Penghargaan Bahasa/ Sastra dan Harapan terhadap Pemda
Saturday, January 14, 2017
Edit
Perlukah
penghargaan selalu diberikan kepada bahasa dan sastra (Indonesia dan Jawa) di
Yogyakarta? Bila memang perlu, siapa yang paling berhak memberikannya?
Bagaimana dengan Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan, Taman Budaya, Perpustakaan
Daerah, atau Perguruan Tinggi? Bukankah Permendagri No. 40 Tahun 2007 yang
disusul UU No. 24 Tahun 2009 telah menyarankan di era otonomi ini Pemda wajib
pula memelihara bahasa dan sastra di daerah masing-masing? Sederet pertanyaan
ini tentu tak cuma memerlukan jawaban, tetapi juga perlu tindakan nyata. Hanya
saja, sampai hari ini, keadaan masih adem-ayem, sepi-sepi saja.
Di tengah
sunyi senyap inilah Balai Bahasa Provinsi DIY tahun ini (2013) kembali hadir
untuk memberikan penghargaan kepada bahasa dan sastra di Yogyakarta. Penghargaan ini rutin diberikan setahun
sekali (sejak 2007) dan kini memasuki tahun ke-7. Tahun ini penghargaan bahasa
akan diberikan kepada pengguna bahasa terbaik (di Radio dan Tata Naskah Dinas
SMK) dan penghargaan sastra akan diberikan kepada buku sastra (puisi, cerpen,
novel, drama, dan cerita anak) karya pengarang Yogya dan diterbitkan penerbit
Yogya. Selain itu, tahun ini penghargaan juga akan diberikan kepada tokoh
penggiat bahasa dan sastra.
Ada
beberapa alasan mengapa penghargaan bahasa dan sastra di Yogya perlu secara
rutin diberikan. Pertama, memberi semangat kepada masyarakat agar tetap
bersikap positif dan senantiasa menggunakan bahasa dengan baik, di samping
memberi semangat kepada penulis/pengarang Yogya (penyair, cerpenis, novelis,
penulis drama) agar lebih giat lagi berkarya yang tak hanya mempertimbangkan
produktivitas tetapi juga kualitas. Kedua, membangun komitmen seluruh
organisasi (instansi) dan seluruh penerbit di Yogya agar tetap concern memperhatikan
dan menerbitkan buku-buku bahasa dan sastra karya pengarang Yogya. Ketiga,
merangsang lahirnya para pengarang/penulis baru. Keempat, memberikan alternatif
bacaan yang bermutu (baik) bagi masyarakat di Yogya.
Selain
alasan tersebut, secara makro pemberian penghargaan ini juga didorong oleh niat
mempertahankan, menumbuhkan, dan memperkuat tradisi berbahasa dan bersastra di
Yogya yang telah dibangun para pujangga melalui tradisi tulis keraton sejak
awal abad XVIII. Semua itu berkait dengan upaya memupuk citra Yogya sebagai
kota budaya (yang istimewa) sekaligus sebagai pusat budaya (sastra) yang
diharapkan kelak melahirkan produk budaya bernilai tinggi yang mampu membangun
peradaban yang lebih mengedepankan aspek mental-spiritual dan humanis-religius.
Meski
belum mengalami peningkatan drastis, tujuan memberi semangat kepada institusi
agar menggunakan bahasa yang baik dan kepada pengarang agar lebih giat lagi
menulis serta tujuan membangun komitmen penerbit agar tetap menerbitkan
buku-buku sastra Yogya telah menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Hal itu
terlihat, ketika penghargaan diberikan pertama pada 2007, buku-buku (bahasa
dan) sastra (terbitan 2006) yang masuk penilaian hanya beberapa judul saja,
tetapi kemudian, dari tahun ke tahun jumlah itu kian bertambah. Hanya saja,
memang, khususnya buku sastra, belum pernah lebih dari 25 judul per tahun. Diharapkan
pada tahun ini jumlah buku yang masuk akan lebih banyak lagi.
Dari
karya-karya yang masuk penilaian, jumlah terbanyak ditempati oleh jenis novel.
Kemudian disusul oleh cerpen dan puisi. Sementara, sejak 2007 hingga 2011,
tidak ada karya (naskah) drama. Hal ini menandai jenis novel menempati posisi
penting dalam konstelasi sastra Yogya, sedangkan drama tak mendapat tempat sama
sekali. Tidak diketahui secara persis apakah penerbit Yogya tidak mau
menerbitkan drama atau memang pengarang Yogya tidak ada yang menulis karya
drama. Tetapi, satu hal yang menggembirakan ialah dari tahun ke tahun selalu
muncul pengarang baru.
Namun,
satu hal yang sampai hari ini belum mendapat perhatian ialah tujuan untuk
memberikan alternatif bacaan (bahasa dan) sastra yang bermutu bagi siswa (SLTP/SLTA).
Hal ini terlihat dari tidak adanya reaksi dari pihak-pihak terkait; katakanlah
Pemerintah Daerah c.q. Dinas Pendidikan atau Perpustakaan Daerah, baik tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota. Padahal, harapan besar dari penyelenggaraan
penghargaan bahasa dan sastra ini ialah buku-buku yang terpilih (terbaik)
kemudian dijadikan buku bacaan “wajib” bagi siswa di sekolah.
Mengapa
buku itu penting untuk bacaan siswa di Yogya? Tak lain karena buku itu ditulis
oleh pengarang Yogya yang tentu dengan semangat ke-Yogya-annya. Melalui buku
bacaan sastra Yogya itu setidaknya siswa akan mendapat gambaran tentang
berbagai hal yang berkait dengan budaya dan nilai-nilai lokalitas-spiritualitas
(Yogya). Ambillah satu contoh, misalnya novel Rumah Cinta karya Mustofa
W Hasjim (penerima penghargaan 2009).
Buku (novel)
itu ditulis oleh pengarang asli Yogya (Kotagede) dan berbicara tentang
aspek-aspek spiritual di balik peristiwa gempa bumi yang melanda Yogya pada 27
Mei 2006. Bahkan novel itu tidak sekadar berisi rekaman dokumentasi fakta-fakta
yang terjadi pada saat gempa, tetapi juga mengurai kegetiran hidup yang
dirasakan oleh sebagian masyarakat yang menjadi korban gempa. Dan yang lebih
penting lagi, novel ini mencoba memberikan alternatif solusi, menawarkan
hal-hal yang lebih dalam di balik peristiwa dan fakta yang terjadi, dan
menyarankan betapa pentingnya memperhatikan nilai-nilai dan makna kemanusiaan.
Nah,
bukankah buku (novel) semacam itu penting untuk bacaan siswa? Paling tidak,
setelah membaca (mengapresiasi) novel itu, siswa akan lebih memahami arti hidup
ini dan dapat memetik pelajaran yang menyadarkan nurani dan rasa
kemanusiaannya: betapa hidup ini pahit dan karenanya harus diperjuangkan dengan
penuh keimanan. Walau agak berbeda, pelajaran yang sama juga dapat dipetik dari
novel Mahabbah Rindu (penerima penghargaan 2008) karya Abidah El
Khalieqy. Seperti halnya novel Rumah Cinta yang berpretensi sebagai Pembangkit
Semangat, novel Mahabbah Rindu juga berpretensi sebagai “Pencarian
Kebenaran Iman.” Hal serupa juga tampak pada buku kumpulan cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (penerima
penghargaan 2010) karya Agus Noor dan novel Sang
Nyai (penerima penghargaan 2012) karya Budi Sardjono.
Untuk itulah,
tidak salah jika buku-buku “penerima penghargaan” itu pantas menjadi bacaan
penting bagi siswa (SLTP/SLTA) di Yogya. Maka, tidak salah pula jika kegiatan
penghargaan sastra ini ditindaklanjuti oleh Pemda dengan cara disertakannya
karya pemenang itu sebagai salah satu buku terpilih ketika ada (proyek)
pengadaan (penerbitan) buku untuk sekolah. Tindak lanjut ini penting sebagai
bukti keseriusan Pemda (bidang pendidikan) dalam mewujudkan generasi yang
berkarakter dan bermartabat. Bukankah sampai hari ini kita tetap yakin bahwa
sastra merupakan salah satu dari tiga jalan “pencarian kebenaran” selain
filsafat dan agama? ***
Dimuat harian Bernas Jogja, 31 Juli 2013.