Menyikapi Budaya Konsumtif, Mengembangkan Pendidikan Budaya
Monday, January 09, 2017
Edit
Kita
tahu bahwa laju pertumbuhan ekonomi pasar dunia saat ini semakin pesat.
Terlebih lagi jika jaringan kerjasama ekonomi internasional sudah terealisasi
secara global dan universal. Hal ini berarti bahwa era masa depan adalah era
ketika pola hubungan produksi dan konsumsi sangat menentukan kehidupan
masyarakat. Pola hubungan semacam itu, selain mendorong tumbuh suburnya gaya
hidup konsumtif, juga cenderung melahirkan berbagai ketimpangan struktural,
terutama karena sistem ekonomi pasar senantiasa menciptakan segmentasi dan
kompetisi.
Karena
itu, dapat dibayangkan, kelak pasti pola hubungan manusia tidak lagi ditentukan
oleh nilai manusia (human), tetapi oleh tawar-menawar (tender) berdasarkan kepentingan.
Sebab, tembok individualisme, sebagai akibat dari adanya dominasi borjuasi
semakin merasuk setiap orang. Korupsi, kolusi dan intimidasi, misalnya, boleh
jadi merupakan bahasa sehari-hari yang tercipta dari pola hubungan
produksi-konsumsi berdasarkan kepentingan itu.
Dalam
setting budaya seperti itulah
sekarang kita hidup. Berbagai perilaku yang ditawarkan cenderung mengarah pada
penciptaan mimpi-mimpi, pembiusan sesaat yang maha dahsyat, dan sejenisnya,
sehingga semakin memperkuat opini masyarakat bahwa yang laku keras di pasar
itulah yang harus dicapai.
Karena
itu, sejumlah nilai, setumpuk moral, etika, dan sebagainya yang ditawarkan oleh
guru agama, para ulama, dai, seniman, pastur, dan seterusnya, seolah hilang
lenyap begitu saja. Sebab, manusia lebih tertarik pada sesuatu yang gampang, cepat dan banyak, walaupun hanya memberikan kepuasan sesaat. Karenanya, dalam
menghadapi era masa depan, kita mesti bersikap tegas terhadap fenomena budaya
yang tercipta dari sistem ekonomi pasar yang tak terelakkan itu.
Artikel
pendek ini tidaklah mungkin dapat mengklarifikasi berbagai fenomena kehidupan
secara makro. Karena itu saya ingin menyoroti satu aspek saja, khususnya bidang
pendidikan budaya, terutama bagi anak-anak, dalam kaitannya dengan
kecenderungan budaya konsumtif sekarang ini. Hal ini cukup substantif --
walaupun buka merupakan sesuatu yang baru -- karena pendidikan budaya cenderung
menyeimbangkan nilai-nilai dasar yang bersifat teoritik, sosial, ekonomik,
politik, etik, religius, estetik, dan historik.
Jika
kita percaya anak-anak (usia SD, SMP, SMA) adalah ibarat anak panah yang siap diluncurkan jauh ke masa depan, sejak awal
kita mesti memberikan fondamen yang kuat, terarah, dan tepat, agar kelak mereka
tidak gagap menghadapi problema kehidupan yang semakin degradatif ini. Oleh
sebab itu, bekal pendidikan budaya (humaniora)
yang seimbang perlu diberikan dan ditekankan kepada mereka.
Akibat
dari sistem ekonomi pasar pula yang menyebabkan anak-anak mengalami
ketidakseimbangan dalam memandang nilai-nilai dasar pendidikan. Orientasi
mereka semata tertuju pada nilai teoritis, sosial-ekonomis, dan politis,
sedangkan nilai etis, religius, estetis, dan historis cenderung tersisihkan.
Hal
tersebut tampak melalui kecenderungan mereka untuk selalu berambisi (baca:
kompetisi) merebut pasar. Siapa yang kuat itulah yang berpeluang menguasai
pasar, sekolah, kerja, usaha, jabatan, kekuasaan, dan seterusnya. Kecenderungan
itu agaknya didukung pula oleh merebaknya sekolah-sekolah unggul (yang kadang
hanya diukur dari lengkapnya peralatan canggih; komputer, internet, dll) atau
menjamurnya berbagai lembaga pendidikan kejuruan (yang kadang tujuannya hanya
menyiapkan siswa untuk menguasai pasaran kerja) yang memang sangat menjanjikan
itu.
Sementara
itu, yang lemah dan kalah dalam persaingan akhirnya frustasi. Dari sinilah
kemudian tercipta berbagai bentuk kenakalan remaja, tawuran, kamuflase, dan lebih jauh menjurus ke tindak-tindak
kriminalitas. Merebaknya pil ecstasy
belakangan ini agaknya juga merupakan selah satu ekses dari semakin kuatnya
pola hubungan produksi-konsumsi yang lahir dari sistem ekonomi pasar itu.
Oleh
sebab itu, dengan proporsi yang memadai, nilai-nilai dasar pendidikan budaya
perlu segera ditanamkan kepada anak-anak, remaja, dan pemuda. Jika dikaitkan
dengan Trilogi Pendidikan Ki Hadjar
Dewantara, misalnya, penekanannya sebaiknya tidak hanya pada cipta dan karsa, tetapi juga rasa.
Sebab rasa lebih mengarah pada
pembentukan jiwa humanitat manusiawi,
dan bijaksana, yang dalam konteks
budaya konsumtif sekarang ini cenderung terabaikan.
Dalam
konteks kehidupan sekarang dan masa depan, nila teoretis, ekonomis, dan politis
memang tak mungkin diabaikan. Dan siapa pun setuju atas kemajuan berkat adanya revolusi teknik dan industri. Sebab
tanpa itu kita hanya akan menjadi objek dan instrumen terus-menerus bagi
liberalisme dan kapitalisme (negara-negara maju). Tanpa itu kita juga tak
mungkin mampu menjadi subjek aktif, dan tak mampu pula bersikap terhadap
perubahan dunia yang terjadi. Karena itu, pendidikan yang mengarah pada nilai
teoretis demi pengembangan iptek, nilai ekonomis demi kesejahteraan hidup dan
nilai politis demi keadilan dan penghargaan atas dan kewajiban, wajib
dikembangkan secara memadai.
Namun,
hal itu haruslah diimbangi dengan pendidikan budaya yang mengarah pada
pembentukan susila (etis), kesadaran keterbatasan manusia dari Tuhannya
(religius), harmoni dan keselarasan (estetis), dan kesadaran akan perubahan
(historis). Sebab, jika tidak semua itu akan berakibat buruk, tidak
mensejahterakan manusia, tetapi justru menghancurkan. Manusia terkotak-kotak,
terspesialisasi, terpisah dari sesama, terasing dari alam dan Tuhannya, serta
tak lagi mengenali dirinya sebagai homo
humanus. Karena itu, nilai-nilai dasar pendidikan budaya (humaniora) perlu ditanamkan kepada
generasi (anak-anak) sejak awal.
Sanggar
Budaya
Sanggar
budaya merupakan salah satu alternatif bagi optimalisasi pendidikan budaya bagi
anak-anak (di sekolah dan di luar sekolah). Tradisi berkumpul dan berserikat
dapat dijadikan medium bersama bagi pembentukan susila, religius, ekspresi
estetis, dan kesadaran historis. Namun, tradisi berkumpul bukan sekadar
berkumpul tetapi lebih merupakan media apresiasivitas, ekspresivitas, aktivitas,
dan kreativitas (non-sosial-politis), dan pengelolaannya pun menuntuk
pendekatan humanitas-profesionalitas.
Barangkali
yang paling sesuai untuk tujuan pendidikan budaya adalah lewat seni (sastra,
musil, drama, tari, lukis, dll). Sebab, dalam arti yang paling sederhana, seni
(dan berbagai genrenya) pada
hakikatnya mengutamakan harmoni keselarasan. Dan harmoni itulah yang paling
dibutuhkan oleh manusia, lahir-batin, jiwabadan. Jika ilmu dan teknologi dapat
didatangkan dari luar, tetapi jiwa hanya dapat dibina dari dalam. Dan seni
adalah salah satu sumber yang kaya akan obat kejiwaan itu.
