-->

Proses Kreatif Penulisan Esai

Esai bukanlah merupakan karangan ilmiah, bukan pula karangan sastra. Pada karangan ilmiah, subjek cende-rung (bahkan harus) diabaikan dan objek diutamakan. Sebaliknya, pada karangan sastra, objek cenderung diabai-kan dan subjek diutamakan. Sementara itu, pada karangan esai, subjek dan objek sama-sama hadir menjadi hal penting dan tidak boleh diabaikan.
            Karangan ilmiah (makalah, skripsi, tesis, disertasi) ditulis berdasarkan kaidah penulisan ilmiah, demikian juga karangan sastra ditulis berdasarkan kaidah penulisan sastra (novel, cerpen, puisi, drama). Sementara itu, karangan esai justru ditulis tanpa kaidah apa-apa. Esai dapat ditulis dengan mengabaikan kaidah atau aturan penulisan yang baku. Itu berarti esai ya dan tidak objektif dan subjektif. Kalau karangan ilmiah bersifat positivistik, karangan sastra bersi-fat idealistik, sedangkan karangan esai bersifat fenomeno-logik.
            Dalam penulisan esai, penalaran yang digunakan adalah penalaran lateral, sebuah penalaran yang merupakan alternatif bagi penalaran vertikal yang logis. Dengan penalaran lateral, seseorang (penulis) dapat bermain-main dengan gagasan, objek, data, eksperimen, dan sebagainya. Penalaran lateral justru akrab dengan logika anekdot dan membuka ruang yang cukup lebar bagi paradoks yang umumnya dihindari dalam karangan ilmiah yang bertumpu pada penalaran vertikal.
            Setiap esai pada hakikatnya berisi upaya untuk memberi peyakinan tentang sesuatu. Oleh karena itu, jenis karangan yang digunakan dalam esai adalah argumentatif-persuasif. Jenis karangan ini memang yang paling fleksibel dan dapat memanfaatkan jenis karangan lain untuk kepentingannya membuat peyakinan.
            Kenyataan menunjukkan, ada esai yang tampak formal, ada pula yang tampak tidak formal. Semua itu dise-babkan oleh kepribadian dan subjektivitas penulisnya.  Kalau seorang penulis yang dalam hidup sehari-harinya bersifat formal dan melihat segala sesuatu dari seginya yang formal, ketika menulis esai tentang sesuatu yang mestinya santai pun cenderung bersikap formal. Sebaliknya, seorang yang santai dan kocak, dalam menuliskan persoalan serius pun akan cenderung santai dan kocak. Contoh paling tepat untuk hal ini adalah Umar Kayam.

***

            Pada prinsipnya, esai tidak berbeda dengan artikel, bahkan tidak berbeda pula dengan feature. Selama ini para ahli gagal memberikan batasan yang pasti tentang masing-masing jenis karangan itu. Beberapa jenis karangan itu sering hanya disebut sebagai tulisan lengkap dalam surat kabar atau majalah. Oleh karena itu, sebagai (calon) penulis, kita tidak perlu memperdebatkan masalah itu.
            Hanya saja, kalau dicermati, dalam sebuah tulisan (esai, artikel, feature) memang ada elemen-elemen tertentu yang ditonjolkan yang sekaligus mengacu pada jenis ter-tentu. Sebagai misal, esai/artikel tentang tokoh-tokoh sukses disebut sketsa tokoh; esai/artikel yang ditulis dalam bentuk tanya-jawab disebut wawancara; esai/artikel yang diawali dengan paparan sebuah kisah disebut naratif; esai/artikel yang berisi upaya membongkar suatu peristiwa disebut penyingkapan; esai/artikel yang berisi kisah nyata (true story) disebut pengakuan; esai/artikel yang merupakan ekspresi personal disebut kolom; esai/artikel yang berisi kritik disebut ulasan; dll.
***
            Bagaimana cara yang dapat dilakukan untuk meng-hasilkan tulisan/ karangan (esai, artikel, dll)? Dua hal ini tidak boleh diabaikan, yakni “banyak membaca” dan “tekun berlatih”. Membaca dalam hal ini tidak hanya membaca tulisan (majalah, koran, buku, dll), tetapi juga “membaca kehidupan”. Artinya, kita senantiasa “membaca” apa yang dapat kita lihat, dengar, raba, dan sebagainya di sekitar kita. Dengan cara ini kita tentu akan tahu banyak hal, akan peka terhadap berbagai peristiwa, akan dapat memahami berbagai kejadian, akan dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan sebagainya.
            Karena ruang memori di otak/kepala kita terbatas, terbatas pula ingatan kita. Oleh karena itu, agar memori terpancing keluar, diperlukanlah alat bantu. Alat bantu paling sederhana dan baik adalah catatan. Oleh sebab itu, (calon) penulis yang baik selalu memiliki catatan (tentang sesuatu yang dianggap penting dan menarik). Dan tentu saja catatan ini tidak boleh hilang, tetapi harus disimpan/dirawat dengan baik. Mungkin dalam jangka waktu tertentu (bulan, tahun) kita mencatat beberapa peristiwa yang sama, atau minimal berkaitan, sehingga kita dapat mengait-kaitkan peristiwa itu dan siap pula menyusun tulisan.
            Kalau kita telah dapat memilih dan mengaitkan peristiwa-peristiwa itu, dan dengan demikian berarti kita telah mempunyai ide (gagasan) yang akan kita sampaikan kepada orang lain, langkah berikutnya adalah menentukan tujuan (untuk apa, siapa) dan memilih jenis bentuk karangan apa (artikel, esai, feature, dll, atau bahkan cerpen atau puisi). Kalau kita ingin menulis bentuk artikel (opini) dan ingin artikel itu dimuat di KR, misalnya, hal yang tidak boleh dilupakan adalah pelajari dan bacalah artikel-artikel (opini) yang telah dimuat di KR. Dari situ kita dapat belajar dan memahami bagaimana corak, gaya, panjang-pendek artikel-artikel tersebut sehingga artikel yang kita tulis berpeluang untuk dimuat di KR. Hal ini juga sekaligus berarti kita memahami bagaimana selera redaksi. Mengapa hal ini harus dilakukan? Sebab, selera setiap media massa berbeda-beda.
            Hanya saja, yang sering menjadi kendala adalah ketika kita sudah duduk di depan mesin ketik atau komputer. Ide di kepala sudah mendesak-desak minta ditulis, tetapi lead pada paragraf pertama terus-menerus gagal ditulis. Karena itu, buatlah kerangka (outline). Tentang judul, boleh ditulis di awal atau di akhir; namun yang paling baik adalah ditulis di awal baru kemudian direvisi di akhir. Sebab, judul akan mengendalikan arah dan fokus. Tetapi, terkadang, ketika sedang menulis, ide-ide pelengkap muncul menda-dak, sehingga judul seringkali harus diubah atau diganti.
            Setelah menentukan judul (sementara), kerangka yang kita susun mula-mula berupa gagasan-gagasan besar yang mendukung judul. Gagasan-gagasan itu kita tuangkan dalam bentuk kalimat-kalimat. Jika perlu kalimat-kalimat yang berisi gagasan-gagasan besar itu kita pecah lagi menjadi beberapa gagasan yang lebih kecil, dan seterusnya, sampai kita merasa sudah cukup lengkap dan kuat untuk menyampaikan/mendukung ide tulisan. Bagi penulis yang sudah jadi, kerangka tetap penting artinya, walaupun seringkali mereka tidak menuangkannya dalam bentuk kalimat-kalimat, tetapi tertata dalam pikiran.
            Hal terakhir yang tidak boleh dilupakan adalah, setelah jadi, tulisan jangan langsung dikirim ke media sesuai keinginan kita, tetapi bacalah dulu atau bahkan simpan dulu (masa inkubasi) baru dibaca lagi besok atau lusa. Pada saat membaca tulisan itu, janganlah kita merasa bertindak sebagai penulis, tetapi sebagai pembaca (tulisan orang lain). Baca dan kritiklah tulisan itu. Dengan cara begitu kita akan dapat melihat celah-celah di mana kekurangan dan kele-mahannya. Lalu, edit-lah, revisi-lah, dan kalau perlu tulis ulang. Dan akan lebih baik kalau tulisan hasil revisian itu disodorkan kepada orang lain untuk dibaca dan dikritik.
            Nah, selamat berkarya (menulis artikel, esai, feature, kolom, berita, advertorial, dan atau apa saja). Jangan bosan. Pembosan sangat dibenci Tuhan.
Catatan: tulisan ini disarikan dari berbagai sumber. 

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel