-->

Intensi Pengarang dalam Proses Pemaknaan Sastra

Sepanjang sejarahnya, upaya interpretasi (penelitian, pemahaman,  pemaknaan) sastra secara ekspresif sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke-3 ketika Longinus mengajukan konsep the sublime. Konsep the sublime ialah konsep yang menempatkan diri penyair (pengarang) sebagai seorang yang unggul dan luhur. Menurut Longinus, sebagai seorang yang unggul, penyair (pengarang) adalah sumber keluhuran karena di dalam dirinya terdapat wawasan, daya emosi, dan teknik yang tinggi. Itulah sebabnya, dalam proses pemaknaan karya sastra, diri penyair dengan berbagai intensi dan ekspre-sivitasnya harus dipertimbangkan.
            Akan tetapi, konsep tersebut tidak lama kemudian tenggelam ber-samaan dengan berkembangnya ajaran Kristiani. Menurut ajaran Kristiani, segala bentuk kebudayaan yang ada pada saat itu harus sesuai dengan ajaran agama Kristen. Oleh karena itu, keyakinan mengenai kemampuan manusia sebagai seorang pencipta adalah tidak sah, dan bahkan dianggap melanggar ajaran agama. Jadi, yang dianggap sah dan berhak menjadi pencipta hanya-lah Tuhan.  Karena itu, dalam proses interpretasi suatu kebudayaan (seni, sastra), kedudukan seniman (penyair, pengarang) menjadi tersingkir.
            Meskipun ajaran Kristiani semakin kuat berpengaruh terhadap bi-dang kebudayaan, tetapi dalam beberapa abad kemudian, pandangan yang mementingkan posisi pengarang dalam proses interpretasi sastra muncul lagi ke permukaan. Ini terjadi pada abad ke-16 berkat hadirnya seorang tokoh bernama Leonardo da Vinci. Leonardo mengajukan konsep bahwa berkat kemahiran teknik-tekniknya manusia (pengarang, penyair) mampu menduduki posisi sebagai pencipta. Oleh sebab itu, dalam proses pema-haman (kongkretisasi) makna karya sastra ciptaan pengarang (penyair), eksistensi pengarang atau penyairnya  harus ikut dipertimbangkan.
            Sejak saat itu pandangan Leonardo da Vinci semakin kuat berpe-ngaruh terhadap para kritikus sastra. Hal itu berlangsung terus hingga abad 18 dan 19. Bahkan pandangan tersebut telah menjadi keyakinan kaum Romantik dan Ekspresionis; dan mereka berpandangan bahwa aspek eks-presif yang berkenaan dengan perasaan, jiwa, dan kreativitas penyair (pe-ngarang) menjadi aspek yang sangat penting dalam interpretasi karya sastra.
            Namun, mulai awal abad ke-20, perhatian terhadap diri penyair mulai pudar kembali berkat hadirnya paham baru tentang realisme, natu-ralisme, impresionisme, simbolisme, imajisme, juga strukturalisme. Hal itu mencapai puncaknya ketika  tahun 1946/1947 muncul tulisan Wimsatt dan Beardsley, The Intentional Fallacy dan The Affective Fallacy. Sejak saat itu perubahan radikal terjadi. Mereka berpandangan bahwa mengambil niat (intensi) pengarang sebagai faktor penting dalam proses interpretasi sastra adalah dosa besar dan berbahaya. Sebab, setelah karya selesai ditulis oleh pengarang, karya itu tidak lagi bergantung atau berhubungan dengan pe-ngarang.
            Oleh karena itu, pada masa-masa selanjutnya, perhatian para kritikus  beralih  ke masalah point of view sebagai salah satu cara penghayatan sastra, khususnya dalam melihat posisi (titik pandang) pencerita(an). Itulah sebab-nya kemudian muncul istilah tertentu yang terus dimanfaatkan sampai saat ini, yaitu implied author (Chatman, 1980), instansi naratif, atau focalization (Rimmon-Kenan, 1986). Menghilangnya penulis (pengarang) dalam kerang-ka interpretasi karya sastra secara objektif juga diperkuat oleh pandangan hermeneutik Gadamer (1960).  Menurut Gadamer, maksud sebuah teks (karya sastra) harus dibedakan dengan maksud pengarang. Jadi, dalam hal ini yang terpenting adalah objektivitas teks sastra tanpa memperhitungkan posisi dan niat pengarang.
            Kendati pandangan objektivitas teks sastra itu (hingga sekarang) telah menjadi keyakinan kaum strukturalis, tetapi hal itu tidak lepas dari berbagai serangan. Hirsch misalnya, dalam buku Validity in Interpretation (1979), menyangkal dengan menyatakan bahwa melepaskan arti teks dari niat pe-ngarang tidak mungkin akan dapat memperoleh objektivitas pemahaman. Sebab, menurutnya, interpretasi objektif yang valid hanya dapat dicapai melalui verifikasi penafsiran antara identitas arti teks dan maksud penga-rang. Karena itu, dalam interpretasi karya sastra, menurut Hirsch, harus dibedakan antara meaning (arti,  sesuai dengan niat pengarang) dan signifi-cance (makna, hubungan arti dengan yang ada di luar teks). Sebab meaning adalah objek penafsiran demi meaning itu sendiri, sedangkan significance adalah objek kritik dalam kaitannya dengan nilai atau tolok ukur yang lain.
            Lebih radikal lagi adalah pandangan Juhl dalam bukunya Interpretation (1980). Juhl secara tegas menolak tesis anti intensional dari Wimsatt dan Beradsley. Baginya, niat penulis adalah sangat esensial dalam inter-pretasi sastra. Dengan memanfaatkan pandangan Hirsch tentang perbedaan  meaning dan significance, Juhl menegaskan bahwa (1) memahami makna karya sastra berarti memahami apa yang diniatkan pengarang, karena (2) pengarang ikut bertanggung jawab terhadap proposisi yang ditulis dalam karyanya, dan dengan demikian (3) hendaknya intensi pengarang dipahami sebagai sesuatu yang diniatkan oleh kata-kata yang dipergunakan penga-rang  dalam karyanya.
            Meskipun di satu pihak posisi dan niat (intensi) pengarang tetap dipertahankan dalam kerangka pemaknaan sastra, misalnya oleh Hirsch dan Juhl di atas, tetapi di lain pihak kecenderungan ke arah objektivitas teks  juga tetap  diyakini oleh para kritikus lainnya. Roland Barthes misalnya, dalam buku Image, Musix, Text (1984), secara tegas menulis  tentang “kema-tian pengarang” (the death of the author). Baginya, yang penting dalam interpretasi sastra adalah pencarian ketidaksadaran yang dibangun oleh bahasa teks itu sendiri.
            Pandangan Barthes itu antara lain telah dibuktikan melalui penelitiannya terhadap Sarrasine karya Honore de Balzac yang kemudian ditulis dalam buku  S/Z (1974).  Dalam interpretasinya terhadap makna teks sastra, salah satunya Sarrasine, Barthes menekankan pemahamannya pada lima kode yang mencakupi aspek sintagmatik dan semantik, yaitu  kode aksi (proairetic code), teka-teki (hermenutic code), budaya (cultural code), konotasi (connotative code), dan simbol (symbolic code). Selain itu, ia juga  membedakan tiga level deskripsi yang mungkin terjadi dalam kerja naratif, yaitu level fungsional, tindakan, dan narasi. 
            Dalam level fungsional, Barthes mengklasifikannya lagi menjadi unit-unit yang lebih kecil, yaitu unit fungsi kardinal, kataliser, indeks, dan informan. Fungsi kardinal untuk memahami proposisi-proposisi tertentu yang dapat digunakan untuk mengembangkan jalannya cerita; fungsi kata-liser untuk mengkorelasikan dua kardinal (kelompok kalimat) yang terpisah; fungsi indeks untuk memahami atmosfir atau suasana yang melingkupi per-sona naratif; sedangkan fungsi informan untuk memahami unsur yang melokatifkan persona naratif ke dalam ruang dan waktu.
            Sementara itu, dalam level tindakan Barthes mencoba memahami status karakter. Menurut Barthes, karakter sesungguhnya hanya merupakan bentuk sekunder yang dilekatkan pada tindakan. Sebab, karakter tidak mungkin terjadi tanpa tindakan, sedangkan tindakan tanpa karakter adalah sangat mungkin terjadi.  Jadi, dalam hal ini, Barthes setuju dengan analisis yang memfokuskan perhatiannya pada relasi-relasi atau perbedaan-per-bedaan.
            Di samping dua level tersebut di atas, dalam level ketiga (level narasi) Barthes mencoba menghubungkannya dengan problema subjek penceritaan.  Menurutnya, keberadaan narator (pencerita) tidak lebih dari sekedar kebe-radaan kertas (paper being) saja. Jadi, jika dalam suatu cerita misalnya muncul sebutan aku, menurut Barthes, yang berbicara di situ bukan  aku pengarang, melainkan hanya gramatik (tataran teks/bahasa). Karena itu, sekali lagi, suatu interpretasi sastra tidak perlu mempertimbangkan maksud dan intensi pengarang. Di sini pengarang dianggap “mati”.
            Sementara itu, pandangan Foucault tidak jauh berbeda dengan pan-dangan Barthes. Dalam tulisannya What is an Author? (1987), Foucault  menjelaskan bahwa dalam interpretasi makna karya sastra yang penting bukan pengarang, tetapi berbagai prinsip yang memberikan kesatuan, ke-berkaitan, dan penataan arti yang terkandung dalam kata-kata yang diper-gunakan dalam teks (bahasa) itu sendiri. Jadi, yang diutamakan adalah bahasa dan arti kata-kata dalam teks, bukan yang lain, sedangkan niat dan ekspresivitas pengarang dinisbikan. 
            Yang lebih mutakhir  adalah pandangan John M. Ellis dalam buku Against Deconstruction (1989). Dalam buku itu (chapter 5) Ellis membahas tentang textuality, the play of signs, and the role of the reader.  Ellis menegaskan bahwa dalam interpretasi teks sastra, teks  harus dibebaskan dari pengarang, pembaca, dan bahkan dibebaskan dari konvensi bahasa. Menurutnya, textuality (ke-teks-an) adalah hal terpenting dalam interpretasi sastra,  kare-na ia (teks) mampu menjadi subjek sekaligus kontrol bagi pengarang, pembaca, dan beragam konvensi. Jadi, dalam pemaknaan sastra, sang inter-preter (penafsir, pembaca, the reader) dapat bermain bebas melalui tanda-tanda (the play of signs) yang ada dalam teks,  dan dapat mulai dari apa dan mana saja. Namun,  pandangan Ellis demikian terlalu sulit untuk dioperasi-onalisasikan karena --barangkali-- konsepnya merupakan modifikasi dari berbagai macam teori,  antara lain  dekonstruksi (Derrida), resepsi sastra  (Iser dan Jauss), dan hermeneutik (Gadamer).
            Demikian selintas perjalanan sejarah (teori) mengenai keberadaan pengarang dan intensinya dalam proses interpretasi sastra. Sebenarnya, masih banyak ahli yang memperdebatkan masalah perlu tidaknya posisi dan intensi pengarang ini. Tetapi jika dicermati secara seksama, pandangan-pandangan mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sehingga antara satu dengan lainnya sulit  dipertemukan karena setiap pandangan mempunyai argumentasi yang kuat, apalagi didasari oleh konteks dan objek penelitian yang berbeda.
            Sebagai misal, interpretasi teks sastra lama akan berbeda caranya dengan interpretasi teks modern, dan ini berbeda pula dengan teks-teks kontemporer. Oleh karena itu, pertanyaan bagaimanakah posisi pengarang dalam proses pemahaman sastra, barangkali, cukup dijawab dengan kata “bergantung”. Artinya, bergantung dari mana kita melihat, karena pada hakikatnya sastra adalah sebuah konstruksi (construction) yang multidimensi dan memiliki banyak sisi. Sisi-sisi itu berkaitan dengan faktor penulis (ia ada karena ditulis), faktor pembaca, penikmat (sebagai tulisan ia dibaca, dinikmati), faktor sosial-masyarakat  (ia ditulis dan dibaca oleh manusia yang hidup dalam masyarakat), faktor wujud (ia ditulis dengan susunan, struktur, tertentu), faktor fungsi (ia ditulis untuk tujuan tertentu), dan sebagainya. Karena itu, posisi pengarang dalam proses interpretasi sastra dianggap tidak penting dalam konteks tertentu, tetapi dapat dianggap penting dalam konteks yang lain. ***

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel