Pertumbuhan Ekonomi dan Kualitas Hidup yang Masih Rendah
Tuesday, January 10, 2017
Edit
Satu
hal yang mengganggu pikiran kita ialah bahwa saat ini masih terjadi
ketidakseimbangan antara lajunya pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas
hidup manusia. Di satu sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia begitu tinggi, tetapi
di sisi lain kualitas hidup kita masih rendah. Menurut hasil penelitian UNDP (United Nations Development Programme),
indeks pembangunan manusia (human
development index) Indonesia menem-pati urutan ke-104 dari 174 negara yang
diteliti. Ini menunjukkan bahwa dari segi kualitas, manusia Indonesia
tertinggal jauh dari negara-negara lain
di dunia.
Simpulan
UNDP itu ternyata diperkuat oleh hasil penelitian Biro Pusat Statistik (BPS)
terhadap kualitas hidup manusia di 27 propinsi di Indonesia. Berdasarkan data
tahun 1990--1993, yang diukur dengan parameter tingkat pendidikan, kesehatan, dan daya
beli masyarakat, BPS berkesimpulan bahwa yang memperoleh indeks prestasi
tertinggi dalam hal pembangunan manusia adalah DKI Jakarta. Namun, prestasi
tertinggi itu belum dapat dijadikan ukuran tingginya kualitas hidup bangsa
Indonesia, karena skor IPM (indeks pembangunan manusia) yang diperoleh DKI hanya mencapai angka 57;
sementara nilai tertinggi IPM yang ditentukan adalah 100. Atas dasar itu dapat
dinyatakan bahwa kualitas hidup manusia Indonesia berada “di bawah” sebagian besar
negara-negara lain. Hal ini diperkuat oleh nilai IPM di 27 propinsi yang hanya
berkisar antara 36 (Timor Timor) hingga
57 (DKI Jakarta) (Kompas,
17/4).
Rendahnya
kualitas hidup manusia Indonesia memang terasa aneh. Keanehan terjadi karena
dilihat dari perkembangan ekonominya Indonesia termasuk salah satu dari 8
negara Asia yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang “ajaib”. Namun dari
segi kualitas manusianya, Indonesia tidak sejajar dengan Jepang, Hongkong,
Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Malaysia. Ironisnya, Indonesia hanya
berada sedikit di atas Pakistan dan India. Meskipun agak mengkhawatirkan, realitas
ini dapatlah dipahami karena sejauh ini pembangunan di Indonesia masih diprioritaskan pada sektor ekonomi.
Upaya penyetaraan dua sektor pembangunan itu
sebenarnya sudah dilakukan bersamaan
dengan mencuatnya isu merosotnya kualitas manusia Indonesia beberapa pelita
yang lalu. Upaya tersebut semakin dipertegas pada akhir PJP I. Itulah sebabnya,
mulai PJP II sektor pembangunan sumber
daya manusia (SDM) dimasukkan sebagai agenda pokok pembangunan kita, di samping
sektor ekonomi masih terus dipacu pertumbuhannya. Seiring dengan itu muncullah
berbagai slogan dan gerakan seperti “kerja keras”, “pola hidup sederhana”,
“tingkatkan semangat kerja”, “pupuk sikap kemandirian”, dan lain-lain sampai
pada “gerakan disiplin nasional (GDN)”.
Berbagai
himbauan dan gebrakan itu tampaknya disambut baik oleh segenap bangsa kita. Hal
itu terbukti melalui munculnya berbagai macam proyek (pemerintah), organisasi,
lembaga pendidikan, penelitian, swadaya masyarakat, pusat-pusat studi, forum
kajian, dan sebagainya yang mencakupi bidang sosial, ekonomi, budaya, politik,
dan kemanusiaan yang semuanya diarahkan pada peningkatan kualitas SDM. Akan
tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa hasil berbagai gebrakan itu belum seimbang
dengan laju pertumbuhan ekonomi, apalagi saat ini dibentuk jaringan kerja sama
ekonomi internasional seperti GATT, WTO, NAFTA, APEC, atau ASEM, yang berarti
akan semakin memperkokoh posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi dunia.
Selain
itu, sebenarnya pemerintah juga telah
“mengorbankan” dana (pinjaman) begitu besar demi peningkatan pendidikan, kesehatan, peran wanita, program
KB, perumahan rakyat, pemberantasan pengangguran, kemiskinan, dan sebagainya.
Bahkan juga melakukan kerja sama antar-negara sebagaimana disepakati lewat
deklarasi PBB. Namun, usaha sema-cam
itu belum juga mampu menepis “mitos”
tentang rendahnya kualitas hidup manusia Indonesia. Barangkali “mitos” ini akan
tetap merebak jika sektor pembangunan SDM masih diperlakukan sebagai sektor
“kerja sampingan”.
Karena
itu, sudah saatnya dilakukan restrukturasi dan “reparasi” terhadap berbagai
pola pembangunan di Indonesia. Di satu sisi pola pembangunan SDM diarahkan,
direncanakan, dan diberi prioritas utama (atau setidaknya sama) dengan
pembangunan ekonomi; dan di sisi lain pola pembangunan ekonomi diarahkan pada
tujuan peningkatan kualitas hidup manusia. Memang benar kualitas hidup manusia
sangat ditentukan oleh aspek ekonomi, tetapi alangkah celaka jika dalam kondisi
perekonomian yang makmur masih banyak orang merasa bodoh dan tak bisa menikmati
kemakmurannya. Sangat ironis jika muncul ungkapan “kelaparan di tengah kekayaan
sendiri”.
Peran
Pendidikan
Siapapun
mengakui jika pendidikan, baik formal maupun nonformal, merupakan sektor utama
pengembangan SDM. Melalui pendidikan akan lahir sejumlah tenaga terdidik secara profesional. Tenaga terdidik
yang profesional itulah yang kelak akan menguasai sektor kerja. Karenanya,
sangat perlu pendidikan diprogramkan dan dilaksanakan secara profesional.
Profesionalisasi
pendidikan di Indonesia dirasakan sangat penting dan mendesak. Karena sektor
kerja yang tercipta sebagai konsekuensi perkembangan ekonomi global akan
menuntut kehadiran banyak tenaga yang
berkeahlian tinggi. Tenaga ahli ini pulalah yang diharapkan dapat bersaing atau
menggantikan tenaga asing yang selama ini masih “menguasai” Indonesia. Dengan begitu, anggaran negara yang selama ini harus
“mengalir keluar” untuk membayar mereka bisa ditekan secara optimal. Pada gilirannya, dana hasil penekanan itu
dapat digunakan untuk menutupi kekurangan sektor lain yang masih terabaikan.
Usaha
profesionalisasi terhadap pendidikan yang berorientasi masa depan memang tidak
mudah direalisasikan. Selain diperlukan waktu yang cukup lama, tidak hanya 5
atau 10 tahun, juga dibutuhkan biaya sangat besar. Sekalipun demikian,
reevaluasi, konversi, dan perombakan kembali atas program pendidikan di
berbagai jenjang agaknya perlu segera dilakukan. Namun usaha itu harus disertai
dengan upaya mengantisipasi berbagai ekses/dampak yang mungkin ditimbulkannya.
Cobalah
kita cermati adanya “kebijakan baru” tentang guru sekolah menengah yang harus
berpendidikan minimal S-1. Ini juga akan menjadi problem tersendiri jika biaya
pendidikannya harus mereka tanggung sendiri. Belum tentu mereka bersedia karena
kondisi ekonomi para guru saat ini masih berada di bawah garis kelayakan.
Konsekuensinya, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
perlu menyediakan sarana, prasarana, serta melipat gandakan anggaran pendidikan
yang saat ini jumlahnya masih relatif
kecil itu.
Betapapun
sulitnya, upaya profesionalisasi pendidikan harus dipri-oritaskan karena
genderang globalisasi telah berjalan. Karena itu amat bijaksana jika dalam
waktu dekat Depdikbud bermaksud segera meng-konversi 10 IKIP menjadi
universitas, karena relevansi dan fungsi IKIP dirasakan sudah berkurang. Dana
pengkonverasian ini memang tidak kecil, tetapi beruntunglah pemerintah
memperoleh pinjaman dari Bank Dunia sebesar 100 juta dollar AS, sehingga tahun
mendatang dapat merealisasikan 3
universitas, satu di antaranya dari IKIP
Yogyakarta (KR, 17/4).
Lepas
dari pro dan kontra, yang jelas langkah semacam itu amat tepat. Apalagi jika
fakultas dan jurusan yang dibuka memiliki orientasi masa depan yang terfokus
pada peningkatan kualitas hidup yang seimbang, baik secara ekonomis,
mentalitas, maupun spiritualitas. Karena itu berbagai pendukungnya perlu diupayakan secara memadai,
baik kualitas pengajar, sistem pengajaran, sarana belajar, maupun fasilitas
ilmiah lain seperti laboratorium, lembaga penelitian, forum ilmiah, dan
sebagainya.
Satu
hal yang tak bisa diabaikan adalah sikap demokratis, adil, dan “membumi”
sekaligus “melangit” dengan masyarakat. Sebab kampus lahir dari masyarakat dan
hanya untuk kepentingan masyarakat. Karena itu harus dijauhi sikap exclusivism.
Pentingnya
Penelitian
Satu
hal lagi yang dirasakan merisaukan adalah adanya “kebijakan” yang membolehkan
mahasiswa tidak menulis skripsi. Di satu segi kebijakan ini menguntungkan,
karena setelah memenuhi standar SKS mahasiswa cepat lulus sehingga mengurangi
beban perguruan tinggi (PT) yang bersangkutan. Namun di segi lain timbul
masalah serius ketika lulusan harus terjun ke masyarakat. Skripsi memang bukan
satu-satunya tolok ukur kualitas mahasiswa, tetapi skripsilah yang “membuka
pintu gerbang” mahasiswa untuk memasuki dunia realitas dalam masyarakat.
Sebagai
wujud aplikasi teori dan praktik, skripsi menumbuhkan sikap profesionalitas
yang sesungguhnya. Sebab, melalui skripsi (penelitian) mahasiswa diuji untuk
berpikir kritis, analitis, logis, berusaha menemukan “sesuatu yang baru” dan
menuangkannya ke dalam bentuk karya ilmiah, dan diuji pula kesabaran dan
ketabahannya, sehingga semua “ujian” itu kelak akan menjadi kebiasaan dalam
kerja. Walaupun kebiasaan ini dapat diatasi dengan jalan lain, misalnya dengan
penyusunan dan penyajian makalah, tetapi realitas membuktikan bahwa makalah
tidak mampu menampung hasil “kerja besar” seperti kalau mahasiswa menyusun
skripsi. Untuk itu, betapa penting arti skripsi bagi calon sarjana S-1, seperti
halnya tesis dan disertasi bagi calon magister (S-2) dan doktor (S-3).
Agar
tercipta iklim yang kondusif dan optimal, sistem pengajaran dan penelitian yang
selama ini ada di PT perlu dievaluasi dan disupervisi kembali. Sangat baik jika
sistem pengajaran diarahkan pada peningkatan kemampuan praktik kerja, bukan
kemampuan teoretis. Karena itu penekanan pada research di laboratorium atau di lapangan/masyarakat, yang hasilnya
kemudian dituangkan dalam karya (tulis) ilmiah, sangat diperlukan. Namun ini
juga perlu didukung oleh sistem pembimbingan yang profesional yang bebas dari
problema kesibukan, ketiadaan fasilitas, atau kecilnya dana.
Selain
itu, “kebijakan baru” yang ditetapkan, di antaranya kebijakan “bebas skripsi”
ini, hendaknya tidak hanya dilihat secara pragmatis dan eksperimentalis, tetapi
juga harus diprediksikan sesuai dengan kebutuhan berbagai sektor. Ini merupakan
keharusan agar tidak terjadi overlap
dan overstep antara jumlah tenaga
terdidik (skilled) dan pasaran kerja
(work-market). Sangat aneh jika
sebuah pabrik sudah dibangun tetapi tenaga ahli-nya belum ada, ini terbukti
melalui banyaknya tenaga asing yang dida-tangkan ke Indonesia; atau sebaliknya,
sarjana sudah “menumpuk” namun tak bisa kerja, dan ini tampak melalui banyaknya
penganggur intelektual.
Di
sinilah pentingnya profesionalisasi pendidikan, pengajaran, dan penelitian di
PT guna mengatasi ketidakseimbangan dua “problema besar” itu. Bagaimanapun,
demi peningkatan kualitas hidup manusia, yang selama ini masih berada di bawah
“garis kelayakan”, berbagai terobosan baru yang dilakukan, baik sosial,
ekonomi, politik, budaya, dan sejenisnya, selalu diarahkan pada peningkatan SDM
yang dibarengi dengan prinsip adil, seimbang, dan demokratis. Kiranya agak
berlebihan jika akhir-akhir ini masih terjadi “pembungkaman” terhadap idealitas
mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Semarang. ***
Dimuat KR,
29 April 1996.