Perempuan di Mata Tiga Agama Besar (Ulasan Buku)
Tuesday, January 10, 2017
Edit
Suatu ketika, dalam sebuah
konferensi di Montreal, Dr. Nawal Saadawi dengan tegas menyatakan bahwa
restriksi (pembatasan) terhadap gerak kaum perempuan sebenarnya tidak hanya
dijumpai di dalam agama Islam, tetapi dijumpai pula di dalam agama Yahudi, dalam
Perjanjian Lama, dan dalam agama Kristen. Selain itu, pada saat yang sama, ia
menegaskan juga bahwa konsep mengenai kerudung sebenarnya bukan merupakan ciri
khas Islam, melainkan merupakan warisan kultural Barat.
Pernyataan seorang feminis Mesir
itulah yang di dalam konferensi awal tahun 1990 itu mengundang reaksi keras
dari berbagai pihak. Menurut mereka, terutama para feminis Kristen dan Yahudi,
pernyataan Nawal Saadawi itu sama sekali tidak benar dan sangat tidak berdasar.
Bahkan, mereka kemudian mengecam Nawal Saadawi sebagai orang yang sama sekali
tidak paham terhadap agama Yahudi dan Kristen. Dan kecaman itu ujung-ujungnya
berubah menjadi “kemarahan” karena mereka merasa bahwa agama dan kepercayaannya
dimasukkan ke dalam satu kategori dengan orang-orang Islam yang mereka anggap
keji.
Peristiwa singkat yang dilaporkan
oleh Gwyne Dyer dalam harian Toronto Star
edisi 3 Juli 1990 berjudul “Islam Tidak Sendirian dalam Doktrin Patriarkhis”
itulah yang kemudian menggerakkan hati dan pikiran Dr. Sherif Abdel Azeem,
seorang teolog Arab Saudi, sehingga, pada tahun 1995, ia melakukan serangkaian
penelitian perbandingan terhadap agama-agama besar di dunia (Yahudi, Kristen, Islam)
dan hasilnya kemudian ditulis di dalam buku ini. Menurutnya, ia perlu menulis
buku ini karena ia melihat fakta bahwa--sejak dulu hingga sekarang--di dunia
Barat, Islam masih diyakini sebagai simbol subordinasi terhadap perempuan.
Padahal, menurut dia, pembatasan
gerak terhadap kaum perempuan yang kemudian disalahtafsirkan sebagai
subordinasi atau pelemahan atau bias gender itu tidak hanya terdapat di dalam
doktrin-doktrin Kitab Suci Alquran, tetapi terdapat juga di dalam doktrin-doktrin
agama lain. Itulah sebabnya, ia (penulis buku ini) tidak rela kalau orang Barat
menganggap bahwa subordinasi terhadap kaum perempuan semata-mata karena Islam.
Bahkan, setelah melakukan perbandingan terhadap tiga agama besar itu, ia sangat
yakin bahwa Islam justru memberi ruang gerak seluas-luasnya bagi perempuan.
Untuk membuktikan hal tersebut, di
dalam buku yang judul aslinya Women in
Islam versus Women in The Judaeo-Christian Tradition: The Myth & The
Reality ini ia mengungkapkan sekitar 15 fakta yang berhubungan dengan
masalah perempuan yang di dalam tiga agama itu sama-sama didoktrinkan. Kelima
belas fakta itu ialah mengenai dosa perempuan (Hawa), warisan perempuan (Hawa),
anak perempuan memalukan, pendidikan perempuan, menstruasi, saksi, perzinahan,
nazar, hak milik, perceraian, ibu, hak waris, janda, poligami, dan kerudung.
Melalui fakta dan data (doktrin atau
ayat kitab suci Alquran, Bibel, Perjanjian Lama, dan Talmud) itulah penulis
buku ini mencoba meyakinkan pembaca, terutama kaum Yahudi dan Kristen, bahwa
sesungguhnya Islam justru memberikan peluang bagi perempuan untuk maju dan
menolak mentah-mentah adanya subordinasi perempuan. Oleh sebab itu, sangat
disayangkan jika hingga sekarang oleh orang Barat Islam masih dianggap sebagai
suatu ancaman. Dan disayangkan pula mengapa kasus atau kecaman terhadap Dr.
Nawal Saadawi di sebuah konferensi di Montreal tahun 1990 itu masih terjadi.
Padahal, menurut penulis buku ini,
dengan tegas Islam mengakui dan muslim pun mengimani keberadaan agama lain,
termasuk Yahudi dan Kristen, karena agama-agama itu termasuk pula agama samawi
(langit); dalam arti semuanya sama-sama berasal dari Tuhan. Karena itulah,
penulis buku ini berharap, walaupun tidak mungkin lepas dari pengaruh warisan
kultural, Islam hendaknya dilihat sebagai suatu penutup, pelengkap, dan
penyempurna terhadap risalah Tuhan yang diwahyukan sebelumnya.
Tampak di dalam cara penyajiannya
bahwa penulis buku ini sangat berhati-hati, dan pada hemat saya, ia begitu adil
dalam melihat fakta yang ada di dalam doktrin-doktrin tiga agama besar (Yahudi,
Kristen, Islam) yang diteliti. Itulah sebabnya, buku tipis ini, walaupun
judulnya terkesan sangat sensitif dan mungkin akan menimbulkan praduga tidak
baik, tetapi isinya sama sekali tidak memandang rendah ajaran agama lain,
apalagi mendeskreditkan. Dan hal ini ditegaskan berulang-ulang oleh penulis (di
bagian pendahuluan dan epilog).
Kalau toh, misalnya, di dalam buku
ini ada uraian yang menyatakan bahwa posisi perempuan dalam ajaran Yahudi dan
Kristen terdeskreditkan, penulis buku ini mohon agar pembaca hendaknya tidak
menyalahkan kedua agama tersebut. Sebab, seperti halnya Islam, bagaimanapun
tradisi Yahudi dan Kristen juga telah dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan,
kondisi, dan kultur tempat tradisi itu hidup. Itulah sebabnya, terjadinya
“pelemahan” terhadap kaum perempuan dalam tradisi Yahudi dan Kristen pada abad
ke-7, misalnya, haruslah kejadian itu dipahami sebagai suatu kasus belaka.
Lagipula, buku ini hanyalah
memusatkan perhatian pada doktrin yang ada di dalam kitab suci, bukan
mempersoalkan apa yang dipraktikkan oleh jutaan pengikutnya. Akhirnya, menurut
hemat saya, buku ini layak dibaca oleh siapa pun, termasuk kaum perempuan, para
ilmuwan, teolog, atau para pemimpin agama apa pun dalam rangka untuk lebih
mencermati kembali, atau menafsirkan kembali tafsir-tafsir yang selama ini
dianggap final dan telah diyakini (secara eksklusif).***
Judul : Sabda Langit: Perempuan dalam Tradisi Islam,
Yahudi, dan Kristen
Penulis : Dr. Sherif Abdel Azeem
Penerjemah : Dra. Sri Suhandjati Sukri dan Drs. Ruswan,
M.A.
Penerbit : Gama Media, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2001
Ketebalan : 94 halaman
Dimuat Kedaulatan Rakyat Minggu, 13 Mei 2001