Menguak Peristiwa Idulfitri dalam Sastra
Wednesday, January 04, 2017
Edit
Tirto Suwondo
Kita tahu
pada 25—26 November 2003 seluruh umat Islam sedang merayakan lebaran/idulfitri.
Di saat seperti ini kita tentu amat gembira. Sebab ini hari kemenangan setelah
kita berhasil menekan segala bentuk nafsu selama sebulan penuh (Ramadhan). Ini
berarti kita kembali pada fitrah kita yang suci. Jadi, jelaslah idulfitri
merupakan peristiwa sangat penting. Yang jadi pertanyaan, apakah peristiwa ini
juga jadi perhatian sastrawan kita? Bagaimana mereka mengabadikan peristiwa itu
dalam karya-karyanya?
Banyak sudah sastrawan
Indonesia mengabadikan idulfitri ke dalam karyanya. Coba amati puisi, cerpen,
juga novel, sejak tahun 20-an hingga sekarang, peristiwa idulfitri tetap
mewarnai khazanah sastra kita. Penyair Ali Hasjmy, M. Yamin, Hamka, Rifai Ali,
Amir Hamzah, Sitor Situmorang, Taufiq Ismail, Abdul Hadi, Ahmadun Y. H., dll,
juga cerpenis/novelis M. Diponegoro, Danarto, Kuntowijoyo, Umar Kayam, Zawawi
Imron, Teguh Winarsho, dll pernah mengabadikan peristiwa ini ke dalam
karya-karyanya.
Sitor Situmorang,
misalnya, pernah menulis puisi “Malam Lebaran” (1954). Puisi ini amat pendek.
Kata-katanya hanya “Bulan, di atas kuburan.” Puisi ini dibukukan dalam antologi
Dalam Sajak (1955). Ketika itu, kira-kira pada 1957, puisi itu sempat
menghebohkan karena kata-katanya sangat pendek. Tetapi, walaupun pendek, toh
puisi itu merupakan kesaksian penyair yang sangat penting tentang sebuah
peristiwa penting (lebaran).
Mungkinkah bisa jadi
sebuah kesaksian lengkap kalau kata-kata puisi itu amat pendek? Baiklah. Meski
hanya pendek, bagaimana pun puisi itu jadi catatan lengkap dari sebuah
peristiwa yang lengkap pula. Begini. Kalau tak salah, puisi itu lahir dari
peristiwa unik yang dialami penyairnya. Pada 1954, di suatu sore, beberapa hari
setelah idulfitri, Sitor hendak ber-halal-bil-halal ke rumah Pramoedya
di Kober, Jakarta. Tetapi, karena tempatnya agak jauh, sampai di rumah Pram
sudah malam, sepi, dan tidak ada orang.
Karena itu, Sitor kecewa
berat. Lalu pulang dia lewat jalan berselokan yang sepi, bau, gelap. Karena
gelap, Sitor kesasar ke tempat yang penuh pohon tua, rimbun, dikelilingi
tembok. Ketika itulah ia melihat bulan. Karena ingin tahu ada apa di balik
tembok itu, Sitor lalu berdiri berjingkat di atas batu. Ternyata, yang dilihat
hanya kuburan. Dan nisan-nisan di kuburan itu berwarna putih akibat tertimpa
sinar bulan. Saat itulah dia terpesona, dan seolah tersihir. Akhirnya,
kata-kata bulan dan kuburan itu terus-menerus teringat, dan
jadilah sajak “Malam Lebaran”.
Lalu apa tujuan sastrawan
membuat catatan kesaksian atas peristiwa idulfitri? Soal tujuan, saya kira bisa
beragam. Sebab setiap sastrawan punya persepsi berbeda-beda walau objek yang
direkam sama. Tetapi, yang dapat dipastikan adalah umumnya mereka mengangkat
peristiwa idulfitri sebagai upaya mendekatkan diri pada Tuhan. Sebab, idulfitri
adalah peristiwa religius, peristiwa yang terkait masalah hubungan manusia
dengan Tuhan. Dengan begitu, manusia akan lebih menyadari keterbatasannya
sebagai makhluk, yang tak berarti apa-apa di hadapan Tuhan. Begitulah. Ini
berkaitan erat dengan kata fitri yang artinya suci. Di hari raya
idulfitri ini manusia kembali ke fitrahnya untuk mengawali dan menjalani
hari-harinya di kemudian hari. Karena itu tak aneh jika penyair dan sastrawan
mencoba mencatat dan mengabadikannya.
Lalu bagaimana dalam
dunia cerpen kita? Apakah cerpenis kita juga berbuat hal sama? Saya kira, ya.
Dan contohnya pun banyak. Umar Kayam, misalnya, mencatat peristiwa idulfitri
dengan cara unik. Dalam antologi Parta Krama, Umar Kayam mengabadikan
momen idulfitri ke dalam 4 cerpen. Hanya, karena Umar Kayam seorang sosiolog,
ia merekam peristiwa lebaran itu secara lebih sosiologis. Dalam “Ke Solo, Ke
Njati”, misalnya, Pak Kayam menggambarkan ketakberdayaan seorang pembantu rumah
tangga menghadapi kesemrawutan transportasi dari Jakarta ke Solo saat lebaran.
Sungguh, membaca cerpen itu kita benar-benar terharu.
Pasalnya, begini. Kita
terharu karena seolah kita ikut merasakan kepedihan tokoh si ibu (pembantu).
Jauh-jauh hari mereka sudah siap, sudah pamit majikan, berjanji dengan anak-anak,
kalau lebaran nanti akan mudik ke Njati (Solo). Tetapi, di hari pertama, di
terminal mereka tak bisa masuk bis karena penuh sesak. Lalu pulanglah mereka ke
pondokan kumuhnya. Di hari kedua, mereka mencoba lagi, tetapi gagal lagi.
Demikian juga di hari ketiga. Akhirnya gagallah harapan untuk mudik, sementara
tabungannya habis untuk ongkos bajaj bolak-balik dan untuk beli oleh-oleh yang
akhirnya membusuk. Di situlah hati kita terenyuh, seolah ingin menangis saja.
Hal sama tampak pada
cerpen “Mbok Jah”. Mbok Ijah hidup sendiri, semakin tua, rapuh, dan
satu-satunya anaknya sudah tak berbakti lagi. Untuk menghibur diri, di setiap
lebaran ia berkunjung ke rumah bekas majikannya. Sementara dalam “Ziarah
Lebaran” dan “Marti”, Pak Kayam bercerita tentang wong cilik, tetapi
punya nasib lebih baik. Cerpen pertama bicara soal seorang duda yang tak berani
kawin lagi. Cerpen kedua bicara soal wong cilik yang mengalami mobilitas
sosial jadi elite. Marti, seorang gadis desa, kawin dengan pejabat, tapi tak
punya anak. Maka, ketika lebaran, mereka lebih suka menyendiri tidur di hotel
daripada kumpul sanak-saudara. Di saat seperti itulah Marti dirundung rindu
pada asalnya, pada kesederhanaannya.
Selain itu, Pak Kayam
masih punya 3 cerpen lagi yang bicara soal lebaran (“Menjelang Lebaran”,
“Lebaran Ini, Saya Harus Pulang”, “Lebaran di Karet, di Karet…”). Melalui
cerpen-cerpen ini Pak Kayam mengabadikan peristiwa idulfitri yang kalau
dicermati intinya mengajak kita untuk lebih mempererat tali hubungan
silaturahmi. Begitulah cara Pak Kayam memotret orang-orang kecil, orang-orang
yang tak berdaya menghadapi kekerasan hidup.
Apakah cerpen-cerpen
seperti karya Pak Kayam itu bisa disebut cerpen religius? Dilihat dari berbagai
sisi, agaknya cerpen Pak Kayam itu cenderung sebagai cerpen sosial ketimbang
religius. Sebab, peristiwa idulfitri hanya digunakan sebagai latar cerita,
bukan sebagai pokok persoalan yang digarap. Peristiwa idulfitri di situ tidak
difungsikan sebagai aspek penting. Sebab yang diutamakan adalah sense of
life-nya, rasa hidup-nya, bukan rasa religiusnya. Dan kita ingat, Pak Kayam
adalah seorang sosiolog sehingga persoalan-persoalan sosial itu yang lebih
dikedepankan. Ini bedanya jika dibandingkan dengan Kuntowijoyo, Abdul Hadi,
atau Danarto.
Kita tahu peristiwa idulfitri banyak menjadi perhatian para sastrawan kita. Apakah ini akan berlangsung terus di waktu-waktu mendatang? Saya kira benar. Selama peristiwa idulfitri masih terus ada, kita yakin peristiwa ini akan terus dicatat dan ditanggapi oleh para sastrawan. Hanya saja, pandangan setiap sastrawan itu berbeda-beda dan berubah-ubah, sehingga akan lahir pula persepsi yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. ***
Kita tahu peristiwa idulfitri banyak menjadi perhatian para sastrawan kita. Apakah ini akan berlangsung terus di waktu-waktu mendatang? Saya kira benar. Selama peristiwa idulfitri masih terus ada, kita yakin peristiwa ini akan terus dicatat dan ditanggapi oleh para sastrawan. Hanya saja, pandangan setiap sastrawan itu berbeda-beda dan berubah-ubah, sehingga akan lahir pula persepsi yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. ***
Kedaulatan Rakyat, 23 November 2003