-->

Menyikapi Budaya Konsumtif, Mengembangkan Pendidikan Budaya

           Kita tahu bahwa laju pertumbuhan ekonomi pasar dunia saat ini semakin pesat. Terlebih lagi jika jaringan kerjasama ekonomi internasional sudah terealisasi secara global dan universal. Hal ini berarti bahwa era masa depan adalah era ketika pola hubungan produksi dan konsumsi sangat menentukan kehidupan masyarakat. Pola hubungan semacam itu, selain mendorong tumbuh suburnya gaya hidup konsumtif, juga cenderung melahirkan berbagai ketimpangan struktural, terutama karena sistem ekonomi pasar senantiasa menciptakan segmentasi dan kompetisi.
            Karena itu, dapat dibayangkan, kelak pasti pola hubungan manusia tidak lagi ditentukan oleh nilai manusia (human), tetapi oleh tawar-menawar (tender) berdasarkan kepentingan. Sebab, tembok individualisme, sebagai akibat dari adanya dominasi borjuasi semakin merasuk setiap orang. Korupsi, kolusi dan intimidasi, misalnya, boleh jadi merupakan bahasa sehari-hari yang tercipta dari pola hubungan produksi-konsumsi berdasarkan kepentingan itu.
            Dalam setting budaya seperti itulah sekarang kita hidup. Berbagai perilaku yang ditawarkan cenderung mengarah pada penciptaan mimpi-mimpi, pembiusan sesaat yang maha dahsyat, dan sejenisnya, sehingga semakin memperkuat opini masyarakat bahwa yang laku keras di pasar itulah yang harus dicapai.
            Karena itu, sejumlah nilai, setumpuk moral, etika, dan sebagainya yang ditawarkan oleh guru agama, para ulama, dai, seniman, pastur, dan seterusnya, seolah hilang lenyap begitu saja. Sebab, manusia lebih tertarik pada sesuatu yang gampang, cepat dan banyak, walaupun hanya memberikan kepuasan sesaat. Karenanya, dalam menghadapi era masa depan, kita mesti bersikap tegas terhadap fenomena budaya yang tercipta dari sistem ekonomi pasar yang tak terelakkan itu.
            Artikel pendek ini tidaklah mungkin dapat mengklarifikasi berbagai fenomena kehidupan secara makro. Karena itu saya ingin menyoroti satu aspek saja, khususnya bidang pendidikan budaya, terutama bagi anak-anak, dalam kaitannya dengan kecenderungan budaya konsumtif sekarang ini. Hal ini cukup substantif -- walaupun buka merupakan sesuatu yang baru -- karena pendidikan budaya cenderung menyeimbangkan nilai-nilai dasar yang bersifat teoritik, sosial, ekonomik, politik, etik, religius, estetik, dan historik.
            Jika kita percaya anak-anak (usia SD, SMP, SMA) adalah ibarat anak panah yang siap diluncurkan jauh ke masa depan, sejak awal kita mesti memberikan fondamen yang kuat, terarah, dan tepat, agar kelak mereka tidak gagap menghadapi problema kehidupan yang semakin degradatif ini. Oleh sebab itu, bekal pendidikan budaya (humaniora) yang seimbang perlu diberikan dan ditekankan kepada mereka.
            Akibat dari sistem ekonomi pasar pula yang menyebabkan anak-anak mengalami ketidakseimbangan dalam memandang nilai-nilai dasar pendidikan. Orientasi mereka semata tertuju pada nilai teoritis, sosial-ekonomis, dan politis, sedangkan nilai etis, religius, estetis, dan historis cenderung tersisihkan.
            Hal tersebut tampak melalui kecenderungan mereka untuk selalu berambisi (baca: kompetisi) merebut pasar. Siapa yang kuat itulah yang berpeluang menguasai pasar, sekolah, kerja, usaha, jabatan, kekuasaan, dan seterusnya. Kecenderungan itu agaknya didukung pula oleh merebaknya sekolah-sekolah unggul (yang kadang hanya diukur dari lengkapnya peralatan canggih; komputer, internet, dll) atau menjamurnya berbagai lembaga pendidikan kejuruan (yang kadang tujuannya hanya menyiapkan siswa untuk menguasai pasaran kerja) yang memang sangat menjanjikan itu.
            Sementara itu, yang lemah dan kalah dalam persaingan akhirnya frustasi. Dari sinilah kemudian tercipta berbagai bentuk kenakalan remaja, tawuran, kamuflase, dan lebih jauh menjurus ke tindak-tindak kriminalitas. Merebaknya pil ecstasy belakangan ini agaknya juga merupakan selah satu ekses dari semakin kuatnya pola hubungan produksi-konsumsi yang lahir dari sistem ekonomi pasar itu.
            Oleh sebab itu, dengan proporsi yang memadai, nilai-nilai dasar pendidikan budaya perlu segera ditanamkan kepada anak-anak, remaja, dan pemuda. Jika dikaitkan dengan Trilogi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, misalnya, penekanannya sebaiknya tidak hanya pada cipta dan karsa, tetapi juga rasa. Sebab rasa lebih mengarah pada pembentukan jiwa humanitat manusiawi, dan bijaksana, yang dalam konteks budaya konsumtif sekarang ini cenderung terabaikan.
            Dalam konteks kehidupan sekarang dan masa depan, nila teoretis, ekonomis, dan politis memang tak mungkin diabaikan. Dan siapa pun setuju atas kemajuan berkat  adanya revolusi teknik dan industri. Sebab tanpa itu kita hanya akan menjadi objek dan instrumen terus-menerus bagi liberalisme dan kapitalisme (negara-negara maju). Tanpa itu kita juga tak mungkin mampu menjadi subjek aktif, dan tak mampu pula bersikap terhadap perubahan dunia yang terjadi. Karena itu, pendidikan yang mengarah pada nilai teoretis demi pengembangan iptek, nilai ekonomis demi kesejahteraan hidup dan nilai politis demi keadilan dan penghargaan atas dan kewajiban, wajib dikembangkan secara memadai.
            Namun, hal itu haruslah diimbangi dengan pendidikan budaya yang mengarah pada pembentukan susila (etis), kesadaran keterbatasan manusia dari Tuhannya (religius), harmoni dan keselarasan (estetis), dan kesadaran akan perubahan (historis). Sebab, jika tidak semua itu akan berakibat buruk, tidak mensejahterakan manusia, tetapi justru menghancurkan. Manusia terkotak-kotak, terspesialisasi, terpisah dari sesama, terasing dari alam dan Tuhannya, serta tak lagi mengenali dirinya sebagai homo humanus. Karena itu, nilai-nilai dasar pendidikan budaya (humaniora) perlu ditanamkan kepada generasi (anak-anak) sejak awal.
Sanggar Budaya
            Sanggar budaya merupakan salah satu alternatif bagi optimalisasi pendidikan budaya bagi anak-anak (di sekolah dan di luar sekolah). Tradisi berkumpul dan berserikat dapat dijadikan medium bersama bagi pembentukan susila, religius, ekspresi estetis, dan kesadaran historis. Namun, tradisi berkumpul bukan sekadar berkumpul tetapi lebih merupakan media apresiasivitas, ekspresivitas, aktivitas, dan kreativitas (non-sosial-politis), dan pengelolaannya pun menuntuk pendekatan humanitas-profesionalitas.
            Barangkali yang paling sesuai untuk tujuan pendidikan budaya adalah lewat seni (sastra, musil, drama, tari, lukis, dll). Sebab, dalam arti yang paling sederhana, seni (dan berbagai genrenya) pada hakikatnya mengutamakan harmoni keselarasan. Dan harmoni itulah yang paling dibutuhkan oleh manusia, lahir-batin, jiwabadan. Jika ilmu dan teknologi dapat didatangkan dari luar, tetapi jiwa hanya dapat dibina dari dalam. Dan seni adalah salah satu sumber yang kaya akan obat kejiwaan itu.
            Pendidikan budaya lewat sastra, misalnya, tentulah akan membentuk kebiasaan membaca, mungkin juga kebiasaan menulis. Dan karena sastra menitikberatkan pada harmoni -- walaupun tersaji melalui metafora, ironi, dan sebagainya -- keharmonian itu pula yang akan mereka peroleh. Dari sastra mereka dapat menimba nilai-nilai etis, estetis, dan religiusitas, karena pada dasarnya sastra selalu mengedepankan hal itu, walaupun persoalan yang dikemukan sering berkaitan dengan masalah sosial, politik, sejarah, atau yang lain.
            Dalam hal drama dan musik (grup) agaknya juga demikian. Jenis ini memberi warna tersendiri bagi anak-anak (siswa), terutama dalam hal kesibukan. Kesibukan berlatih (berulang-ulang) dan berdisiplin bukan saja membentuk mereka untuk bisa membedakan yang nyata dan semu, yang merusak dan membangun, yang baik dan buruk, tetapi juga meluluhkan diri dengan (karya) seni yang bernilai tinggi (abadi), juga membiarkan diri dibentuk perasaan dan jiwanya oleh apa yang terbaik yang dapat dicapai dalam ekspresi nilai budaya yang mulia. Dan ini juga berlaku dalam hal seni lainnya seperti lukis, patung, tari, dan sebagainya.
            Walaupun orang sering bilang seni adalah khayalan, tetapi nyata bahwa seni bisa menjadi pembebas dari lamunan yang tak sehat, pelembut watak, penghalus gejolak cinta asmara yang umumnya tumbuh pada diri anak-anak dan remaja. Berkat seni orang dilonggarkan dari pengalaman individu. Dengan seni siswa-siswa dilonggarkan dari kungkungan mata pelajaran, untuk mereguk kesemarakan. Lewat seni tinggi anak-anak juga dididik kritis, mengejawantahkan nilai manusiawi luhur dan abadi.
            Jelasnya, pendidikan budaya lewat seni mampu menciptakan anak menjadi tahu memandang dan menimbang keseluruhan; tahu dan bisa mengambil kesempatan, menyisihkan waktu untuk nilai-nilai khas manusia; dan tahu bagaimana mencintai keselarasan, yang dilihat dalam dirinya (tubuh, jiwa, hati, budi). Jadi, pendidikan budaya pada hakikatnya menciptakan manusia meraih harmoni, baik dengan alam, sesama, maupun dengan Tuhannya.
            Melihat betapa perlunya anak-anak (remaja, juga pemuda) memiliki jiwa humanitat, jiwa yang manusiawi, yang harmoni, maka di ambang gelombang sistem ekonomi pasar ini mereka perlu segera dibekali dengan ilmu pengetahuan budaya yang sepadan. Oleh karena itu, sanggar-sanggaar budaya sebagai media pendidikan budaya wajib segera dibudidayakan. Di sekolah-sekolah, dikampung-kampung, perlu dibentuk grup-grup musik, kelompok teater, bengkel sastra, sanggar tari, lukis, dan sejenisnya. Dan di setiap sanggar budaya itu tentu  harus dilengkapi dengan perpustakaan yang di dalamnya buku-buku sastra dipajang dan dibacaa.
            Dan betapa bahagianya jika melihar anak-anak masa depan adalah anak yang tidak hanya canggih dalam strategi komunikasi, mekanika komputer, akses-akses internet, analisis fisika-kimia, meneropog antariksa, menerbangkan jet temour, bahkan menciptakan robot dan senjata pemusnah, tetapi juga canggih dalam bergaul, santun dengan sesama, tidak melupakan Yang Di Atas Sana, bisa bersendau-gurau, tertawa lebar, dan sebagainya. Jadi, mereka masih merasa menjadi makhluk, menjadi manusia.
            Hanya, harus diakui secara jujur, untuk menciptakan suasana humanis, mendirikan sanggar-sanggar budaya, diperlukan personal-personal yang sadar, yakin akan kepentingannya, dapat menangkap inti dan jiwanya, juga sanggup meluangkan waktu, biaya, tenaga, dan ruang gerak untuk aktivitasnya. Tanpa itu semua, pendidikan budaya tak bakal terlaksana. Karena itu, siapa yang peduli? Silakan! Toh ada banyak sebenarnya orang-orang yang cukup berpotensi. *** 
Dimuat Kedaulatan Rakyat, 25 Juli 1996




Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel