-->

Menguak Peristiwa Idulfitri dalam Sastra

Tirto Suwondo


Kita tahu pada 25—26 November 2003 seluruh umat Islam sedang merayakan lebaran/idulfitri. Di saat seperti ini kita tentu amat gembira. Sebab ini hari kemenangan setelah kita berhasil menekan segala bentuk nafsu selama sebulan penuh (Ramadhan). Ini berarti kita kembali pada fitrah kita yang suci. Jadi, jelaslah idulfitri merupakan peristiwa sangat penting. Yang jadi pertanyaan, apakah peristiwa ini juga jadi perhatian sastrawan kita? Bagaimana mereka mengabadikan peristiwa itu dalam karya-karyanya?
Banyak sudah sastrawan Indonesia mengabadikan idulfitri ke dalam karyanya. Coba amati puisi, cerpen, juga novel, sejak tahun 20-an hingga sekarang, peristiwa idulfitri tetap mewarnai khazanah sastra kita. Penyair Ali Hasjmy, M. Yamin, Hamka, Rifai Ali, Amir Hamzah, Sitor Situmorang, Taufiq Ismail, Abdul Hadi, Ahmadun Y. H., dll, juga cerpenis/novelis M. Diponegoro, Danarto, Kuntowijoyo, Umar Kayam, Zawawi Imron, Teguh Winarsho, dll pernah mengabadikan peristiwa ini ke dalam karya-karyanya.
Sitor Situmorang, misalnya, pernah menulis puisi “Malam Lebaran” (1954). Puisi ini amat pendek. Kata-katanya hanya “Bulan, di atas kuburan.” Puisi ini dibukukan dalam antologi Dalam Sajak (1955). Ketika itu, kira-kira pada 1957, puisi itu sempat menghebohkan karena kata-katanya sangat pendek. Tetapi, walaupun pendek, toh puisi itu merupakan kesaksian penyair yang sangat penting tentang sebuah peristiwa penting (lebaran).
Mungkinkah bisa jadi sebuah kesaksian lengkap kalau kata-kata puisi itu amat pendek? Baiklah. Meski hanya pendek, bagaimana pun puisi itu jadi catatan lengkap dari sebuah peristiwa yang lengkap pula. Begini. Kalau tak salah, puisi itu lahir dari peristiwa unik yang dialami penyairnya. Pada 1954, di suatu sore, beberapa hari setelah idulfitri, Sitor hendak ber-halal-bil-halal ke rumah Pramoedya di Kober, Jakarta. Tetapi, karena tempatnya agak jauh, sampai di rumah Pram sudah malam, sepi, dan tidak ada orang.
Karena itu, Sitor kecewa berat. Lalu pulang dia lewat jalan berselokan yang sepi, bau, gelap. Karena gelap, Sitor kesasar ke tempat yang penuh pohon tua, rimbun, dikelilingi tembok. Ketika itulah ia melihat bulan. Karena ingin tahu ada apa di balik tembok itu, Sitor lalu berdiri berjingkat di atas batu. Ternyata, yang dilihat hanya kuburan. Dan nisan-nisan di kuburan itu berwarna putih akibat tertimpa sinar bulan. Saat itulah dia terpesona, dan seolah tersihir. Akhirnya, kata-kata bulan dan kuburan itu terus-menerus teringat, dan jadilah sajak “Malam Lebaran”.
Lalu apa tujuan sastrawan membuat catatan kesaksian atas peristiwa idulfitri? Soal tujuan, saya kira bisa beragam. Sebab setiap sastrawan punya persepsi berbeda-beda walau objek yang direkam sama. Tetapi, yang dapat dipastikan adalah umumnya mereka mengangkat peristiwa idulfitri sebagai upaya mendekatkan diri pada Tuhan. Sebab, idulfitri adalah peristiwa religius, peristiwa yang terkait masalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan begitu, manusia akan lebih menyadari keterbatasannya sebagai makhluk, yang tak berarti apa-apa di hadapan Tuhan. Begitulah. Ini berkaitan erat dengan kata fitri yang artinya suci. Di hari raya idulfitri ini manusia kembali ke fitrahnya untuk mengawali dan menjalani hari-harinya di kemudian hari. Karena itu tak aneh jika penyair dan sastrawan mencoba mencatat dan mengabadikannya.
Lalu bagaimana dalam dunia cerpen kita? Apakah cerpenis kita juga berbuat hal sama? Saya kira, ya. Dan contohnya pun banyak. Umar Kayam, misalnya, mencatat peristiwa idulfitri dengan cara unik. Dalam antologi Parta Krama, Umar Kayam mengabadikan momen idulfitri ke dalam 4 cerpen. Hanya, karena Umar Kayam seorang sosiolog, ia merekam peristiwa lebaran itu secara lebih sosiologis. Dalam “Ke Solo, Ke Njati”, misalnya, Pak Kayam menggambarkan ketakberdayaan seorang pembantu rumah tangga menghadapi kesemrawutan transportasi dari Jakarta ke Solo saat lebaran. Sungguh, membaca cerpen itu kita benar-benar terharu.
Pasalnya, begini. Kita terharu karena seolah kita ikut merasakan kepedihan tokoh si ibu (pembantu). Jauh-jauh hari mereka sudah siap, sudah pamit majikan, berjanji dengan anak-anak, kalau lebaran nanti akan mudik ke Njati (Solo). Tetapi, di hari pertama, di terminal mereka tak bisa masuk bis karena penuh sesak. Lalu pulanglah mereka ke pondokan kumuhnya. Di hari kedua, mereka mencoba lagi, tetapi gagal lagi. Demikian juga di hari ketiga. Akhirnya gagallah harapan untuk mudik, sementara tabungannya habis untuk ongkos bajaj bolak-balik dan untuk beli oleh-oleh yang akhirnya membusuk. Di situlah hati kita terenyuh, seolah ingin menangis saja.
Hal sama tampak pada cerpen “Mbok Jah”. Mbok Ijah hidup sendiri, semakin tua, rapuh, dan satu-satunya anaknya sudah tak berbakti lagi. Untuk menghibur diri, di setiap lebaran ia berkunjung ke rumah bekas majikannya. Sementara dalam “Ziarah Lebaran” dan “Marti”, Pak Kayam bercerita tentang wong cilik, tetapi punya nasib lebih baik. Cerpen pertama bicara soal seorang duda yang tak berani kawin lagi. Cerpen kedua bicara soal wong cilik yang mengalami mobilitas sosial jadi elite. Marti, seorang gadis desa, kawin dengan pejabat, tapi tak punya anak. Maka, ketika lebaran, mereka lebih suka menyendiri tidur di hotel daripada kumpul sanak-saudara. Di saat seperti itulah Marti dirundung rindu pada asalnya, pada kesederhanaannya.
Selain itu, Pak Kayam masih punya 3 cerpen lagi yang bicara soal lebaran (“Menjelang Lebaran”, “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang”, “Lebaran di Karet, di Karet…”). Melalui cerpen-cerpen ini Pak Kayam mengabadikan peristiwa idulfitri yang kalau dicermati intinya mengajak kita untuk lebih mempererat tali hubungan silaturahmi. Begitulah cara Pak Kayam memotret orang-orang kecil, orang-orang yang tak berdaya menghadapi kekerasan hidup.
Apakah cerpen-cerpen seperti karya Pak Kayam itu bisa disebut cerpen religius? Dilihat dari berbagai sisi, agaknya cerpen Pak Kayam itu cenderung sebagai cerpen sosial ketimbang religius. Sebab, peristiwa idulfitri hanya digunakan sebagai latar cerita, bukan sebagai pokok persoalan yang digarap. Peristiwa idulfitri di situ tidak difungsikan sebagai aspek penting. Sebab yang diutamakan adalah sense of life-nya, rasa hidup-nya, bukan rasa religiusnya. Dan kita ingat, Pak Kayam adalah seorang sosiolog sehingga persoalan-persoalan sosial itu yang lebih dikedepankan. Ini bedanya jika dibandingkan dengan Kuntowijoyo, Abdul Hadi, atau Danarto.
  Kita tahu peristiwa idulfitri banyak menjadi perhatian para sastrawan kita. Apakah ini akan berlangsung terus di waktu-waktu mendatang? Saya kira benar. Selama peristiwa idulfitri masih terus ada, kita yakin peristiwa ini akan terus dicatat dan ditanggapi oleh para sastrawan. Hanya saja, pandangan setiap sastrawan itu berbeda-beda dan berubah-ubah, sehingga akan lahir pula persepsi yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. ***  
 Kedaulatan Rakyat, 23 November 2003

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel