Kembalinya Mahasiswi High Class ke Jalan Tuhan (Ulasan Buku)
Tuesday, January 10, 2017
Edit
Yogya
sebenarnya kota kecil, tapi kota ini sungguh sangat istimewa, dan
keistimewaannya melebihi kota mana pun di Indonesia. Tak percaya? Lihatlah!
Para orang tua di kota Sabang sebelah Barat (Sumatra) sana, hingga di Merauke
(Irja) di sebelah Timur sana, tidak hanya membayangkan Yogya sebagai kota yang
indah karena wisata alam dan seni-budayanya, tapi juga di kota inilah
putra-putri mereka bakal bisa menimba ilmu apa pun sesuai kehendaknya. Dan para
orang tua tak khawatir kalau-kalau anaknya tersesat atau terjerumus, dan mereka
pasti akan merasa aman, sebab Yogya dikenal sebagai kota yang masyarakatnya
“dewasa” karena semua berpendidikan.
Tetapi,
benarkah begitu? Ternyata tidak. Yogya tidaklah seperti yang dibayangkan. Yogya
bukanlah jaminan masa depan. Yogya tidak berbeda dengan kota-kota lain. Soal
pengemis, penjahat, koruptor, dan pelacur, dari kelas teri hingga kelas tinggi,
di Yogya banyak. Bahkan, soal pelacur, bukan hanya terdiri janda atau ibu rumah
tangga saja, tetapi juga pelajar dan mahasiswa. Dan ini bukan isapan jempol
belaka. Bukankah kita dengar, Iip Wijayanto, da’i muda kharismatik, pernah
membuat survei kecil-kecilan, dan hasilnya menunjukkan lebih dari 95% mahasiswi
Yogya sudah tidak lagi perawan?
Itulah
pembaca, apa yang bakal terbayang tentang Yogya manakala kita selesai membaca
novel Merpati Biru karangan Achmad Munif, mantan jurnalis Yogya Post,
ini. Novel ini memang tidak mengungkap bagaimana lekuk-liku Yogya yang
bermasyarakat multi-etnis, multi-budaya, lebih-lebih tentang perempuan dan
wanita-wanita pelajar/mahasiswi Yogya. Novel ini hanyalah mengungkap sisi gelap
seorang mahasiswi psikologi di Yogya, bernama Ken Ratri, berasal dari Mojokerto
(Jatim), yang karena ayahnya dipenjara dan ibunya masuk rumah sakit jiwa, ia nyambi
menjadi “wanita panggilan” kelas tinggi (high class) di Yogya.
Tetapi,
dari sisi ini, nampak pengarang berhasil menyajikan gambaran bahwa sebenarnya tidak
semua mahasiswa, pejabat, bahkan dosen-dosen perguruan tinggi di Yogya,
berperilaku baik. Banyak juga dari mereka yang karena mentalnya, atau karena
kekuasaannya, mencoba memanfaatkan kelehaman dan keterjepitan orang lain. Dan
sekali lagi, ini bukan isapan jempol belaka, sebab penulisan novel ini diilhami
pemberitaan (peristiwa nyata) di media massa yang beberapa tahun lalu sempat
menghebohkan, yaitu tentang mahasiswi yang nyambi jadi “perempuan
panggilan” yang disebut “merpati biru”.
Begitulah
pembaca, kisah novel ini. Sebenarnya, novel ini ber-ide besar dan menarik.
Hanya sayangnya, ia terlalu terpaku pada tendensi, terjebak pada kepentingan
kisah belaka, sehingga kisah ini tidak mampu menyodok batin, tidak menggetarkan
nurani. Sebagai contoh, betapa mudah Ken Ratri “si merpati biru” lepas dari germo-nya,
padahal, kalau seseorang sudah terperangkap dalam “jaringan mafia seksual”
macam itu, ia amat sulit lepas darinya. Lagi, betapa mudah ia kembali ke jalan
Tuhan dalam waktu singkat, padahal “dunia itu” telah dijalaninya bertahun-tahun
dan telah menjadikannya kaya (rumah mewah dan mobil). Sebab, biasanya,
seseorang akan berbalik 180 derajat jika ia mengalami atau tertimpa “peristiwa
besar” yang benar-benar membuat ia harus mengambil langkah pasti. Itu hanya
beberapa contoh, dan contoh-contoh lain masih banyak.
Namun
demikian, ini semua bisa dimaklumi karena memang begitu ciri umum novel
populer: ringan, mementingkan kisah (cerita), dikuasai oleh tendensi, tanpa
perenungan yang dalam, ingin cepat selesai, dan yang terpenting membahagiakan
pembaca. Kendati begitu, bukan berarti ini tidak menarik, sebab bagaimanapun
juga, novel ini menarik, terutama bagi muda-mudi dan ibu rumah tangga. Dan yang
perlu dicatat adalah bahwa novel ini cocok buat sinetron. Syukur-syukur,
pengarangnya, Mas Munif, sudah menyiapkan skenario dan menawarkannya ke
televisi.
Sebagai
catatan akhir, kalau novel ini hendak dicetak ulang (ke-4 dan seterusnya)
--karena saya membayangkan novel ini laris—agaknya perlu ada koreksi serius
dari pihak editor/korektor. Sebab ada ketidakkonsistenan penulisan nama
(tokoh). Bukalah, coba, halaman 168, di situ ditulis nama Pak Gunadi. Tetapi,
di halaman 223, ditulis Pak Subandi. Padahal, di dalam kisah itu, yang dimaksudkan
adalah nama satu orang, yaitu suami Bu Riama. Bukankah itu kekeliruan yang
menyesatkan? Dan kalau memang ganti nama, kapan bancakan-nya? ***
Judul Buku :
Merpati Biru
Pengarang :
Achmad Munif
Penerbit :
Navila Yogyakarta
Cetakan :
Pertama (2000), Kedua dan Ketiga (2002)
Tebal :
282 halaman