KROCO: Kritik Sosial Gaya Putu Wijaya (Ulasan Buku)
Tuesday, January 10, 2017
Edit
Hingga saat ini barangkali hanya Putu Wijaya-lah
pengarang yang paling sregep dan
produktif. Dia mengarang dan mengarang terus.
Lebih dari 24 novel, 30 naskah drama, dan 500 cerpen telah ia terbitkan.
Ini belum termasuk puisi, esei-esei sastra, kolom-kolom sosial budaya, dan
naskah skenario untuk film dan sinetron.
Sejauh ini konsep berkarya Putu Wijaya tetap dan ajeg.
Persoalan yang digarap juga ajeg. Dunia simbolik orang-orang (tokoh) kebanyakan
yang sinting, gila, aneh, selalu ia ekspresikan ke permukaan. Ia banyak juga
mengangkat tokoh mitologis dari pewayangan. Ciri ekspresi verbalnya juga tak
jauh bergeser, yaitu judul singkat, bahasa
segar, penuh idiom erogen,
tokoh-tokoh manusia serba mungkin,
settingnya detail dan simbolis, yang semuanya serba inkonvensional.
Dengan ciri serba menyimpang dari konvensi itu Putu Wijaya membangun konvensinya sendiri. Karena itu, tentu saja,
ia punya konsep estetika tersendiri yang berbeda dengan pengarang lain.
Demikian juga novel terakhirnya, Kroco, yang terbit bulan November 1995. Kalau dalam novel Pol, tokoh Aston bisa bertemu (berbicara) dengan tokoh pewayangan Semar, dalam Kroco tokoh Warno dapat leluasa berbicara dengan pohon-pohon. Menurut Warno, semua itu tidak aneh, karena pohon, dahan, ranting, daun, dan segalanya juga hidup sebagaimana layaknya manusia. Kalau manusia bisa hidup dan berbicara, entah dengan sesama atau dengan dirinya sendiri, mengapa pohon tak bisa hidup dan bicara? Lambaian, ayunan, dan goyangan (tertiup angin) itulah pertanda mereka (pohon-pohon) dapat berbicara atau membahasakan dirinya. Itu setidaknya menurut cerita Warno --bukan cerita Putu-- karena Warno-lah yang mengalami dan menuturkannya kepada istri dan warga masyarakat di sekelilingnya.
Demikian juga novel terakhirnya, Kroco, yang terbit bulan November 1995. Kalau dalam novel Pol, tokoh Aston bisa bertemu (berbicara) dengan tokoh pewayangan Semar, dalam Kroco tokoh Warno dapat leluasa berbicara dengan pohon-pohon. Menurut Warno, semua itu tidak aneh, karena pohon, dahan, ranting, daun, dan segalanya juga hidup sebagaimana layaknya manusia. Kalau manusia bisa hidup dan berbicara, entah dengan sesama atau dengan dirinya sendiri, mengapa pohon tak bisa hidup dan bicara? Lambaian, ayunan, dan goyangan (tertiup angin) itulah pertanda mereka (pohon-pohon) dapat berbicara atau membahasakan dirinya. Itu setidaknya menurut cerita Warno --bukan cerita Putu-- karena Warno-lah yang mengalami dan menuturkannya kepada istri dan warga masyarakat di sekelilingnya.
Namun, yang menarik dalam novel ini sebenarnya bukan soal
Warno yang dianggap sinting karena berdialog dengan pohon. Tapi justru
kesintingan hidup manusia yang sering kita jumpai sehari-hari. Bukan hanya
Warno saja yang stres akibat di-PHK
dari pekerjaannya (pabrik teh), tetapi yang senasib dengan Warno juga sering
kita dengar lewat berita di koran-koran.
Bukan hanya Warno saja yang jadi kere
setelah mengadu nasib ke Jakarta, orang-orang lain yang senasib dengan Warno
masih cukup banyak. Jika diamati, sesungguhnya Warno dalam novel ini bukan
sekadar corong kegilaannya, tetapi justru “ceramah” yang sangat vokal mengenai
ketimpangan sosial kemanusiaan dalam masyarakat. Meskipun yang “ceramah”
hanyalah pohon-pohon, dan pendengarnya hanyalah Warno, tetapi lewat berbagai
personifikasi simbolik novel ini mampu menampilkan ironika hidup yang sangat
dekat dengan kita.
Lewat kegilaan Warno-lah teror-teror mental masyarakat
terjadi. Teror mental pertama melanda istri Warno sendiri. Meski semula
menganggap Warno sudah gila, tetapi
ketika secara diam-diam ditinggal ke Jakarta, istri Warno ikut-ikutan menjadi gila.
Istri Warno juga mengaku --karena didesak oleh orang-orang di sekitarnya--
dapat berbicara dengan pohon. Dari sinilah kemudian teror mental datang bertubi-tubi dan melanda
warga sekitar.
Suatu saat, istri Warno ditanya berapa nomor SDSB yang
bakal keluar. Dan ia menjawab sekenanya. Tapi, ternyata ucapan ngawur itu cocok
dengan nomor SDSB yang keluar. Dengan begitu,
berbondong-bondonglah orang datang minta nomor. Lalu mental mereka terteror sendiri dan “meresmikan” istri Warno
jadi dukun nomor SDSB yang ampuh. Dari
sinilah kemudian kesintingan (hidup sehari-hari) manusia tergambar dengan
jelas. Banyak orang lalu mengambil
kesempatan dalam kesempitan istri Warno.
Akibatnya, bukan istri Warno yang jadi kaya, tetapi tanah, rumah, dan segala
miliknya justru habis terjual. Ia digerogoti oleh orang-orang yang mengaku
“waras”. Barangkali ini adalah realitas, bukan hanya realitas Warno dan
istrinya dalam fiksi ini, tetapi juga
realitas yang sering kita saksikan di sekitar kita. Banyak orang menggerogoti
sesamanya dengan dalih membantu, melindungi, atau menyelamatkan.
Kebobrokan mental manusia tergambar pula ketika Warno
telah berada di Jakarta. Kepada Warno pohon-pohon berbicara soal penggusuran
tanah, pembangunan lapangan tertentu yang hanya bisa dinikmati orang kaya,
pelaksanaan proyek-proyek tanpa kemanusiaan, dan polusi serta kerakusan manusia
kapitalis. Kendati yang berbicara hanya pohon-pohon, apalagi hanya dalam fiksi, tetapi bagaimanapun
--ketika membaca novel ini-- kita tidak mampu membedakan secara dikotomis
antara fiksi dan realitas. Sebab, dalam kenyataannya, antara fiksi dan realitas
sulit dipi-sahkan. Sinting-waras,
benar-salah, hampir-hampir tak ada bedanya. Salah bisa benar, benar bisa salah,
koruptor bermuka penyandang dana,
pengawas justru melindas, agaknya bukan barang aneh di sekitar kita.
Bukan pula sebuah anekdot, tapi sungguh hadir di depan kita.
Jika boleh disimpulkan, novel ini barangkali lebih dekat dengan
fakta tentang kesintingan manusia
daripada fiksi sinting tentang manusia
yang sinting. Kendati novel ini tidak sebagus novel Telegram, Stasiun, atau Perang, tetapi ia cukup menjadi saksi dan catatan
terhadap tingkah-polah manusia (dan masyarakat) yang semakin terkotak,
tergencet, dan terkoyak akibat heterogenitas kehidupan modern. Namun, yang jadi pertanyaan, mengapa musti
hanya kroco-kroco atau orang kebanyakan saja yang senantiasa
menderita? Jawabannya: tanyalah pada
pohon-pohon!!! ***
Judul Novel
: KROCO
Pengarang
: Putu Wijaya
Pengantar
: Ariel Heryanto
Penerbit
: Pustaka Firdaus
Terbit : November 1995
Tebal : 124 + viii halaman