Catatan Kecil Buat FKY XV (2003)
Monday, January 09, 2017
Edit
Harus diakui FKY
(Festival Kesenian Yogyakarta) yang diadakan rutin setahun sekali (sejak 1989)
setiap tanggal 7 Juni hingga 7 Juli yang kini (2003) sudah sampai ke-15 kali
adalah milik kita bersama, pemerintah beserta seluruh masyarakat Daerah
Istimewa Yogyakarta. Sejak awalnya, bahkan sampai sekarang, FKY digagas dengan
idealisme dan semangat kebersamaan. Latar belakang serta cita-citanya pun
sederhana: “lewat wahana seni diharapkan terbangun sebuah harmoni dan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Yogyakarta”.
Mengapa
FKY diselenggarakan? Setidaknya ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan. Pertama,
Yogya adalah kota seni-budaya. Maka, agar tetap eksis dan legitimate
sebagai kota seni-budaya, Yogya perlu melakukan aktualisasi dan reaktualisasi
diri terus-menerus sehingga festival seni-budaya perlu diselenggarakan. Kedua,
Yogya adalah kota atau daerah tujuan wisata. Agar Yogya tetap diminati para
wisatawan, maka aktualisasi seni-budaya itu dikemas dalam bentuk festival.
Mengapa festival? Karena, festival adalah pesta rakyat (carnival), yakni
pesta yang digelar di tempat-tempat umum dan dapat dinikmati semua orang, tidak
terkecuali para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Ketiga, Yogya adalah gudang (pusat) aktivitas dan kreativitas seni dan
budaya. Agar para seniman dapat mempertunjukkan hasil kreasi dan inovasi
seninya kepada khalayak, kegiatan festival sebagai wahana sosialisasinya pun
perlu diselenggarakan. Keempat, Yogya adalah kota yang masyarakatnya
tetap menjunjung tinggi estetika dan tata nilai kebaikan, kejujuran, dan
keluhuran. Karena itu, kekayaan seni-budaya yang diyakini mengandung
nilai-nilai estetik dan ekstraestetik (etika, sosial, religius, dll) itu perlu
terus dikembangkan, disinergikan, dan dilestarikan.
Kelima, Yogya adalah kota pendidikan, pelajar, dan mahasiswa. Agar proses
aktualisasi dan reaktualisasi seni-budaya itu tidak mengganggu kegiatan
belajar-mengajar dan juga tidak menimbulkan disharmoni, maka penyelenggaraan
festival kesenian pun dipilih pada masa-masa liburan. Keenam, seperti
halnya masyarakat daerah-daerah lain, masyarakat Yogya pun tidak luput dari
stres berat akibat himpitan sosial, politik, dan ekonomi, sehingga mereka pun
membutuhkan hiburan (gratis) untuk menepis beban dan kesumpekan yang mendera.
Barangkali masih banyak
alasan lain yang dapat dikemukakan berkait dengan keberadaan FKY. Tetapi, enam
hal di atas cukup bagi kita untuk tetap memandang FKY itu penting, baik dari
segi ideologis maupun sosio- kultural. Karena itu, kritisisme dan pro-kontra
yang tak pernah surut setiap menjelang dilaksanakan FKY musti dicermati sebagai
sebuah cermin untuk melihat realitas (kekurangan-kekurangannya). Hal ini tentu
menjadi “pe er” bagi siapa pun yang jadi panitia, selain jadi agenda penting
yang perlu dibahas oleh Pemerintah Daerah (Bappeda, Dewan Kesenian/Kebudayaan,
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata) beserta berbagai lembaga penelitian di
perguruan tinggi, LSM swasta, dan DPRD baik provinsi, kota, maupun kabupaten
untuk menyempurnakan program FKY di masa-masa datang.
Tulisan ini tidak bermaksud
mempersoalkan keberadaan FKY atau turut larut ke dalam pro-kontra yang terjadi,
tetapi sekadar ingin mengajukan beberapa catatan yang mungkin bisa jadi bahan
renungan. Untuk itu, ada baiknya kita terlebih dulu membuka referensi untuk
memperjelas pengertian beberapa kata/istilah yang kemudian membentuk nama
“Festival Kesenian Yogyakarta (FKY)”.
Dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) (1997:276) bahwa istilah festival antara lain
berarti “hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting dan
bersejarah”. Selain itu, festival juga berarti “pesta rakyat”.
Sementara itu, istilah kesenian artinya “perihal seni” atau “keindahan”
(KBBI, 1997:915). Dan cabang yang tercakup ke dalam lingkup kesenian itu cukup
beragam, di antaranya seni bangunan, seni budaya, seni drama, tari, sastra,
lukis, pahat, rupa, ukir, suara, sungging, dll. Sedangkan kata Yogyakarta
jelas menunjuk pada daerah tertentu, yaitu Yogyakarta dan sekitarnya (DIY).
Dari pengertian tersebut jelas bahwa FKY
memfokuskan sasarannya pada publik. Artinya, FKY tidak lain ditujukan kepada
masyarakat luas, tanpa pandang tua atau muda, besar atau kecil, laki atau
perempuan, sebab siapa pun yang berada di Yogya punya hak yang sama. Sementara
itu, ungkapan “hari atau pekan gembira” berarti dalam waktu tertentu (mungkin
sehari, sepekan, sebulan, dst) FKY mengajak publik untuk bergembira; hal ini
berarti bahwa orang atau masyarakat di Yogya diminta melepaskan (barang
sejenak) segala bentuk beban berat yang mungkin menimpa atau menghimpit
kehidupan sehari-hari.
Hal itu dipertegas oleh kata festival
yang berarti “pesta rakyat”, yaitu suatu pesta yang di dalamnya tergambar
adanya perilaku carnival. Menurut sarjana Barat, Mikhail Bakhtin
namanya, perilaku carnival adalah perilaku yang mencoba memperlakukan
“dunia” sebagai milik semua orang sehingga mereka (siapa pun yang menghuni
“dunia” itu) dapat menjalin kontak atau dialog secara bebas, akrab, tanpa
dihalangi tatanan, dogma, atau hierarki sosial. Perilaku semacam itu hanya
mungkin terjadi dalam lokasi carnival, yaitu lokasi atau tempat-tempat
umum yang memungkinkan semua orang (tanpa kecuali) bisa datang dan
menikmatinya.
Itulah sebabnya, FKY lebih tepat diberi
pengertian sebagai sebuah “pesta” yang diselenggarakan di lokasi atau
tempat-tempat umum; yang memperlakukan berbagai genre kesenian yang
terdapat di Yogya (lukis, sastra, drama, tari, pahat, rupa, ukir, musik,
sungging, dll, baik tradisional maupun modern) sebagai subjek sekaligus objek
perhatian; dan tolok ukurnya ialah dapat dihadiri dan dinikmati oleh siapa pun
(yang berada di Yogyakarta) karena pada intinya kegiatan semacam itu mengajak
semua orang untuk bergembira.
Nah, yang jadi pertanyaan sekarang, dalam
kaitan dengan FKY XV, sudahkah konsep semacam itu terimplementasikan? Terus
terang saya tidak tahu persis kegiatan apa saja yang hendak digelar FKY.
Tetapi, sejarah telah mencatat, kegiatan-kegiatan FKY sebelumnya dan mungkin
juga FKY tahun ini belum seluruhnya terarah pada bentuk “pesta”. Memang,
beberapa kegiatan yang digelar telah memungkinkan semua orang bisa hadir dan
menikmatinya, misalnya kegiatan pentas seni (ketoprak, wayang, drama, tari,
baca puisi, musik, dll), pameran dan bursa (lukis, kerajinan, foto, buku, dll),
dan karnaval atau arak-arakan (andong, becak, dll).
Tetapi, tampak masih banyak agenda
kegiatan FKY yang digelar secara eksklusif, hanya memungkinkan dihadiri
kelompok peminat tertentu, dan diselenggarakan di tempat non-carnival.
Katakanlah, lokakarya, seminar atau diskusi seni di perguruan tinggi atau
instansi-instansi. Jelas bahwa kegiatan itu tidak mencerminkan suatu pesta yang
dimaksudkan untuk membangkitkan kegembiraan publik. Lebih-lebih itu juga jauh
dari harapan jika dikaitkan dengan upaya menarik minat publik untuk
mengapresiasi karya seni atau menarik minat wisatawan terhadap hasil kreasi
seni.
Mestinya, seni dalam kegiatan festival
bukan dikemas dalam bentuk diskusi, seminar, atau pelatihan-pelatihan, tetapi
lebih terarah pada bentuk pertunjukan, pameran, atau sosialisasi seni (boleh
juga perlombaan) kepada publik di tempat-tempat umum yang strategis (alun-alun,
hotel, kompleks restoran, pusat perbelanjaan, arena pariwisata, dll). Sementara
kegiatan diskusi, seminar, atau pelatihan-pelatihan seni ada forum dan waktunya
sendiri, bukan diselenggarakan pada saat festival kesenian. Sebab kegiatan
(seminar dll) itu lebih berupa arena berpikir ketimbang arena penikmatan seni
dan hiburan.
Pertanyaan berikutnya adalah: sudahkah
seluruh aspek seni tercover ke dalam pesta FKY? Kita tahu di Yogya ada banyak
padepokan (ketoprak, wayang, dagelan, dll), sanggar seni (lukis, patung, pahat,
ukir, sungging, tari, kerajinan perak, keramik, dll), dan kantong-kantong seni
(sastra, teater, macapatan, fotografi, dll) baik tingkat anak-anak,
remaja, maupun dewasa yang siap tampil menyosialisasikan hasil kreasi seninya.
Kalau semua sudah terakomodasi, tentu tidak mungkin terjadi beberapa pihak yang
merasa punya hak tetapi tidak dilibatkan (Bernas, 11/5/2003).
Hanya saja, itu memang tak mudah
dilakukan. Sebab sarana dan infrastruktur pendukungnya harus kuat. Dan dana 200
juta (bagi FKY XV) tentulah jauh dari cukup. Tapi, jika dilihat kepentingannya,
utamanya bagi legitimasi identitas serta idealisme Yogya, tak ada salahnya jika
porsi APBD digemukkan. Tentu saja, ini mustahil jika tanpa ada program sinergis
jangka pendek dan panjang. Dan tampaknya program ini selalu jadi masalah FKY
selama ini: disusun mendadak sesuai dana yang ada, bukan dirancang secara
matang untuk menggali dana.
Selain itu perlu ada “panitia tetap”
(bukan berganti setiap tahun) yang profesional dan kredibel beserta “tim sukses
bermata elang” yang mampu membidik peluang untuk kerja sama. Kita tidak perlu
merasa naif untuk merangkul kalangan bisnis. Terbukti banyak padepokan atau
sanggar kreatif mati tanpa adanya sumber daya dan dana. Lagi pula, bukankah
karya seni kita telah berubah menjadi komoditas industri? Selain itu, adakah
andalan lain bagi dunia pariwisata Yogya selain karya-karya seni dan budaya?
Demikian catatan kecil buat FKY XV dan
juga buat FKY di masa-masa datang. Harapan kita FKY tidak menjadi penyulut api
friksi antarseniman atau antara seniman dan birokrat, tetapi benar-benar
bermakna signifikan bagi Yogya seperti yang diharapkan para pendahulu ketika
menetapkan “kelahiran” Pemerintah Kota Yogya. Bukankah sejak awal FKY memang
dimaksudkan sebagai sebuah pesta gembira untuk menyambut peristiwa bersejarah:
Hari Jadi Pemkot Yogya? ***