Proses Kreatif Penulisan Esai
Saturday, January 14, 2017
Edit
Esai bukanlah merupakan
karangan ilmiah, bukan pula karangan sastra. Pada karangan ilmiah, subjek cende-rung
(bahkan harus) diabaikan dan objek diutamakan. Sebaliknya, pada karangan
sastra, objek cenderung diabai-kan dan subjek diutamakan. Sementara itu, pada
karangan esai, subjek dan objek sama-sama hadir menjadi hal penting dan tidak
boleh diabaikan.
Karangan ilmiah (makalah,
skripsi, tesis, disertasi) ditulis berdasarkan kaidah penulisan ilmiah,
demikian juga karangan sastra ditulis berdasarkan kaidah penulisan sastra
(novel, cerpen, puisi, drama). Sementara itu, karangan esai justru ditulis
tanpa kaidah apa-apa. Esai dapat ditulis dengan mengabaikan kaidah atau aturan
penulisan yang baku. Itu berarti esai ya dan tidak objektif dan subjektif.
Kalau karangan ilmiah bersifat positivistik, karangan sastra bersi-fat
idealistik, sedangkan karangan esai bersifat fenomeno-logik.
Dalam penulisan esai,
penalaran yang digunakan adalah penalaran lateral, sebuah penalaran yang merupakan
alternatif bagi penalaran vertikal yang logis. Dengan penalaran lateral,
seseorang (penulis) dapat bermain-main dengan gagasan, objek, data, eksperimen,
dan sebagainya. Penalaran lateral justru akrab dengan logika anekdot dan
membuka ruang yang cukup lebar bagi paradoks yang umumnya dihindari dalam
karangan ilmiah yang bertumpu pada penalaran vertikal.
Setiap esai pada
hakikatnya berisi upaya untuk memberi peyakinan tentang sesuatu. Oleh karena
itu, jenis karangan yang digunakan dalam esai adalah argumentatif-persuasif.
Jenis karangan ini memang yang paling fleksibel dan dapat memanfaatkan jenis
karangan lain untuk kepentingannya membuat peyakinan.
Kenyataan menunjukkan, ada
esai yang tampak formal, ada pula yang tampak tidak formal. Semua itu dise-babkan
oleh kepribadian dan subjektivitas penulisnya.
Kalau seorang penulis yang dalam hidup sehari-harinya bersifat formal
dan melihat segala sesuatu dari seginya yang formal, ketika menulis esai
tentang sesuatu yang mestinya santai pun cenderung bersikap formal. Sebaliknya,
seorang yang santai dan kocak, dalam menuliskan persoalan serius pun akan
cenderung santai dan kocak. Contoh paling tepat untuk hal ini adalah Umar
Kayam.
***
Pada prinsipnya, esai
tidak berbeda dengan artikel, bahkan tidak berbeda pula dengan feature. Selama
ini para ahli gagal memberikan batasan yang pasti tentang masing-masing jenis
karangan itu. Beberapa jenis karangan itu sering hanya disebut sebagai tulisan
lengkap dalam surat kabar atau majalah. Oleh karena itu, sebagai (calon)
penulis, kita tidak perlu memperdebatkan masalah itu.
Hanya saja, kalau
dicermati, dalam sebuah tulisan (esai, artikel, feature) memang ada
elemen-elemen tertentu yang ditonjolkan yang sekaligus mengacu pada jenis ter-tentu.
Sebagai misal, esai/artikel tentang tokoh-tokoh sukses disebut sketsa tokoh;
esai/artikel yang ditulis dalam bentuk tanya-jawab disebut wawancara;
esai/artikel yang diawali dengan paparan sebuah kisah disebut naratif;
esai/artikel yang berisi upaya membongkar suatu peristiwa disebut penyingkapan;
esai/artikel yang berisi kisah nyata (true story) disebut pengakuan;
esai/artikel yang merupakan ekspresi personal disebut kolom;
esai/artikel yang berisi kritik disebut ulasan; dll.
***
Bagaimana cara yang dapat
dilakukan untuk meng-hasilkan tulisan/ karangan (esai, artikel, dll)? Dua hal
ini tidak boleh diabaikan, yakni “banyak membaca” dan “tekun berlatih”. Membaca
dalam hal ini tidak hanya membaca tulisan (majalah, koran, buku, dll), tetapi
juga “membaca kehidupan”. Artinya, kita senantiasa “membaca” apa yang dapat
kita lihat, dengar, raba, dan sebagainya di sekitar kita. Dengan cara ini kita
tentu akan tahu banyak hal, akan peka terhadap berbagai peristiwa, akan dapat
memahami berbagai kejadian, akan dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain,
dan sebagainya.
Karena ruang memori di
otak/kepala kita terbatas, terbatas pula ingatan kita. Oleh karena itu, agar
memori terpancing keluar, diperlukanlah alat bantu. Alat bantu paling sederhana
dan baik adalah catatan. Oleh sebab itu, (calon) penulis yang baik selalu
memiliki catatan (tentang sesuatu yang dianggap penting dan menarik). Dan tentu
saja catatan ini tidak boleh hilang, tetapi harus disimpan/dirawat dengan baik.
Mungkin dalam jangka waktu tertentu (bulan, tahun) kita mencatat beberapa
peristiwa yang sama, atau minimal berkaitan, sehingga kita dapat
mengait-kaitkan peristiwa itu dan siap pula menyusun tulisan.
Kalau kita telah dapat
memilih dan mengaitkan peristiwa-peristiwa itu, dan dengan demikian berarti
kita telah mempunyai ide (gagasan) yang akan kita sampaikan kepada orang lain,
langkah berikutnya adalah menentukan tujuan (untuk apa, siapa) dan memilih
jenis bentuk karangan apa (artikel, esai, feature, dll, atau bahkan cerpen atau
puisi). Kalau kita ingin menulis bentuk artikel (opini) dan ingin artikel itu
dimuat di KR, misalnya, hal yang tidak boleh dilupakan adalah pelajari dan
bacalah artikel-artikel (opini) yang telah dimuat di KR. Dari situ kita dapat
belajar dan memahami bagaimana corak, gaya, panjang-pendek artikel-artikel
tersebut sehingga artikel yang kita tulis berpeluang untuk dimuat di KR. Hal
ini juga sekaligus berarti kita memahami bagaimana selera redaksi. Mengapa hal
ini harus dilakukan? Sebab, selera setiap media massa berbeda-beda.
Hanya saja, yang sering
menjadi kendala adalah ketika kita sudah duduk di depan mesin ketik atau
komputer. Ide di kepala sudah mendesak-desak minta ditulis, tetapi lead
pada paragraf pertama terus-menerus gagal ditulis. Karena itu, buatlah kerangka
(outline). Tentang judul, boleh ditulis di awal atau di akhir; namun
yang paling baik adalah ditulis di awal baru kemudian direvisi di akhir. Sebab,
judul akan mengendalikan arah dan fokus. Tetapi, terkadang, ketika sedang
menulis, ide-ide pelengkap muncul menda-dak, sehingga judul seringkali harus
diubah atau diganti.
Setelah menentukan judul
(sementara), kerangka yang kita susun mula-mula berupa gagasan-gagasan besar
yang mendukung judul. Gagasan-gagasan itu kita tuangkan dalam bentuk
kalimat-kalimat. Jika perlu kalimat-kalimat yang berisi gagasan-gagasan besar
itu kita pecah lagi menjadi beberapa gagasan yang lebih kecil, dan seterusnya,
sampai kita merasa sudah cukup lengkap dan kuat untuk menyampaikan/mendukung ide
tulisan. Bagi penulis yang sudah jadi, kerangka tetap penting artinya, walaupun
seringkali mereka tidak menuangkannya dalam bentuk kalimat-kalimat, tetapi
tertata dalam pikiran.
Hal terakhir yang tidak
boleh dilupakan adalah, setelah jadi, tulisan jangan langsung dikirim ke media
sesuai keinginan kita, tetapi bacalah dulu atau bahkan simpan dulu (masa
inkubasi) baru dibaca lagi besok atau lusa. Pada saat membaca tulisan itu,
janganlah kita merasa bertindak sebagai penulis, tetapi sebagai pembaca (tulisan
orang lain). Baca dan kritiklah tulisan itu. Dengan cara begitu kita akan dapat
melihat celah-celah di mana kekurangan dan kele-mahannya. Lalu, edit-lah,
revisi-lah, dan kalau perlu tulis ulang. Dan akan lebih baik kalau tulisan
hasil revisian itu disodorkan kepada orang lain untuk dibaca dan dikritik.
Nah, selamat berkarya
(menulis artikel, esai, feature, kolom, berita, advertorial, dan atau apa
saja). Jangan bosan. Pembosan sangat dibenci Tuhan.
Catatan: tulisan ini disarikan dari berbagai sumber.