Kreator, Kemerdekaan Kreatif, dan Pembocoran Teks
Thursday, January 05, 2017
Edit
Menarik sekali menyimak tulisan Sdr. Satmoko Budi Santosa
me-ngenai Pembocoran Teks sebagai Proses
Kreatif (PR, 7 April 1996). Dalam tulisan itu ia mengungkapkan bahwa para
kreator muda kita kebanyakan melaku-kan pembocoran wilayah teks lain sehingga
teks-teks (karya) hasil imajinasi kreatif mereka tidak lagi otentik. Tindakan
pembocoran teks semacam itu dinilai sebagai suatu tindakan kejam, apalagi jika
pembocoran tersebut mengakibatkan teks-teks yang dibocorkan mengalami
pendangkalan mak-na yang sangat krusial.
Sinyalemen tersebut, jika dicermati, memang ada benarnya. Pem-bocoran teks atas teks lain dapat dibilang sebagai penjajahan atas kemer-dekaan kreativitas dan otentisitas seseorang. Apalagi, jika pembocoran wilayah teks itu mencapai 60, 80, atau bahkan 100 persen, seperti yang disebutkan Sdr. Satmoko, pasti berakibat sangat fatal. Sebab, hal itu sudah mengarah pada plagiatisme yang sulit dimaafkan.
Sinyalemen tersebut, jika dicermati, memang ada benarnya. Pem-bocoran teks atas teks lain dapat dibilang sebagai penjajahan atas kemer-dekaan kreativitas dan otentisitas seseorang. Apalagi, jika pembocoran wilayah teks itu mencapai 60, 80, atau bahkan 100 persen, seperti yang disebutkan Sdr. Satmoko, pasti berakibat sangat fatal. Sebab, hal itu sudah mengarah pada plagiatisme yang sulit dimaafkan.
Namun, agar
permasalahannya menjadi jelas, sebelum memberikan pernyataan apakah benar sang
kreator telah melakukan pembocoran atas wilayah teks lain, sesungguhnya kita
perlu mempertanyakan lebih dahulu lingkup wilayah pembocoran itu sendiri. Apakah lingkup pembocoran yang dimaksudkan
mencakup wilayah ide, konsep, tema, setting, warna, style, ataukah teks
(kata-kata, bahasa) itu sendiri? Jika tindakan pembocoran itu menyangkut
masalah yang terakhir itu, yaitu kata-kata dan bahasanya “dicuri” secara
persis, jelas itu pantas disebut “pembocoran” atau bahkan “pelecehan”. Namun,
jika hal itu hanya menyangkut masalah tema, ide, konsep, gaya, atau latar, barangkali sebutan “pembocoran” belum pantas
untuk ditimpakan.
Mengapa demikian? Karena, kita tahu bahwa ruang dan waktu
penjelajahan imajiner sang kreator sangat luas dan tanpa batas. Ia begitu bebas
dan merdeka dalam berkreasi. Apalagi, hal ini berkenaan dengan makhluk yang
disebut sastra (karya seni). Sastra, menurut istilah Budi Darma, adalah
kehidupan. Sastra adalah kehidupan yang
sudah diendapkan melalui kemerdekaan kreativitas sang kreator. Karena
kehidupan sendiri pada dasarnya juga
merupakan sebuah “wacana”, sebuah “teks”, jelas bah-wa teks hasil kristalisasi
sang kreator tak mungkin lepas dari wacana dan teks kehidupan itu juga. Hanya
permasalahannya tinggal kemampuan dan kecerdasan masing-masing kreator untuk
menciptakan kehidupan dalam teks itu. Jika beberapa kreator memiliki pandangan
yang sama terhadap objek (kehidupan) yang sama, tentu hanyalah suatu kebetulan;
dan jika terhadap objek yang sama mereka memiliki pandangan yang berbeda, hal
itu bukanlah suatu kebetulan.
Karena itu, jika karya-karya Chairil Anwar, Rendra, Sitok
Srengenge, dan Agus Noor memiliki “ruh”
yang sama dengan karya-karya Marsman, Rilke, Lorca, Arthur Rimbaud, Putu
Wijaya, Seno Gumira, dan sebagainya, saya kira itu bukan suatu “pembocoran”.
Barangkali, lebih tepat disebut
“pengaruh”. Tetapi, dalam dunia
sastra, “pengaruh” itu bukanlah
merupa-kan “setan yang negatif”,
karena sastra sebagai teks dan kehidupan (juga sebagai “teks”) tidak mungkin
dapat diceraikan, tetapi justru saling menen-tukan. Di antara keduanya terjalin
suatu komunikasi. Tidak ada teks yang tidak bicara soal kehidupan, dan adanya
teks juga karena ada kehidupan. Karena
itu, soal pengaruh-mempengeruhi antara teks yang satu dengan teks lain bukan barang aneh, tetapi karena memang tidak
bisa dielakkan.
Sementara itu, otentisitas teks-teks yang “terpengaruh”
itu menjadi sah bukan karena adanya
legitimasi para kritikus, misalnya
Faruk, Sapardi, Jassin, Budi Darma, atau Nirwan Dewanto (seperti
dikatakan Sdr. Satmoko), tetapi karena memang teks itu memiliki kehidupannya
sendiri. Kalau kebetulan para kritikus menilai karya sang kreator “bagus dan
mencerah-kan”, penilaian itu tidaklah berlaku general dan universal, tetapi
lebih terfokus pada ruang dan waktu tertentu (saat menilai). Penilaian sekarang
tidaklah sama dengan penilaian besok
atau lusa.
Karena itu, yang menentukan otentisitas dan
kemonumentalan sebu-ah teks bukan kritikus, melainkan diri teks itu sendiri
dalam perjalanan sejarahnya. Jika dalam proses historisnya tahan uji, teks itu mungkin akan mampu
mencapai titik monumentalitas. Memang, tidak dapat dipungkiri, jika suatu teks
sebagian “terbesar” dipengaruhi oleh teks lain, jelas teks itu akan sulit
mencapai “keagungan” atau “kebesaran”-nya. Hal itu disebabkan karena
orisinalitas teks yang bersangkutan rendah, sebab sang kreator mungkin hanya
mengakumulasi berbagai “wilayah makna” yang telah diga-rap dan “dimiliki”
kreator lain. Namun, bentuk akumulasi semacam itu be-lum tentu merendahkan
kualitas karya jika memang wilayah makna yang digarap kreator lain digarap lagi
dengan corak baru penuh eksperimen.
Baiklah kita kembali ke soal pembocoran teks, yang lebih
suka saya sebut “pengaruh” atau interferensi. Sebenarnya, masalah yang
berkaitan erat dengan kemerdekaan kreativitas sang kreator ini tidaklah dapat
digang-gu gugat. Jika wilayah makna yang digarap kebetulan sama dengan wilayah
makna yang digarap kreator lain, juga tidak dapat diganggu gugat. Seperti sudah
saya katakan, karya yang terpengaruh oleh wilayah makna karya lain (karya
transformatif), belum tentu lebih jelek daripada karya yang dalam konsep
intertekstual disebut hipogram, jika memang karya tranformatif itu digarap
dengan pembaharuan-pembaharuan. Karena itu, adanya “pembo-coran teks” (jika
memang orang percaya akan istilah ini) adalah hal biasa dan tidak terkutuk.
Untuk memahami hal ini, agaknya kita bisa belajar dari
kasus roman Umberto Eco, The Name of the
Rose, yang dikupas panjang lebar oleh peneliti Rusia, Helena Costiucovich.
Ketika menerjemahkan roman karya Eco ke dalam bahasa Rusia, Helena menulis artikel tentang roman itu.
Helena me-nyimpulkan bahwa roman Eco dipengaruhi secara kuat oleh roman karya
Emile Henroit, La Rose de Bratislava.
Berdasarkan penelitian atas teksnya, kedua roman itu dinyatakan memiliki
kesamaan yang kuat, yaitu sama-sama mengisahkan pencarian manuskrip yang
misterius yang akhirnya terbakar di perpustakaan, sama-sama bersetting di
Praha, dan nama petugas perpus-takaannya pun mirip, yaitu Berenger (dalam roman
Eco) dan Berngard (dalam roman Henroit).
Terhadap hasil penelitian Helena itu, Eco sungguh tidak
percaya. Tapi setelah menerawang jauh ke masa lalu, Eco teringat bahwa ketika muda ia pernah
membaca roman karya Henroit itu. Namun, Eco yakin, ketika menulis roman The Name of the Rose, ia sama sekali
tidak memba-yangkan roman Henroit. Ia
baru tahu jika dirinya terpengaruh setelah membaca tulisan Helena. Karena itu, secara tidak sadar, ternyata dirinya “telah merebut” wilayah makna lain
yang pernah digarap oleh Henroit.
Meski demikian, secara meyakinkan Eco menganggap bahwa
hasil penelitian Helena belum mampu
membantu pemahaman secara tepat atas “kehidupan” yang dituangkan dalam
romannya. Sebab, data-data yang diangkat Helena untuk membuktikan
argumentasinya bukan merupakan data terpenting yang dicoba dituangkan Eco dalam
The Name of the Rose. Eco yakin pada pendiriannya, bahwa berkat
pengembaraan imajinasi kreatifnya ia mencoba mengedepankan wilayah makna lain
yang berbeda dengan wilayah makna yang telah digarap oleh Henroit.
Jika seorang pembaca seperti Helena menginterpretasikan
kedua roman itu memiliki “makna” yang mirip, bersinggungan, atau bahkan sama,
sehingga roman ciptaannya dicap sebagai hasil “pembocoran” atau penja-jahan
atas orisinalitas roman lain, hal itu tidaklah menjadi beban bagi Eco. Sebab,
dengan bekal imajinasi dan kemerdekaan kreatifnya Eco mencoba menuangkan apa yang menjadi keyakinan
hidupnya ke dalam sebuah teks. Jadi,
jika kebetulan ada indikasi interferensi, hal itu jelas berada dalam alam bawah
sadarnya.
Oleh sebab itu, saya kira, jika terjadi kesamaan “ruh”
antara sajak Chairil Anwar dengan sajak Marsman, sajak Rendra dengan sajak
Garcia Lorca, cerpen Agus Noor dengan cerpen Putu, Iwan, atau Seno, dan masih
banyak lagi, persoalannya mungkin senada dengan persoalan Umberto Eco dengan Henroit. Kendati terpengaruh oleh roman La Rose de Bratislava, toh otentisitas
dan orisinalitas The Name of the Rose
tetap sah dan menyejarah, bahkan tidak mengurangi kebesarannya. Jika begitu
keadaannya, saya kira tidak berbeda dengan kasus para kreator (sastrawan) kita.
Apalagi, jika mengingat sastra adalah wahana komunikasi
manusia, yang dalam proses komunikasi
masing-masing unsur tidak mungkin lepas dari yang lain, jelas bahwa
tidak akan ada teks (sastra) yang sungguh orisinal dan murni lahir dari sang
kreator. Sebab, kontak dialektik tercipta meling-kar: kreator-teks-pembaca-masyarakat-kreator-teks-pembaca-dst.
Bahkan, jika kita percaya sinyelemen Faucault, meski teks
ditulis oleh pengarang (kreator), teks bukanlah hasil ciptaan pengarang, tetapi
hasil ciptaan zaman dengan segala relasi dialektiknya. Di sini Faucault
menya-takan pengarang sudah mati (the
death of the author). Karena, hanya relasi-relasi dan mekanisme-mekanisme
itulah yang menguasai pengarang dalam menulis karya. Oleh sebab itu, yang
namanya objektivitas, orisinalitas, atau otentisitas, boleh dibilang tidak ada.
Jadi, yang ada adalah saling berhu-bungan, saling mempengaruhi, saling
bergantung, juga saling bertentangan, termasuk teks yang satu dengan teks
lainnya. ***
Dimuat
Pikiran Rakyat Minggu, 12 Mei 1996