Kongres Bahasa Jawa V (Surabaya)
Friday, January 13, 2017
Edit
Pertama, perlu evaluasi kritis terhadap keputusan/rekomendasi KBJ yang lalu. Sudahkah poin-poin keputusan/rekomendasinya diakomodasi Pemda Jatim, Jateng, dan DIY? Sudahkah masyarakat merasakan manfaatnya? Kalau dilihat masa 4 tahun terakhir tampak bahwa sebagian besar keputusan/rekomendasi KBJ IV (2006) belum dapat direalisasikan. Di bidang pendidikan formal, misalnya, rekomendasi tentang muatan lokal wajib Bahasa Jawa di SLTA belum sepenuhnya ditindak-lanjuti. Juga rekomendasi pengadaan buku ajar bahasa Jawa. Bahkan sampai kini belum terdengar ada kegiatan seleksi buku ajar oleh tim penilai independen.
Hal serupa terjadi di bidang
pendidikan informal, nonformal, dan kearifan lokal. Rekomendasi pengembangan
sanggar, paguyuban, dan upaya peningkatan kegiatan lomba, sarasehan, pelatihan,
dan kursus belum juga dilakukan serius dan berkelanjutan. Aktualisasi dan
apresiasi aset budaya lokal sebagai wujud kearifan lokal juga belum tampak
hasilnya. Yang sedikit kelihatan barulah di bidang pemberdayaan. Di DIY
misalnya, dalam kerangka pemberdayaan bahasa Jawa, Gubernur dan Bupati/Walikota
telah mengeluarkan instruksi pemakaian bahasa Jawa pada hari Sabtu di seluruh
instansi Pemda. Instruktusi itu berlaku sejak Agustus 2009. Sementara
rekomendasi lain seperti pembuatan laman (website)
tentang bahasa, sastra, dan budaya Jawa malahan belum tersentuh. Kalau Melayu Online dapat digarap dengan baik,
kenapa Jawa Online tidak?
Kedua,
perlu ada semacam laporan pertanggungjawaban masing-masing Pemda (Jatim,
Jateng, DIY) berkait tindak lanjut rekomendasi tersebut. Dinas Pendidikan
selaku pemegang rekomendasi pendidikan formal perlu melaporkan hasilnya kepada
sidang (kongres): bagaimana pelaksanaan muatan lokal wajib di sekolah,
bagaimana realitas penyediaan guru bahasa Jawa, dan apa saja kendala pengadaan sarana,
media, buku ajar, dan sejenisnya. Dinas Kebudayaan juga demikian. Selaku
pelaksana rekomendasi pendidikan informal/nonformal perlu membuat laporan
sejauh mana implementasinya di lapangan. Begitu juga lembaga-lembaga lain yang
bertugas menindaklanjuti rekomendasi di bidang kearifan lokal dan pemberdayaan.
Dengan laporan semacam itu hasil
evaluasi tentu akan segera diketahui: benarkah selama ini keputusan/rekomendasi
kongres itu aplikatif? Kalau ternyata tidak aplikabel, perlu dilakukan rekonstruksi
program, agenda, dan langkah-langkah kongres. Selain itu juga perlu kalkulasi
matang yang berorientasi pada praktik lapangan beserta kemanfaatannya bagi
masyarakat (rakyat). Dengan pertimbangan itu diharapkan tak akan lahir
keputusan dan rekomendasi yang sama dari kongres ke kongres. Dan evaluasi itu
sangat penting sebagai upaya mengurangi derasnya tuduhan bahwa KBJ hanya
menghabiskan milyaran uang rakyat tapi tak membawa manfaat bagi rakyat.
Ketiga,
perlu dibangun sikap akomodatif dan kebersamaan atas berbagai komponen/kepentingan.
Sikap ini dibangun sebagai upaya menghindari timbulnya dikotomi seperti yang
terjadi di Semarang dengan munculnya KSJ (Kongres Sastra Jawa). Di satu sisi
KSJ memang dinilai positif. Tetapi pengalaman Semarang menunjukkan ada kesan KSJ
diselenggarakan hanya untuk ”tandingan” KBJ. Terlepas benar atau tidak, hal itu
menjadi suatu keniscayaan karena saat itu mereka (para pengarang dan pencinta
sastra Jawa) merasa ”tidak diakomodasi” oleh KBJ. Untuk itu perlu langkah nyata
agar tak muncul kecenderungan dikotomis yang memecah-belah.
Langkah nyata itu, misalnya, walau tidak
secara aktif (fisik), mereka dapat dilibatkan secara mental (emosional) dan
profesional. Wujudnya boleh apa saja, di antaranya dengan memberi peluang
kompetitif bagi karya (sastra) mereka untuk dipersembahkan pada kongres. Hal
ini tentu harus dilakukan sebelum kongres melalui ajang lomba/sayembara
penulisan buku (guritan, cerkak,
novel, drama). Kemudian karya para pemenang dicetak, diterbitkan, dan
disebarluaskan ke seluruh peserta kongres. Dengan cara ini diyakini para
sastrawan Jawa akan merasa terlibat secara emosional sehingga KBJ menjadi momen
penting sekaligus menjadi ”tujuan” untuk membuktikan profesionalisme
kesastrawanan mereka.
Keempat,
sebagai forum internasional KBJ V perlu mempersembahkan produk-produk unggulan.
Produk unggulan ini berupa buku yang dapat langsung dimanfaatkan masyarakat
(rakyat). Kalau selama ini KBJ hanya menyuguhi tas berisi setumpuk makalah dan
sekeping CD, KBJ V mendatang perlu menyuguhi kamus, tata bahasa, ejaan,
ensiklopedi, glosarium, dan sejenisnya, selain tentu saja buku-buku sastra terbaik
(guritan, cerkak, novel, sandiwara) dari sastrawan setempat. Cara ini dinilai
tepat sebagai bukti keseriusan Pemda dalam upaya membina, mengembangkan, dan
melindungi bahasa daerah (Jawa) sebagaimana diamanatkan oleh pasal 42 UU No. 24
Tahun 2009.
Perlu diketahui selama ini lembaga
kebahasaan yang ada di Jatim, Jateng, dan DIY telah menyusun buku praktis bahasa
dan sastra Jawa: pedoman, kodifikasi, pembakuan, sejarah, dan lain-lain. Balai
Bahasa Yogyakarta, misalnya, telah menyusun dan menerbitkan Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) (2001),
Tata Bahasa Jawa Mutakhir (2006), Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan
(2006), Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa
Modern (2001), Antologi Biografi
Pengarang Sastra Jawa (2001), Glosarium
Sastra Jawa (2007), Ensiklopedi
Sastra Jawa (2010), dan masih banyak lagi.
Selain sebagai acuan/referensi, buku-buku
itu dapat digunakan sebagai pedoman bagi peningkatan keterampilan berbahasa dan
bersastra masyarakat, tidak terkecuali para guru dan siswa di sekolah. Betapa
KBJ V di Surabaya akan menjadi forum bergensi yang tak terlupakan sepanjang
sejarah jika bersedia mewujudkan sikap akomodatif terhadap kebutuhan rakyat
dengan menyuguhkan produk unggulan berupa buku-buku tersebut.***
Dimuat harian JAWA POS, 21 Maret 2010