Persoalan Pengalihbahasaan Tayangan Asing di Televisi
Friday, January 13, 2017
Edit
Pada akhir April lalu pemerintah melalui Departemen
Penerangan dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan meminta agar seluruh
prog-ram tayangan televisi berbahasa asing dialihbahasakan ke dalam bahasa
Indonesia. Upaya pengalihbahasaan tayangan asing ke dalam bahasa Indo-nesia itu
dimaksudkan sebagai tindak lanjut Gerakan
Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar yang dicanangkan Presiden Soeharto
beberapa waktu silam. Diharapkan para pengelola televisi segera
merealisasikannya secara berta-hap sehingga mulai 17 Agustus 1996 nanti di
layar kaca sudah tercermin penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar (Kompas, 1/5/96).
Jika dicermati langkah yang diambil pemerintah itu sangat
tepat. Langkah itu bukan saja penting bagi upaya pembinaan, pengembangan, dan
pemasyarakatan bahasa Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat pemirsa pada
umumnya. Sebab pemirsa yang selama ini hanya kenal dengan bahasanya sendiri,
melalui pengalihbahasaan (alihsuara, dubbing)
itu dapat lebih leluasa menikmati berbagai aspek seni budaya manca negara. Dan
melalui tayangan yang dapat dipahami bahasanya mereka akan mampu memahami
sajian secara utuh sehingga pesan-pesannya tidak dicerna secara
sepotong-sepotong. Dengan begitu mereka
akan lebih bersikap kritis, selektif, dan ter-hindar dari berbagai ekses
negatif yang muncul.
Khususnya bagi pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia, pengalihbahasaan tayangan asing itu setidak-tidaknya membuahkan tiga
hal positif. Pertama, kegiatan itu akan sangat membantu masyarakat untuk lebih
mengenal dan memahami ragam-ragam bahasa Indonesia yang ada, misalnya ragam
baku dan tidak baku, resmi dan tidak resmi, tulis dan lisan, atau ragam bahasa
dalam seni-sastra. Berkat pengenalan dan pemahaman terhadapnya
sekurang-kurangnya masyarakat akan menyadari bagaimana cara berbahasa Indonesia
yang baik dan benar sesuai dengan situasi dan kaidahnya. Dengan kesadarannya
itu pula mereka akan menaruh sikap positif terhadap bahasa Indonesia sehingga
tergerak untuk mempraktikkan-nya dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, kegiatan pengalihbahasaan merupakan media
strategis untuk memperkenalkan berbagai kata, kelompok kata (frase), istilah, ungkapan, atau
idiom-idiom baru yang sebelumnya kurang dikenal masyarakat. Misal-nya,
kata-kata kurang dikenal seperti mangkih
‘congkak’, mangkus ‘berhasil guna’, sangkil ‘berdaya guna’, manjau ‘bertandang’, alih-alih ‘kiranya, agaknya’, dan sebagainya --yang semua itu ada
dalam KBBI-- dapat disebarluaskan kepada masyarakat. Di sinilah kemudian pihak
yang ber-wenang dituntut aktivitasnya. Melalui juru penerjemah (translator) dan pengisi suara (dubber), Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa sebagai instansi resmi penanggung jawab perkembangan bahasa
Indonesia dapat melakukan pembinaan bahasa secara efektif. Jadi media ini
merupakan “jalur lain” selain yang telah dilakukan secara rutin melalui
berbagai penataran, penyuluhan, dan siaran di TVRI dan RRI.
Ketiga, pengalihbahasaan tayangan asing ke dalam bahasa
Indonesia juga merupakan strategi mendudukkan posisi bahasa Indonesia sejajar
dengan bahasa-bahasa lain di dunia. Ini dimaksudkan agar bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara tidak cenderung exclusive,
tetapi lebih mendunia dan mampu
berperan sebagai bahasa ilmu pengetahuan
seperti halnya bahasa Inggris, Prancis, Jerman, atau Belanda. Sebab melalui
alihbahasa (terje-mahan) itu kita lebih mudah mentransfer berbagai aspek
pengetahuan dan teknologi yang berkembang di negara-negara lain. Sebagai
contoh, langkah ini telah dilakukan dengan baik oleh Jepang. Negara ini begitu
cepat menguasai iptek karena hampir semua dokumen tertulis asing (buku dll,
termasuk film) dialihbahasakan ke dalam bahasa Jepang.
Di samping itu,
ada beberapa hal positif lagi yang cukup realistis dan menjanjikan. Secara
ekonomis kegiatan pengalihbahasaan akan membu-ka lapangan kerja baru, terutama
bagi para ahli bahasa (linguis),
penerjemah (translator), ahli olah
vokal, dan audio visual. Jika dihitung dari jumlah seluruh tayangan asing yang
dialihbahasakan, jelas kegiatan tersebut dapat menampung cukup banyak tenaga
kerja. Sementara itu, dengan semaraknya kegiatan pengalihbahasaan berarti akan
semarak pula kegiatan penerje-mahan yang selama ini dirasakan tidak berkembang.
Kegiatan penerje-mahan (buku) di Indonesia sebenarnya sudah dirintis dengan
baik oleh STA dan Mochtar Lubis lewat Pusat Penerjemahan UNAS dan Yayasan Obor.
Namun realitasnya usaha itu masih perlu dikembangkan lagi, karena ber-samaan
dengan merebaknya era informasi dan ekonomi global buku-buku pengetahuan dan
teknologi berbahasa asing semakin melimpah.
Begitulah antara lain beberapa keuntungan yang dapat
dipetik dari “proyek” pengalihbahasaan tayangan asing di televisi. Jika
pemerintah ber-sama seluruh pengelola media audio visual berhasil melaksanakan
dengan baik, jelas ini akan membuka cakrawala baru kebudayaan Indonesia. Dan
terbukanya cakrawala baru kebudayaan yang berarti juga menandai terwujudnya
masyarakat yang cerdas itu pada gilirannya akan meng-eksiskan jatidiri
Indonesia di tengah hiruk-pikuk kebudayaan dunia.
Resiko
Berat
Akan tetapi, upaya pengalihbahasaan berbagai tayangan
asing itu di sisi lain juga mengandung resiko yang cukup berat. Resiko terberat
akan terjadi jika dikenakan pada tayangan seni, sastra, dan film. Siapa pun
meng-akui proses pengalihbahasaan (pengalihsuaraan) dalam karya seni itu tidak
mudah. Sebab bahasa dalam seni bersifat
khas (distinctive), tidak dapat
di-ganti atau diwakili bahasa lain. Ia merupakan pembangun totalitas (whole-ness) yang menentukan cita rasa,
nuansa, dan estetika seni yang bersang-kutan.
Pada saat seni diciptakan, medium bahasa tertentu telah
dipilih dan dikemas sesuai dengan aspek tertentu yang hendak dituangkannya. Dan
aspek tertentu itu hanya cocok dimediumi oleh bahasa tertentu, bukan bahasa
lain. Sebab bahasa tertentu memiliki corak, karakter, dan kemampun tertentu
pula. Sebagai misal, banyak sekali kata bahasa Jawa tidak dapat dialihbahasakan
ke dalam bahasa Indonesia, Inggris, atau yang lain. Jika itu dilakukan biasanya akan terjadi
semacam erossion dan distortion makna. Apabila terjadi
demikian, berarti seni akan kehilangan visi, esensi, nuansa, dan estetikanya.
Karena itu, tak dapat dibayangkan betapa impotent jika sebuah pem-bacaan puisi
asing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Betapa ham-barnya syair-syair
lagu Barat dialihbahasakan ke dalam bahasa kita. Sudah pasti ia kehilangan daya
pikat, nuansa, imaji-imaji, cita rasa, dan kesyah-duannya. Dan paling nyata,
hal ini sudah terjadi dalam pengalihbahasaan film-film impor, misalnya film
silat Hongkong atau teledrama dari Amerika Latin. Kendati film semacam Legenda Ular Putih, Pendekar Harum, Bangau
Sakti, Yoko, Pendekar Hina Kelana, atau telenovela Cristal, Maria Mersedes, Casandra, Maria Cinta yang Hilang, dan
juga film India telah merebut
perhatian sekian juta anak, remaja, dan ibu-ibu di Indonesia, namun sebenarnya
yang memikat mereka bukan nuansa, esensi, atau estetikanya, melainkan hanya
kisahnya yang memang kompleks dan problematis. Jika diamati secara serius,
sesungguhnya tayangan itu telah kehilangan daya greget dan kekuatannya. Ini
berbeda dengan film yang tetap menggunakan bahasa asing yang disertai
terjemahannya. Dalam film ini suspense-suspense dan foreshadowing tetap utuh dan terjaga.
Itulah sebabnya, pertama-tama yang perlu dilakukan
dalam peng-alihbahasaan tayangan asing
di televisi adalah seleksi secara ketat. Artinya, tidak semua jenis tayangan
dialihbahasakan. Jika toh semua film impor harus dialihbahasakan,
penggarapannya harus dilakukan secara serius dan taat asas. Bahasa sumber dan
bahasa sasaran harus dibuat selaras, dan gerakan ucapannya pun sedapat mungkin
disesuaikan. Ini semata-mata untuk menghindari lenyapnya nuansa estetika seni (film)
yang bersang-kutan. Sayang sekali jika --untuk menyebut satu contoh-- film Hati yang Mendua yang dibintangi artis
kondang Eric Estrada --yang beberapa waktu lalu ditayangkan TVRI-- yang
sesungguhnya cukup kompleks dan prob-lematis terpaksa kurang memikat
pemirsa. Film itu terasa hambar
gara-gara dubbing-nya tidak digarap
dengan baik.
Memang disadari bahwa proses alihbahasa (translating) dan alihsuara (dubbing) itu tidak mudah. Penanganannya
butuh waktu cukup, tenaga profesional,
penerjemah mahir, juga dana yang tak sedikit.
Padahal, bagi perusahaan televisi, juga bioskop-bioskop, semua itu akan
“diterjemahkan” sebagai “memperberat beban” dan “mengurangi keuntungan”. Apalagi jika status film itu sewaan. Itu
pasti membuat pengusaha televisi dan bioskop berpikir ulang sekian kali. Sebab
masalahnya menyangkut bisnis, masalah hidup mati seorang pedagang.
Oleh karenanya, sejak awal pengusaha televisi, bioskop,
dan kita semua harus siap menyusun strategi yang tepat untuk menghindari segala
ekses yang muncul. Namun, karena program ini merupakan kebijakan pemerintah
yang harus diindahkan demi pencerdasan bangsa dan pengem-bangan kebudayaan
nasional, betapapun beratnya kita wajib memberikan dorongan positif. Sebab di
tengah percaturan kebudayaan global sekarang ini kualitas sumber daya manusia
(SDM) amat sangat dibutuhkan.
Konsekuensi
Dari beberapa sinyalemen tersebut dapat dicatat bahwa
usaha peng-alihbahasaan tayangan asing di televisi mengandung konsekuensi
positif dan negatif. Khususnya bagi bahasa Indonesia, di satu sisi kegiatan itu
akan memperkokoh keberadaan bahasa kita sebagai bahasa persatuan, kesatuan, dan
pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi di sisi lain juga menghambat kelancaran
pengajaran bahasa asing (Inggris). Jika
sampai hari ini peng-ajaran bahasa asing masih dinilai “payah”, di masa-masa datang agaknya akan lebih
“payah” lagi.
Dan khususnya bagi pembinaan mental, moral, spiritual,
dan kognitif, di satu pihak kegiatan itu akan memperluas wawasan dan
pengetahuan masyarakat tentang berbagai corak dan nilai kebudayaan. Namun, di
pihak lain justru membuka peluang bagi terlindasnya tata nilai etika dan moral
akibat penetrasi budaya Barat yang mengalir deras. Tata nilai itu akan semakin
terkikis jika film-film Hollywood yang di negaranya sendiri dicap sebagai film
“perusak moral” (KR, 17/3/96) juga
masuk ke Indonesia.
Untuk itu kita hanya bisa berharap agar Forum Komunikasi
dan Koordinasi yang dibentuk pada 1 Mei 1996 di Jakarta oleh 6 televisi di
Indonesia (TVRI, RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, dan ANteve) benar-benar konsekuen terhadap kesepakatannya
untuk tidak menayangkan film-film yang menyebabkan dekadensi moral. Diharapkan
juga mereka benar-benar menerapkan sistem pembagian: 80 % untuk produk lokal dan nasional, dan 20 %
untuk produk asing. Begitulah harapan
kita semua. ***
Dimuat Kedaulatan Rakyat,
11 Mei 1996