-->

Menyoal Kesadaran Kita Akan Arti Pentingnya Buku

Menurut data UNDP Report 1994 dan UNESCO Statistical Year Book 1993,  84% penduduk Indonesia telah terbebas dari belenggu buta buruf. Kita boleh bangga karena angka ini jauh di atas rata-rata negara berkembang yang hanya 69%. Jika data ini memang otentik sesuai dengan kenyataan di masyarakat, berarti sebagian terbesar masyarakat kita telah pandai membaca buku (koran, majalah, dll). Jika benar buku menjadi indikator tingkat per-adaban, boleh diduga Indonesia  akan jadi negara yang paling beradab.
           Namun, praduga membanggakan itu segera lenyap manakala kita menengok kondisi bacaan yang ada di negeri ini. Data UNDP dan UNESCO menunjukkan bahwa jumlah tiras seluruh koran di Indonesia hanya 2,8% dari seluruh jumlah penduduk. Jumlah itu lebih kecil dibanding indeks minimal UNESCO yang 10%. Bahkan terlalu kecil jika dibandingkan rata-rata negara industri yang sudah mencapai 30%. Karena itu, tanpa diprediksi pun jelas bahwa kondisi tersebut amat menyedihkan.
            Lebih menyedihkan lagi, jumlah buku baru yang diterbitkan di Indo-nesia bahkan hanya 0,0009% dari jumlah penduduk. Itu berarti hanya ada 9 buku untuk setiap satu juta penduduk. Amat jauh dibandingkan rata-rata di negara berkembang yang sudah 55 buku bagi setiap satu juta penduduk. Dan sangat jauh lagi dibandingkan negara-negara maju yang sudah ada 513 buku untuk setiap satu juta penduduk. Karena itu, tepat kiranya bunyi iklan layanan masyarakat: “Indonesiaku Kurang Buku” dalam rangka Bulan Buku Nasional, bulan Mei lalu.
            Berbincang tentang buku di negeri ini memang belum pernah mencapai titik memuaskan. Kondisinya belum juga baik walaupun upaya perbaikan telah dirintis sejak sebelum 1920 oleh Kantoor voor de Volkslectuur (Balai Pustaka). Kendati di zaman kemerdekaan, terutama sejak Orde Baru, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan, antara lain Inpres 1974, tapi realitas menunjukkan kondisi perbukuan kita masih jauh dari harapan. Karena itu buku tetap terasing di masyarakat kita. Buktinya buku hanya  menjadi konsumsi kaum minoritas, padahal jumlah melek huruf di negeri ini mayoritas. Ini mengindikasikan bahwa kita belum bisa menjadi bangsa yang  beradab, karena “jarak” antara buku dan masyarakat masih jauh.
            Memang tidak pantas jika kemudian kita mencari kambing hitam. Sebab persoalan sebenarnya terletak pada satu hal, yaitu mentalitas kita. Nyata bahwa hingga kini buku belum kita sadari sebagai pusaka ampuh bagi kehidupan. Kita memang bisa menciptakan beberapa slogan manis seperti buku adalah sumber ilmu, buku merupakan jendela untuk melihat dunia, buku sebagai sarana pencerdasan bangsa, buku merupakan agen peradaban, atau buku adalah guru yang paling setia. Namun nyata bahwa masyarakat belum mampu merealisasikannya. Sekali lagi, kebelummampuan merealisasikan itu karena dalam diri kita belum tercipta kesadaran akan arti pentingnya buku.
            Terjadinya kondisi demikian memang bukan tanpa alasan. Alasannya sangat kompleks, bahkan bak lingkaran setan. Kondisi ekonomi yang belum seimbang dan masih tersentralisasi menyebabkan lahirnya pola kekuatan hidup yang beragam. Keberagaman pola hidup itu pada gilirannya menyebabkan timpangnya distribusi informasi, ilmu pengetahuan, tekno-logi, dan sebagainya. Ketimpangan distribusi itu akhirnya menciptakan suatu distansi, yaitu kuat-lemah, kota-desa, dan harapan- kenyataan. Ini pula yang terjadi dalam konteks buku dalam masyarakat kita. Di satu pihak diharapkan buku menjadi sarana peradaban masyarakat, namun di lain pihak masyarakat belum menaruh kecintaan pada buku.
            Bagaimana mungkin kita menjadi bangsa beradab jika kita belum menyadari arti pentingnya buku? Bagaimana dapat menyadari arti penting-nya buku jika kita tidak memiliki kegemaran membaca? Bagaimana dapat memiliki kegemaran membaca jika budaya orality kita masih begitu kuat dan mengakar? Bagaimana budaya orality tidak mengakar kalau hingar bingar media audio-visual banyak muncul dengan daya pikat yang menakjubkan?  Agaknya, media yang penuh gebyar itu telah menjerat kita ke arah budaya konsumerisme, lebih-lebih dengan merebaknya hadiah jutaan rupiah yang ditawarkan. Sering kita dengan segepok uang lebih suka pergi ke maal atau department store daripada ke bookstore hanya karena hadiah yang ditawarkan oleh produk tertentu begitu surprising.
            Akibatnya, kita pun dijauhkan dari buku. Jika demikian tak mungkin penerbit dapat berbuat maksimal karena segmen pasar begitu suram. Jika penerbit harus terus berproduksi, terpaksa mereka harus menaikkan harga, karena beban seperti fee penulis, pajak, ongkos cetak, harga bahan baku, --ditambah jangka waktu penjualan yang lama--, harus mereka tanggung.  Padahal, di sisi lain masyarakat sering mengeluh akan tingginya harga buku. Sebenarnya, bagi sebagian masyarakat kita, harga buku di negeri ini relatif dapat dijangkau. Hanya persoalannya memang kesadaran dan kecintaan kita akan buku belum tercipta dalam diri kita. Kita belum paham benar makna penting sebuah buku.
            Kalau kita membuka kamus, misalnya, kita memang tidak menjumpai satu pun arti (makna) buku sebagai tempat menimba ilmu, sarana pen-cerdasan, atau jendela untuk melihat dunia. Yang ada adalah lembar kertas yang berjilid, berisi tulisan atau kosong; kitab; atau tempat bertemunya dua ruas; dan seba-gainya sesuai dengan jenisnya: buku acara, buku bacaan, atau buku acuan. Apakah kekurangsadaran kita akan buku gara-gara buku tidak memi-liki definisi yang jelas/lengkap?  Saya kira bukan. Sebab kita dituntut untuk menerjemahkannya secara lain, tidak sekadar dalam kamus.
            Agaknya inilah tugas berat bagi lembaga pendidikan, pengajaran, dan penelitian kita, negeri dan swasta, formal dan nonformal, demi pening-katan kesadaran  minat baca-tulis kita, sehingga kualitas hidup dan sumber daya kita meningkat. Namun persoalannya akan jadi lain kalau mentalitas kolonial masih kita warisi hingga kini.  Jika mental ini masih menguasai kita, berarti kita masih berada dalam lingkup kolonialisme baru yang hanya akan memberikan peluang kecil bagi kecerdasan bangsa.
           
Beberapa Upaya
            Berangkat dari keyakinan bahwa buku menjadi indikator tingkat per-adaban, sebenarnya pemerintah telah berupaya menciptakan hubungan yang akrab antara buku dan masyarakat.  Upaya ini diawali dengan Inpres 1974, khususnya dalam penerbitan buku-buku pelajaran sekolah. Pada saat itu pemerintah mensubsidi penerbit dengan tujuan membantu agar dunia perbukuan bergairah. Dan memang, pada awal-awal adanya proyek itu, dunia perbukuan di Indonesia cukup menjanjikan.
            Misalnya, pada 1973/1974, pemerintah mengeluarkan dana hampir 1 milyar untuk membeli 7 juta buku pada penerbit. Dan ini berjalan terus se-panjang tahun. Puncaknya, pada 1984/1985, pemerintah mengalokasikan dana 12 milyar untuk pembelian buku 32 juta eksemplar. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, dana yang disediakan berkurang, sehingga pada  1990/1991 hanya mampu membeli 7 juta eksemplar dengan harga 6 milyar. Jika dikalkulasikan, pemerintah sudah mensubsidi penerbit sekitar 73 milyar rupiah untuk pembelian buku sebanyak 222 juta eksemplar.
            Meski demikian, realitas menunjukkan kini bisnis buku diakui para penerbit mengalami kesuraman. Bahkan disinyalir dari 330 penerbit yang ada (menurut catatan Ikapi), yang 110 telah gulung tikar. Ini akibat daya beli dan kegemaran membaca masyarakat terlalu rendah. Apalagi ketika (bebe-rapa tahun lalu) di negeri ini masih ada judi formal seperti SDSB, Porkas, dan sejenisnya. Kita betul-betul tersingkir dari buku. Kita lebih asyik mengutak-atik angka ketimbang membaca, dan kita lebih suka nyorek (beli kupon) daripada beli buku. Agaknya kita senang hidup di negeri dongeng.
            Alternatif lain untuk mengantisipasi hal itu sebenarnya juga sudah dilakukan, misalnya melalui penggalakan perpustakaan, taman bacaan, hingga ke desa-desa. Dengan koordinator perpustakaan daerah, diadakanlah perpustakaan keliling. Selain membina perpustakaan desa, perpustakaan keliling juga menyediakan buku-buku baru sesuai dengan bidang dan kea-daan masing-masing desa.  Meski demikian, tampak bahwa upaya ini belum menunjukkan profesionalisme. Kendalanya antara lain kurangnya fasilitas, tenaga, biaya, dan berbagai penunjang lain. Jumlah bukunya juga masih ter-batas. Itu pun didominasi oleh bacaan-bacaan semacam komik. Padahal, kendati message-nya cukup bagus, komik disinyalir sering membius pembaca sehingga melupakan pekerjaan lain.
            Satu hal yang belum ditangani secara lebih serius adalah tentang keberadaan dan kontinyuitas perpustakaan. Dalam jangka waktu tertentu, biasanya buku-buku yang disediakan lebih cepat rusak, sementara gantinya tidak ada. Lagi-lagi, cepat rusaknya buku-buku itu juga karena peminjam belum memiliki kesadaran yang tinggi nengenai betapa penting arti sebuah buku. Selain itu, juga karena memang lokasi perpustakaan yang tidak me-madai. Kalau di Barat buku disimpan di tempat yang layak, suhu udaranya pun diatur, sementara kita sering memperlakukannya asal saja.
            Namun itu semua bisa dimaklumi sebab kondisi dan mental kita masih sebatas demikian. Begitulah akhirnya, kehidupan perpustakaan dan taman bacaan di desa (dan kota?) sering kembang-kempis. Tak jarang, di desa-desa, perpustakaan hanya dihidupkan jika kebetulan ada lomba desa atau ada pejabat yang akan berkunjung.  Setelah itu, matilah perpustakaan tersebut. Akibatnya, buku tetap menjadi menara gading di tengah masyarakat kita. Apalagi kita juga belum memiliki kebiasaan untuk menyelenggarakan perpustakaan pribadi.

Eksklusif
            Realitas lain menunjukkan bahwa perpustakaan kita, terutama di lingkungan formal, agaknya masih terlalu eksklusif. Artinya, perpustakaan tertutup untuk umum, dan terbatas untuk kalangan tertentu saja. Jadi, yang tidak menjadi warga kalangan tertentu, atau tidak memiliki status tertentu, tak punya hak untuk pinjam buku. Saya kira, sifat dan sistem semacam ini perlu ditinjau kembali. Sistem-sistem yang lebih terbuka yang memberi peluang bagi terciptakannya kegemaran membaca (dan kecintaan akan buku) perlu dihidupkan. Amat disayangkan jika bersamaan dengan digiat-kannya kegemaran membaca justru muncul keluhan tentang sulitnya me-minjam buku di perpustakaan.
            Akhirnya, kita berharap mudah-mudahan perjanjian kerja sama yang ditandatangani di Jakarta oleh 4 menteri (Mendikbud, Mendagri, Mensos, dan Menag) bulan Mei lalu, mengenai penanganan masalah anak putus sekolah dan Wajib Belajar 9 tahun akan terlaksana dengan baik. Sebab saat ini disinyalir masih ada 6 juta anak tak sekolah. Diharapkan pula Program Gerakan Orangtua Asuh dapat membuka kesadaran kaum mampu kita. Ini semua agar kemelekhurufan masyarakat tidak hanya bersifat struktural, tetapi lebih fungsional.  Kalau demikian kita boleh berharap akan menjadi bangsa yang berbudaya, beradab, terbuka, dan mampu bermain dalam abad internet yang telah meruyak di depan kita. ***  
 Dimuat PIKIRAN RAKYAT, 1 Agustus 1996

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel