-->

Perihal Sastra, Imajinasi, dan Moral

Tidaklah benar jika anak-anak Indonesia sekarang disinyalir telah kehilangan imajinasi karena tradisi gemar membaca mereka tersingkir oleh merebaknya budaya tonton dan dengar. Memang diakui tradisi baca masyarakat saat ini kian menipis, tetapi itu bukan berarti melenyapkan daya imajinasi mereka. Lewat film kepahlawanan  Pasukan Turbo, Kesatria Batu Bintang, Power Ranger, film planet Adventures of Conan, Babylon, Starvangers, Maskman, atau film olahan dari saint fiction seperti Viper, Star Trek, dan Time Trek, kemampuan imajinasi mereka justru semakin tajam. Apalagi jika mereka dihadapkan pada dunia sulap David Copperfield, dunia imajinasi yang melebihi imajinasi (beyond imagination). Melalui ‘dunia’ itu mereka dapat membangun ‘dunia (imajinasi) baru’ yang lebih plural, multiple, dari berbagai peristiwa  masa lalu, masa kini, atau masa depan yang jauh.
            Berlebihan juga kiranya jika dinyatakan bahwa turunnya kualitas moral bangsa berawal dan berakhir dari sastra (pernah disinyalir Kompas  beberapa waktu lalu). Sastra memang berpengaruh terhadap kepribadian seseorang, tetapi jika turunnya kualitas moral itu dikatakan akibat dari tipisnya kemampuan imajinasi terhadap sastra adalah sangat berlebihan. Sebab sastra bukanlah sarana tunggal peningkat daya imajinasi. Lukisan, wayang, patung, tari, sandiwara, atau film dapat juga mempertajam imajinasi. Hanya persoalannya apakah imajinasi itu terkontrol atau tidak. Jika terkontrol akan berpengaruh positif dan jika tidak akan berpengaruh negatif. Barangkali dari sinilah muara meningkat atau menurunnya kualitas moral dalam kaitannya dengan sastra.
            Selain itu, memang benar sastra merupakan rekaman realitas kehi-dupan manusia yang berkutat pada masalah ketuhanan, sosial, moral, dan  cinta. Tapi harus diakui bahwa sastra bukanlah satu-satunya “makhluk canggih” penentu moral dan kepribadian manusia. Sebab, selain sastra, sebagaimana disinyalir Budi Darma, masih ada filsafat dan agama. Sastra, filsafat, dan agama memiliki tujuan sama, yaitu menumbuhkan jiwa hu-manitat, hanya caranya yang berbeda. Jiwa humanitat adalah jiwa yang halus, manusiawi, bermoral,  dan berbudaya.
            Agar diperoleh gambaran yang tidak terlalu dogmatis tentang sastra sebagai pengemban misi moral, kaitan antara sastra, imajinasi, dan moral  perlu diperjelas di sini.  Danzinger dan Johnson (1966)  menyatakan bahwa sastra adalah seni verbal yang memanfaatkan bahasa sebagai wahana (medium) kreasinya. Walaupun hanya berupa urutan bahasa (yang indah, estetis), sastra adalah abstraksi kehidupan. Karena itu sastra dapat merangkum dunia-dunia lain. Ini pula yang membedakan sastra dengan cabang-cabang seni lainnya.
            Sementara itu, Herbert Reid (1967) berpandangan bahwa hakikat sastra yang baik adalah mengajak pembaca untuk melihat sastra sebagai cermin diri sendiri. Sastra yang baik juga mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma moral. Apabila pembaca dapat berhu-bungan (langsung) secara intens dengan karya sastra, pathos (rasa simpati dan empati) dalam dirinya akan tergerak. Gerakan pathos itulah yang kemudian menuntun seseorang (pembaca) untuk bertindak sesuai dengan nilai atau moral karya sastra.
            Namun, gerakan pathos sangat ditentukan oleh kemampuan imajinasi. Bahkan bukan hanya bagi pembaca, tetapi juga pengarang. Pathos dalam diri pembaca akan tergerak jika  mampu melihat, meng-imajinasikan, dan melibatkan diri dengan berbagai peristiwa mental yang terjadi dalam karya sastra. Pathos dalam diri pengarang akan tergerak jika  mampu berimajinasi, berpikir kritis, sekaligus terlibat dalam berbagai peristiwa kehidupan. Jika tidak mampu berbuat demikian, pengarang hanya akan melahirkan karya tanpa nilai. Akibatnya, pembaca juga tidak akan memperoleh nilai atau moral dari karya yang dibaca walaupun seluruh kemampuan imajinasinya telah dikerahkan.
            Karena itu, kemampuan imajinasi yang tinggi bukanlah penentu utama bagi peningkatan kualitas moral seseorang. Sebab kemampuan ber-pikir, melibatkan diri, dan  menyeleksi merupakan hal yang tak dapat di-abaikan.  Walaupun misalnya daya imajinasi anak-anak dan remaja begitu kuat, tetapi jika sastra yang dihadapi lebih banyak menawarkan tindakan amoral dan asosial, tentu mereka akan tersesat. Sebab tidak jarang sastra hadir justru menyodorkan peristiwa semacam itu, walaupun dalam kenyataannya memang ada dan benar. Karena itu tak heran jika terjadi seorang pembaca sastra yang tekun menyeleweng atau mati bunuh diri karena ia terobsesi oleh peristiwa imajinatif yang digambarkan dalam karya sastra. Andai benar itu terjadi, betapa terkutuk dan tak bermoral makhluk yang disebut “sastra” itu.
            Di sinilah kemudian diperlukan kemampuan berpikir, melibatkan diri, dan menyeleksi. Kualitas moral pembaca akan meningkat jika  mam-pu berpikir secara analitis dan jernih.  Dengan kejernihannya itu ia dapat melibatkan diri dan “masuk” ke dalamnya secara total sehingga mampu “merebut” esensi dan nilai moral yang ditawarkan. Namun itu perlu ditunjang oleh cara pemilihan yang tepat atas peristiwa kehidupan yang digambarkan. Oleh karenanya, sangat penting prinsip seleksi diterapkan. Bahkan juga  penting bagi seleksi jenis  sastra yang baik.
            Muncul lagi persoalan berkenaan dengan seleksi jenis “sastra yang baik”.  Jika hakikat sastra yang baik selalu mengarahkan pembaca untuk menegakkan dan menjunjung tinggi norma moral dan sosial, tetapi realitasnya tidak selalu demikian. Banyak sastra yang baik justru melawan arus, menggambarkan kebobrokan, membuka penyelewengan, kekejam-an, atau penindasan terhadap kaum lemah.
            Dapat dibayangkan misalnya betapa rakusnya Kasan Ngali dalam novel Pasar (Kuntowijoyo),  betapa tergencetnya Warno dan Marno dalam  Kroco dan Byarpet (Putu Wijaya), betapa gilanya tokoh kita dalam Ziarah (Iwan Simatupang), betapa menjijikkan skandal seks dalam Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi), dan betapa tidak manusiawinya tokoh-tokoh dalam Orang-Orang Bloomington (Budi Darma). Menurut sudut pandang  moral, seharusnya gambaran semacam itu tidak terjadi.
            Tetapi justru itulah hakikat sastra yang sesungguhnya. Ia bertugas menyingkap “kebusukan” demi jiwa manusia (pembaca) yang humanitat. Jika pembaca ingin menangkap esensinya tidak cukup hanya bermodal ketajaman imajinasi. Ia perlu berpikir analitis, menyeleksi secara kritis, memiliki kekayaan batin, dan melibatkan diri secara total. Apabila itu telah dilakukan,  pathos dalam dirinya akan berkembang sehingga dapat menimba moral yang bermanfaat bagi kehidupannya.
            Namun, perlu diingat, nilai moral itu tidak hanya dapat  ditimba dari pengalaman membaca sastra, tetapi juga dari penikmatan seni-seni lain. Karena itu, agak berlebihan jika semakin turunnya kualitas moral anak-anak Indonesia disinyalir sebagai akibat dari tipisnya kemampuan imajinasi dan melenyapnya tradisi baca sastra. Masih banyak orang bermoral dan berjiwa humanitat padahal mereka tidak mengenal sastra. Yang mereka kenal hanyalah wayang, ketoprak, ludruk,  gamelan, sinden, dan seni lainnya, baik lewat pertunjukan langsung maupun lewat radio atau televisi.
            Akhirnya, harus diakui bahwa keberadaan sastra memang berawal dan berakhir dari kehidupan yang memiliki banyak dimensi. Akan tetapi, harus diingat bahwa sastra hadir bukan untuk kepentingan sosial, tetapi untuk kepentingan batin. Ia lahir dari kekayaan batin dan untuk penga-yaan batin.  Karena itu, benar sekali ungkapan Budi Darma, sangat sia-sia jika sastra diciptakan demi perbaikan sosial.  Sebab perbaikan sosial hanya dapat dicapai dengan tindakan nyata, seperti perencanaan pendidikan yang baik, penggalakan program KB, pemberantasan pengangguran, kemiskinan, bukan melalui sastra.  Jika  kini sering terjadi peristiwa amo-ral dan asosial, misalnya anak berani menghina orangtua, murid tak lagi hormat pada guru, atau pelecehan-pelecehan terhadap wanita,  semua itu berawal dan berakhir pada tindakan nyata, bukan pada sastra. Begitulah agaknya. ***  

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel