-->

Kreator, Kemerdekaan Kreatif, dan Pembocoran Teks

Menarik sekali menyimak tulisan Sdr. Satmoko Budi Santosa me-ngenai Pembocoran Teks sebagai Proses Kreatif (PR, 7 April 1996). Dalam tulisan itu ia mengungkapkan bahwa para kreator muda kita kebanyakan melaku-kan pembocoran wilayah teks lain sehingga teks-teks (karya) hasil imajinasi kreatif mereka tidak lagi otentik. Tindakan pembocoran teks semacam itu dinilai sebagai suatu tindakan kejam, apalagi jika pembocoran tersebut mengakibatkan teks-teks yang dibocorkan mengalami pendangkalan mak-na yang sangat krusial.
             Sinyalemen tersebut, jika dicermati, memang ada benarnya. Pem-bocoran teks atas teks lain dapat dibilang sebagai penjajahan atas kemer-dekaan kreativitas dan otentisitas seseorang. Apalagi, jika pembocoran wilayah teks itu mencapai 60, 80, atau bahkan 100 persen, seperti yang disebutkan Sdr. Satmoko, pasti berakibat sangat fatal. Sebab, hal itu sudah mengarah pada plagiatisme yang sulit dimaafkan.
             Namun, agar permasalahannya menjadi jelas, sebelum memberikan pernyataan apakah benar sang kreator telah melakukan pembocoran atas wilayah teks lain, sesungguhnya kita perlu mempertanyakan lebih dahulu lingkup wilayah pembocoran itu sendiri.  Apakah lingkup pembocoran yang dimaksudkan mencakup wilayah ide, konsep, tema, setting, warna, style, ataukah teks (kata-kata, bahasa) itu sendiri? Jika tindakan pembocoran itu menyangkut masalah yang terakhir itu, yaitu kata-kata dan bahasanya “dicuri” secara persis, jelas itu pantas disebut “pembocoran” atau bahkan “pelecehan”. Namun, jika hal itu hanya menyangkut masalah tema, ide, konsep, gaya, atau latar,  barangkali sebutan “pembocoran” belum pantas untuk ditimpakan.
            Mengapa demikian? Karena, kita tahu bahwa ruang dan waktu penjelajahan imajiner sang kreator sangat luas dan tanpa batas. Ia begitu bebas dan merdeka dalam berkreasi. Apalagi, hal ini berkenaan dengan makhluk yang disebut sastra (karya seni). Sastra, menurut istilah Budi Darma, adalah kehidupan. Sastra adalah kehidupan  yang sudah diendapkan melalui kemerdekaan kreativitas sang kreator. Karena kehidupan  sendiri pada dasarnya juga merupakan sebuah “wacana”, sebuah “teks”, jelas bah-wa teks hasil kristalisasi sang kreator tak mungkin lepas dari wacana dan teks kehidupan itu juga. Hanya permasalahannya tinggal kemampuan dan kecerdasan masing-masing kreator untuk menciptakan kehidupan dalam teks itu. Jika beberapa kreator memiliki pandangan yang sama terhadap objek (kehidupan) yang sama, tentu hanyalah suatu kebetulan; dan jika terhadap objek yang sama mereka memiliki pandangan yang berbeda, hal itu bukanlah suatu kebetulan.
            Karena itu, jika karya-karya Chairil Anwar, Rendra, Sitok Srengenge, dan  Agus Noor memiliki “ruh” yang sama dengan karya-karya Marsman, Rilke, Lorca, Arthur Rimbaud, Putu Wijaya, Seno Gumira, dan sebagainya, saya kira itu bukan suatu “pembocoran”. Barangkali, lebih tepat disebut  “pengaruh”.  Tetapi, dalam dunia sastra, “pengaruh” itu bukanlah  merupa-kan  “setan yang negatif”, karena sastra sebagai teks dan kehidupan (juga sebagai “teks”) tidak mungkin dapat diceraikan, tetapi justru saling menen-tukan. Di antara keduanya terjalin suatu komunikasi. Tidak ada teks yang tidak bicara soal kehidupan, dan adanya teks juga karena ada kehidupan.  Karena itu, soal pengaruh-mempengeruhi antara teks yang satu dengan teks lain  bukan barang aneh, tetapi karena memang tidak bisa dielakkan.
            Sementara itu, otentisitas teks-teks yang “terpengaruh” itu menjadi sah bukan karena adanya  legitimasi para kritikus, misalnya  Faruk, Sapardi, Jassin, Budi Darma, atau Nirwan Dewanto (seperti dikatakan Sdr. Satmoko), tetapi karena memang teks itu memiliki kehidupannya sendiri. Kalau kebetulan para kritikus menilai karya sang kreator “bagus dan mencerah-kan”, penilaian itu tidaklah berlaku general dan universal, tetapi lebih terfokus pada ruang dan waktu tertentu (saat menilai). Penilaian sekarang tidaklah sama dengan penilaian  besok atau lusa.
            Karena itu, yang menentukan otentisitas dan kemonumentalan sebu-ah teks bukan kritikus, melainkan diri teks itu sendiri dalam perjalanan sejarahnya. Jika dalam proses historisnya  tahan uji, teks itu mungkin akan mampu mencapai titik monumentalitas. Memang, tidak dapat dipungkiri, jika suatu teks sebagian “terbesar” dipengaruhi oleh teks lain, jelas teks itu akan sulit mencapai “keagungan” atau “kebesaran”-nya. Hal itu disebabkan karena orisinalitas teks yang bersangkutan rendah, sebab sang kreator mungkin hanya mengakumulasi berbagai “wilayah makna” yang telah diga-rap dan “dimiliki” kreator lain. Namun, bentuk akumulasi semacam itu be-lum tentu merendahkan kualitas karya jika memang wilayah makna yang digarap kreator lain digarap lagi dengan corak baru penuh eksperimen.
            Baiklah kita kembali ke soal pembocoran teks, yang lebih suka saya sebut “pengaruh” atau interferensi. Sebenarnya, masalah yang berkaitan erat dengan kemerdekaan kreativitas sang kreator ini tidaklah dapat digang-gu gugat. Jika wilayah makna yang digarap kebetulan sama dengan wilayah makna yang digarap kreator lain, juga tidak dapat diganggu gugat. Seperti sudah saya katakan, karya yang terpengaruh oleh wilayah makna karya lain (karya transformatif), belum tentu lebih jelek daripada karya yang dalam konsep intertekstual disebut hipogram, jika memang karya tranformatif itu digarap dengan pembaharuan-pembaharuan. Karena itu, adanya “pembo-coran teks” (jika memang orang percaya akan istilah ini) adalah hal biasa dan tidak terkutuk.
            Untuk memahami hal ini, agaknya kita bisa belajar dari kasus roman Umberto Eco, The Name of the Rose, yang dikupas panjang lebar oleh peneliti Rusia, Helena Costiucovich. Ketika menerjemahkan roman karya Eco ke dalam bahasa Rusia,  Helena menulis artikel tentang roman itu. Helena me-nyimpulkan bahwa roman Eco dipengaruhi secara kuat oleh roman karya Emile Henroit, La Rose de Bratislava. Berdasarkan penelitian atas teksnya, kedua roman itu dinyatakan memiliki kesamaan yang kuat, yaitu sama-sama mengisahkan pencarian manuskrip yang misterius yang akhirnya terbakar di perpustakaan, sama-sama bersetting di Praha, dan nama petugas perpus-takaannya pun mirip, yaitu Berenger (dalam roman Eco) dan Berngard (dalam roman Henroit).
            Terhadap hasil penelitian Helena itu, Eco sungguh tidak percaya. Tapi setelah menerawang jauh ke masa lalu,  Eco teringat bahwa ketika muda ia pernah membaca roman karya Henroit itu. Namun, Eco yakin, ketika menulis roman The Name of the Rose, ia sama sekali tidak  memba-yangkan roman Henroit. Ia baru tahu jika dirinya terpengaruh setelah membaca tulisan Helena.  Karena itu, secara tidak sadar, ternyata dirinya “telah merebut” wilayah makna lain yang pernah digarap oleh Henroit.
            Meski demikian, secara meyakinkan Eco menganggap bahwa hasil  penelitian Helena belum mampu membantu pemahaman secara tepat atas “kehidupan” yang dituangkan dalam romannya. Sebab, data-data yang diangkat Helena untuk membuktikan argumentasinya bukan merupakan data terpenting yang dicoba dituangkan Eco dalam The Name of the Rose. Eco  yakin pada pendiriannya, bahwa berkat pengembaraan imajinasi kreatifnya ia mencoba mengedepankan wilayah makna lain yang berbeda dengan wilayah makna yang telah digarap oleh Henroit.
            Jika seorang pembaca seperti Helena menginterpretasikan kedua roman itu memiliki “makna” yang mirip, bersinggungan, atau bahkan sama, sehingga roman ciptaannya dicap sebagai hasil “pembocoran” atau penja-jahan atas orisinalitas roman lain, hal itu tidaklah menjadi beban bagi Eco. Sebab, dengan bekal imajinasi dan kemerdekaan kreatifnya Eco mencoba  menuangkan apa yang menjadi keyakinan hidupnya ke dalam sebuah teks.  Jadi, jika kebetulan ada indikasi interferensi, hal itu jelas berada dalam alam bawah sadarnya.
            Oleh sebab itu, saya kira, jika terjadi kesamaan “ruh” antara sajak Chairil Anwar dengan sajak Marsman, sajak Rendra dengan sajak Garcia Lorca, cerpen Agus Noor dengan cerpen Putu, Iwan, atau Seno, dan masih banyak lagi, persoalannya mungkin senada dengan persoalan  Umberto Eco dengan Henroit.  Kendati terpengaruh oleh roman La Rose de Bratislava, toh otentisitas dan orisinalitas The Name of the Rose tetap sah dan menyejarah, bahkan tidak mengurangi kebesarannya. Jika begitu keadaannya, saya kira tidak berbeda dengan kasus para kreator (sastrawan) kita.
            Apalagi, jika mengingat sastra adalah wahana komunikasi manusia, yang dalam proses komunikasi  masing-masing unsur tidak mungkin lepas dari yang lain, jelas bahwa tidak akan ada teks (sastra) yang sungguh orisinal dan murni lahir dari sang kreator. Sebab, kontak dialektik tercipta meling-kar: kreator-teks-pembaca-masyarakat-kreator-teks-pembaca-dst.
            Bahkan, jika kita percaya sinyelemen Faucault, meski teks ditulis oleh pengarang (kreator), teks bukanlah hasil ciptaan pengarang, tetapi hasil ciptaan zaman dengan segala relasi dialektiknya. Di sini Faucault menya-takan pengarang sudah mati (the death of the author). Karena, hanya relasi-relasi dan mekanisme-mekanisme itulah yang menguasai pengarang dalam menulis karya. Oleh sebab itu, yang namanya objektivitas, orisinalitas, atau otentisitas, boleh dibilang tidak ada. Jadi, yang ada adalah saling berhu-bungan, saling mempengaruhi, saling bergantung, juga saling bertentangan, termasuk teks yang satu dengan teks lainnya. ***  
Dimuat Pikiran Rakyat Minggu, 12 Mei 1996

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel