Perihal Sastra, Imajinasi, dan Moral
Friday, January 13, 2017
Edit
Tidaklah benar jika anak-anak Indonesia sekarang
disinyalir telah kehilangan imajinasi karena tradisi gemar membaca mereka
tersingkir oleh merebaknya budaya tonton dan dengar. Memang diakui tradisi baca
masyarakat saat ini kian menipis, tetapi itu bukan berarti melenyapkan daya
imajinasi mereka. Lewat film kepahlawanan
Pasukan Turbo, Kesatria Batu
Bintang, Power Ranger, film planet
Adventures of Conan, Babylon, Starvangers, Maskman, atau film olahan dari saint
fiction seperti Viper, Star Trek,
dan Time Trek, kemampuan imajinasi
mereka justru semakin tajam. Apalagi jika mereka dihadapkan pada dunia sulap
David Copperfield, dunia imajinasi yang melebihi imajinasi (beyond imagination). Melalui ‘dunia’ itu mereka dapat membangun
‘dunia (imajinasi) baru’ yang lebih plural, multiple, dari berbagai
peristiwa masa lalu, masa kini, atau
masa depan yang jauh.
Berlebihan juga kiranya jika dinyatakan bahwa turunnya
kualitas moral bangsa berawal dan berakhir dari sastra (pernah disinyalir Kompas beberapa waktu lalu). Sastra memang
berpengaruh terhadap kepribadian seseorang, tetapi jika turunnya kualitas moral
itu dikatakan akibat dari tipisnya kemampuan imajinasi terhadap sastra adalah
sangat berlebihan. Sebab sastra bukanlah sarana tunggal peningkat daya
imajinasi. Lukisan, wayang, patung, tari, sandiwara, atau film dapat juga
mempertajam imajinasi. Hanya persoalannya apakah imajinasi itu terkontrol atau
tidak. Jika terkontrol akan berpengaruh positif dan jika tidak akan berpengaruh
negatif. Barangkali dari sinilah muara meningkat atau menurunnya kualitas moral
dalam kaitannya dengan sastra.
Selain itu, memang benar sastra merupakan rekaman
realitas kehi-dupan manusia yang berkutat pada masalah ketuhanan, sosial,
moral, dan cinta. Tapi harus diakui
bahwa sastra bukanlah satu-satunya “makhluk canggih” penentu moral dan
kepribadian manusia. Sebab, selain sastra, sebagaimana disinyalir Budi Darma,
masih ada filsafat dan agama. Sastra, filsafat, dan agama memiliki tujuan sama,
yaitu menumbuhkan jiwa hu-manitat,
hanya caranya yang berbeda. Jiwa humanitat
adalah jiwa yang halus, manusiawi, bermoral,
dan berbudaya.
Agar diperoleh gambaran yang tidak terlalu dogmatis
tentang sastra sebagai pengemban misi moral, kaitan antara sastra, imajinasi, dan moral perlu diperjelas di sini. Danzinger dan Johnson (1966) menyatakan bahwa sastra adalah seni verbal
yang memanfaatkan bahasa sebagai wahana (medium) kreasinya. Walaupun hanya
berupa urutan bahasa (yang indah, estetis), sastra adalah abstraksi kehidupan.
Karena itu sastra dapat merangkum dunia-dunia lain. Ini pula yang membedakan
sastra dengan cabang-cabang seni lainnya.
Sementara itu, Herbert Reid (1967) berpandangan bahwa
hakikat sastra yang baik adalah mengajak pembaca untuk melihat sastra sebagai
cermin diri sendiri. Sastra yang baik juga mengajak pembaca untuk menjunjung
tinggi norma-norma moral. Apabila pembaca dapat berhu-bungan (langsung) secara
intens dengan karya sastra, pathos
(rasa simpati dan empati) dalam dirinya akan tergerak. Gerakan pathos itulah yang kemudian menuntun
seseorang (pembaca) untuk bertindak sesuai dengan nilai atau moral karya
sastra.
Namun, gerakan pathos
sangat ditentukan oleh kemampuan imajinasi.
Bahkan bukan hanya bagi pembaca, tetapi juga pengarang. Pathos dalam diri pembaca akan tergerak jika mampu melihat, meng-imajinasikan, dan
melibatkan diri dengan berbagai peristiwa mental yang terjadi dalam karya
sastra. Pathos dalam diri pengarang
akan tergerak jika mampu berimajinasi,
berpikir kritis, sekaligus terlibat dalam berbagai peristiwa kehidupan. Jika
tidak mampu berbuat demikian, pengarang hanya akan melahirkan karya tanpa
nilai. Akibatnya, pembaca juga tidak akan memperoleh nilai atau moral dari
karya yang dibaca walaupun seluruh kemampuan imajinasinya telah dikerahkan.
Karena itu, kemampuan imajinasi yang tinggi bukanlah
penentu utama bagi peningkatan kualitas moral seseorang. Sebab kemampuan
ber-pikir, melibatkan diri, dan
menyeleksi merupakan hal yang tak dapat di-abaikan. Walaupun misalnya daya imajinasi anak-anak
dan remaja begitu kuat, tetapi jika sastra yang dihadapi lebih banyak
menawarkan tindakan amoral dan asosial, tentu mereka akan tersesat. Sebab tidak
jarang sastra hadir justru menyodorkan peristiwa semacam itu, walaupun dalam
kenyataannya memang ada dan benar. Karena itu tak heran jika terjadi seorang
pembaca sastra yang tekun menyeleweng atau mati bunuh diri karena ia terobsesi
oleh peristiwa imajinatif yang digambarkan dalam karya sastra. Andai benar itu terjadi,
betapa terkutuk dan tak bermoral makhluk yang disebut “sastra” itu.
Di sinilah kemudian diperlukan kemampuan berpikir,
melibatkan diri, dan menyeleksi. Kualitas moral pembaca akan meningkat
jika mam-pu berpikir secara analitis dan
jernih. Dengan kejernihannya itu ia
dapat melibatkan diri dan “masuk” ke dalamnya secara total sehingga mampu
“merebut” esensi dan nilai moral yang ditawarkan. Namun itu perlu ditunjang
oleh cara pemilihan yang tepat atas peristiwa kehidupan yang digambarkan. Oleh
karenanya, sangat penting prinsip seleksi diterapkan. Bahkan juga penting bagi seleksi jenis sastra yang baik.
Muncul lagi persoalan berkenaan dengan seleksi jenis
“sastra yang baik”. Jika hakikat sastra
yang baik selalu mengarahkan pembaca untuk menegakkan dan menjunjung tinggi
norma moral dan sosial, tetapi realitasnya tidak selalu demikian. Banyak sastra
yang baik justru melawan arus, menggambarkan kebobrokan, membuka penyelewengan,
kekejam-an, atau penindasan terhadap kaum lemah.
Dapat dibayangkan misalnya betapa rakusnya Kasan Ngali
dalam novel Pasar (Kuntowijoyo), betapa tergencetnya Warno dan Marno
dalam Kroco dan Byarpet (Putu
Wijaya), betapa gilanya tokoh kita dalam Ziarah
(Iwan Simatupang), betapa menjijikkan skandal seks dalam Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi), dan betapa tidak manusiawinya
tokoh-tokoh dalam Orang-Orang Bloomington
(Budi Darma). Menurut sudut pandang
moral, seharusnya gambaran semacam itu tidak terjadi.
Tetapi justru itulah hakikat sastra yang sesungguhnya. Ia
bertugas menyingkap “kebusukan” demi jiwa manusia (pembaca) yang humanitat. Jika pembaca ingin menangkap
esensinya tidak cukup hanya bermodal ketajaman imajinasi. Ia perlu berpikir
analitis, menyeleksi secara kritis, memiliki kekayaan batin, dan melibatkan
diri secara total. Apabila itu telah dilakukan,
pathos dalam dirinya akan
berkembang sehingga dapat menimba moral yang bermanfaat bagi kehidupannya.
Namun, perlu diingat, nilai moral itu tidak hanya
dapat ditimba dari pengalaman membaca
sastra, tetapi juga dari penikmatan seni-seni lain. Karena itu, agak berlebihan
jika semakin turunnya kualitas moral anak-anak Indonesia disinyalir sebagai
akibat dari tipisnya kemampuan imajinasi dan melenyapnya tradisi baca sastra.
Masih banyak orang bermoral dan berjiwa humanitat
padahal mereka tidak mengenal sastra. Yang mereka kenal hanyalah wayang,
ketoprak, ludruk, gamelan, sinden, dan
seni lainnya, baik lewat pertunjukan langsung maupun lewat radio atau televisi.
Akhirnya, harus diakui bahwa keberadaan sastra memang
berawal dan berakhir dari kehidupan yang memiliki banyak dimensi. Akan tetapi,
harus diingat bahwa sastra hadir bukan untuk kepentingan sosial, tetapi untuk
kepentingan batin. Ia lahir dari kekayaan batin dan untuk penga-yaan batin. Karena itu, benar sekali ungkapan Budi Darma,
sangat sia-sia jika sastra diciptakan demi perbaikan sosial. Sebab perbaikan sosial hanya dapat dicapai
dengan tindakan nyata, seperti perencanaan pendidikan yang baik, penggalakan
program KB, pemberantasan pengangguran, kemiskinan, bukan melalui sastra. Jika
kini sering terjadi peristiwa amo-ral dan asosial, misalnya anak berani
menghina orangtua, murid tak lagi hormat pada guru, atau pelecehan-pelecehan
terhadap wanita, semua itu berawal dan
berakhir pada tindakan nyata, bukan pada sastra. Begitulah agaknya. ***