Intensi Pengarang dalam Proses Pemaknaan Sastra
Thursday, January 05, 2017
Edit
Sepanjang
sejarahnya, upaya interpretasi (penelitian, pemahaman, pemaknaan) sastra secara ekspresif sebenarnya
sudah dimulai sejak abad ke-3 ketika Longinus mengajukan konsep the sublime. Konsep the sublime ialah konsep yang menempatkan diri penyair (pengarang)
sebagai seorang yang unggul dan luhur. Menurut Longinus, sebagai seorang yang
unggul, penyair (pengarang) adalah sumber keluhuran karena di dalam dirinya
terdapat wawasan, daya emosi, dan teknik yang tinggi. Itulah sebabnya, dalam
proses pemaknaan karya sastra, diri penyair dengan berbagai intensi dan
ekspre-sivitasnya harus dipertimbangkan.
Akan
tetapi, konsep tersebut tidak lama kemudian tenggelam ber-samaan dengan
berkembangnya ajaran Kristiani. Menurut ajaran Kristiani, segala bentuk
kebudayaan yang ada pada saat itu harus sesuai dengan ajaran agama Kristen.
Oleh karena itu, keyakinan mengenai kemampuan manusia sebagai seorang pencipta
adalah tidak sah, dan bahkan dianggap melanggar ajaran agama. Jadi, yang
dianggap sah dan berhak menjadi pencipta hanya-lah Tuhan. Karena itu, dalam proses interpretasi suatu
kebudayaan (seni, sastra), kedudukan seniman (penyair, pengarang) menjadi
tersingkir.
Meskipun
ajaran Kristiani semakin kuat berpengaruh terhadap bi-dang kebudayaan, tetapi
dalam beberapa abad kemudian, pandangan yang mementingkan posisi pengarang
dalam proses interpretasi sastra muncul lagi ke permukaan. Ini terjadi pada
abad ke-16 berkat hadirnya seorang tokoh bernama Leonardo da Vinci. Leonardo
mengajukan konsep bahwa berkat kemahiran teknik-tekniknya manusia (pengarang,
penyair) mampu menduduki posisi sebagai pencipta. Oleh sebab itu, dalam proses
pema-haman (kongkretisasi) makna karya sastra ciptaan pengarang (penyair), eksistensi
pengarang atau penyairnya harus ikut
dipertimbangkan.
Sejak
saat itu pandangan Leonardo da Vinci semakin kuat berpe-ngaruh terhadap para
kritikus sastra. Hal itu berlangsung terus hingga abad 18 dan 19. Bahkan
pandangan tersebut telah menjadi keyakinan kaum Romantik dan Ekspresionis; dan
mereka berpandangan bahwa aspek eks-presif yang berkenaan dengan perasaan,
jiwa, dan kreativitas penyair (pe-ngarang) menjadi aspek yang sangat penting
dalam interpretasi karya sastra.
Namun,
mulai awal abad ke-20, perhatian terhadap diri penyair mulai pudar kembali
berkat hadirnya paham baru tentang realisme, natu-ralisme, impresionisme,
simbolisme, imajisme, juga strukturalisme. Hal itu mencapai puncaknya
ketika tahun 1946/1947 muncul tulisan
Wimsatt dan Beardsley, The Intentional
Fallacy dan The Affective Fallacy.
Sejak saat itu perubahan radikal terjadi. Mereka berpandangan bahwa mengambil
niat (intensi) pengarang sebagai faktor penting dalam proses interpretasi
sastra adalah dosa besar dan berbahaya. Sebab, setelah karya selesai ditulis
oleh pengarang, karya itu tidak lagi bergantung atau berhubungan dengan
pe-ngarang.
Oleh
karena itu, pada masa-masa selanjutnya, perhatian para kritikus beralih
ke masalah point of view
sebagai salah satu cara penghayatan sastra, khususnya dalam melihat posisi
(titik pandang) pencerita(an). Itulah sebab-nya kemudian muncul istilah
tertentu yang terus dimanfaatkan sampai saat ini, yaitu implied author (Chatman, 1980), instansi naratif, atau focalization (Rimmon-Kenan, 1986). Menghilangnya
penulis (pengarang) dalam kerang-ka interpretasi karya sastra secara objektif
juga diperkuat oleh pandangan hermeneutik
Gadamer (1960). Menurut Gadamer, maksud
sebuah teks (karya sastra) harus dibedakan dengan maksud pengarang. Jadi, dalam
hal ini yang terpenting adalah objektivitas teks sastra tanpa memperhitungkan
posisi dan niat pengarang.
Kendati
pandangan objektivitas teks sastra itu (hingga sekarang) telah menjadi
keyakinan kaum strukturalis, tetapi hal itu tidak lepas dari berbagai serangan.
Hirsch misalnya, dalam buku Validity in
Interpretation (1979), menyangkal dengan menyatakan bahwa melepaskan arti
teks dari niat pe-ngarang tidak mungkin akan dapat memperoleh objektivitas
pemahaman. Sebab, menurutnya, interpretasi objektif yang valid hanya dapat
dicapai melalui verifikasi penafsiran antara identitas arti teks dan maksud
penga-rang. Karena itu, dalam interpretasi karya sastra, menurut Hirsch, harus
dibedakan antara meaning (arti, sesuai dengan niat pengarang) dan signifi-cance (makna, hubungan arti
dengan yang ada di luar teks). Sebab meaning
adalah objek penafsiran demi meaning
itu sendiri, sedangkan significance
adalah objek kritik dalam kaitannya dengan nilai atau tolok ukur yang lain.
Lebih
radikal lagi adalah pandangan Juhl dalam bukunya Interpretation (1980). Juhl secara tegas menolak tesis anti intensional dari Wimsatt dan
Beradsley. Baginya, niat penulis adalah sangat esensial dalam inter-pretasi
sastra. Dengan memanfaatkan pandangan Hirsch tentang perbedaan meaning
dan significance, Juhl menegaskan
bahwa (1) memahami makna karya sastra berarti memahami apa yang diniatkan
pengarang, karena (2) pengarang ikut bertanggung jawab terhadap proposisi yang
ditulis dalam karyanya, dan dengan demikian (3) hendaknya intensi pengarang
dipahami sebagai sesuatu yang diniatkan oleh kata-kata yang dipergunakan
penga-rang dalam karyanya.
Meskipun
di satu pihak posisi dan niat (intensi) pengarang tetap dipertahankan dalam
kerangka pemaknaan sastra, misalnya oleh Hirsch dan Juhl di atas, tetapi di
lain pihak kecenderungan ke arah objektivitas teks juga tetap
diyakini oleh para kritikus lainnya. Roland Barthes misalnya, dalam buku
Image, Musix, Text (1984), secara
tegas menulis tentang “kema-tian
pengarang” (the death of the author).
Baginya, yang penting dalam interpretasi sastra adalah pencarian ketidaksadaran
yang dibangun oleh bahasa teks itu sendiri.
Pandangan
Barthes itu antara lain telah dibuktikan melalui penelitiannya terhadap Sarrasine karya Honore de Balzac yang
kemudian ditulis dalam buku S/Z (1974). Dalam interpretasinya terhadap makna teks
sastra, salah satunya Sarrasine,
Barthes menekankan pemahamannya pada lima kode yang mencakupi aspek sintagmatik
dan semantik, yaitu kode aksi (proairetic code), teka-teki (hermenutic code), budaya (cultural code), konotasi (connotative code), dan simbol (symbolic code). Selain itu, ia juga membedakan tiga level deskripsi yang mungkin
terjadi dalam kerja naratif, yaitu level fungsional, tindakan, dan narasi.
Dalam
level fungsional, Barthes
mengklasifikannya lagi menjadi unit-unit yang lebih kecil, yaitu unit fungsi
kardinal, kataliser, indeks, dan informan. Fungsi kardinal untuk memahami proposisi-proposisi tertentu yang dapat
digunakan untuk mengembangkan jalannya cerita; fungsi kata-liser untuk mengkorelasikan dua kardinal (kelompok kalimat)
yang terpisah; fungsi indeks untuk
memahami atmosfir atau suasana yang melingkupi per-sona naratif; sedangkan
fungsi informan untuk memahami unsur
yang melokatifkan persona naratif ke dalam ruang dan waktu.
Sementara
itu, dalam level tindakan Barthes
mencoba memahami status karakter. Menurut Barthes, karakter sesungguhnya hanya
merupakan bentuk sekunder yang dilekatkan pada tindakan. Sebab, karakter tidak
mungkin terjadi tanpa tindakan, sedangkan tindakan tanpa karakter adalah sangat
mungkin terjadi. Jadi, dalam hal ini,
Barthes setuju dengan analisis yang memfokuskan perhatiannya pada relasi-relasi
atau perbedaan-per-bedaan.
Di
samping dua level tersebut di atas, dalam level ketiga (level narasi) Barthes mencoba menghubungkannya
dengan problema subjek penceritaan.
Menurutnya, keberadaan narator (pencerita) tidak lebih dari sekedar
kebe-radaan kertas (paper being)
saja. Jadi, jika dalam suatu cerita misalnya muncul sebutan aku, menurut Barthes, yang berbicara di
situ bukan aku pengarang, melainkan hanya gramatik (tataran teks/bahasa).
Karena itu, sekali lagi, suatu interpretasi sastra tidak perlu mempertimbangkan
maksud dan intensi pengarang. Di sini pengarang dianggap “mati”.
Sementara
itu, pandangan Foucault tidak jauh berbeda dengan pan-dangan Barthes. Dalam
tulisannya What is an Author? (1987),
Foucault menjelaskan bahwa dalam
interpretasi makna karya sastra yang penting bukan pengarang, tetapi berbagai
prinsip yang memberikan kesatuan, ke-berkaitan, dan penataan arti yang
terkandung dalam kata-kata yang diper-gunakan dalam teks (bahasa) itu sendiri.
Jadi, yang diutamakan adalah bahasa dan arti kata-kata dalam teks, bukan yang
lain, sedangkan niat dan ekspresivitas pengarang dinisbikan.
Yang
lebih mutakhir adalah pandangan John M.
Ellis dalam buku Against Deconstruction
(1989). Dalam buku itu (chapter 5) Ellis membahas tentang textuality, the play of signs, and the role of the reader. Ellis menegaskan bahwa dalam interpretasi
teks sastra, teks harus dibebaskan dari
pengarang, pembaca, dan bahkan dibebaskan dari konvensi bahasa. Menurutnya, textuality (ke-teks-an) adalah hal
terpenting dalam interpretasi sastra,
kare-na ia (teks) mampu menjadi subjek sekaligus kontrol bagi pengarang,
pembaca, dan beragam konvensi. Jadi, dalam pemaknaan sastra, sang inter-preter
(penafsir, pembaca, the reader) dapat
bermain bebas melalui tanda-tanda (the
play of signs) yang ada dalam teks,
dan dapat mulai dari apa dan mana saja. Namun, pandangan Ellis demikian terlalu sulit untuk
dioperasi-onalisasikan karena --barangkali-- konsepnya merupakan modifikasi
dari berbagai macam teori, antara
lain dekonstruksi
(Derrida), resepsi sastra (Iser dan Jauss), dan hermeneutik (Gadamer).
Demikian
selintas perjalanan sejarah (teori) mengenai keberadaan pengarang dan
intensinya dalam proses interpretasi sastra. Sebenarnya, masih banyak ahli yang
memperdebatkan masalah perlu tidaknya posisi dan intensi pengarang ini. Tetapi
jika dicermati secara seksama, pandangan-pandangan mereka memiliki kelebihan
dan kekurangan masing-masing. Sehingga antara satu dengan lainnya sulit dipertemukan karena setiap pandangan
mempunyai argumentasi yang kuat, apalagi didasari oleh konteks dan objek
penelitian yang berbeda.
Sebagai
misal, interpretasi teks sastra lama akan berbeda caranya dengan interpretasi
teks modern, dan ini berbeda pula dengan teks-teks kontemporer. Oleh karena
itu, pertanyaan bagaimanakah posisi pengarang dalam proses pemahaman sastra,
barangkali, cukup dijawab dengan kata “bergantung”. Artinya, bergantung dari
mana kita melihat, karena pada hakikatnya sastra adalah sebuah konstruksi (construction) yang multidimensi dan
memiliki banyak sisi. Sisi-sisi itu berkaitan dengan faktor penulis (ia ada karena ditulis), faktor pembaca, penikmat (sebagai tulisan ia
dibaca, dinikmati), faktor sosial-masyarakat (ia ditulis dan dibaca oleh manusia yang
hidup dalam masyarakat), faktor wujud
(ia ditulis dengan susunan, struktur, tertentu), faktor fungsi (ia ditulis untuk tujuan tertentu), dan sebagainya. Karena
itu, posisi pengarang dalam proses interpretasi sastra dianggap tidak penting
dalam konteks tertentu, tetapi dapat dianggap penting dalam konteks yang lain.
***