 Oktober: Tantangan Bahasa Indonesia ke Depan
Tuesday, January 10, 2017
Edit
Kini usia Bahasa
Indonesia telah mencapai 82 tahun (1928--2010). Ibarat manusia ia telah tua dan
matang. Tetapi, sudahkah Bahasa Indonesia meresap ke dalam “darah daging” dan
menjadi kebanggaan sekaligus kebutuhan penting bagi bangsa Indonesia? Pertanyaan
ini pantas diajukan karena muncul gejala bahwa di era global ini masyarakat kita
mulai dihinggapi wabah bahasa asing sehingga melemahkan sikap positif masyarakat
terhadap bahasa Indonesia. Apakah gejala ini muncul hanya karena persoalan
prestis ataukah memang bahasa Indonesia tidak lagi mampu memenuhi fungsinya
bagi bangsa ini?
Inilah tantangan bahasa Indonesia ke depan. Sebenarnya generasi muda 1928 sebagai penggagas berdirinya republik ini telah pas menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (bahasa nasional); bahasa yang mempersatukan berbagai-bagai suku dan bahasa di negeri ini. Setelah NKRI terwujud pun, pemerintah juga telah pas dan tepat menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Tetapi, belakangan tampak bahwa sebagian dari kita mengalami krisis bahasa. Karena bahasa adalah identitas, krisis bahasa itu berarti pula krisis identitas (jatidiri).
Inilah tantangan bahasa Indonesia ke depan. Sebenarnya generasi muda 1928 sebagai penggagas berdirinya republik ini telah pas menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (bahasa nasional); bahasa yang mempersatukan berbagai-bagai suku dan bahasa di negeri ini. Setelah NKRI terwujud pun, pemerintah juga telah pas dan tepat menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Tetapi, belakangan tampak bahwa sebagian dari kita mengalami krisis bahasa. Karena bahasa adalah identitas, krisis bahasa itu berarti pula krisis identitas (jatidiri).
Hal tersebut
terjadi karena kita takut pada bayang-bayang atau berhala globalisasi. Di dalam
masyarakat kita masih muncul anggapan bahwa satu-satunya jalan untuk selamat
dari lindasan globalisasi adalah penguasaan bahasa asing, terutama Inggris. Dan
kita juga merasa bahwa bahasa asing memiliki daya jual dan daya pengangkat
derajat atau wibawa sosial dan ekonomi. Dan karenanya, banyak merek dagang,
spanduk, nama perusahaan, hotel, restoran, bank, atau iklan layanan umum di
ruang-ruang publik secara dominan menggunakan bahasa asing (Inggris). Beberapa
sekolah di berbagai kota di Indonesia kini juga menyatakan diri sebagai sekolah
bertaraf internasional dengan bahasa pengantar bahasa Inggris.
Belakangan
sebagian dari kita juga mengalami krisis identitas suku bangsa. Sejumlah bahasa
daerah telah dan akan punah. Kepunahan itu terutama disebabkan oleh penuturnya
tidak mau lagi menggunakan bahasa itu. Sebab, mereka (kita) menganggap bahwa
bahasa daerah telah ketinggalan zaman dan tidak bermanfaat bagi kemajuan ilmu
pengetahuan. Padahal, jika bahasa daerah itu punah, berarti ideologi, budaya, dan
situasi atau kebijakan terhadap alam dan sosial dalam bahasa yang telah
dibangun melalui evolusi bertahun-tahun itu pun akan punah.
Penggunaan
bahasa asing yang tidak proporsional, musnahnya bahasa daerah, dan begitu
mudahnya aset budaya kita diambil orang (bangsa) lain merupakan bukti bahwa
bangsa ini sedang mengalami krisis jatidiri baik sebagai bangsa maupun suku
bangsa. Hal ini terjadi selain akibat dari kualitas hidup yang rendah, juga
akibat dari ketidaktahuan kita terhadap peran bahasa dalam kehidupan. Maka,
salah satu upaya yang tepat untuk mengatasi krisis jatidiri adalah melalui
pendidikan yang berkualitas. Siswa dan mahasiswa harus dibekali dengan
pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia secara berkualitas. Siswa,
guru, dosen, pejabat, wartawan, politisi, ilmuwan, para pemikir, tokoh
masyarakat, dan kaum intelektual lainnya sebaiknya paham tentang kebijakan
(politik) kebahasaan yang digariskan pemerintah.
Suatu
bangsa akan maju jika mampu merealisasikan jatidirinya, mampu mendayagunakan
karakter atau hikmah budayanya, dan semua itu dilakukan dengan cara menyatu
dengan bahasanya. Bangsa yang cemerlang dan mau berpikir tentang bahasanya
merupakan sumber daya untuk mengembangkan kreasi dan inovasi. Bukti menunjukkan
bahwa bangsa yang berjaya adalah bangsa yang telah berhasil mengembangkan nilai
dan hikmah budaya dalam bahasanya. Hampir tidak ada bangsa yang jaya karena
meminjam atau meniru bahasa bangsa lain. Jepang, Korea, dan China telah
terbukti mampu memberdayakan budaya mereka dengan menggunakan bahasa mereka,
bukan menggunakan bahasa lain (Inggris), untuk meraih kejayaan.
Ada tiga
bahasa yang berperan dalam membentuk jatidiri bangsa Indonesia, yaitu bahasa
daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Bahasa daerah dan bahasa Indonesia
paling dekat dengan bangsa Indonesia sehingga keduanya paling berperan dalam
membentuk jatidiri seseorang sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Bahasa asing
diharapkan berfungsi mengembangkan jatidiri bangsa yang sudah kukuh dibentuk
oleh bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Namun, fakta menunjukkan bahwa bangsa
kita mulai memberi keutamaan pada bahasa asing, terutama Inggris. Sikap
pemberian keutamaan pada bahasa asing ini tentu akan mereduksi jatidiri bangsa
sehingga sikap demikian harus diubah. Caranya ialah dengan menempatkan sikap
mengutamakan bahasa Indonesia tanpa meninggalkan bahasa daerah dan bahasa asing
secara proporsional. Sebab, hanya dengan
sikap proporsional itu keseimbangan sosial baik dalam konteks lokal, nasional,
maupun global akan dapat dicapai.
Cita-cita
itu diharapkan akan segera terwujud seiring dengan hadirnya UU No. 24 Tahun
2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Di
dalam UU itu bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing diatur
sedemikian rupa; dan bahasa Indonesia ditempatkan sebagai bahasa yang paling
utama untuk digunakan. UU No. 24 Tahun 2009 itu juga telah disusul oleh Perpres
No. 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi
Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara lainnya. Dalam
Prepres ini diatur tentang kewajiban berbahasa Indonesia jika pejabat negara
berpidato baik di dalam maupun di luar negeri. Selain itu, tidak lama lagi juga
akan lahir Perpres baru tentang Penggunaan Bahasa. Perpres itu antara
lain mengatur pengutamaan penggunaan bahasa Indonesia, pengawasan, dan
sanksi-sanksinya.
Harapan
kita, dengan menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang utama, jatidiri
dan karakter bangsa kita semakin kukuh sehingga kita mampu memberdayakan
berbagai aspek sosial, ekonomi, ideologi, dan budaya untuk meraih kejayaan.
Untuk itu, saat ini kita mesti lebih bersikap positif terhadap bahasa
Indonesia. Bukankah kita telah bersumpah (butir ke-3 Sumpah Pemuda): “kami,
putra (dan) putri Indonesia, (akan) menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia?” ***