Pendidikan
budaya lewat sastra, misalnya, tentulah akan membentuk kebiasaan membaca,
mungkin juga kebiasaan menulis. Dan karena sastra menitikberatkan pada harmoni
-- walaupun tersaji melalui metafora, ironi, dan sebagainya -- keharmonian itu
pula yang akan mereka peroleh. Dari sastra mereka dapat menimba nilai-nilai
etis, estetis, dan religiusitas, karena pada dasarnya sastra selalu
mengedepankan hal itu, walaupun persoalan yang dikemukan sering berkaitan
dengan masalah sosial, politik, sejarah, atau yang lain.
Dalam
hal drama dan musik (grup) agaknya juga demikian. Jenis ini memberi warna
tersendiri bagi anak-anak (siswa), terutama dalam hal kesibukan. Kesibukan berlatih
(berulang-ulang) dan berdisiplin bukan saja membentuk mereka untuk bisa
membedakan yang nyata dan semu, yang merusak dan membangun, yang baik dan
buruk, tetapi juga meluluhkan diri dengan (karya) seni yang bernilai tinggi
(abadi), juga membiarkan diri dibentuk perasaan dan jiwanya oleh apa yang
terbaik yang dapat dicapai dalam ekspresi nilai budaya yang mulia. Dan ini juga
berlaku dalam hal seni lainnya seperti lukis, patung, tari, dan sebagainya.
Walaupun
orang sering bilang seni adalah khayalan, tetapi nyata bahwa seni bisa menjadi
pembebas dari lamunan yang tak sehat, pelembut watak, penghalus gejolak cinta
asmara yang umumnya tumbuh pada diri anak-anak dan remaja. Berkat seni orang
dilonggarkan dari pengalaman individu. Dengan seni siswa-siswa dilonggarkan
dari kungkungan mata pelajaran, untuk mereguk kesemarakan. Lewat seni tinggi
anak-anak juga dididik kritis, mengejawantahkan nilai manusiawi luhur dan
abadi.
Jelasnya,
pendidikan budaya lewat seni mampu menciptakan anak menjadi tahu memandang dan
menimbang keseluruhan; tahu dan bisa mengambil kesempatan, menyisihkan waktu
untuk nilai-nilai khas manusia; dan tahu bagaimana mencintai keselarasan, yang
dilihat dalam dirinya (tubuh, jiwa, hati, budi). Jadi, pendidikan budaya pada
hakikatnya menciptakan manusia meraih harmoni, baik dengan alam, sesama, maupun
dengan Tuhannya.
Melihat
betapa perlunya anak-anak (remaja, juga pemuda) memiliki jiwa humanitat, jiwa
yang manusiawi, yang harmoni, maka di ambang gelombang sistem ekonomi pasar ini
mereka perlu segera dibekali dengan ilmu pengetahuan budaya yang sepadan. Oleh
karena itu, sanggar-sanggaar budaya sebagai media pendidikan budaya wajib
segera dibudidayakan. Di sekolah-sekolah, dikampung-kampung, perlu dibentuk
grup-grup musik, kelompok teater, bengkel sastra, sanggar tari, lukis, dan
sejenisnya. Dan di setiap sanggar budaya itu tentu harus dilengkapi dengan perpustakaan yang di
dalamnya buku-buku sastra dipajang dan dibacaa.
Dan
betapa bahagianya jika melihar anak-anak masa depan adalah anak yang tidak
hanya canggih dalam strategi komunikasi, mekanika komputer, akses-akses
internet, analisis fisika-kimia, meneropog antariksa, menerbangkan jet temour,
bahkan menciptakan robot dan senjata pemusnah, tetapi juga canggih dalam
bergaul, santun dengan sesama, tidak melupakan Yang Di Atas Sana, bisa
bersendau-gurau, tertawa lebar, dan sebagainya. Jadi, mereka masih merasa
menjadi makhluk, menjadi manusia.
Hanya,
harus diakui secara jujur, untuk menciptakan suasana humanis, mendirikan
sanggar-sanggar budaya, diperlukan personal-personal yang sadar, yakin akan
kepentingannya, dapat menangkap inti dan jiwanya, juga sanggup meluangkan
waktu, biaya, tenaga, dan ruang gerak untuk aktivitasnya. Tanpa itu semua,
pendidikan budaya tak bakal terlaksana. Karena itu, siapa yang peduli? Silakan!
Toh ada banyak sebenarnya orang-orang yang cukup berpotensi. ***
Dimuat Kedaulatan Rakyat, 25 Juli 1996