Realitas Orba dalam Beberapa Prosa Mutakhir Kita
Wednesday, January 04, 2017
Edit
Dalam sebuah diskusi di Jakarta
beberapa waktu silam, pakar politik Andi Mallarangeng berujar “di tengah
hiruk-pikuk perubahan besar bangsa ini, para seniman belum mampu melahirkan
karya-karya monumental; padahal bahan-bahannya (sikap/perilaku politik, kekuasaan,
hukum, dsb) telah tersedia.” Hal itu, katanya, disebabkan oleh banyaknya
seniman yang terlibat langsung dalam arus perubahan besar itu (misalnya
mengurus partai) sehingga lalai merenung tentang apa yang terjadi. Maka,
karya-karya ciptakannya cenderung bersifat pamflet.
Di satu sisi ujar Andi itu benar
kalau “karya monumental” yang dimaksud adalah semacam karya Pramoedya yang
“disia-siakan” tetapi justru mendapat Magsaysay dari negara lain itu.
Sebab, dalam beberapa dekade terakhir memang tidak lahir karya sekaliber karya
sastrawan proletar itu. Maka, sinyalemen Fuad Hassan benar bahwa sejak generasi
Horison karya sastra Indonesia “berwarna ungu” (hanya berbicara perasaan
personal seseorang). Padahal, pada pergantian rezim Sukarno ke Suharto telah terjadi
kegoncangan sosial-politik yang dahsyat: terbunuhnya ratusan bahkan ribuan jiwa
yang dianggap terseret ke “aliran kiri” itu.
Tetapi di sisi lain ujar
Andi itu berlebihan. Sebab, dalam khasanah prosa mutakhir kita banyak ditemukan
karya yang berbicara soal problem sosial-politik dan atau kekuasaan. Sastrawan
tahun 90-an agaknya tak segan-segan lagi menohok perilaku sosial-politik Orba.
Dan sejak reformasi kecenderungan ini kian menemukan jati diri sehingga seolah
kebebasan kreatif dan demokratisasi sastra telah benar-benar terjadi.
Buku Saksi Mata
(1994) karya Seno Gumira Adjidarma agaknya telah menjadi “saksi” bagaimana
sastrawan kita berani menelanjangi kebobrokan moral politik negeri ini. Lewat
karyanya Seno jujur menunjukkan apa itu arti “kebenaran” karena di bawah wajah
kelam Orba “kebenaran” sering ditafsir secara sepihak (penguasa) sehingga
laporan jurnalisme tak mampu berkutik. Bahkan ia mengalami nasib tragis, yakni
dipecat dari jabatan redaktur majalah Jakarta-Jakarta. Maka, ia memilih
merefleksikan peristiwa getir rakyat Timtim ke dalam karya fiksi. Terhadap hal
ini Seno punya prinsip satirik bahwa ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus
bicara. Sebab, katanya, lewat sastra kita bisa mengatakan kebenaran sejati;
tidak seperti kebenaran jurnalisme yang setiap saat mudah dimanipulasi.
Itulah contoh betapa
wacana sastra kita yang tidak hanya dipenuhi karya “berwarna ungu”, tetapi juga
“berwarna kelam”. Dan kecenderungan itu kini tak henti-hentinya mengalir dari
tangan para kreator kita. Periksalah, cerpen-cerpen Pilihan Kompas sejak Kado
Istimewa (1992) hingga Jejak Tanah (2002), juga cerpen-cerpen di Horison,
Republika, Suara Merdeka, Jawa Pos, dll. Dalam karya-karya itu terlihat
jelas ada semacam “kemarahan” pengarang melihat sejarah hitam kekuasaan Orba.
Peristiwa pembantaian di
Aceh, misalnya, dipotret secara ironik oleh Motinggo Busye dalam cerpen “Dua
Tengkorak Kepala” (1999) dan Seno dalam cerpen “Telepon Dari Aceh”
(1999). Di situ terlihat betapa DOM ciptaan Orba telah membuat rakyat Aceh “mendesah”,
padahal kontribusi Aceh bagi Indonesia nyaris tak terbilang besarnya. Dan
realitas itu terjadi karena, seperti dilukiskan Abel Tasman dalam cerpen “Pipa
Darah” (2001), selama ini minyak hasil “negeri serambi Mekah” itu justru
berubah menjadi “anggur minuman pejabat” di kota metropolitan (Jakarta).
Sementara rakyat Aceh sendiri “kelaparan di negeri yang kaya”. Peristiwa
penggusuran tanah rakyat atas nama pembangunan juga tak luput dari perhatian.
Cerpen “Jejak Tanah” (2001) karangan Danarto secara simbolik-surealistik
menggambarkan betapa rakus penguasa Orba, sementara rakyat dibiarkan merana.
Hal serupa dipotret Indra Tranggono dalam cerpen “Monumen Tanpa Kepala”
(1997) dan “Percakapan Patung-Patung” (2002).
Perubahan besar dari Orba
ke Reformasi juga menjadi peristiwa dramatik di mata pengarang kita.
Prasetyohadi dalam cerpen “Penjaja Air Mata” (1998) melukiskan betapa
korban gerakan reformasi justru berjatuhan di pihak yang selama ini tersingkir,
sementara elite-elite kekuasaan masih saja kuat mencengkeramkan kukunya. Kalau
begitu betapa telah mengakar “penyakit” sosial-politik di Indonesia; dan itu
tak hanya terjadi di lapisan atas tetapi juga mewabah sampai ke elit-elit
birokrasi terbawah. Ini pula yang diungkap Gus tf Sakai dalam cerpen metaforik
“Ulat dalam Sepatu” (1998).
Kuntowijoyo dalam novel Mantra
Pejinak Ular (2000) tampak lebih utuh memotret sejarah kelam Orba. Karya
jenis inilah yang barangkali diharapkan Andi Mallarangeng sebagai “karya
monumental”. Meski latar cerita hanya terjadi di sebuah kota kecamatan di kaki
Gunung Lawu, tetapi lewat tokoh Abu Kasan Sapari, Kuntowijoyo berhasil mengupas
habis kecarut-marutan sistem sosial-politik Indonesia di bawah rezim “Pohon
Beringin” itu. Lewat novel ini Kuntowijoyo seolah sedang menyusun risalah
sejarah yang di dalamnya tergambar betapa bejat “mesin-mesin politik” melumat
segala aspek kehidupan.
Dalam novel itu Abu
bukanlah tokoh politik, tetapi hanya seorang dalang. Ia tidak memihak kelompok
mana pun, kecuali pada kebenaran. Karena kebenaran lebih efektif
disosialisasikan lewat kesenian, ia pun setia pada profesinya sebagai dalang.
Maka ia menolak ketika ditawari “mesin politik” untuk menjadi caleg jadi
(Pemilu 1997) walau ia harus menanggung resiko yakni ditahan polisi.
Satu-satunya keinginan Abu ialah: janganlah kekuasaan mengganggu kesenian,
sebab kesenian berbeda dengan kekuasaan. “Kesenian membujuk, kekuasaan memaksa;
kesenian berbicara dengan lambang, kekuasaan thok-leh,” begitu katanya.
Meski begitu, seiring
dengan perubahan yang terjadi (tumbangnya orde yang kemaruk itu), dalam novel
ini Abu tampil sebagai “pejuang demokrasi”. Andai rezim Orba masih berkuasa
sampai kini, niscaya novel yang menyajikan realitas sejarah kelicikan Orba yang
dibaurkan dengan mitos Jawa ini tak bakal lahir. Atau, kalaupun lahir, belum
tentu Kuntowijoyo mau menerbitkannya, lebih-lebih lewat koran Kompas
yang memiliki jangkauan amat luas itu.
Tetapi kini novel itu
telah hadir. Itu menjadi bukti di dalam sastra kita tidak hanya mengalir
karya-karya “berwarna ungu”, tetapi juga karya yang mampu menjadi saksi sejarah
perjalanan bangsa. Hanya sayangnya, upaya Kuntowijoyo itu belum merangsang
pengarang lain untuk menciptakan karya sejenis. Padahal, karya jenis ini tidak
hanya mampu menumbuhkan kesadaran personal seseorang, tapi juga membangun
kesadaran sosial dan kesadaran berbangsa. Walaupun, terkadang aspek estetik tak
tergarap dengan baik akibat lebih mementingkan aspek ekstra-estetik seperti
pesan-pesan ideologis.***
Kedaulatan Rakyat, 29 Februari 2004