Mohammad Diponegoro: Dari Teater Muslim ke Radio Australia
Friday, January 13, 2017
Edit
Ah Mohammad kau mati muda
Gerbang Syam berkarat ukirnya
Iblispun pernah menantangmu
Allahu Akbar sementara Rakib Atid
mencatat-catat tiap amalmu
tentang jauhnya perjalananmu
syahdan, Izrail pun segera menjemputmu
perlukah kudendangkan Annaba
sementara kau berjalan tetap
kemudian sunyi
Gema takbir mengetuk pintu langit
dan para malaikat asung salam
dibukakannya pintu-pintunya
demikian jauh kabar dari langit
yang bercerita tentang komidi alam baka
...
(1983).
Gerbang Syam berkarat ukirnya
Iblispun pernah menantangmu
Allahu Akbar sementara Rakib Atid
mencatat-catat tiap amalmu
tentang jauhnya perjalananmu
syahdan, Izrail pun segera menjemputmu
perlukah kudendangkan Annaba
sementara kau berjalan tetap
kemudian sunyi
Gema takbir mengetuk pintu langit
dan para malaikat asung salam
dibukakannya pintu-pintunya
demikian jauh kabar dari langit
yang bercerita tentang komidi alam baka
...
(1983).
Sajak ini adalah
persembahan terakhir Jamil Suherman kepada Mohammad Diponegoro, berjudul
“Kereta Penghabisan”, dimuat dalam Kabar dari Langit
(Pustaka, Bandung, 1988). Kata-kata dan suasana sajak ini meng-ingatkan kepada
kita, siapakah sebenarnya Mohammad Diponegoro (dising-kat MD). Dia adalah
sastrawan, teaterawan, dan wartawan yang amat getol memperjuangkan nilai-nilai
religiositas. Namanya menjadi besar, antara lain, berkat lakonnya Iblis. Lakon ini
sangat populer tahun 60-an lewat Teater Muslim di Yogyakarta. Sayang, pada 9
Mei 1982 (14 tahun lalu), MD telah meninggalkan kita untuk selamanya.
Mungkin banyak sudah orang melupakan nama MD. Tetapi, tak mungkinlah bagi para
pecinta sastra Indonesia. Sebab, meski tak banyak, karya-karya MD (puisi,
cerpen, drama, novel) memiliki misi, warna, dan nuansa tersendiri yang
menghiasi sejarah sastra Indonesia. Karena itu, untuk mengenang jasa-jasa
kesastrawanannya, saat ini kita pantas mene-ngok kembali kiprah MD dalam dunia
sastra Indonesia.
Kiprah MD dalam dunia sastra memang tidak terlalu lama. Hanya sekitar 25 tahun.
Sastrawan kelahiran 28 Juni 1928 ini mengawali karier kesastrawanannya pada
akhir 1950-an. Sebelum itu, MD sibuk jadi pejuang, berpangkat Letnan Dua, dan
pernah jadi Komandan Seksi Resimen Onto-wiryo Divisi III di Yogya (1947-1948).
Bosan jadi tentara, sastrawan yang pernah belajar di Sospol UGM (tak tamat) dan
Nippon Bunka Gakuin (Jepang) ini lalu memilih profesi baru: mengarang. “Emosi
akibat perang itulah agaknya yang mendorong saya menulis (mengarang)”, demikian
alasannya jadi pengarang (lihat Yuk, Menulis Cerpen
Yuk, 1985).
Karier MD mulai eksis lewat Teater Muslim yang ia dirikan bersama
kawan-kawannya (1961). Naskah lakonnya Iblis, selama 4
tahun berturut-turut (1961-1964) dipentaskan di berbagai kota (Solo, Surabaya,
Malang, Madiun, Semarang, Jakarta, dll). Lakon inilah yang membesarkan nama MD
sekaligus Teater Muslim. Oleh beberapa kritikus, lakon Iblis juga
dinilai sebagai lakon yang memiliki predikat “istimewa”. Ia menghiasi sejarah
penulisan lakon drama di Indonesia.
Michael Boden, doktor drama dari University of
Wisconsin, menilai Iblis sebagai
bercorak “baru”. Kebaruannya terletak pada sifatnya yang khas “sosial dan
dakwah”. Ini berbeda dengan lakon sebelum 40-an yang lebih
nasionalistis. Berbeda pula dengan lakon tahun 40--60-an yang cenderung
realisme-psikologis. Memang, lewat lakon Iblis MD
menegaskan: “musuh terbesar manusia adalah iblis yang ada dalam diri
sendiri”. Tema semacam ini jarang digarap para penulis lakon sebelumnya. Karena
itu, MD dikenal sebagai salah seorang penulis lakon handal, walaupun tak banyak
meng-hasilkan naskah. Selain Iblis (Pustaka
Panjimas, 1983), kita hanya kenal satu lakonnya lagi, Surat pada Gubernur
(thn.?).
MD juga seorang penyair. Antologinya, Manifestasi,
bersama Goena-wan Mohammad dan M. Saribi, terbit pada 1963. Namun, daripada
penyair, MD lebih dikenal sebagai penerjemah Alquran secara puitis (puitisasi).
Bukunya Pekabaran
(Budaya Jaya, 1977) memuat 38 buah puitisasi, diawali “Pembukaan (Al-Fatihah)” dan
diakhiri “Manusia (An-Nas)”.
Buku lainnya, Kabar
Wigati dari Kerajaan (Dua Dimensi, 1985) memuat 8 buah, diawali
“Pembukaan” dan diakhiri “Membelah”. Dalam antologi Kabar dari Langit
(Pustaka, 1988), bersama Jamil Suherman, MD mempuitisasikan ayat suci
sebanyak 18 buah. Sebagai penerjemah Alquran secara puitis, MD cukup mahir,
meski tidak semahir dan setenar HB Jassin.
Keberhasilan
MD sebagai sastrawan tidak hanya berkat lakon Iblis dan puitisasi Alquran. Tetapi
juga berkat fiksinya. Dalam karya fiksinya, nuansa religius ditampilkan begitu
pekat dan dalam. Ia tidak hanya me-mentingkan aspek religius-ritual
(upacara formal), tetapi yang terpenting aspek religiositas (praktik
tindakan). Karena itu, bayang-bayang sinar yang memancar dari baliknya lebih
mampu “menyodok” batin pembaca sehingga terdorong berkontemplasi. Jika kita
bandingkan, barangkali nuansa fiksi MD sejajar dengan nuansa fiksi karya
Kuntowijoyo.
Kelebihannya lagi, MD mampu mengabstraksikan nuansa religius itu ke dalam kata,
imaji, simbol, dan wacana yang padu dan penuh perenungan. Lewat suspense dan surprise-nya
pembaca merasa diseret ke dalam suasana ekstase. Ia lihai
merakit berbagai sparepart
berserakan menjadi “bangunan baru” yang koheren dan sarat makna. Karena
itu, tak heran jika Taufiq Ismail memberi predikat MD sebagai insinyur cerpen.
Memang, predikat itu pantas baginya. Sebab MD adalah “guru” penulisan cerpen.
Ia “mengajar” cara menulis cerpen yang baik lewat eseinya di Suara Muhammadiyah,
sebuah majalah tempat ia mengabdi hingga akhir hayatnya. Esei-esei itu kemudian
terbit dalam buku Yuk,
Nulis Cerpen Yuk (Shalahuddin Press, 1985).
Baiklah kita coba cermati cerpen Kadis (Horison,
Juni 1984). Cerpen pemenang lomba Kartini (1980) ini mengisahkan Kadis
yang hidupnya hanya untuk ibadah (mengaji). Ia lupa akan tugasnya mencari
penghasilan demi keluarga. Setiap kali pergi pengajian, ia hanya
mengharap sedekah dari orang yang didatangi. Karena itu, Dalijah, istrinya,
protes. Haji Dhofir pun marah. Akhirnya, berkat kemarahan dan nasihat Haji
Dhofir, Kadis sadar. Kesadaran itu membawanya menjadi seorang penyembelih hewan
(jagal, lebai) yang sukses. Dan memang, kemampuan Kadis hanya itu, tanpa harus
bekerja dengan pikiran.
Begitulah cerpen Kadis.
Sayangnya, metode penceritaannya lemah. Pengarang, terang-terangan, menjadi
narator. Ia berkotbah langsung kepada pembaca. Lewat mulut Haji Dhofir, ia
mengatakan: “dalam hidup, manusia harus bisa menyeimbangkan antara kepentingan
dunia dan akhirat; selain kerja, seseorang harus beribadah, atau sebaliknya.”
Nasihat langsung ini memperlemah daya pikat cerpen sehingga tak
mampu “menohok” pemba-ca agar melakukan pergulatan batin. Sebab, pembaca
hanya disarankan menerima apa adanya, tanpa diberi kesempatan merenungkan
bagaimana cara meyakininya. Kasus semacam ini mengingatkan kita pada novel dan
cerpen-cerpen AA Navis.
Kendati demikian, nuansa religius cerpen itu cukup kental. Melalui-nya pembaca
“diingatkan” agar selalu menyeimbangkan iman dan tindak-an. Nuansa semacam itu
tampak juga dalam “Alice”, “Odah”, “Persetujuan dengan Tuhan”, “Istri
Sang Medium”, “Bubu Hantu”, yang termuat dalam Odah dan Cerita
Lainnya (Shalahuddin Press, 1986). Antologi itu memuat 14 cerpen yang bersetting di
Amerika, Jepang, Singapura, dan Sunda (Indo-nesia). Lewat cerpen “Alice”
pembaca diajak merenungkan iman dalam menghadapi nafsu dan ego manusia; cerpen
“Odah” mengajak pembaca meyakini bahwa Tuhan benar-benar Ada; dan
“Perjanjian dengan Tuhan” mengajak pembaca senantiasa berbuat baik kepada sesama
sebagai penebus dosa kepada Tuhan. Sementara itu, melalui “Bubu Hantu” dan
“Istri Sang Medium”, pembaca diharapkan mengakui eksistensi iman dalam hubungan-nya
dengan alam gaib. Jadi, soal “iman” merupakan “kunci” terpenting
dalam seluruh cerpen MD.
Satu lagi karya monumental MD, yaitu Siklus (Pustaka
Jaya, 1975). Novel peraih hadiah Tahun Buku Internasional DKI Jakarta (1972)
ini juga sarat nuansa religius. Pesan religiositasnya terasa lebih dalam jika
diban-dingkan dengan karya Hamka atau AA Navis. Bahkan, dibandingkan de-ngan
cerpen-cerpennya sendiri, novel Siklus lebih
pekat, penuh pergulatan nurani, dan jauh dari gaya dan sifat eksklusivitas.
Dalam novel ini pengarang mencoba memodifikasikan dua hal penting: azimat yang syirik
dan iman manusia.
Dari modifikasi itu diharapkan muncul “nuansa baru” yang mampu mengatasi
segalanya. Masalah iman memang ditampilkan agak “tertutup”. Tapi, justru
karena itu, jika pembaca ingin mencapai dan masuk ke dalamnya, ia harus
mengerahkan seluruh kemampuan batinnya. Sebab, hal itu sangat abstrak,
dan hanya dapat dirasakan lewat getaran nurani yang tercermin dalam tindakan
sehari-hari.
Melalui tokoh John Flechter, Susan Flechter, Amir, dan Darsono, pembaca diajak
masuk ke dalam ruang esensial iman dan eksistensi tindak-an. Melalui
peristiwa, tokoh, alur, latar, dan gayanya, kita dapat memetik pesan
berikut. Pertama,
betapapun inteleknya seseorang, jika imannya tipis, akan mudah tergelincir ke
jurang syirik (tokoh Amir memberhalakan azimat berupa kalung). Kedua, betapapun
sederhana, jika memiliki iman kuat, sese-orang takkan mudah tergelincir dalam
kenistaan (tercermin dalam tokoh Darsono). Ketiga,
perkawinan yang usianya jauh berbeda akan membawa akibat ketidakharmonisan
keluarga (tokoh John dan Susan Flechter). Keempat, orang
yang terlalu sibuk, melalaikan tugas lainnya, akan menemu-kan ketidakseimbangan
dalam hidup, baik di dunia maupun di alam baka.
Dari seluruh paparan di atas, kita dapat menyimpulkan beberapa hal berikut.
Sebagai sastra bernuansa religius, karya-karya MD menampilkan dua dimensi
penting: religiositas-agamis
dan religiositas-otentik
(istilah Ma-ngunwijaya). Dimensi pertama cenderung formal, vulgar, dan
eksklusif. Dimensi kedua lebih intens, berurusan dengan nurani terdalam
manusia. Nilai dimensi kedua lebih universal, tidak hanya diyakini Islam,
tetapi juga diyakini agama lain. Sebab, esensi dimensi itu tercermin lewat
praktik hidup sehari-hari. Barangkali, pemikiran MD ini dipengaruhi oleh
pemikiran eksis-tensialis Iqbal (baca bahan ceramah MD di TIM, April 1972,
dimuat Budaya Jaya,
Juni 1972).
Demikianlah kiprah dan sumbangan MD dalam kancah sastra Indo-nesia. Tapi
sayang, insinyur
cerpen ini bukan seorang dokumentator yang baik. Cerpennya kurang lebih 300
buah, setiap minggu (sejak 1969) dibaca, direkam, dan disiarkan lewat Radio
Australia (sebagai story
teller), tidak terdokumentasikan. Yang terdokumen dan dipublikasikan hanya
14 buah dalam Odah
dan Cerita Lainnya (1986). Kini muncul satu lagi cerpennya, “Pulangnya
Sebuah Keluarga Besar”, dimuat dalam antologi Mudik (Bentang
Budaya, 1996). Jika berminat mempublikasikan karya lainnya, kita dapat
melacak ke “perpustakaan keluarga” di Yogyakarta. Saya sendiri, kini juga masih
menyimpan 16 cerpen MD yang belum dipublikasikan. Adakah penerbit berminat? ***
Yogyakarta, 1996.