-->

Pendekatan Multidimensional: Sebuah Alternatif Kritik Sastra Indonesia

 Membaca karya sastra sama artinya dengan memahami kehidupan (manusia) karena hubungan sastra dengan kehidupan sangatlah erat. Sebab, di dalam karya sastra sering tercermin aneka ragam kehidupan baik menyangkut hubungan manusia dengan sesama, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan lingkungannya, atau manusia dengan Tuhannya. Bertolak dari asumsi ini jelas bahwa --tanpa mengesampingkan hakikat karya sastra sebagai karya seni-- karya sastra seolah dituntut memberikan ‘nilai’ yang pada gilirannya ‘nilai’ tersebut dipergunakan manusia sebagai landasan hidupnya. Selain itu, persoalan demikian juga menimbulkan asumsi lain bahwa karya sastra yang baik atau berguna adalah karya sastra yang bernilai.
            Kendati demikian, untuk menentukan apakah karya sastra bernilai atau tidak (bagi manusia), tentu saja harus ditentukan siapakah (manusia) yang memberikan atau mencari nilai tersebut. Bila seorang manusia mampu memberi atau mencari nilai dalam suatu karya sastra, barulah karya sastra itu dapat dikatakan bernilai, paling tidak bernilai bagi dirinya sendiri. Tetapi, sebaliknya, bila manusia tidak mampu mencerap isi atau nilai suatu karya sastra, berarti karya sastra itu tidaklah bernilai walaupun di lain pihak barangkali karya itu amat ‘bernilai’ bagi manusia lain.
            Sampai pada persoalan nilai (makna) sekaligus kemampuan menilai karya sastra inilah, kita sampai pada persoalan yang rumit sekaligus kompleks. Sebab, di dalam menilai karya sastra kita (manusia) dituntut memiliki kemampuan tertentu dan dengan cara-cara tertentu. Kalau ternyata melalui cara tertentu kita belum juga mampu mengungkap nilai yang dimaksudkan, diharapkan kita dapat menggunakan cara tertentu lain untuk memperoleh nilai tertentu pula.
            Dari satu cara tertentu ke cara tertentu lain untuk menangkap nilai atau makna karya sastra itulah yang barangkali mendasari muncul dan berkembangnya kritik sastra pada umumnya dan kritik sastra Indonesia pada khususnya. Barangkali pula, cara-cara tertentu itu yang mendasari timbulnya tradisi kritik sastra sejak zaman Yunani (yang dipelopori oleh Xenophanes dan Heraclitus) sampai zaman modern sekarang ini. Dan menurut sejarahnya, empat pendekatan (kritik) sastra telah dijabarkan secara populer oleh Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical Tradition (1953, 1981), yaitu yang dikenal dengan sebutan (1) kritik mimetik, (2) kritik ekspresif, (3) kritik objektif, dan (4) kritik pragmatik. Kritik model pertama bertitik tolak pada sastra sebagai tiruan kenyataan, yang kedua bertitik tolak pada hubungan sastra dengan proses kreatif pengarangnya, yang ketiga bertitik tolak pada karya sastra sebagai objek yang otonom, dan yang terakhir bertitik tolak pada pembaca selaku pemberi makna karya sastra.
             Model-model kritik Barat itulah yang serta-merta mengalir ke Indonesia pada sekitar awal abad ke-20. Namun, bagaimana dengan keadaan kritik sastra di Indonesia? Kritik sastra Indonesia yang usianya relatif muda, ternyata belum mendapat tempat yang layak sebagai bentuk kritik sastra yang utuh. Kritik sastra di Indonesia masih mengalami cobaan dan guncangan-guncangan hebat. Namun, guncangan semacam ini sudah selayaknya terjadi sebab model kritik yang berkembang di Indonesia bukanlah hasil penemuan sendiri tetapi merupakan hasil transferisasi dari Barat. Dengan begitu wajar bila kritik sastra Indonesia hampir tak pernah mapan karena karya sastra Indonesia sebagai objeknya memiliki ciri-ciri dan hakikat tersendiri yang berbeda dengan karya sastra Barat.
            Sejarah mencatat telah banyak bermunculan jenis teori sastra dan teori kritik sastra di Indonesia. Ini tak lepas dari peran tokoh-tokoh kita seperti Umar Junus yang menuangkan gagasannya dalam buku Mitos dan Komunikasi, Dari Peristiwa ke Imajinasi, dan Resepsi Sastra; atau A Teeuw dalam buku Membaca dan Menilai Sastra, Sastra dan Ilmu Sastra, atau dalam tulisan-tulisan lepas sebagai bahan ceramah; dan buku Pengantar Ilmu Sastra karangan Luxemburg hasil pengindonesiaan Dick Hartoko. Sedangkan bidang kritik sastra, di Indonesia dipelopori oleh H.B. Jassin dan murid-muridnya dan juga oleh A. Teeuw seperti terlihat dalam buku Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (I—IV) dan Tergantung pada Kata.
            Walaupun teori dan kritik tersebut banyak bermunculan di Indonesia, semua itu tak lain berasal dari negeri Barat; atau setidaknya mempunyai kecenderungan pada teori dan kritik Barat. Karena kita menyadari hakikat sastra Indonesia belum tentu sejajar dengan karya sastra Barat, hal inilah yang sering menimbulkan ketidakpuasan bagi banyak pihak di Indonesia. Dan ini pula yang membuat kita seolah ingin menolak model kritik sastra dari Barat.
            Contoh kongkret misalnya model kritik sastra aliran Rawamangun yang dipelopori oleh Arief Budiman dan Gunawan Mohammad. Aliran kritik ini mendasarkan diri pada psikilogi gestalt. Tetapi, usaha penolakan teori kritik Barat seperti yang dilakukan oleh kelompok Rawamangun ini ternyata hanya mampu menampakkan muka sesaat dan lalu musnah. Model kritik ini pun sejauh ini belum ada yang mencoba mengaplikasikannya pada karya sastra Indonesia.
            Mungkin fenomena dan problema seperti ini yang menimbulkan pro dan kontra. Di satu pihak ada kelompok yang menolak model Barat diterapkan di Indonesia mengingat esensi dan hakikat sastra Indonesia berbeda dengan sastra asing. Tetapi, di pihak lain ada kelompok yang tetap menerima dan bahkan kelompok ini berkata bahwa kalau ingin maju kita harus berkiblat ke Barat. Barangkali persoalan inilah yang menimbulkan pemikiran budayawan Umar Kayam bahwa di Indonesia harus secepatnya dicari model teori kritik sastra yang ‘mengindonesia’. Atau, secara eksplisit, Faruk berkata bahwa penelitian poetika Indonesia harus terlepas dari teori sastra Barat (Kedaulatan Rakyat, 19 Juli 1987). Kelompok inilah yang kurang setuju bila model Barat diterapkan pada sastra Indonesia tanpa lebih dulu dicari bagaimana sesungguhnya identitas sastra Indonesia.
            Namun, hal tersebut tidak sejalan dengan pandangan Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Menurutnya, bagaimanapun juga, Indonesia harus tetap berkiblat ke Barat sebab kalau tidak Indonesia akan jauh ketinggalan zaman, termasuk dalam hal teori dan kritik sastra. Pandangan STA memang juga sulit untuk ditolak. Bahkan sudah menjadi kenyataan bahwa model-model kritik sastra Indonesia tak lain adalah model kritik sastra yang diusung dari Barat. Kalau demikian keadaannya, tentu saja kita akan setuju bila kita tetap menerima model teori dan kritik sastra Barat untuk diterapkan di Indonesia, sejauh kita dapat menyeleksi dan berusaha menyesuaikan esensi dan hakikat sastra Indonesia. Persoalan ini akan lebih luwes sebab ada kemungkinan yang lebih leluasa, tidak terpaku pada satu model saja, dan selalu dinamis sesuai dengan persepsi kita tentang sastra Indonesia.
            Dalam sebuah diskusi kecil Faruk mengemukakan bahwa dalam studi sastra, atau tepatnya untuk menangkap makna karya sastra, hendaknya dipergunakan teori/pendekatan multidimensional. Mungkin di benak kita pernah terlintas pemikiran semacam itu, bahwa untuk mengedepankan  nilai atau makna karya sastra secara tuntas kita tidak hanya mempergunakan satu model saja seperti misalnya sosiologi, psikologi, atau mimetik, ekspresif, dan seterusnya, tetapi kita seyogianya menggabungkan semua itu untuk mendekati sebuah karya sastra. Dengan cara ini barangkali akan diperoleh bentuk baru sesuai dengan kodrat sekaligus hakikat karya sastra Indonesia.
            Jadi, pandangan ini lebih menekankan pada kontak dialektik antara karya sastra (baik struktur luar maupun struktur dalam) dengan persepsi peneliti (pembaca sebagai pemberi makna karya sastra) yang secara dinamis bergerak dari satu kasus ke kasus lain sesuai dengan perspektifnya terhadap karya yang dihadapi. Atau dengan kata lain, penentuan dimensi yang dianggap bermakna bergantung pada bagaimana hasil proses dialektis karya sastra dengan bermacam pengalaman kita (pembaca) yang secara berangsur-angsur mengisi kesadaran atau perspektif kita.
            Sebagai contoh, misalnya, dalam menyoroti kasus yang ada di dalam teks, yang mungkin berjajar-jajar, bila tidak dapat ditangkap dengan model yang satu hendaknya dipergunakan model lain dalam konteks yang sama. Begitulah seterusnya, sampai pada titik kesimpulan yang detail. Mungkin kita setuju bila untuk memperoleh model (teori kritik) baru ala Indonesia kita mempergunakan cara graunded, seperti yang pernah disebut-sebut oleh Faruk pula. Yakni dengan mendata kasus per kasus dalam objek sastra Indonesia, tanpa meninggalkan model Barat, yang pada akhirnya barangkali akan diperoleh sebuah keunikan baru yang selama ini masih terpendam.
Dan dalam kaitan dengan hal di atas, semua tulisan (artikel) dalam buku ini tidak secara eksplisit berpegang pada model teori atau pendekatan tertentu walaupun, disadari atau tidak, sesungguhnya konsep-konsep yang dijadikan dasar penulisan –harus diakui—bukan berasal dari konteks ilmu sastra Indonesia. Oleh karenanya, tulisan-tulisan yang dapat dibaca pada buku ini tak lebih dari sekadar tanggapan impresif atau ulasan selintas tentang (beberapa) karya sastra Indonesia. ***
Catatan: Versi awalnya tulisan ini dimuat di Kedaulatan Rakyat, 23 Agustus 1987.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel