Kegairahan Kembali Film Indonesia
Wednesday, January 11, 2017
Edit
Kira-kira
empat atau lima bulan yang lalu, dialog perfilman nasional yang melibatkan
banyak pihak, telah berhasil dilaksanakan. Beberapa rumusan yang disepakati
antara lain ialah produksi film standar yang mengacu pada pendekatan industri
akan dilaksanakan secara bertahap. Dan pengelolaannya akan dilakukan bersama
antara organisasi profesi perfilman dan perusahaan televisi swasta. Yang lebih
menjanjikan lagi, perusahaan televisi swasta sepakat akan membeli sekaligus
menayangkan film-film nasional. Alasannya, kebutuhan mereka akan film nasional
mencapai 260 judul per tahunnya.
Barangkali
itulah angin segar yang mungkin bakal menggairahkan dunia perfilman
nasional. Para produser bisa “unjuk
gigi” kembali, karena segmen pasar sudah tampak di depan mata. Jika janji
(sponsor) tersebut jadi kenyataan, hal itu akan jadi tonggak kesuburan film
Indonesia. Apalagi, menurut “kabar burung”, perusahaan televisi swasta juga
bersedia menang-gung sepertiga dari seluruh biaya produksinya. Jelas ini membuka peluang lebar bagi produser
untuk berlomba memproduksi film-film standar. Dengan demikian kehidupan film
nasional yang selama ini terpuruk akan bisa bangkit kembali.
Namun
semua itu barulah janji. Di balik janji sang sponsor pasti ada tuntutan yang
harus dicermati oleh para sineas dan produser. Mereka tak hanya dituntut
menggarap film-film berkualitas, tetapi juga film yang laku jual. Sebab film
bermutu tetapi tak laku di pasaran akan membuat rugi sang sponsor. Memang
banyak orang beridealisme tinggi, tetapi teve swasta bagaimanapun adalah
perusahaan yang tetap memperhitungkan laba-rugi. Saya kira tak satu pun
perusahaan yang rela menderita kerugian.
Karena
itu, sudah saatnya para produser membangun strategi khusus untuk memenuhi
harapan banyak pihak. Sudah waktunya menciptakan tradisi “berdagang” film
secara profesional dan menumbuh-kembangkan film sebagai industri sungguhan.
Oleh sebab itu, para sineas perlu meng-evaluasi dan mensupervisi kembali
berbagai pengalaman pahit masa lalu. Mengapa selama 30 tahun lebih film
nasional tak mampu menunjukkan eksistensinya? Mengapa film kita tak mampu
menjadi kekuatan budaya bagi negeri
sendiri? Dan mengapa film Eropa,
Amerika, Hongkong, Jepang, bah-kan India mampu merebut pasar di seluruh dunia?
Pertanyaan
inilah yang mesti jadi pemicu munculnya gerakan politik perfilman yang baru. Ini bukan hanya tanggung jawab orang-orang
film, tetapi juga pemerintah --sesuai UU No. 8/1992 dan GBHN 1993-- bersama
masyarakat dengan segala kekuatan ekonomi, sosial, budaya, dan politiknya.
Sayang jika Indonesia yang termasuk salah satu dari delapan negara Asia yang
memiliki pertumbuhan ekonomi yang “ajaib” tak mampu mengangkat derajat film
Indonesia ke forum internasional. Karena
itu kita mesti banyak belajar dan berkarya.
***
Banyak
hal sebenarnya dapat dilihat mengapa film nasional kurang begitu eksis. Untuk membuktikannya
kita dapat mencermati dari dua sisi, misalnya sisi internal yang berkaitan dengan
film sebagai produk karya seni, dan sisi eksternal yang berkenaan dengan
keseluruhan sistem jaringan komunikasi film sebagai produk industrial.
Dari sisi internal,
banyak orang menilai film nasional cenderung kurang memenuhi syarat sebagai
karya seni yang baik. Ia terkesan tidak digarap secara total, sehingga hadir
tanpa estetika yang signifikan. Ini terlihat dalam penggarapan konponen yang
kurang koherensif. Misalnya, unsur-unsur karakter pelaku, logika cerita,
setting budaya, dan sebagainya, tampak hanya digarap secara spekulatif.
Demikian juga dengan teknik fotografi, pencahayaan, atau fokus-fokus sasaran,
semuanya dikemas kurang teliti. Akibatnya, gambar tampak buram, perpindahan
adegan kurang pas, dan sebagainya. Dan tema yang “besar” pun kadang hanya
digarap tanpa kompleksitas dan problematika. Karena itu, cerita terasa hambar,
kering, dan tak muncul suspense-suspense
yang menegangkan (foreshadowing). Dan
jarang sekali film kita tampil dengan alur yang kompleks dan problematis
seperti misalnya film-film produk Meksiko atau Hollywood. Karenanya, sebagai
karya seni (visual) ia kurang mampu membangkitkan pikiran-pikiran kritis
pemirsanya. Barangkali inilah seni yang tunduk dan hanya mengabdi pada selera
rendah (kitsch).
Dapat
dicontohkan misalnya film Permainan Binal,
produksi 1995. Sebagaimana disinyalir banyak media, film itu dikemas tanpa
juntrungan yang jelas. Banyak peristiwa dan adegan kurang logis. Terkesan adegan yang dimunculkan hanya berupa mosaik (tempelan-tempelan). Akibatnya
cerita tak masuk akal dan cenderung vulgar. Seolah-olah sajiannya hanya
mementingkan erotisme pemacu darah penonton. Agaknya, film yang berla-bel permainan binal itu, benar-benar
menunjukkan “kebinalannya”. Hal seru-pa
terlihat juga dalam sebagian film kita, terutama film yang cenderung
mengeksploitasi seks (dada montok, paha
mulus) dan yang sejenis dengan itu.
Kekurangeksisan
film nasional agaknya juga disebabkan oleh hal lain yang bersifat eksternal.
Ini terutama berkaitan dengan situasi sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang
kurang mendukung. BSF misalnya, tahun 70-an banyak “merumahkan” dan “memotong
habis-habisan” film yang siap ber-edar,
misalnya Pacar Seorang Demonstran, Perawan Desa, atau Cambuk Api. Kasus ini jelas
“membunuh” aktivitas dan kreativitas dunia perfilman. Memang di satu sisi BSF
(pemerintah) memiliki tugas pragmatis (didaktis), yaitu membina mental, moral,
dan spiritual masyarakat dengan cara “menyensor” film, tetapi di sisi lain
justru menghambat peningkatan apresi-asi seni-budaya masyarakat. Akibatnya,
para sineas hanya “asal bekerja” sehingga film garapannya hadir tanpa estetika.
Karena itu wajar jika film semacam Permainan
Binal mendominasi dunia perfilman kita. Jelas bahwa kondisi demikian akan melegitimasi “kebodohan” (masyarakat)
selama-lamanya.
Hal
penting yang belum tertangani serius adalah strategi berpromosi. Padahal
promosi adalah penunjang keberhasilan bisnis yang cukup po-tensial. Akibatnya
segmen pasar tak dapat dikuasai. Karena itu, pemerintah (BSF dan BPPN) bersama
orang-orang film dan segenap jajarannya, ter-masuk kritikus dan para pengusaha,
perlu segera membangun strategi dan jaringan yang lebih luas. Dan karena
perusahaan televisi swasta telah mem-buka peluang menjanjikan, maka dengan
bantuan mereka FFI yang sudah beberapa tahun “absen” ini perlu diadakan
lagi. Ini bukan saja penting untuk
menarik minat penonton --menurut data
BPS 1990 mencapai 150 juta orang--, tetapi juga menginformasikan sebanyak
mungkin film-film Indo-nesia kepada masyarakatnya. Sesuai kondisi ekonomi serta
tingkat apre-siasinya, strategi pemasyarakatan cara lama perlu segera
ditinggalkan. Tero-bosan-terobosan baru perlu dimunculkan dan dicoba
dilaksanakan.
Hal lain yang perlu disiasati sungguh-sungguh
adalah ketika dise-lenggarakan forum festival, misalnya Asian Film Festival (AFF), Cannes
International Film Festival (CIFF), Singapore
International Film Festival (SIFF), Nantes Film Festival (NFF), dan sebagainya
yang digelar di Eropa atau Amerika. Forum semacam ini merupakan ajang strategis
bagi promosi film Indonesia di forum internasional. Melalui keikutsertaan yang
didukung oleh promosi dan informasi yang maksimal, niscaya film Indonesia akan
lebih diperhatikan khalayak dunia. Sebab menurut pengalaman, tidak diliriknya
film Indonesia (juga film Asia lainnya) di forum internasional adalah karena
kurang gencarnya promosi. Akibatnya film-film kita diabaikan para kritikus
dunia sehingga khalayak dunia pun tidak berminat membelinya.
Padahal,
dalam berbagai even festival tingkat dunia, banyak film Indonesia dinilai dewan
juri sebagai film yang berkualitas. Sekadar contoh, film Bulan Tertusuk Ilalang garapan Garin Nugroho, produksi BPPN. Hingga kini film itu telah menyabet lebih
dari 4 penghargaan, misalnya pada Nantes Film Festival di Prancis (1995), Festival Film Berlian (1996, 2 kali),
dan pada Singapore International Film
Festival (1996). Kendati demikian, film bagus itu toh tetap tak laku di
bioskop, yang agaknya juga karena kurang promosi dan informasi. Hal senasib
juga terjadi pada film-film bagus lainnya. Oleh karena itu, sebagai usaha
membuka peluang film Indonesia di pasaran global, para kritikus diharapkan
banyak mengulas secara kritis dan mempromosikannya secara maksimal melalui
media-media internasional.
Sebagai
suatu alternatif, mungkin Indonesia perlu mencontoh Singa-pura. Dengan tujuan
menjadikan Singapura sebagai pusat kebudayaan di kawasan Asia, juga demi
kelangsungan kegiatan ekonomi negara itu, hingga kini Singapura telah
menyelenggarakan 9 kali festival internasional (SIFF). Dan kegiatan SIFF itu ternyata mampu membangkitkan minat
kritikus asing terhadap film-film
Singapura. Lewat SIFF itu pula (sejak 1987) Singapura telah berhasil
menumbuhkan sikap positif serta meningkatkan kemampuan apresiasi masyarakat
terhadap seni-budaya. Diyakini juga, lewat even festival itu pemerintah
Singapura berhasil memperpandai masyarakatnya dalam banyak hal. Tak ada
salahnya jika Indonesia mampu berbuat sama.
***
Begitulah
agaknya yang bisa diharapkan dari film Indonesia. Mulai era 1996 ini, kondisi
perfilman kita tertiup angin segar. Selain mendapat dukungan moral dan
finansial dari perusahaan televisi swasta, juga menda-pat dorongan dari
jaringan promosi film Asia (Network for
The Promotion of Asian Cinema Foundation) dan federasi kritikus film internasional
(Inter-national Federation of Film
Critics). Mereka semua sepakat untuk mewujudkan jaringan promosi
terpadu bagi film-film Asia. Bahkan, para pengelola film-film Asia juga sepakat
akan membuka jaringan informasi khusus melalui
internet. Dengan
begitu film Indonesia harus siap memasuki pasaran dunia.
Nah,
sekarang tinggal bagaimana kesiapan dan persiapan Indonesia menghadapi
tantangan dan peluang itu. Mampukah mengejar sepak terjang Filipina yang setiap
tahunnya bisa memproduksi tidak kurang dari 150 judul film? Ataukah
kita akan tetap bertahan pada angka di bawah 20 seperti tahun 1995 kemarin?
Selamat berjuang Dedy Setiadi, Nano Riantiarno, Garin Nugroho, Eros Djarot,
dkk. Agaknya kita perlu mendukung obsesi para sineas muda --sebagaimana disepakati
dalam Cannes International Film Festival
1995 di Jerman-- bahwa mereka semua akan beramai-ramai men-dongkrak
hegemoni film-film Hollywood. Mudah-mudahan, konglomerat Sudwikatmono, peraih
anugerah perfilman Djamaluddin Malik 1996, men-dukung sepenuhnya. Dan
janji-janji para pengusaha teve pun diharapkan tak menjadi “anggur” yang
justru memabukkan. ***
Dimuat
PIKIRAN RAKYAT, 8-9-1996