-->

Mohammad Diponegoro: Dari Teater Muslim ke Radio Australia

Ah Mohammad kau mati muda
Gerbang Syam berkarat ukirnya
Iblispun pernah menantangmu
Allahu Akbar sementara Rakib Atid 
mencatat-catat tiap amalmu
tentang jauhnya perjalananmu
syahdan, Izrail pun segera menjemputmu
perlukah kudendangkan Annaba
sementara kau berjalan tetap
kemudian sunyi

Gema takbir mengetuk pintu langit
dan para malaikat asung salam
dibukakannya pintu-pintunya
demikian jauh kabar dari langit
yang bercerita tentang komidi alam baka
 ... 

(1983).

     Sajak ini adalah persembahan terakhir Jamil Suherman kepada Mohammad Diponegoro, berjudul “Kereta Penghabisan”, dimuat dalam  Kabar dari Langit (Pustaka, Bandung, 1988). Kata-kata dan suasana sajak ini meng-ingatkan kepada kita, siapakah sebenarnya Mohammad Diponegoro (dising-kat MD). Dia  adalah sastrawan, teaterawan, dan wartawan yang amat getol memperjuangkan nilai-nilai religiositas. Namanya menjadi besar, antara lain, berkat lakonnya Iblis. Lakon ini sangat populer tahun 60-an lewat Teater Muslim di Yogyakarta. Sayang, pada 9 Mei 1982 (14 tahun lalu), MD telah meninggalkan kita untuk selamanya.
        Mungkin banyak sudah orang melupakan nama MD. Tetapi, tak mungkinlah bagi para pecinta sastra Indonesia. Sebab, meski tak banyak, karya-karya MD (puisi, cerpen, drama, novel) memiliki misi, warna, dan nuansa tersendiri yang menghiasi sejarah sastra Indonesia. Karena itu,  untuk mengenang jasa-jasa kesastrawanannya, saat ini kita pantas mene-ngok kembali kiprah MD dalam dunia sastra Indonesia.
            Kiprah MD dalam dunia sastra memang tidak terlalu lama. Hanya sekitar 25 tahun. Sastrawan kelahiran 28 Juni 1928 ini mengawali karier kesastrawanannya pada akhir 1950-an. Sebelum itu, MD sibuk jadi pejuang, berpangkat Letnan Dua, dan pernah jadi Komandan Seksi Resimen Onto-wiryo Divisi III di Yogya (1947-1948).  Bosan jadi tentara, sastrawan yang pernah belajar di Sospol UGM (tak tamat) dan Nippon Bunka Gakuin (Jepang) ini lalu memilih profesi baru: mengarang. “Emosi akibat perang itulah agaknya yang mendorong saya menulis (mengarang)”, demikian alasannya jadi pengarang (lihat Yuk, Menulis Cerpen Yuk, 1985).
         Karier MD mulai eksis lewat Teater Muslim yang ia dirikan bersama kawan-kawannya (1961). Naskah lakonnya Iblis, selama 4 tahun berturut-turut (1961-1964) dipentaskan di berbagai kota (Solo, Surabaya, Malang, Madiun, Semarang, Jakarta, dll). Lakon inilah yang membesarkan nama MD sekaligus Teater Muslim. Oleh beberapa kritikus, lakon Iblis juga dinilai sebagai lakon yang memiliki predikat “istimewa”. Ia menghiasi sejarah penulisan lakon drama di Indonesia.
         Michael Boden, doktor drama dari University of Wisconsin, menilai Iblis sebagai bercorak “baru”. Kebaruannya terletak pada sifatnya yang khas “sosial dan dakwah”. Ini berbeda dengan lakon sebelum  40-an yang lebih  nasionalistis. Berbeda pula dengan lakon tahun 40--60-an yang cenderung realisme-psikologis. Memang, lewat lakon Iblis MD menegaskan: “musuh terbesar manusia adalah iblis yang ada dalam diri  sendiri”. Tema semacam ini jarang digarap para penulis lakon sebelumnya. Karena itu, MD dikenal sebagai salah seorang penulis lakon handal, walaupun tak banyak meng-hasilkan naskah. Selain Iblis (Pustaka Panjimas,  1983), kita hanya kenal satu lakonnya lagi, Surat pada Gubernur (thn.?).
            MD juga seorang penyair. Antologinya, Manifestasi, bersama Goena-wan Mohammad dan M. Saribi, terbit pada 1963. Namun, daripada penyair, MD lebih dikenal sebagai penerjemah Alquran secara puitis (puitisasi). Bukunya Pekabaran (Budaya Jaya, 1977) memuat 38 buah puitisasi, diawali  “Pembukaan (Al-Fatihah)” dan diakhiri “Manusia (An-Nas)”. Buku lainnya, Kabar Wigati dari Kerajaan (Dua Dimensi, 1985) memuat 8 buah, diawali  “Pembukaan” dan diakhiri “Membelah”. Dalam antologi Kabar dari Langit (Pustaka, 1988), bersama Jamil Suherman, MD mempuitisasikan ayat suci  sebanyak 18 buah. Sebagai penerjemah Alquran secara puitis, MD cukup mahir, meski tidak semahir dan setenar HB Jassin.
        Keberhasilan MD sebagai sastrawan tidak hanya berkat lakon Iblis dan puitisasi Alquran. Tetapi juga berkat fiksinya. Dalam karya fiksinya, nuansa religius ditampilkan begitu pekat dan dalam. Ia tidak hanya  me-mentingkan aspek religius-ritual (upacara formal), tetapi  yang terpenting aspek religiositas (praktik tindakan). Karena itu, bayang-bayang sinar yang memancar dari baliknya lebih mampu “menyodok” batin pembaca sehingga terdorong berkontemplasi. Jika kita bandingkan, barangkali nuansa fiksi MD sejajar dengan nuansa fiksi karya Kuntowijoyo.
        Kelebihannya lagi, MD mampu mengabstraksikan nuansa religius itu ke dalam kata, imaji, simbol, dan wacana yang padu dan penuh perenungan. Lewat suspense dan surprise-nya pembaca merasa diseret ke dalam suasana ekstase. Ia lihai merakit berbagai sparepart berserakan menjadi “bangunan baru” yang koheren dan sarat makna.  Karena itu, tak heran jika Taufiq Ismail memberi predikat MD sebagai insinyur cerpen. Memang, predikat itu pantas baginya. Sebab MD adalah “guru” penulisan cerpen. Ia “mengajar”  cara menulis cerpen yang baik lewat eseinya di Suara Muhammadiyah, sebuah majalah tempat ia mengabdi hingga akhir hayatnya. Esei-esei itu kemudian terbit dalam buku Yuk, Nulis Cerpen Yuk  (Shalahuddin Press, 1985). 
        Baiklah kita coba cermati cerpen Kadis (Horison, Juni 1984).  Cerpen pemenang lomba Kartini (1980) ini mengisahkan Kadis yang hidupnya hanya untuk ibadah (mengaji). Ia lupa akan tugasnya mencari penghasilan demi  keluarga. Setiap kali pergi pengajian, ia hanya mengharap sedekah dari orang yang didatangi. Karena itu, Dalijah, istrinya, protes. Haji Dhofir pun marah. Akhirnya, berkat kemarahan dan nasihat Haji Dhofir, Kadis sadar. Kesadaran itu membawanya menjadi seorang penyembelih hewan (jagal, lebai) yang sukses. Dan memang, kemampuan Kadis hanya itu, tanpa harus bekerja dengan pikiran.
        Begitulah cerpen Kadis. Sayangnya, metode penceritaannya lemah. Pengarang, terang-terangan, menjadi narator. Ia berkotbah langsung kepada pembaca. Lewat mulut Haji Dhofir, ia mengatakan: “dalam hidup, manusia harus bisa menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat; selain kerja, seseorang harus beribadah, atau sebaliknya.” Nasihat  langsung ini  memperlemah daya pikat cerpen sehingga tak mampu “menohok”  pemba-ca agar melakukan pergulatan batin. Sebab, pembaca hanya disarankan menerima apa adanya, tanpa diberi kesempatan merenungkan bagaimana cara meyakininya. Kasus semacam ini mengingatkan kita pada novel dan cerpen-cerpen AA Navis.
          Kendati demikian, nuansa religius cerpen itu cukup kental. Melalui-nya pembaca  “diingatkan” agar selalu menyeimbangkan iman dan tindak-an. Nuansa semacam itu tampak  juga dalam “Alice”, “Odah”, “Persetujuan dengan Tuhan”, “Istri Sang Medium”, “Bubu Hantu”, yang termuat dalam Odah dan Cerita Lainnya (Shalahuddin Press, 1986). Antologi itu memuat 14 cerpen yang bersetting di Amerika, Jepang, Singapura, dan Sunda (Indo-nesia). Lewat cerpen “Alice” pembaca diajak merenungkan iman dalam menghadapi nafsu dan ego manusia; cerpen “Odah” mengajak pembaca  meyakini bahwa Tuhan benar-benar Ada;  dan “Perjanjian dengan Tuhan” mengajak pembaca senantiasa berbuat baik kepada sesama  sebagai penebus dosa kepada Tuhan. Sementara itu, melalui “Bubu Hantu” dan “Istri Sang Medium”, pembaca diharapkan mengakui eksistensi iman dalam hubungan-nya dengan alam gaib.  Jadi, soal “iman” merupakan  “kunci” terpenting dalam seluruh cerpen MD.
         Satu lagi karya monumental MD, yaitu Siklus (Pustaka Jaya, 1975). Novel peraih hadiah Tahun Buku Internasional DKI Jakarta (1972) ini juga sarat nuansa religius. Pesan religiositasnya terasa lebih dalam jika diban-dingkan dengan karya Hamka atau AA Navis. Bahkan, dibandingkan de-ngan cerpen-cerpennya sendiri, novel Siklus lebih pekat, penuh pergulatan nurani, dan jauh dari  gaya dan sifat eksklusivitas.
            Dalam novel ini pengarang mencoba memodifikasikan dua hal penting:  azimat yang syirik dan iman manusia. Dari modifikasi itu diharapkan muncul  “nuansa baru” yang mampu mengatasi segalanya. Masalah iman memang ditampilkan  agak “tertutup”. Tapi, justru karena itu, jika pembaca ingin mencapai dan masuk ke dalamnya, ia harus mengerahkan seluruh kemampuan batinnya.  Sebab, hal itu sangat abstrak, dan hanya dapat dirasakan lewat getaran nurani yang tercermin dalam tindakan sehari-hari.
         Melalui tokoh John Flechter, Susan Flechter, Amir, dan Darsono, pembaca diajak masuk ke dalam ruang esensial iman dan eksistensi  tindak-an. Melalui peristiwa, tokoh, alur, latar, dan gayanya, kita dapat memetik  pesan berikut. Pertama, betapapun inteleknya seseorang, jika imannya tipis, akan mudah tergelincir ke jurang syirik (tokoh Amir memberhalakan azimat berupa kalung). Kedua, betapapun sederhana, jika memiliki iman kuat, sese-orang takkan mudah tergelincir dalam kenistaan (tercermin dalam tokoh Darsono). Ketiga, perkawinan yang usianya jauh berbeda akan membawa akibat ketidakharmonisan keluarga (tokoh John dan Susan Flechter). Keempat, orang yang terlalu sibuk, melalaikan tugas lainnya, akan menemu-kan ketidakseimbangan dalam hidup, baik di dunia maupun di alam baka.
          Dari seluruh paparan di atas, kita dapat menyimpulkan beberapa hal berikut. Sebagai sastra bernuansa religius, karya-karya MD menampilkan dua dimensi penting: religiositas-agamis dan religiositas-otentik (istilah Ma-ngunwijaya). Dimensi pertama cenderung formal, vulgar, dan eksklusif. Dimensi kedua lebih intens, berurusan dengan nurani terdalam manusia. Nilai dimensi kedua lebih universal, tidak hanya diyakini  Islam, tetapi juga diyakini agama lain. Sebab, esensi dimensi itu tercermin lewat praktik hidup sehari-hari. Barangkali, pemikiran MD ini dipengaruhi oleh pemikiran eksis-tensialis Iqbal (baca bahan ceramah MD di TIM, April 1972,  dimuat Budaya Jaya, Juni 1972).
        Demikianlah kiprah dan sumbangan MD dalam kancah sastra Indo-nesia. Tapi sayang, insinyur cerpen ini bukan seorang dokumentator yang baik. Cerpennya kurang lebih 300 buah, setiap minggu (sejak 1969) dibaca, direkam, dan disiarkan lewat Radio Australia (sebagai story teller), tidak terdokumentasikan. Yang terdokumen dan dipublikasikan hanya 14 buah dalam Odah dan Cerita Lainnya (1986). Kini muncul satu lagi cerpennya, “Pulangnya Sebuah Keluarga Besar”, dimuat dalam antologi Mudik (Bentang Budaya, 1996). Jika berminat mempublikasikan karya lainnya, kita  dapat melacak ke “perpustakaan keluarga” di Yogyakarta. Saya sendiri, kini juga masih menyimpan 16 cerpen MD yang belum dipublikasikan. Adakah penerbit berminat? ***
Yogyakarta, 1996.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel