-->

Implementasi UU No. 24/2009 tentang Bahasa: Antara Realitas dan Harapan

 
          Abstract
This article particularly talks over the language subject-matter regulated in UU 24/2009. The fact shows that, despite being already long issued, the UU’s issuance tends to have less positive response. This indifferent response is most likely caused by several reasons, including the absence of the sanction provisions, the lack of any other derivatively and operationally consecutive regulation, the people’s indifferent attitudes toward their own language, and a mutually influential intervention from local, national, and global interests. Therefore, for the UU to have positive responses, it is expected to shortly issuing more specific regulation, including the provision of sanction sections, the attempts for increasing the people’s attitudes and mind-sets in order for appreciating their own language, and the terms of the explicit and reasonable distributions of duty between the Central Goverment and Provincial Government. However, all of these would certainly be inadequate without supports from all groups of people, both government and public, especially that of the educated groups in the world of education.

1. Pendahuluan
          Selain menawarkan sebuah model masyarakat yang materialistis dan konsumtif, abad XXI yang diwarnai kemajuan teknologi juga membawa simplikasi yang mengkhawatirkan terhadap eksistensi dan keberlangsungan bahasa Indonesia. Di tengah gegap gempita revolusi teknologi saat ini bahasa Indonesia seolah berada dalam cengkeraman kolonialisme baru di bawah arus narasi besar modernisasi/globalisasi. Lihatlah apa yang terjadi pada produk kapitalisme di ruang publik yang dipenuhi dengan ikon-ikon budaya (bahasa) asing. Atas nama keinginan pasar dan gengsi (prestise), hampir semua perumahan, hotel, restoran, mall, dan berbagai usaha besar, menengah, dan kecil di kota saat ini telah berani melanggar sumpah (yang diikrarkan para pendiri bangsa ini pada 28 Oktober 1928) dengan tidak hirau lagi pada bahasanya sendiri.
          Terlepas dari realitas bahwa bahasa Indonesia juga menciptakan bentuk kolonialisme bagi 726 bahasa daerah yang tersebar di 17.508 pulau di wilayah Indonesia, sejumlah pertanyaan berikut pantas diajukan berkenaan dengan semakin tergerogotinya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bangsa. Pertama, akankah identitas dan jatidiri bangsa ini hilang jika bahasa asing mengguyur deras tak terbendung? Kedua, sudah semakin lemahkah kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia bagi bangsa ini di tengah arus besar penetrasi budaya dunia? Ketiga, bagaimana sikap mental warga bangsa ini yang berada dalam situasi tarik-menarik antara kepentingan lokal-nasional-global? Keempat, bagaimana upaya pengembangan bahasa Indonesia oleh para pengambil kebijakan dalam rangka pemertahanan identitas kebangsaan namun tetap eksis di tengah percaturan bangsa-bangsa di dunia?
          Sesungguhnya beberapa pertanyaan tersebut dapat diperpanjang lagi, tetapi dalam tulisan (artikel) sederhana ini hanya akan dibahas (dijawab) beberapa hal (pertanyaan) yang muncul di seputar kehadiran UU No. 24 Tahun 2009.[2] Berbicara tentang UU No. 24 Tahun 2009 tidaklah dapat lepas dari pertanyaan tentang mengapa, bagaimana, dan untuk tujuan apa UU tersebut lahir. Oleh karena itu, bahasan pada pasal-pasal berikut merupakan jawaban atas beberapa pertanyaan tersebut.

2. Kekhawatiran yang Positif
          Diduga bahwa UU No. 24 Tahun 2009 lahir dari sebuah kekhawatiran. Kekhawatiran itu bermula dari adanya realitas historis antara lain tentang kepunahan bahasa. Agar bahasa Indonesia (juga bahasa-bahasa daerah) tidak punah dari bumi Indonesia --yang ditandai oleh jumlah penutur yang tidak mengalami penurunan-- akibat dari persentuhannya dengan bahasa dan budaya dunia, maka dibuatlah UU Bahasa. Kalau bahasa Indonesia tetap eksis di bumi Indonesia berarti akan tetap eksis pula identitas dan jatidiri bangsa Indonesia. Dengan tetap eksisnya identitas dan jatidiri bangsa Indonesia berarti akan tetap eksis pula kekhasan budaya Indonesia walaupun ia harus bertarung dengan budaya lain dari berbagai penjuru dunia.
          Alasan tersebut sangat masuk akal karena menurut catatan UNESCO (Tempo, 21 Februari 2007) diperkirakan pada abad XXI separuh dari 6000 bahasa yang ada di dunia akan hilang (punah).[3] Hal itu didukung oleh fakta bahwa sekitar 100 bahasa di California dan lebih dari 200 bahasa Aborigin di Australia telah hilang. Bahkan diprediksikan pada akhir abad XXI nanti dari 726 bahasa daerah di Indonesia (pada tahun 2000 tercatat ada 746 bahasa) hanya akan tinggal 75 saja. Kalau realitas tersebut dibiarkan berlarut tanpa ada upaya pemertahanan, niscaya panorama indah kebudayaan dunia akan semakin kehilangan warna kebhinekaannya. Karena itu, tidak salah kiranya UU No. 24/2009 lahir sebagai salah satu wujud perencanaan status dalam rangka pemertahanan bahasa (Moeliono, 1985) agar bahasa (di) Indonesia sebagai wahana utama kebhinekaan budaya Indonesia tidak hilang (musnah).
          Sudah barang pasti bangsa Indonesia tidak ingin kehilangan bahasanya seperti halnya bangsa Latin yang kehilangan bahasanya akibat tidak lagi ada penuturnya. Bangsa Indonesia juga tidak ingin kehilangan identitas budaya-nya seperti halnya bangsa Italia yang kehilangan identitas budaya akibat bahasa Itali saat ini hanya dipakai oleh penutur aslinya saja (Ghani, 2008). Tentu saja bangsa Indonesia juga tidak mau kehilangan jatidiri ke-Indonesia-annya seperti halnya Singapura yang telah kehilangan jatidiri ke-Melayu-annya akibat fungsi dan kedudukan bahasa Melayu telah digeser oleh bahasa Inggris (Abdullah, 2003).
Sebaliknya, bangsa Indonesia justru ingin seperti Malaysia yang sejak tahun 2005 berniat menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional di PBB (Utorodewo, 2010).[4] Sebab, menurut pertimbangannya, bahasa Melayu --termasuk di dalamnya bahasa Indonesia-- memiliki jumlah penutur terbanyak nomor lima di dunia (350 juta) sehingga bahasa Melayu layak menjadi Bahasa Dunia (Prentice, 1978; Teeuw, 1987; Collins, 1996). Karena itu, tidak berlebihan jika bangsa Indonesia juga berkeinginan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional (bahasa dunia) seperti yang diamanatkan dalam UU No. 24/2009 pasal 44. Bahkan, jauh sebelum UU itu terbit, Alisjahbana (1975) telah memprediksikan bahwa bahasa Indonesia kelak akan menjadi salah satu bahasa dunia modern yang besar yang hanya dapat diatasi oleh bahasa Inggris, Cina, Rusia, dan Spanyol.
Keinginan tersebut sangat beralasan karena bahasa Indonesia memiliki jumlah penutur jauh lebih besar (230 juta) jika dibandingkan bahasa Melayu di Malaysia (25 juta). Dan yang lebih penting lagi, bahasa Indonesia bukanlah bahasa Melayu, dan ia berbeda dengan bahasa Melayu, karena bahasa Indonesia telah berkembang menjadi bahasa modern yang mampu menjalankan fungsi sosial, ekonomis, dan politis (Sugiyono, 2008). Lagipula, menurut Fishman (Samuel,2008), bahasa Indonesia adalah “bahasa ajaib” karena secara historis dan politis bahasa yang semula hanya berupa alat perhubungan sederhana dan bersifat etnik itu mampu mengubah diri menjadi bahasa nasional yang berhasil menyatukan berbagai-bagai suku (Jawa, Sunda, Bali, Sasak, Bugis, dll) tanpa ada perlawanan.
          Karena realitas menunjukkan demikian, berarti bahwa kekhawatiran seperti yang disebutkan di atas tidak perlu terjadi. Sebab, walaupun secara terus-menerus bergesekan dengan bahasa dan budaya lain, bahasa Indonesia tetap mampu menyesuaikan diri dengan cara mengadopsi bahasa-bahasa lain dari mana pun. Hal itu terbukti, jumlah kosa kata bahasa Indonesia dari waktu ke waktu semakin bertambah; apalagi setelah para perencana bahasa rajin bekerja sama dengan berbagai pihak di bidang peristilahan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Sejak tahun 1980, misalnya, melalui kerja sama MABBIM (Majelis Bahasa Brunei, Indonesia, Malaysia) Indonesia telah menghasilkan sekitar 340.000 istilah; sedangkan kerja sama dengan Microsof telah berhasil mengalihkan 250.000 kata/istilah bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia (Sugono, 2005). Hal itu masih ditambah dengan hasil penyerapan terus-menerus dari berbagai bahasa daerah yang semakin memperkaya kosa kata bahasa Indonesia.[5]
          Walaupun masalah kepunahan bahasa Indonesia tidak perlu lagi dikhawatirkan, terlebih setelah munculnya UU No. 24/2009, satu masalah yang perlu penanganan serius adalah masalah sikap berbahasa masyarakat kita. Di satu sisi bahasa Indonesia berupaya keras untuk memperkaya kosa kata dengan cara mengindonesiakan kata/istilah dari bahasa lain, terutama bahasa asing (Inggris), tetapi di sisi lain ada kecenderungan dari masyarakat kita, terutama kelompok terdidik, lebih mengagumi/memilih menggunakan bahasa asing meskipun sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Kalau kanyataan demikian terus terjadi, lalu bagaimana dengan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia di negeri ini? Oleh sebab itu, pada tataran ini, perlu ada perubahan sikap dan pola pikir.

3. Perubahan Sikap dan Pola Pikir
          Pada era (pasca)modern ini bahasa asing, terutama Inggris, memang diakui sebagai sarana utama pengembangan ilmu dan teknologi. Karena itu muncul anggapan jika orang ingin berilmu harus dapat berbahasa Inggris. Akan tetapi, terkadang orang salah tafsir sehingga bertindak sebaliknya: menggunakan bahasa Inggris agar dianggap berilmu. Memang diakui hal itu benar, tetapi tidak tepat. Yang benar sekaligus tepat adalah bahasa asing memang diperlukan dalam rangka pergaulan antarbangsa dan budaya, tetapi bahasa Indonesia juga sangat diperlukan --sehingga wajib digunakan-- dalam upaya pemertahanan identitas, jatidiri, dan budaya Indonesia. Sebab, dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia merupakan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara. Inilah sesungguhnya esensi pasal 26--39 UU No. 24/2009 yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia “wajib” digunakan di berbagai ranah formal dan ruang-ruang publik.
          Dalam rangka pengembangan ilmu dan teknologi, misalnya, bahasa Indonesia diyakini telah mampu memenuhi tugas dan fungsinya. Sebab, bahasa Indonesia bersifat terbuka, mudah menerima unsur dari bahasa lain seperti halnya bahasa Inggris sejak awal perjalanannya hingga sekarang. Karena keterbukaannya itulah bahasa Indonesia berubah menjadi bahasa modern sehingga mampu menjadi wahana pengembangan ilmu/teknologi. Persoalannya adalah, menurut Teeuw (1987), bahasa Indonesia belum memenuhi tiga syarat, yaitu pemantapan (korpus), pendidikan (pengajaran), dan komunikasi (konsistensi pemakaian) seperti halnya bahasa Inggris. Kalau bahasa Inggris telah mampu menciptakan kamus, tata bahasa, alat uji (TOEFL), dan sistem pembelajaran yang mantap dan berlaku di seluruh dunia, tidak demikian halnya dengan bahasa Indonesia. Bahkan, dalam ranah komunikasi, bahasa Inggris juga mampu membangun imperialisme tanpa resistensi sehingga media komunikasi dan informasi seperti majalah, TV, radio, internet, dan buku-buku sastra di berbagai negara lain di luar Inggris secara dominan menggunakan bahasa Inggris.
          Karena belum dapat memenuhi tiga syarat sebagaimana dinyatakan Teeuw (1978) di atas, akibatnya kondisi bahasa Indonesia masih seperti yang terjadi saat ini; dan ini memerlukan komitmen yang besar dari semua pihak, terutama pemerintah. Dalam konteks ini Indonesia perlu mencontoh Jepang yang secara konsisten memperlakukan bahasa Jepang di atas segalanya sehingga untuk memenuhi keperluan pengembangan ilmu/teknolgi dilakukan upaya penerjemahan secara besar-besaran. Akan tetapi, karena perhatian pemerintah Indonesia belum seperti yang diharapkan, akibatnya sikap berbahasa Indonesia masyarakat kita kurang positif. Hal tersebut terbukti, seperti yang telah dikatakan di atas, hotel, restoran, perumahan, program di TV, iklan-iklan, dan berbagai papan nama di ruang publik cenderung tidak mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia, tetapi bahasa asing. Padahal, siapakah konsumen mereka? Kita yakin konsumennya adalah masyarakat dan bangsa kita (Indonesia) yang tidak semuanya mampu berbahasa asing.
          Untuk itulah, sekarang perlu ada perubahan sikap dan pola pikir. Kalau pada masa kolonial kita hanya menjadi pelayan yang bodoh (inferior) bagi kaum penjajah (superior) sehingga kita “terpaksa” mengikuti bahasa mereka, sekarang kita tidak harus demikian. Kalau dulu kita harus belajar bahasa mereka, sebaliknya mereka sekarang justru harus belajar bahasa kita. Kalau sampai sekarang kita masih memberikan kemudahan yang berlebih kepada mereka (orang asing) dengan cara menyajikan bahasa mereka di tempat kita sendiri, berarti kita sampai sekarang masih menjadi pelayan dan tetap bodoh. Karena itu, sudah waktunya bahasa asing yang dominan di ruang publik (hotel, restoran, iklan, TV, dll) dilengkapi atau kalau perlu diganti dengan bahasa Indonesia. Namun, sesuai ketentuan UU No. 24/2009, pemakaian bahasa Indonesia harus lebih diutamakan dibanding bahasa asing (dan daerah). Hal demikian sekaligus berarti bahwa pemakaian bahasa asing tidak dilarang, bahkan dianjurkan, tetapi agar jatidiri ke-Indonesia-an kita tetap eksis, bahasa Indonesia harus ditempatkan sebagai yang utama. Barangkali dengan situasi bilingual semacam ini akan sekaligus membantu pembelajaran berbahasa masyarakat kita.
          Usaha penertiban penggunaan bahasa di ruang publik sebenarnya telah sering dilakukan, di antaranya melalui Ketetapan DPRD Kotapraja Jakarta tanggal 4 Agustus 1959; Perda Khusus Ibukota Jakarta No. 1/1992; Keputusan Gubernur DKI No. 1995/1992; Perda Provinsi Bali No. 13/1996; Surat Edaran Mendagri No. 434/1261/SJ/1996; Surat Edaran Mendagri No. 434/1864/SJ/1997; Undang-Undang No. 26/1998 tentang Pemakaian Nama PT/CV; Peraturan Pemerintah No. 69/1999 tentang Label/Iklan; Undang-Undang No. 15/2001 tentang Merk; Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran; dan masih banyak lagi.
Hanya persoalannya, pada tahap implementasi beberapa peraturan perundangan tersebut tidak berjalan baik. Kalaupun berjalan, misalnya di DKI Jakarta pernah dilakukan operasi besar-besaran penurunan papan nama dan iklan yang hanya berbahasa asing, tetapi semua itu tidak berumur panjang akibat tidak adanya konsistensi kebijakan politik dan birokrasi. Diharapkan UU No. 24/2009 tidak mengalami nasib yang sama dengan berbagai peraturan perundangan tersebut walau dalam UU itu tidak ada sanksi bagi para pelanggarnya.

4. Ketiadaan Sanksi
          Tersurat dengan jelas bahwa di dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan, hanya Bab III (Bahasa) saja yang tidak mengatur larangan/sanksi. Kalau sanksi (larangan) bagi pelanggar bendera diatur pada pasal 24 (Bab II Bagian Keempat), pada lambang negara diatur pada pasal 57 (Bab IV Bagian Ketiga), dan pada lagu kebangsaan diatur pada pasal 64 (Bab V Bagian Keempat), sanksi/larangan pada bagian yang mengatur bahasa tidak ada sama sekali. Kenyataan itulah yang menimbulkan pertanyaan publik bagaimana mungkin sebuah UU tanpa ada sanksi. Oleh karena itu, orang kemudian berasumsi bahwa dengan tidak adanya sanksi dipastikan UU tersebut akan mandul.
          Ketiadaan sanksi pada bagian yang mengatur bahasa itu dapatlah dipahami karena jika sanksi itu diadakan akan menimbulkan problem yang luar biasa. Problem itu terutama akan terjadi pada proses hukum: siapa yang wajib melapor, polisi mana yang berhak menangkap, pihak mana yang membuat BAP, pengadilan mana yang berkewajiban mengadili, dan penjara mana yang siap menampung para pengguna bahasa yang hampir setiap saat melakukan kesalahan. Oleh sebab itu, sekali lagi, ketiadaan sanksi di dalam UU itu dapat dipahami; dan apabila diperlukan sanksi, harus ada ketentuan tersendiri yang mengaturnya. Dan memang, dalam pasal 40 UU tersebut dinyatakan bahwa masalah penggunaan bahasa akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden (Perpres). Hanya persoalannya, sampai sekarang Perpres tersebut belum terbit walaupun sudah di luar batas waktu yang ditentukan (2 tahun sejak terbitnya UU).
          Hal lain yang juga menjadi masalah adalah, di dalam pasal 26 hingga 39 UU No. 24 Tahun 2009 dinyatakan bahwa seluruh warga negara Indonesia wajib menggunakan bahasa Indonesia.[6] Dengan kata-kata “wajib” tersebut berarti bahwa setelah UU itu disahkan (9 Juli 2009) seluruh warga negara Indonesia wajib mematuhinya. Karena itu, kalau sebelumnya warga negara dapat bebas untuk tidak bersikap positif terhadap bahasa Indonesia, kini tidak lagi dapat berbuat demikian karena sebagai warga yang hidup di negara hukum wajib mematuhi hukum, termasuk mematuhi UU No. 24/2009. Hanya saja, kepatuhan itu akan sulit terwujud tanpa ada sanksi bagi mereka yang bersalah (melanggar). Namun, sekali lagi, kesulitan tersebut dapat dipahami; lebih-lebih kalau disadari bahwa UU itu lahir di tengah situasi tarik-menarik antara kepentingan lokal-nasional-global.

5. UU Bahasa dalam Konteks Kepentingan Lokal-Nasional-Global
          Sebagaimana diketahui bahwa UU No. 24 Tahun 2009 lahir demi kepentingan nasional. Hal itu tersurat pada pasal 2 yang menyatakan bahwa pengaturan bahasa dilaksanakan berdasarkan asas persatuan, kedaulatan, kehormatan, kebangsaan, kebhinekatunggalikaan, ketertiban, kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan (nasional). Dan hal ini dipertegas lagi pasal 3 yang menyatakan bahwa tujuan diaturnya bahasa melalui UU adalah untuk memperkuat persatuan dan kesatuan (bangsa), menjaga kehormatan dan kedaulatan (negara), dan untuk menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi penggunaan (bahasa Indonesia).
          Hanya saja, dalam rangka kepentingan nasional tersebut, di dalam UU itu muncul dilema berkaitan dengan tugas pemerintah dalam melakukan usaha pengembangan, pembinaan, dan pelindungan. Pasal 41 menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra nasional/Indonesia; sementara pasal 42 menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban membina, mengembangkan, dan melindungi bahasa dan sastra daerah. Di satu sisi, dua pasal itu dianggap tepat karena di antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ada pembagian tugas yang jelas sesuai PP No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah Daerah sebagai Daerah Otonom. Akan tetapi, di sisi lain, dengan adanya pembagian tugas itu Pemerintah Daerah cenderung hanya berpikir untuk kepentingan daerah sehingga kepentingan nasional dimungkinkan akan terabaikan; demikian juga sebaliknya.
          Dilema lain juga muncul pada pasal 42 jika dihadapkan dengan pasal 33. Karena dilindungi oleh pasal 42 Pemda akan berusaha keras untuk menangani bahasa dan sastra daerah karena memiliki kewajiban untuk memelihara kearifan lokal. Contoh nyata adalah Pemda Jateng, DIY, dan Jatim yang setiap 5 tahun sekali menyelenggarakan Kongres Bahasa Jawa (KBJ). Bahkan sebagian rekomendasi KBJ sudah diterapkan, di antaranya (1) bahasa Jawa menjadi muatan lokal wajib di SD hingga SMA dan (2) ada kewajiban menggunakan bahasa Jawa pada hari-hari tertentu di lingkungan Pemprov, Pemkot, dan Pemkab. Akan tetapi, usaha keras itu akan menjadi masalah karena bertentangan dengan pasal 33. Sebab, pasal 33 mewajibkan bahasa Indonesia dipakai di lingkungan instansi baik pemerintah maupun swasta.
Dalam konteks tersebut jelas kepentingan lokal terkalahkan oleh kepentingan nasional karena kedudukan UU lebih tinggi daripada Instruksi Gubernur atau Bupati dan Walikota. Kekalahan ini tampak semakin nyata dengan terbitnya Permendagri No. 40/2007 yang memberi tugas kepada kepala daerah tidak hanya untuk melakukan pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra daerah, tetapi juga bahasa dan sastra nasional. Jadi, pada intinya, kalau tidak diatur dengan lebih tegas dan saling menguntungkan, secara halus sesungguhnya UU Bahasa mempersempit ruang gerak kepentingan (kearifan) lokal.
          Di samping untuk kepentingan lokal dan nasional, UU No. 24/2009 juga untuk kepentingan global. Kepentingan itu tersurat pada pasal 44 yang menyebutkan pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan. Hanya saja, hal ini belum ditangani secara serius. Usaha ke arah itu sebenarnya sudah dilakukan, misalnya oleh Pusat Bahasa (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) dan Perguruan Tinggi yang memiliki jurusan bahasa Indonesia. Misalnya, melalui program kerja sama, hingga sekarang bahasa Indonesia telah menjadi salah satu mata kuliah atau mata ajar di 46 negara, baik di kawasan Asia, Australia, Amerika, Afrika, Eropa, maupun Timur Tengah. Dari 46 negara tersebut bahasa Indonesia terbanyak diajarkan di Australia dan Jepang. Di samping itu, ada pula yang berupa lembaga kursus (BIPA) dan lembaga kebudayaan. Sampai sekarang lembaga penyelenggara pengajaran BIPA di luar negeri ada 279.
Kendati demikian, kondisi di atas bukan tanpa persoalan. Persoalan yang muncul adalah, akibat tanpa dukungan sarana yang memadai, jumlah mahasiswa yang berminat mengikuti program Indonesian Studies di berbagai perguruan luar negeri seringkali menurun, di samping akibat banyaknya pilihan lain seperti bahasa Korea, Jepang, China, atau Mandarin yang lebih terprogram secara sistematis dan didukung sarana yang memadai. Problem utama studi Indonesia di luar negeri adalah, salah satu contohnya di Azerbaijan, kurangnya dukungan bahan ajar seperti kamus, tata bahasa, bacaan sastra, dan buku-buku tentang budaya Indonesia lainnya (Zarbaliyev, 2008). Realitas demikianlah yang, antara lain, menjadi kendala dalam upaya peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional demi kepentingan global. Oleh sebab itu, perlu ada upaya penanganan lebih serius dan sistematik baik dari kalangan pemerintah maupun dunia akademik.

6. Upaya Penanganan dan Harapan ke Depan
          Telah dikatakan bahwa selain untuk kepentingan nasional, UU No. 24 Tahun 2009 juga untuk kepentingan lokal dan global. Oleh sebab itu, agar UU itu tidak melahirkan semacam dikotomi negatif, tidak justru melahirkan dominasi antara satu dan yang lainnya, tiga kepentingan itu harus mendapat porsi yang seimbang, harus memperoleh perhatian secara lebih adil. Prinsip keadilan ini merupakan hal penting yang perlu ditetapkan terlebih dahulu karena tanpa keadilan akan terjadi semacam disharmoni. Kalau sudah terjadi disharmoni akibatnya akan timbul resistensi dan bisa jadi akan sampai kepada disintegrasi. Hal ini penting untuk digarisbawahi mengingat Indonesia pada dasarnya adalah sebuah nation yang dibentuk oleh berbagai suku, beragam budaya, dan beraneka bahasa (daerah) yang dalam konteks  ini disatukan oleh bahasa Indonesia. Jadi, bukan semata karena untuk kepentingan nasional, lalu berbagai komponen pendukungnya yaitu daerah diabaikan. Kalau ini yang terjadi, dapat dipastikan sikap positif berbahasa masyarakat tidak akan tumbuh dengan baik tetapi justru sebaliknya.
          Berkenaan dengan hal tersebut, langkah awal yang perlu dilakukan adalah mencari titik terang bagaimana sebaiknya agar kontradiksi yang muncul dalam UU itu tereliminasi terlebih dahulu. Katakanlah, misalnya, kontradiksi antara pihak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang bertugas menangani masalah bahasa nasional dan bahasa daerah. Dalam UU itu terkesan bahwa Pemerintah Daerah dibebani tugas yang berat karena di samping harus menangani bahasa daerah juga harus menangani bahasa nasional; sedangkan Pemerintah Pusat hanya bertugas menangani bahasa nasional. Sementara itu, dalam usaha menangani bahasa daerah pun Pemda terlihat dipersempit ruang geraknya seperti yang telah dijelaskan di atas. Karena itu, yang diperlukan sekarang adalah adanya ketentuan yang lebih rinci, tegas, dan adil mengenai hak dan kewajiban masing-masing. Terhadap hal ini perlu dipercepat penerbitan PP (Peraturan Pemerintah) sebagaimana dijanjikan dalam pasal 41 (ayat 3) dan 42 (ayat 3) UU tersebut.
           Selain itu, untuk mengatasi persoalan dalam rangka memenuhi kepentingan global, kerja sama antarnegara perlu ditingkatkan. Melalui kedutaan di setiap negara, atau melalui perguruan tinggi, bahkan melalui sekolah-sekolah, program pengajaran BIPA atau Indonesian Studies lebih diperluas dan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai (buku-buku kamus, tata bahasa, karya sastra, dan buku-buku yang memuat beragam kebudayaan Indonesia). Sementara itu, untuk keperluan bidang ilmu dan teknologi, program penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia perlu digalakkan; dan sebaliknya, dalam upaya bersaing di dunia internasional, penerjemahan ke dalam bahasa asing juga perlu dilakukan secara serius. Dan dalam hal ini perguruan tinggi memiliki peran yang sangat besar.
          Meski demikian, yang tidak kalah penting, adalah perlakuan terhadap bahasa Indonesia di negeri sendiri. Selama bahasa Indonesia tidak mendapat perlakuan yang baik, yang sejajar dengan bahasa asing, selamanya pula bahasa Indonesia akan berada di posisi inferior. Di lingkungan akademik, misalnya, lebih khusus lagi untuk keperluan credit point kenaikan pangkat atau jabatan, karya berbahasa Indonesia dihargai lebih rendah daripada karya berbahasa asing. Demikian juga untuk keperluan persyaratan tertentu dalam rangka memenuhi/memasuki wilayah atau tugas tertentu. Dalam kaitan ini alat uji berbahasa TOEFL (Test of English as A Foreign Language)  diperlakukan sangat istimewa dibanding UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia); dan itu terbukti TOEFL sering menjadi syarat wajib, sedangkan UKBI dianggap sama sekali tidak penting. Bukti lain adalah TOEFL sudah menjadi “favorit” di lingkungan siswa/mahasiswa di sekolah dan perguruan tinggi, tetapi jarang orang berpikir bahwa UKBI sangat penting untuk menguji sekaligus memperbaiki kemampuan berbahasa (Indonesia) kita.
Selain itu, kalau kita hendak bekerja atau belajar ke luar negeri wajib memperoleh nilai TOEFL tertentu, sementara orang asing yang masuk ke Indonesia sama sekali tidak wajib tes UKBI. Inilah, antara lain, bentuk perlakuan atau sikap tidak adil dan cenderung merendahkan milik kita (bangsa) sendiri. Untuk itu, diharapkan sikap dan pola pikir seperti ini segera berubah. Akan tetapi, perubahan tidak akan terjadi tanpa ada upaya nyata dari semua pihak. Barangkali UU No. 24 Tahun 2009 dapat menjadi awal langkah nyata untuk perubahan ke arah yang lebih baik.
         
7. Penutup
          Dari seluruh paparan di atas akhirnya dapat disimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, UU No. 24 Tahun 2009 lahir sebagai salah satu upaya pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra yang ada di Indonesia dalam rangka memenuhi kepentingan lokal, nasional, dan global. Upaya itu dilakukan dengan pertimbangan selama ini bahasa dan sastra tidak memperoleh perhatian semestinya padahal dilihat kedudukan dan fungsinya memiliki peran penting sebagai penguat identitas dan jatidiri keindonesiaan. Kedua, dalam upaya mengatasi kenyataan bahwa UU Bahasa masih disikapi kurang positif akibat tidak adanya sanksi diperlukan langkah serius agar peraturan perundangan lain yang lebih jelas segera diterbitkan. Ketiga, agar bahasa Indonesia tetap eksis di negeri sendiri tetapi juga eksis di tengah percaturan dunia perlu ada perubahan sikap/pola pikir yang mengarah pada penghargaan yang tinggi atas diri (bangsa/bahasa) sendiri. Keempat, bahwa UU Bahasa akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik manakala ada sinergi/dukungan yang serius dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta, lebih-lebih dari dunia pendidikan.
          Beberapa simpulan di atas barulah merupakan simpulan tentatif yang hanya menjawab sebagian kecil masalah yang muncul di seputar kehadiran UU No. 24 Tahun 2009. Diyakini masalah lain masih cukup banyak sehingga saran yang dapat diajukan dalam atikel sederhana ini ialah perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam. Penelitian lanjutan itu penting artinya karena hal itu akan semakin memperjelas masalah-masalah yang muncul di hadapan kita, termasuk masalah kebahasaan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Roksana Bibi. 2003. Malay Language in Singapore: Shift and Maintenance. Singapore: DeeZed (Consult Singapore).
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1975. “Sejarah Bahasa Indonesia.” Dalam Kridalaksana, Harimurti (ed.). 1991. Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Kanisius.
Collins, James T. 2005.Bahasa Melayu Bahasa Dunia. Terjemahan dari buku Malay, World Language: A Short History. Jakarta: Obor.
Ghani, Rusli Abdul. 2008. “Bahasa Melayu sebagai Bahasa Utama Dunia.” Makalah Kongres Bahasa Indonesia Internasional IX. Jakarta.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara Lainnya. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Moeliono, Anton M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di Dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Peraturan Pemerintah No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah Daerah sebagai Daerah Otonom.
Permendagri No. 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Bahasa Daerah.
Prentice, D.J. 1978. “Perkembangan Bahasa Melayu sebagai Bahasa (Inter)-nasional.” Dalam Kridalaksana, Harimurti (ed.). 1991. Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Kanisius.
Samuel, Jerome. 2008. Kasus Ajaib Bahasa Indonesia: Permodernan Kosakata dan Politik Peristilahan. Terjemahan dari buku Modernisation Lexicale et Politique Terminologique: Le Cas de l’Indonesien. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Sugiyono. 2008. “Pengembangan Bahasa Indonesia dari Kongres ke Kongres.” Makalah Kongres Bahasa Indonesia Internasional IX. Jakarta.
Sugono, Dendy. 2005. “Perencanaan Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi.” Makalah dalam Persidangan Linguistik Asean Ketiga, Jakarta 28—30 November 2005.
Teeuw, A. 1987. “Pertumbuhan Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Dunia.” Dalam Kridalaksana, Harimurti (ed.). 1991. Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Kanisius.
Unesco: Separuh Bahasa Dunia Nyaris Punah. Dalam Tempo, Rabu, 21 Pebruari 2007.
Utorodewo, Felecia N. 2010. “Memprediksi Bahasa Indonesia sebagai Lingua Franca di Asia Tenggara.” Dalam Toha-Sarumpaet, Riris K. dan Melani Budianta. Rona Budaya: Festschrift untuk Sapardi Djoko Damono. Jakarta: Obor.
Zarbaliyev, Habib M. 2008. “Kondisi Terkini Pengajaran Bahasa Indonesia di Azerbaijan.” Makalah Kongres Bahasa Indonesia Internasional IX. Jakarta.


                [1] Bahan diskusi pada Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia yang diselenggarakan oleh PBSID FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta pada Kamis, 3 Mei 2012.
[2] UU Nomor 24 Tahun 2009 tidak secara khusus mengatur masalah bahasa, tetapi juga bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Akan tetapi, karena dalam konteks ini hanya masalah bahasa yang dibahas, penyebutan UU No. 24/2009 dalam tulisan ini harus dipahami sebagai penyebutan yang hanya berkaitan dengan bahasa. Hal ini berarti bahwa khusus dalam konteks tulisan ini UU No. 24/2009 diidentikkan dengan UU Bahasa.
[3] Tentang jumlah bahasa di dunia tidak dapat ditentukan secara pasti karena beberapa sumber ada yang menyebut jumlah 6000, 6500, 6800, bahkan 6900.
[4] Dalam usahanya menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional itu akhirnya mulai tahun ini (2012) Pemerintah Malaysia mencabut kebijakan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk pelajaran Matematika dan Sains. Analog dengan hal ini, belum diketahui apakah dengan terbitnya UU No. 24/2009 kebijakan penggunaan bahasa Inggris untuk pelajaran tertentu di RSBI/SBI akan dicabut atau tidak.
[5] Setiap tahun Balai/Kantor Bahasa yang ada di 30 provinsi di Indonesia oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa ditugasi untuk menginventarisasi kosa kata bahasa daerah yang dimungkinkan masuk ke dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
[6] Dinyatakan dalam UU No. 24/2009 bahwa bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI) wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan (pasal 26) dan dalam dokumen resmi negara (pasal 27). Dokumen resmi itu berupa surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian, dan putusan pengadilan. Sementara, BI juga wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya di dalam dan atau di luar negeri (pasal 28); dan hal ini telah ditindaklanjuti dengan Perpres No. 16/2010. Kecuali, untuk forum resmi internasional di luar negeri, jika negara yang bersangkutan telah menetapkan penggunaan bahasa tertentu, BI tidak wajib digunakan dalam forum tersebut. Dalam pasal 29 diatur bahwa BI wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Akan tetapi, jika untuk tujuan tertentu, pendidikan dapat menggunakan bahasa asing. Bahkan, kewajiban itu tidak berlaku bagi satuan pendidikan asing. Sementara, BI wajib digunakan dalam pelayanan administrasi publik di instansi pemerintahan (pasal 30). Selain itu, BI wajib pula digunakan dalam surat perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga swasta atau perseorangan WNI (pasal 31). Akan tetapi, jika melibatkan pihak asing, perjanjian itu ditulis juga dalam bahasa asing dan atau bahasa Inggris. Pasal 32 mengatur bahwa BI wajib digunakan dalam forum nasional atau internasional di Indonesia dan dapat pula dalam forum internasional di luar negeri. Sementara, pasal 33 mengatur bahwa BI wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta. Jika ada pegawai negeri atau karyawan swasta yang belum mampu berbahasa Indonesia, mereka wajib mengikuti pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia. BI wajib pula digunakan dalam laporan tiap lembaga atau perseorangan kepada instansi pemerintah (pasal 34). BI juga wajib digunakan dalam penulisan karya atau publikasi ilmiah di Indonesia (pasal 35). Akan tetapi, jika memiliki tujuan khusus, publikasi itu dapat menggunakan bahasa daerah atau asing. Sementara itu, penamaan geografi juga wajib menggunakan bahasa Indonesia (pasal 36) dan hal itu berlaku pula untuk penamaan bangunan, gedung, apartemen, permukiman, jalan, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi milik warga negara atau badan hukum Indonesia. Namun, jika bernilai sejarah, budaya, adat istiadat, atau keagamaan, penamaan itu dapat menggunakan bahasa daerah atau asing. Hal serupa berlaku pula untuk informasi produk barang/jasa dalam/luar negeri di Indonesia (pasal 37). Namun, jika diperlukan, penggunaan BI itu dapat dilengkapi bahasa daerah atau asing. Sementara, penunjuk jalan, rambu, fasilitas, spanduk, dan sejenisnya yang berupa pelayanan umum juga wajib menggunakan BI (pasal 38). Akan tetapi, bila diperlukan, dapat disertai bahasa daerah atau asing. Hal yang sama berlaku untuk informasi di media massa (pasal 39). Hanya saja, jika ada tujuan khusus, hal itu dapat menggunakan bahasa daerah atau asing.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel