Menyoal Kesadaran Kita Akan Arti Pentingnya Buku
Thursday, January 05, 2017
Edit
Menurut
data UNDP Report 1994 dan UNESCO Statistical Year Book 1993, 84% penduduk Indonesia telah terbebas dari belenggu buta buruf. Kita boleh bangga karena
angka ini jauh di atas rata-rata negara berkembang yang hanya 69%. Jika data
ini memang otentik sesuai dengan kenyataan di masyarakat, berarti sebagian
terbesar masyarakat kita telah pandai membaca buku (koran, majalah, dll). Jika
benar buku menjadi indikator tingkat per-adaban, boleh diduga Indonesia akan jadi negara yang paling beradab.
Namun, praduga membanggakan itu segera lenyap manakala kita menengok kondisi bacaan yang ada di negeri ini. Data UNDP dan UNESCO menunjukkan bahwa jumlah tiras seluruh koran di Indonesia hanya 2,8% dari seluruh jumlah penduduk. Jumlah itu lebih kecil dibanding indeks minimal UNESCO yang 10%. Bahkan terlalu kecil jika dibandingkan rata-rata negara industri yang sudah mencapai 30%. Karena itu, tanpa diprediksi pun jelas bahwa kondisi tersebut amat menyedihkan.
Namun, praduga membanggakan itu segera lenyap manakala kita menengok kondisi bacaan yang ada di negeri ini. Data UNDP dan UNESCO menunjukkan bahwa jumlah tiras seluruh koran di Indonesia hanya 2,8% dari seluruh jumlah penduduk. Jumlah itu lebih kecil dibanding indeks minimal UNESCO yang 10%. Bahkan terlalu kecil jika dibandingkan rata-rata negara industri yang sudah mencapai 30%. Karena itu, tanpa diprediksi pun jelas bahwa kondisi tersebut amat menyedihkan.
Lebih
menyedihkan lagi, jumlah buku baru yang diterbitkan di Indo-nesia bahkan hanya
0,0009% dari jumlah penduduk. Itu berarti hanya ada 9 buku untuk setiap satu
juta penduduk. Amat jauh dibandingkan rata-rata di negara berkembang yang sudah
55 buku bagi setiap satu juta penduduk. Dan sangat jauh lagi dibandingkan
negara-negara maju yang sudah ada 513 buku untuk setiap satu juta penduduk.
Karena itu, tepat kiranya bunyi iklan layanan masyarakat: “Indonesiaku Kurang Buku”
dalam rangka Bulan Buku Nasional, bulan Mei lalu.
Berbincang
tentang buku di negeri ini memang belum pernah mencapai titik memuaskan.
Kondisinya belum juga baik walaupun upaya perbaikan telah dirintis sejak
sebelum 1920 oleh Kantoor voor de
Volkslectuur (Balai Pustaka). Kendati di zaman kemerdekaan, terutama sejak
Orde Baru, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan, antara lain Inpres
1974, tapi realitas menunjukkan kondisi perbukuan kita masih jauh dari harapan.
Karena itu buku tetap terasing di masyarakat kita. Buktinya buku hanya menjadi konsumsi kaum minoritas, padahal
jumlah melek huruf di negeri ini
mayoritas. Ini mengindikasikan bahwa kita belum bisa menjadi bangsa yang beradab, karena “jarak” antara buku dan
masyarakat masih jauh.
Memang
tidak pantas jika kemudian kita mencari kambing hitam. Sebab persoalan
sebenarnya terletak pada satu hal, yaitu mentalitas kita. Nyata bahwa hingga
kini buku belum kita sadari sebagai pusaka
ampuh bagi kehidupan. Kita memang bisa menciptakan beberapa slogan manis
seperti buku adalah sumber ilmu, buku
merupakan jendela untuk melihat dunia, buku sebagai sarana pencerdasan bangsa,
buku merupakan agen peradaban, atau
buku adalah guru yang paling setia. Namun nyata bahwa masyarakat belum mampu
merealisasikannya. Sekali lagi, kebelummampuan merealisasikan itu karena dalam
diri kita belum tercipta kesadaran akan arti pentingnya buku.
Terjadinya
kondisi demikian memang bukan tanpa alasan. Alasannya sangat kompleks, bahkan
bak lingkaran setan. Kondisi ekonomi yang belum seimbang dan masih
tersentralisasi menyebabkan lahirnya pola kekuatan hidup yang beragam.
Keberagaman pola hidup itu pada gilirannya menyebabkan timpangnya distribusi
informasi, ilmu pengetahuan, tekno-logi, dan sebagainya. Ketimpangan distribusi
itu akhirnya menciptakan suatu distansi,
yaitu kuat-lemah, kota-desa, dan harapan- kenyataan. Ini pula yang terjadi
dalam konteks buku dalam masyarakat kita. Di satu pihak diharapkan buku menjadi
sarana peradaban masyarakat, namun di lain pihak masyarakat belum menaruh
kecintaan pada buku.
Bagaimana
mungkin kita menjadi bangsa beradab jika kita belum menyadari arti pentingnya
buku? Bagaimana dapat menyadari arti penting-nya buku jika kita tidak memiliki
kegemaran membaca? Bagaimana dapat memiliki kegemaran membaca jika budaya orality kita masih begitu kuat dan
mengakar? Bagaimana budaya orality
tidak mengakar kalau hingar bingar
media audio-visual banyak muncul dengan daya pikat yang menakjubkan? Agaknya, media yang penuh gebyar itu telah menjerat kita ke arah
budaya konsumerisme, lebih-lebih dengan merebaknya hadiah jutaan rupiah yang
ditawarkan. Sering kita dengan segepok
uang lebih suka pergi ke maal atau department store daripada ke bookstore hanya karena hadiah yang
ditawarkan oleh produk tertentu begitu surprising.
Akibatnya,
kita pun dijauhkan dari buku. Jika demikian tak mungkin penerbit dapat berbuat
maksimal karena segmen pasar begitu suram. Jika penerbit harus terus
berproduksi, terpaksa mereka harus menaikkan harga, karena beban seperti fee penulis, pajak, ongkos cetak, harga
bahan baku, --ditambah jangka waktu penjualan yang lama--, harus mereka
tanggung. Padahal, di sisi lain
masyarakat sering mengeluh akan tingginya harga buku. Sebenarnya, bagi sebagian
masyarakat kita, harga buku di negeri ini relatif dapat dijangkau. Hanya
persoalannya memang kesadaran dan kecintaan kita akan buku belum tercipta dalam
diri kita. Kita belum paham benar makna penting sebuah buku.
Kalau
kita membuka kamus, misalnya, kita memang tidak menjumpai satu pun arti (makna)
buku sebagai tempat menimba ilmu, sarana
pen-cerdasan, atau jendela untuk
melihat dunia. Yang ada adalah lembar
kertas yang berjilid, berisi tulisan atau kosong; kitab; atau tempat bertemunya dua ruas; dan
seba-gainya sesuai dengan jenisnya: buku acara, buku bacaan, atau buku acuan.
Apakah kekurangsadaran kita akan buku gara-gara buku tidak memi-liki definisi
yang jelas/lengkap? Saya kira bukan.
Sebab kita dituntut untuk menerjemahkannya secara lain, tidak sekadar dalam
kamus.
Agaknya
inilah tugas berat bagi lembaga pendidikan, pengajaran, dan penelitian kita,
negeri dan swasta, formal dan nonformal, demi pening-katan kesadaran minat baca-tulis kita, sehingga kualitas
hidup dan sumber daya kita meningkat. Namun persoalannya akan jadi lain kalau mentalitas kolonial masih kita warisi hingga kini. Jika mental ini masih menguasai kita, berarti
kita masih berada dalam lingkup kolonialisme
baru yang hanya akan memberikan peluang kecil bagi kecerdasan bangsa.
Beberapa
Upaya
Berangkat
dari keyakinan bahwa buku menjadi indikator tingkat per-adaban, sebenarnya
pemerintah telah berupaya menciptakan hubungan yang akrab antara buku dan
masyarakat. Upaya ini diawali dengan
Inpres 1974, khususnya dalam penerbitan buku-buku pelajaran sekolah. Pada saat
itu pemerintah mensubsidi penerbit dengan tujuan membantu agar dunia perbukuan
bergairah. Dan memang, pada awal-awal adanya proyek itu, dunia perbukuan di
Indonesia cukup menjanjikan.
Misalnya,
pada 1973/1974, pemerintah mengeluarkan dana hampir 1 milyar untuk membeli 7
juta buku pada penerbit. Dan ini berjalan terus se-panjang tahun. Puncaknya,
pada 1984/1985, pemerintah mengalokasikan dana 12 milyar untuk pembelian buku
32 juta eksemplar. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, dana yang disediakan
berkurang, sehingga pada 1990/1991 hanya
mampu membeli 7 juta eksemplar dengan harga 6 milyar. Jika dikalkulasikan,
pemerintah sudah mensubsidi penerbit
sekitar 73 milyar rupiah untuk pembelian buku sebanyak 222 juta eksemplar.
Meski
demikian, realitas menunjukkan kini bisnis buku diakui para penerbit mengalami
kesuraman. Bahkan disinyalir dari 330 penerbit yang ada (menurut catatan
Ikapi), yang 110 telah gulung tikar. Ini akibat daya beli dan kegemaran membaca
masyarakat terlalu rendah. Apalagi ketika (bebe-rapa tahun lalu) di negeri ini
masih ada judi formal seperti SDSB,
Porkas, dan sejenisnya. Kita betul-betul tersingkir dari buku. Kita lebih asyik
mengutak-atik angka ketimbang
membaca, dan kita lebih suka nyorek
(beli kupon) daripada beli buku. Agaknya kita senang hidup di negeri dongeng.
Alternatif
lain untuk mengantisipasi hal itu sebenarnya juga sudah dilakukan, misalnya
melalui penggalakan perpustakaan, taman bacaan, hingga ke desa-desa. Dengan
koordinator perpustakaan daerah, diadakanlah perpustakaan keliling. Selain
membina perpustakaan desa, perpustakaan keliling juga menyediakan buku-buku
baru sesuai dengan bidang dan kea-daan masing-masing desa. Meski demikian, tampak bahwa upaya ini belum
menunjukkan profesionalisme. Kendalanya antara lain kurangnya fasilitas,
tenaga, biaya, dan berbagai penunjang lain. Jumlah bukunya juga masih
ter-batas. Itu pun didominasi oleh bacaan-bacaan semacam komik. Padahal,
kendati message-nya cukup bagus,
komik disinyalir sering membius pembaca sehingga melupakan pekerjaan lain.
Satu
hal yang belum ditangani secara lebih serius adalah tentang keberadaan dan
kontinyuitas perpustakaan. Dalam jangka waktu tertentu, biasanya buku-buku yang
disediakan lebih cepat rusak, sementara gantinya tidak ada. Lagi-lagi, cepat
rusaknya buku-buku itu juga karena peminjam belum memiliki kesadaran yang
tinggi nengenai betapa penting arti sebuah buku. Selain itu, juga karena memang
lokasi perpustakaan yang tidak me-madai. Kalau di Barat buku disimpan di tempat
yang layak, suhu udaranya pun diatur, sementara kita sering memperlakukannya
asal saja.
Namun
itu semua bisa dimaklumi sebab kondisi dan mental kita masih sebatas demikian.
Begitulah akhirnya, kehidupan perpustakaan dan taman bacaan di desa (dan kota?)
sering kembang-kempis. Tak jarang, di desa-desa, perpustakaan hanya dihidupkan jika kebetulan ada lomba desa
atau ada pejabat yang akan berkunjung.
Setelah itu, matilah perpustakaan tersebut. Akibatnya, buku tetap
menjadi menara gading di tengah
masyarakat kita. Apalagi kita juga belum memiliki kebiasaan untuk
menyelenggarakan perpustakaan pribadi.
Eksklusif
Realitas
lain menunjukkan bahwa perpustakaan kita, terutama di lingkungan formal,
agaknya masih terlalu eksklusif. Artinya, perpustakaan tertutup untuk umum, dan
terbatas untuk kalangan tertentu saja. Jadi, yang tidak menjadi warga kalangan
tertentu, atau tidak memiliki status tertentu, tak punya hak untuk pinjam buku.
Saya kira, sifat dan sistem semacam ini perlu ditinjau kembali. Sistem-sistem
yang lebih terbuka yang memberi peluang bagi terciptakannya kegemaran membaca
(dan kecintaan akan buku) perlu dihidupkan. Amat disayangkan jika bersamaan
dengan digiat-kannya kegemaran membaca justru muncul keluhan tentang sulitnya
me-minjam buku di perpustakaan.
Akhirnya,
kita berharap mudah-mudahan perjanjian kerja sama yang ditandatangani di
Jakarta oleh 4 menteri (Mendikbud, Mendagri, Mensos, dan Menag) bulan Mei lalu,
mengenai penanganan masalah anak putus sekolah dan Wajib Belajar 9 tahun akan
terlaksana dengan baik. Sebab saat ini disinyalir masih ada 6 juta anak tak
sekolah. Diharapkan pula Program Gerakan Orangtua Asuh dapat membuka kesadaran
kaum mampu kita. Ini semua agar kemelekhurufan
masyarakat tidak hanya bersifat struktural,
tetapi lebih fungsional. Kalau demikian kita boleh berharap akan
menjadi bangsa yang berbudaya, beradab, terbuka, dan mampu bermain dalam abad internet yang telah meruyak di depan kita. ***
Dimuat PIKIRAN RAKYAT, 1 Agustus
1996