Pendekatan Multidimensional: Sebuah Alternatif Kritik Sastra Indonesia
Monday, January 02, 2017
Edit
Membaca
karya sastra sama artinya dengan memahami kehidupan (manusia) karena hubungan
sastra dengan kehidupan sangatlah erat. Sebab, di dalam karya sastra sering
tercermin aneka ragam kehidupan baik menyangkut hubungan manusia dengan sesama,
manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan lingkungannya, atau manusia
dengan Tuhannya. Bertolak dari asumsi ini jelas bahwa --tanpa mengesampingkan
hakikat karya sastra sebagai karya seni-- karya sastra seolah dituntut
memberikan ‘nilai’ yang pada gilirannya ‘nilai’ tersebut dipergunakan manusia
sebagai landasan hidupnya. Selain itu, persoalan demikian juga menimbulkan
asumsi lain bahwa karya sastra yang baik atau berguna adalah karya sastra yang
bernilai.
Kendati
demikian, untuk menentukan apakah karya sastra bernilai atau tidak (bagi
manusia), tentu saja harus ditentukan siapakah (manusia) yang memberikan atau
mencari nilai tersebut. Bila seorang manusia mampu memberi atau mencari nilai
dalam suatu karya sastra, barulah karya sastra itu dapat dikatakan bernilai,
paling tidak bernilai bagi dirinya sendiri. Tetapi, sebaliknya, bila manusia
tidak mampu mencerap isi atau nilai suatu karya sastra, berarti karya sastra
itu tidaklah bernilai walaupun di lain pihak barangkali karya itu amat
‘bernilai’ bagi manusia lain.
Sampai
pada persoalan nilai (makna) sekaligus kemampuan menilai karya sastra inilah,
kita sampai pada persoalan yang rumit sekaligus kompleks. Sebab, di dalam menilai
karya sastra kita (manusia) dituntut memiliki kemampuan tertentu dan dengan
cara-cara tertentu. Kalau ternyata melalui cara tertentu kita belum juga mampu
mengungkap nilai yang dimaksudkan, diharapkan kita dapat menggunakan cara
tertentu lain untuk memperoleh nilai tertentu pula.
Dari
satu cara tertentu ke cara tertentu lain untuk menangkap nilai atau makna karya
sastra itulah yang barangkali mendasari muncul dan berkembangnya kritik sastra
pada umumnya dan kritik sastra Indonesia pada khususnya. Barangkali pula,
cara-cara tertentu itu yang mendasari timbulnya tradisi kritik sastra sejak
zaman Yunani (yang dipelopori oleh Xenophanes dan Heraclitus) sampai zaman
modern sekarang ini. Dan menurut sejarahnya, empat pendekatan (kritik) sastra
telah dijabarkan secara populer oleh Abrams dalam bukunya The Mirror and The
Lamp: Romantic Theory and The Critical Tradition (1953, 1981), yaitu yang
dikenal dengan sebutan (1) kritik mimetik, (2) kritik ekspresif, (3) kritik
objektif, dan (4) kritik pragmatik. Kritik model pertama bertitik tolak pada
sastra sebagai tiruan kenyataan, yang kedua bertitik tolak pada hubungan sastra
dengan proses kreatif pengarangnya, yang ketiga bertitik tolak pada karya
sastra sebagai objek yang otonom, dan yang terakhir bertitik tolak pada pembaca
selaku pemberi makna karya sastra.
Model-model kritik Barat itulah yang
serta-merta mengalir ke Indonesia pada sekitar awal abad ke-20. Namun,
bagaimana dengan keadaan kritik sastra di Indonesia? Kritik sastra Indonesia
yang usianya relatif muda, ternyata belum mendapat tempat yang layak sebagai
bentuk kritik sastra yang utuh. Kritik sastra di Indonesia masih mengalami
cobaan dan guncangan-guncangan hebat. Namun, guncangan semacam ini sudah
selayaknya terjadi sebab model kritik yang berkembang di Indonesia bukanlah
hasil penemuan sendiri tetapi merupakan hasil transferisasi dari Barat. Dengan
begitu wajar bila kritik sastra Indonesia hampir tak pernah mapan karena karya
sastra Indonesia sebagai objeknya memiliki ciri-ciri dan hakikat tersendiri
yang berbeda dengan karya sastra Barat.
Sejarah
mencatat telah banyak bermunculan jenis teori sastra dan teori kritik sastra di
Indonesia. Ini tak lepas dari peran tokoh-tokoh kita seperti Umar Junus yang
menuangkan gagasannya dalam buku Mitos
dan Komunikasi, Dari Peristiwa ke Imajinasi, dan Resepsi Sastra; atau A Teeuw dalam buku Membaca dan Menilai Sastra, Sastra dan Ilmu Sastra, atau dalam
tulisan-tulisan lepas sebagai bahan ceramah; dan buku Pengantar Ilmu Sastra karangan Luxemburg hasil pengindonesiaan Dick
Hartoko. Sedangkan bidang kritik sastra, di Indonesia dipelopori oleh H.B.
Jassin dan murid-muridnya dan juga oleh A. Teeuw seperti terlihat dalam buku Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik
dan Esai (I—IV) dan Tergantung pada
Kata.
Walaupun
teori dan kritik tersebut banyak bermunculan di Indonesia, semua itu tak lain
berasal dari negeri Barat; atau setidaknya mempunyai kecenderungan pada teori
dan kritik Barat. Karena kita menyadari hakikat sastra Indonesia belum tentu
sejajar dengan karya sastra Barat, hal inilah yang sering menimbulkan
ketidakpuasan bagi banyak pihak di Indonesia. Dan ini pula yang membuat kita
seolah ingin menolak model kritik sastra dari Barat.
Contoh
kongkret misalnya model kritik sastra aliran Rawamangun yang dipelopori oleh
Arief Budiman dan Gunawan Mohammad. Aliran kritik ini mendasarkan diri pada
psikilogi gestalt. Tetapi, usaha penolakan teori kritik Barat seperti yang
dilakukan oleh kelompok Rawamangun ini ternyata hanya mampu menampakkan muka
sesaat dan lalu musnah. Model kritik ini pun sejauh ini belum ada yang mencoba
mengaplikasikannya pada karya sastra Indonesia.
Mungkin
fenomena dan problema seperti ini yang menimbulkan pro dan kontra. Di satu
pihak ada kelompok yang menolak model Barat diterapkan di Indonesia mengingat
esensi dan hakikat sastra Indonesia berbeda dengan sastra asing. Tetapi, di
pihak lain ada kelompok yang tetap menerima dan bahkan kelompok ini berkata
bahwa kalau ingin maju kita harus berkiblat ke Barat. Barangkali persoalan
inilah yang menimbulkan pemikiran budayawan Umar Kayam bahwa di Indonesia harus
secepatnya dicari model teori kritik sastra yang ‘mengindonesia’. Atau, secara
eksplisit, Faruk berkata bahwa penelitian poetika Indonesia harus terlepas dari
teori sastra Barat (Kedaulatan Rakyat,
19 Juli 1987). Kelompok inilah yang kurang setuju bila model Barat diterapkan
pada sastra Indonesia tanpa lebih dulu dicari bagaimana sesungguhnya identitas
sastra Indonesia.
Namun,
hal tersebut tidak sejalan dengan pandangan Sutan Takdir Alisjahbana (STA).
Menurutnya, bagaimanapun juga, Indonesia harus tetap berkiblat ke Barat sebab
kalau tidak Indonesia akan jauh ketinggalan zaman, termasuk dalam hal teori dan
kritik sastra. Pandangan STA memang juga sulit untuk ditolak. Bahkan sudah
menjadi kenyataan bahwa model-model kritik sastra Indonesia tak lain adalah
model kritik sastra yang diusung dari Barat. Kalau demikian keadaannya, tentu
saja kita akan setuju bila kita tetap menerima model teori dan kritik sastra
Barat untuk diterapkan di Indonesia, sejauh kita dapat menyeleksi dan berusaha
menyesuaikan esensi dan hakikat sastra Indonesia. Persoalan ini akan lebih
luwes sebab ada kemungkinan yang lebih leluasa, tidak terpaku pada satu model
saja, dan selalu dinamis sesuai dengan persepsi kita tentang sastra Indonesia.
Dalam
sebuah diskusi kecil Faruk mengemukakan bahwa dalam studi sastra, atau tepatnya
untuk menangkap makna karya sastra, hendaknya dipergunakan teori/pendekatan
multidimensional. Mungkin di benak kita pernah terlintas pemikiran semacam itu,
bahwa untuk mengedepankan nilai atau
makna karya sastra secara tuntas kita tidak hanya mempergunakan satu model saja
seperti misalnya sosiologi, psikologi, atau mimetik, ekspresif, dan seterusnya,
tetapi kita seyogianya menggabungkan semua itu untuk mendekati sebuah karya
sastra. Dengan cara ini barangkali akan diperoleh bentuk baru sesuai dengan
kodrat sekaligus hakikat karya sastra Indonesia.
Jadi,
pandangan ini lebih menekankan pada kontak dialektik antara karya sastra (baik
struktur luar maupun struktur dalam) dengan persepsi peneliti (pembaca sebagai
pemberi makna karya sastra) yang secara dinamis bergerak dari satu kasus ke
kasus lain sesuai dengan perspektifnya terhadap karya yang dihadapi. Atau
dengan kata lain, penentuan dimensi yang dianggap bermakna bergantung pada
bagaimana hasil proses dialektis karya sastra dengan bermacam pengalaman kita
(pembaca) yang secara berangsur-angsur mengisi kesadaran atau perspektif kita.
Sebagai
contoh, misalnya, dalam menyoroti kasus yang ada di dalam teks, yang mungkin
berjajar-jajar, bila tidak dapat ditangkap dengan model yang satu hendaknya
dipergunakan model lain dalam konteks yang sama. Begitulah seterusnya, sampai
pada titik kesimpulan yang detail. Mungkin kita setuju bila untuk memperoleh
model (teori kritik) baru ala Indonesia kita mempergunakan cara graunded, seperti yang pernah
disebut-sebut oleh Faruk pula. Yakni dengan mendata kasus per kasus dalam objek
sastra Indonesia, tanpa meninggalkan model Barat, yang pada akhirnya barangkali
akan diperoleh sebuah keunikan baru yang selama ini masih terpendam.
Dan dalam kaitan dengan
hal di atas, semua tulisan (artikel) dalam buku ini tidak secara eksplisit
berpegang pada model teori atau pendekatan tertentu walaupun, disadari atau
tidak, sesungguhnya konsep-konsep yang dijadikan dasar penulisan –harus
diakui—bukan berasal dari konteks ilmu sastra Indonesia. Oleh karenanya,
tulisan-tulisan yang dapat dibaca pada buku ini tak lebih dari sekadar
tanggapan impresif atau ulasan selintas tentang (beberapa) karya sastra
Indonesia. ***
Catatan:
Versi awalnya tulisan ini dimuat di Kedaulatan Rakyat, 23 Agustus 1987.