Implementasi UU No. 24/2009 tentang Bahasa: Antara Realitas dan Harapan
Friday, January 13, 2017
Edit
Abstract
This article
particularly talks over the language subject-matter regulated in UU 24/2009.
The fact shows that, despite being already long issued, the UU’s issuance tends
to have less positive response. This indifferent response is most likely caused
by several reasons, including the absence of the sanction provisions, the lack
of any other derivatively and operationally consecutive regulation, the
people’s indifferent attitudes toward their own language, and a mutually
influential intervention from local, national, and global interests. Therefore,
for the UU to have positive responses, it is expected to shortly issuing more
specific regulation, including the provision of sanction sections, the attempts
for increasing the people’s attitudes and mind-sets in order for appreciating
their own language, and the terms of the explicit and reasonable distributions
of duty between the Central Goverment and Provincial Government. However, all
of these would certainly be inadequate without supports from all groups of
people, both government and public, especially that of the educated groups in
the world of education.
1.
Pendahuluan
Selain menawarkan sebuah model masyarakat yang
materialistis dan konsumtif, abad XXI yang diwarnai kemajuan teknologi juga
membawa simplikasi yang mengkhawatirkan terhadap eksistensi dan keberlangsungan
bahasa Indonesia. Di tengah gegap gempita revolusi teknologi saat ini bahasa
Indonesia seolah berada dalam cengkeraman kolonialisme baru di bawah arus narasi
besar modernisasi/globalisasi. Lihatlah apa yang terjadi pada produk
kapitalisme di ruang publik yang dipenuhi dengan ikon-ikon budaya (bahasa) asing.
Atas nama keinginan pasar dan gengsi (prestise), hampir semua perumahan, hotel,
restoran, mall, dan berbagai usaha
besar, menengah, dan kecil di kota saat ini telah berani melanggar sumpah (yang
diikrarkan para pendiri bangsa ini pada 28 Oktober 1928) dengan tidak hirau lagi
pada bahasanya sendiri.
Terlepas dari realitas bahwa bahasa Indonesia juga menciptakan
bentuk kolonialisme bagi 726 bahasa daerah yang tersebar di 17.508 pulau di wilayah Indonesia,
sejumlah pertanyaan berikut pantas diajukan berkenaan dengan semakin
tergerogotinya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bangsa. Pertama, akankah identitas dan jatidiri bangsa
ini hilang jika bahasa asing mengguyur deras tak terbendung? Kedua, sudah semakin lemahkah kedudukan
dan fungsi bahasa Indonesia bagi bangsa ini di tengah arus besar penetrasi
budaya dunia? Ketiga, bagaimana sikap
mental warga bangsa ini yang berada dalam situasi tarik-menarik antara
kepentingan lokal-nasional-global? Keempat,
bagaimana upaya pengembangan bahasa Indonesia oleh para pengambil kebijakan
dalam rangka pemertahanan identitas kebangsaan namun tetap eksis di tengah
percaturan bangsa-bangsa di dunia?
Sesungguhnya beberapa pertanyaan tersebut dapat
diperpanjang lagi, tetapi dalam tulisan (artikel) sederhana ini hanya akan dibahas
(dijawab) beberapa hal (pertanyaan) yang muncul di seputar kehadiran UU No. 24
Tahun 2009.[2]
Berbicara tentang UU No. 24 Tahun 2009 tidaklah dapat lepas dari pertanyaan tentang
mengapa, bagaimana, dan untuk tujuan apa UU tersebut lahir. Oleh karena itu,
bahasan pada pasal-pasal berikut merupakan jawaban atas beberapa pertanyaan
tersebut.
2. Kekhawatiran yang Positif
Diduga bahwa UU No. 24 Tahun 2009 lahir dari sebuah
kekhawatiran. Kekhawatiran itu bermula dari adanya realitas historis antara
lain tentang kepunahan bahasa. Agar bahasa Indonesia (juga bahasa-bahasa
daerah) tidak punah dari bumi Indonesia --yang ditandai oleh jumlah penutur
yang tidak mengalami penurunan-- akibat dari persentuhannya dengan bahasa dan
budaya dunia, maka dibuatlah UU Bahasa. Kalau bahasa Indonesia tetap eksis di
bumi Indonesia berarti akan tetap eksis pula identitas dan jatidiri bangsa
Indonesia. Dengan tetap eksisnya identitas dan jatidiri bangsa Indonesia
berarti akan tetap eksis pula kekhasan budaya Indonesia walaupun ia harus
bertarung dengan budaya lain dari berbagai penjuru dunia.
Alasan tersebut sangat masuk akal karena menurut catatan
UNESCO (Tempo, 21 Februari 2007)
diperkirakan pada abad XXI separuh dari 6000 bahasa yang ada di dunia akan
hilang (punah).[3]
Hal itu didukung oleh fakta bahwa sekitar 100 bahasa di California dan lebih
dari 200 bahasa Aborigin di Australia telah hilang. Bahkan diprediksikan pada
akhir abad XXI nanti dari 726 bahasa daerah di Indonesia (pada tahun 2000
tercatat ada 746 bahasa) hanya akan tinggal 75 saja. Kalau realitas tersebut
dibiarkan berlarut tanpa ada upaya pemertahanan, niscaya panorama indah kebudayaan
dunia akan semakin kehilangan warna kebhinekaannya. Karena itu, tidak salah
kiranya UU No. 24/2009 lahir sebagai salah satu wujud perencanaan status dalam
rangka pemertahanan bahasa (Moeliono, 1985) agar bahasa (di) Indonesia sebagai wahana
utama kebhinekaan budaya Indonesia tidak hilang (musnah).
Sudah barang pasti bangsa Indonesia tidak ingin kehilangan
bahasanya seperti halnya bangsa Latin yang kehilangan bahasanya akibat tidak
lagi ada penuturnya. Bangsa Indonesia juga tidak ingin kehilangan identitas
budaya-nya seperti halnya bangsa Italia yang kehilangan identitas budaya akibat
bahasa Itali saat ini hanya dipakai oleh penutur aslinya saja (Ghani, 2008).
Tentu saja bangsa Indonesia juga tidak mau kehilangan jatidiri
ke-Indonesia-annya seperti halnya Singapura yang telah kehilangan jatidiri
ke-Melayu-annya akibat fungsi dan kedudukan bahasa Melayu telah digeser oleh bahasa
Inggris (Abdullah, 2003).
Sebaliknya,
bangsa Indonesia justru ingin seperti Malaysia yang sejak tahun 2005 berniat
menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional di PBB (Utorodewo, 2010).[4] Sebab,
menurut pertimbangannya, bahasa Melayu --termasuk di dalamnya bahasa
Indonesia-- memiliki jumlah penutur terbanyak nomor lima di dunia (350 juta)
sehingga bahasa Melayu layak menjadi Bahasa Dunia (Prentice, 1978; Teeuw, 1987;
Collins, 1996). Karena itu, tidak berlebihan jika bangsa Indonesia juga berkeinginan
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional (bahasa dunia) seperti
yang diamanatkan dalam UU No. 24/2009 pasal 44. Bahkan, jauh sebelum UU itu
terbit, Alisjahbana (1975) telah memprediksikan bahwa bahasa Indonesia kelak akan
menjadi salah satu bahasa dunia modern yang besar yang hanya dapat diatasi oleh
bahasa Inggris, Cina, Rusia, dan Spanyol.
Keinginan
tersebut sangat beralasan karena bahasa Indonesia memiliki jumlah penutur jauh
lebih besar (230 juta) jika dibandingkan bahasa Melayu di Malaysia (25 juta).
Dan yang lebih penting lagi, bahasa Indonesia bukanlah bahasa Melayu, dan ia berbeda
dengan bahasa Melayu, karena bahasa Indonesia telah berkembang menjadi bahasa
modern yang mampu menjalankan fungsi sosial, ekonomis, dan politis (Sugiyono,
2008). Lagipula, menurut Fishman (Samuel,2008), bahasa Indonesia adalah “bahasa
ajaib” karena secara historis dan politis bahasa yang semula hanya berupa alat
perhubungan sederhana dan bersifat etnik itu mampu mengubah diri menjadi bahasa
nasional yang berhasil menyatukan berbagai-bagai suku (Jawa, Sunda, Bali,
Sasak, Bugis, dll) tanpa ada perlawanan.
Karena realitas menunjukkan demikian, berarti bahwa
kekhawatiran seperti yang disebutkan di atas tidak perlu terjadi. Sebab,
walaupun secara terus-menerus bergesekan dengan bahasa dan budaya lain, bahasa
Indonesia tetap mampu menyesuaikan diri dengan cara mengadopsi bahasa-bahasa
lain dari mana pun. Hal itu terbukti, jumlah kosa kata bahasa Indonesia dari
waktu ke waktu semakin bertambah; apalagi setelah para perencana bahasa rajin
bekerja sama dengan berbagai pihak di bidang peristilahan sesuai dengan
perkembangan ilmu dan teknologi. Sejak tahun 1980, misalnya, melalui kerja sama
MABBIM (Majelis Bahasa Brunei, Indonesia,
Malaysia) Indonesia telah menghasilkan sekitar 340.000 istilah; sedangkan
kerja sama dengan Microsof telah berhasil mengalihkan 250.000 kata/istilah
bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia (Sugono, 2005). Hal itu masih ditambah
dengan hasil penyerapan terus-menerus dari berbagai bahasa daerah yang semakin
memperkaya kosa kata bahasa Indonesia.[5]
Walaupun masalah kepunahan bahasa Indonesia tidak perlu lagi
dikhawatirkan, terlebih setelah munculnya UU No. 24/2009, satu masalah yang
perlu penanganan serius adalah masalah sikap berbahasa masyarakat kita. Di satu
sisi bahasa Indonesia berupaya keras untuk memperkaya kosa kata dengan cara mengindonesiakan
kata/istilah dari bahasa lain, terutama bahasa asing (Inggris), tetapi di sisi
lain ada kecenderungan dari masyarakat kita, terutama kelompok terdidik, lebih mengagumi/memilih
menggunakan bahasa asing meskipun sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa
Indonesia. Kalau kanyataan demikian terus terjadi, lalu bagaimana dengan
kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia di negeri ini? Oleh sebab itu, pada
tataran ini, perlu ada perubahan sikap dan pola pikir.
3. Perubahan Sikap dan Pola Pikir
Pada era (pasca)modern ini bahasa asing, terutama Inggris, memang
diakui sebagai sarana utama pengembangan ilmu dan teknologi. Karena itu muncul anggapan
jika orang ingin berilmu harus dapat berbahasa Inggris. Akan tetapi, terkadang
orang salah tafsir sehingga bertindak sebaliknya: menggunakan bahasa Inggris
agar dianggap berilmu. Memang diakui hal itu benar, tetapi tidak tepat. Yang
benar sekaligus tepat adalah bahasa asing memang diperlukan dalam rangka pergaulan antarbangsa dan budaya, tetapi
bahasa Indonesia juga sangat diperlukan
--sehingga wajib digunakan-- dalam upaya pemertahanan identitas, jatidiri, dan
budaya Indonesia. Sebab, dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa
Indonesia merupakan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan
dan kehormatan negara. Inilah sesungguhnya esensi pasal 26--39 UU No. 24/2009
yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia “wajib” digunakan di berbagai ranah
formal dan ruang-ruang publik.
Dalam rangka pengembangan ilmu dan teknologi, misalnya, bahasa
Indonesia diyakini telah mampu memenuhi tugas dan fungsinya. Sebab, bahasa
Indonesia bersifat terbuka, mudah menerima unsur dari bahasa lain seperti
halnya bahasa Inggris sejak awal perjalanannya hingga sekarang. Karena
keterbukaannya itulah bahasa Indonesia berubah menjadi bahasa modern sehingga
mampu menjadi wahana pengembangan ilmu/teknologi. Persoalannya adalah, menurut
Teeuw (1987), bahasa Indonesia belum memenuhi tiga syarat, yaitu pemantapan (korpus), pendidikan (pengajaran), dan komunikasi
(konsistensi pemakaian) seperti halnya bahasa Inggris. Kalau bahasa Inggris telah
mampu menciptakan kamus, tata bahasa, alat uji (TOEFL), dan sistem pembelajaran
yang mantap dan berlaku di seluruh dunia, tidak demikian halnya dengan bahasa
Indonesia. Bahkan, dalam ranah komunikasi, bahasa Inggris juga mampu membangun
imperialisme tanpa resistensi sehingga media komunikasi dan informasi seperti
majalah, TV, radio, internet, dan buku-buku sastra di berbagai negara lain di
luar Inggris secara dominan menggunakan bahasa Inggris.
Karena belum dapat memenuhi tiga syarat sebagaimana
dinyatakan Teeuw (1978) di atas, akibatnya kondisi bahasa Indonesia masih
seperti yang terjadi saat ini; dan ini memerlukan komitmen yang besar dari semua
pihak, terutama pemerintah. Dalam konteks ini Indonesia perlu mencontoh Jepang
yang secara konsisten memperlakukan bahasa Jepang di atas segalanya sehingga
untuk memenuhi keperluan pengembangan ilmu/teknolgi dilakukan upaya penerjemahan
secara besar-besaran. Akan tetapi, karena perhatian pemerintah Indonesia belum
seperti yang diharapkan, akibatnya sikap berbahasa Indonesia masyarakat kita
kurang positif. Hal tersebut terbukti, seperti yang telah dikatakan di atas,
hotel, restoran, perumahan, program di TV, iklan-iklan, dan berbagai papan nama
di ruang publik cenderung tidak mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia,
tetapi bahasa asing. Padahal, siapakah konsumen mereka? Kita yakin konsumennya
adalah masyarakat dan bangsa kita (Indonesia) yang tidak semuanya mampu
berbahasa asing.
Untuk itulah, sekarang perlu ada perubahan sikap dan pola
pikir. Kalau pada masa kolonial kita hanya menjadi pelayan yang bodoh (inferior) bagi kaum penjajah (superior) sehingga kita “terpaksa”
mengikuti bahasa mereka, sekarang kita tidak harus demikian. Kalau dulu kita
harus belajar bahasa mereka, sebaliknya mereka sekarang justru harus belajar
bahasa kita. Kalau sampai sekarang kita masih memberikan kemudahan yang
berlebih kepada mereka (orang asing) dengan cara menyajikan bahasa mereka di
tempat kita sendiri, berarti kita sampai sekarang masih menjadi pelayan dan
tetap bodoh. Karena itu, sudah waktunya bahasa asing yang dominan di ruang
publik (hotel, restoran, iklan, TV, dll) dilengkapi atau kalau perlu diganti dengan
bahasa Indonesia. Namun, sesuai ketentuan UU No. 24/2009, pemakaian bahasa
Indonesia harus lebih diutamakan dibanding bahasa asing (dan daerah). Hal demikian
sekaligus berarti bahwa pemakaian bahasa asing tidak dilarang, bahkan
dianjurkan, tetapi agar jatidiri ke-Indonesia-an kita tetap eksis, bahasa
Indonesia harus ditempatkan sebagai yang utama. Barangkali dengan situasi
bilingual semacam ini akan sekaligus membantu pembelajaran berbahasa masyarakat
kita.
Usaha penertiban penggunaan bahasa di ruang publik sebenarnya
telah sering dilakukan, di antaranya melalui Ketetapan
DPRD Kotapraja Jakarta tanggal 4 Agustus 1959; Perda Khusus Ibukota Jakarta
No. 1/1992; Keputusan Gubernur DKI No. 1995/1992; Perda
Provinsi Bali No. 13/1996; Surat Edaran Mendagri No. 434/1261/SJ/1996; Surat Edaran
Mendagri No. 434/1864/SJ/1997; Undang-Undang No. 26/1998 tentang Pemakaian Nama
PT/CV; Peraturan Pemerintah No. 69/1999 tentang Label/Iklan; Undang-Undang No.
15/2001 tentang Merk; Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran; dan masih
banyak lagi.
Hanya
persoalannya, pada tahap implementasi beberapa peraturan perundangan tersebut
tidak berjalan baik. Kalaupun berjalan, misalnya di DKI Jakarta pernah
dilakukan operasi besar-besaran penurunan papan nama dan iklan yang hanya berbahasa
asing, tetapi semua itu tidak berumur panjang akibat tidak adanya konsistensi
kebijakan politik dan birokrasi. Diharapkan UU No. 24/2009 tidak mengalami nasib
yang sama dengan berbagai peraturan perundangan tersebut walau dalam UU itu tidak
ada sanksi bagi para pelanggarnya.
4. Ketiadaan Sanksi
Tersurat dengan jelas bahwa di dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang
bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan, hanya Bab III (Bahasa)
saja yang tidak mengatur larangan/sanksi. Kalau sanksi (larangan) bagi pelanggar
bendera diatur pada pasal 24 (Bab II Bagian Keempat), pada lambang negara
diatur pada pasal 57 (Bab IV Bagian Ketiga), dan pada lagu kebangsaan diatur
pada pasal 64 (Bab V Bagian Keempat), sanksi/larangan pada bagian yang mengatur
bahasa tidak ada sama sekali. Kenyataan itulah yang menimbulkan pertanyaan
publik bagaimana mungkin sebuah UU tanpa ada sanksi. Oleh karena itu, orang
kemudian berasumsi bahwa dengan tidak adanya sanksi dipastikan UU tersebut akan
mandul.
Ketiadaan sanksi pada bagian yang mengatur bahasa itu dapatlah
dipahami karena jika sanksi itu diadakan akan menimbulkan problem yang luar
biasa. Problem itu terutama akan terjadi pada proses hukum: siapa yang wajib
melapor, polisi mana yang berhak menangkap, pihak mana yang membuat BAP,
pengadilan mana yang berkewajiban mengadili, dan penjara mana yang siap
menampung para pengguna bahasa yang hampir setiap saat melakukan kesalahan.
Oleh sebab itu, sekali lagi, ketiadaan sanksi di dalam UU itu dapat dipahami;
dan apabila diperlukan sanksi, harus ada ketentuan tersendiri yang mengaturnya.
Dan memang, dalam pasal 40 UU tersebut dinyatakan bahwa masalah penggunaan
bahasa akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden (Perpres). Hanya
persoalannya, sampai sekarang Perpres tersebut belum terbit walaupun sudah di
luar batas waktu yang ditentukan (2 tahun sejak terbitnya UU).
Hal lain yang juga menjadi masalah adalah, di dalam pasal
26 hingga 39 UU No. 24 Tahun 2009 dinyatakan bahwa seluruh warga negara
Indonesia wajib menggunakan bahasa Indonesia.[6] Dengan
kata-kata “wajib” tersebut berarti bahwa setelah UU itu disahkan (9 Juli 2009) seluruh
warga negara Indonesia wajib mematuhinya. Karena itu, kalau sebelumnya warga
negara dapat bebas untuk tidak bersikap positif terhadap bahasa Indonesia, kini
tidak lagi dapat berbuat demikian karena sebagai warga yang hidup di negara
hukum wajib mematuhi hukum, termasuk mematuhi UU No. 24/2009. Hanya saja,
kepatuhan itu akan sulit terwujud tanpa ada sanksi bagi mereka yang bersalah
(melanggar). Namun, sekali lagi, kesulitan tersebut dapat dipahami; lebih-lebih
kalau disadari bahwa UU itu lahir di tengah situasi tarik-menarik antara
kepentingan lokal-nasional-global.
5. UU Bahasa dalam Konteks Kepentingan Lokal-Nasional-Global
Sebagaimana diketahui bahwa UU No. 24 Tahun 2009 lahir demi
kepentingan nasional. Hal itu tersurat pada pasal 2 yang menyatakan bahwa
pengaturan bahasa dilaksanakan berdasarkan asas persatuan, kedaulatan,
kehormatan, kebangsaan, kebhinekatunggalikaan, ketertiban, kepastian hukum,
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan (nasional). Dan hal ini dipertegas
lagi pasal 3 yang menyatakan bahwa tujuan diaturnya bahasa melalui UU adalah
untuk memperkuat persatuan dan kesatuan (bangsa), menjaga kehormatan dan kedaulatan
(negara), dan untuk menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi
penggunaan (bahasa Indonesia).
Hanya saja, dalam rangka kepentingan nasional tersebut, di
dalam UU itu muncul dilema berkaitan dengan tugas pemerintah dalam melakukan
usaha pengembangan, pembinaan, dan pelindungan. Pasal 41 menyebutkan bahwa
Pemerintah Pusat wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra
nasional/Indonesia; sementara pasal 42 menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah
berkewajiban membina, mengembangkan, dan melindungi bahasa dan sastra daerah.
Di satu sisi, dua pasal itu dianggap tepat karena di antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah ada pembagian tugas yang jelas sesuai PP No. 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah
Daerah sebagai Daerah Otonom. Akan tetapi, di sisi lain, dengan adanya
pembagian tugas itu Pemerintah Daerah cenderung hanya berpikir untuk
kepentingan daerah sehingga kepentingan nasional dimungkinkan akan terabaikan;
demikian juga sebaliknya.
Dilema lain juga muncul pada pasal 42 jika dihadapkan dengan
pasal 33. Karena dilindungi oleh pasal 42 Pemda akan berusaha keras untuk menangani
bahasa dan sastra daerah karena memiliki kewajiban untuk memelihara kearifan lokal.
Contoh nyata adalah Pemda Jateng, DIY, dan Jatim yang setiap 5 tahun sekali menyelenggarakan
Kongres Bahasa Jawa (KBJ). Bahkan sebagian rekomendasi KBJ sudah diterapkan, di
antaranya (1) bahasa Jawa menjadi muatan lokal wajib di SD hingga SMA dan (2)
ada kewajiban menggunakan bahasa Jawa pada hari-hari tertentu di lingkungan
Pemprov, Pemkot, dan Pemkab. Akan tetapi, usaha keras itu akan menjadi masalah
karena bertentangan dengan pasal 33. Sebab, pasal 33 mewajibkan bahasa
Indonesia dipakai di lingkungan instansi baik pemerintah maupun swasta.
Dalam konteks tersebut
jelas kepentingan lokal terkalahkan oleh kepentingan nasional karena kedudukan
UU lebih tinggi daripada Instruksi Gubernur atau Bupati dan Walikota. Kekalahan
ini tampak semakin nyata dengan terbitnya Permendagri No. 40/2007 yang memberi
tugas kepada kepala daerah tidak hanya untuk melakukan pengembangan, pembinaan,
dan pelindungan bahasa dan sastra daerah, tetapi juga bahasa dan sastra
nasional. Jadi, pada intinya, kalau tidak diatur dengan lebih tegas dan saling
menguntungkan, secara halus sesungguhnya UU Bahasa mempersempit ruang gerak
kepentingan (kearifan) lokal.
Di samping untuk kepentingan lokal dan nasional, UU No.
24/2009 juga untuk kepentingan global. Kepentingan itu tersurat pada pasal 44
yang menyebutkan pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa
internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan. Hanya saja, hal
ini belum ditangani secara serius. Usaha ke arah itu sebenarnya sudah
dilakukan, misalnya oleh Pusat Bahasa (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa)
dan Perguruan Tinggi yang memiliki jurusan bahasa Indonesia. Misalnya, melalui program
kerja sama, hingga sekarang bahasa Indonesia telah menjadi salah satu mata
kuliah atau mata ajar di 46 negara, baik
di kawasan Asia, Australia, Amerika, Afrika, Eropa, maupun Timur Tengah. Dari 46
negara tersebut bahasa Indonesia terbanyak diajarkan di Australia dan Jepang.
Di samping itu, ada pula yang berupa lembaga kursus (BIPA) dan lembaga
kebudayaan. Sampai sekarang lembaga
penyelenggara pengajaran BIPA di luar negeri ada 279.
Kendati demikian,
kondisi di atas bukan tanpa persoalan. Persoalan yang muncul adalah, akibat
tanpa dukungan sarana yang memadai, jumlah mahasiswa yang berminat mengikuti
program Indonesian Studies di
berbagai perguruan luar negeri seringkali menurun, di samping akibat banyaknya
pilihan lain seperti bahasa Korea, Jepang, China, atau Mandarin yang lebih
terprogram secara sistematis dan didukung sarana yang memadai. Problem utama
studi Indonesia di luar negeri adalah, salah satu contohnya di Azerbaijan,
kurangnya dukungan bahan ajar seperti kamus, tata bahasa, bacaan sastra, dan
buku-buku tentang budaya Indonesia lainnya (Zarbaliyev, 2008). Realitas demikianlah yang, antara lain, menjadi
kendala dalam upaya peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa
internasional demi kepentingan global. Oleh sebab itu, perlu ada upaya
penanganan lebih serius dan sistematik baik dari kalangan pemerintah maupun
dunia akademik.
6. Upaya Penanganan dan Harapan
ke Depan
Telah dikatakan bahwa selain untuk kepentingan nasional, UU
No. 24 Tahun 2009 juga untuk kepentingan lokal dan global. Oleh sebab itu, agar
UU itu tidak melahirkan semacam dikotomi negatif, tidak justru melahirkan
dominasi antara satu dan yang lainnya, tiga kepentingan itu harus mendapat porsi
yang seimbang, harus memperoleh perhatian secara lebih adil. Prinsip keadilan
ini merupakan hal penting yang perlu ditetapkan terlebih dahulu karena tanpa
keadilan akan terjadi semacam disharmoni. Kalau sudah terjadi disharmoni
akibatnya akan timbul resistensi dan bisa jadi akan sampai kepada disintegrasi.
Hal ini penting untuk digarisbawahi mengingat Indonesia pada dasarnya adalah sebuah
nation yang dibentuk oleh berbagai
suku, beragam budaya, dan beraneka bahasa (daerah) yang dalam konteks ini disatukan oleh bahasa Indonesia. Jadi,
bukan semata karena untuk kepentingan nasional, lalu berbagai komponen
pendukungnya yaitu daerah diabaikan. Kalau ini yang terjadi, dapat dipastikan
sikap positif berbahasa masyarakat tidak akan tumbuh dengan baik tetapi justru
sebaliknya.
Berkenaan dengan hal tersebut, langkah awal yang perlu
dilakukan adalah mencari titik terang bagaimana sebaiknya agar kontradiksi yang
muncul dalam UU itu tereliminasi terlebih dahulu. Katakanlah, misalnya,
kontradiksi antara pihak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang bertugas
menangani masalah bahasa nasional dan bahasa daerah. Dalam UU itu terkesan
bahwa Pemerintah Daerah dibebani tugas yang berat karena di samping harus
menangani bahasa daerah juga harus menangani bahasa nasional; sedangkan
Pemerintah Pusat hanya bertugas menangani bahasa nasional. Sementara itu, dalam
usaha menangani bahasa daerah pun Pemda terlihat dipersempit ruang geraknya
seperti yang telah dijelaskan di atas. Karena itu, yang diperlukan sekarang
adalah adanya ketentuan yang lebih rinci, tegas, dan adil mengenai hak dan
kewajiban masing-masing. Terhadap hal ini perlu dipercepat penerbitan PP (Peraturan
Pemerintah) sebagaimana dijanjikan dalam pasal 41 (ayat 3) dan 42 (ayat 3) UU
tersebut.
Selain itu,
untuk mengatasi persoalan dalam rangka memenuhi kepentingan global, kerja sama
antarnegara perlu ditingkatkan. Melalui kedutaan di setiap negara, atau melalui
perguruan tinggi, bahkan melalui sekolah-sekolah, program pengajaran BIPA atau Indonesian Studies lebih diperluas dan
didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai (buku-buku kamus, tata bahasa,
karya sastra, dan buku-buku yang memuat beragam kebudayaan Indonesia). Sementara
itu, untuk keperluan bidang ilmu dan teknologi, program penerjemahan ke dalam
bahasa Indonesia perlu digalakkan; dan sebaliknya, dalam upaya bersaing di
dunia internasional, penerjemahan ke dalam bahasa asing juga perlu dilakukan
secara serius. Dan dalam hal ini perguruan tinggi memiliki peran yang sangat
besar.
Meski demikian, yang tidak kalah penting, adalah perlakuan
terhadap bahasa Indonesia di negeri sendiri. Selama bahasa Indonesia tidak
mendapat perlakuan yang baik, yang sejajar dengan bahasa asing, selamanya pula
bahasa Indonesia akan berada di posisi inferior.
Di lingkungan akademik, misalnya, lebih khusus lagi untuk keperluan credit point kenaikan pangkat atau
jabatan, karya berbahasa Indonesia dihargai lebih rendah daripada karya
berbahasa asing. Demikian juga untuk keperluan persyaratan tertentu dalam
rangka memenuhi/memasuki wilayah atau tugas tertentu. Dalam kaitan ini alat uji
berbahasa TOEFL (Test of English as A
Foreign Language) diperlakukan
sangat istimewa dibanding UKBI (Uji
Kemahiran Berbahasa Indonesia); dan itu terbukti TOEFL sering menjadi
syarat wajib, sedangkan UKBI dianggap sama sekali tidak penting. Bukti lain
adalah TOEFL sudah menjadi “favorit” di lingkungan siswa/mahasiswa di sekolah
dan perguruan tinggi, tetapi jarang orang berpikir bahwa UKBI sangat penting
untuk menguji sekaligus memperbaiki kemampuan berbahasa (Indonesia) kita.
Selain itu,
kalau kita hendak bekerja atau belajar ke luar negeri wajib memperoleh nilai
TOEFL tertentu, sementara orang asing yang masuk ke Indonesia sama sekali tidak
wajib tes UKBI. Inilah, antara lain, bentuk perlakuan atau sikap tidak adil dan
cenderung merendahkan milik kita (bangsa) sendiri. Untuk itu, diharapkan sikap
dan pola pikir seperti ini segera berubah. Akan tetapi, perubahan tidak akan
terjadi tanpa ada upaya nyata dari semua pihak. Barangkali UU No. 24 Tahun 2009
dapat menjadi awal langkah nyata untuk perubahan ke arah yang lebih baik.
7. Penutup
Dari seluruh paparan di atas akhirnya
dapat disimpulkan beberapa hal berikut. Pertama,
UU No. 24 Tahun 2009 lahir sebagai salah satu upaya pengembangan, pembinaan,
dan pelindungan bahasa dan sastra yang ada di Indonesia dalam rangka memenuhi
kepentingan lokal, nasional, dan global. Upaya itu dilakukan dengan
pertimbangan selama ini bahasa dan sastra tidak memperoleh perhatian semestinya
padahal dilihat kedudukan dan fungsinya memiliki peran penting sebagai penguat
identitas dan jatidiri keindonesiaan. Kedua,
dalam upaya mengatasi kenyataan bahwa UU Bahasa masih disikapi kurang positif
akibat tidak adanya sanksi diperlukan langkah serius agar peraturan perundangan
lain yang lebih jelas segera diterbitkan. Ketiga,
agar bahasa Indonesia tetap eksis di negeri sendiri tetapi juga eksis di tengah
percaturan dunia perlu ada perubahan sikap/pola pikir yang mengarah pada penghargaan
yang tinggi atas diri (bangsa/bahasa) sendiri. Keempat, bahwa UU Bahasa akan membawa perubahan ke arah yang lebih
baik manakala ada sinergi/dukungan yang serius dari berbagai pihak, baik
pemerintah maupun swasta, lebih-lebih dari dunia pendidikan.
Beberapa simpulan di atas barulah
merupakan simpulan tentatif yang hanya menjawab sebagian kecil masalah yang
muncul di seputar kehadiran UU No. 24 Tahun 2009. Diyakini masalah lain masih
cukup banyak sehingga saran yang dapat diajukan dalam atikel sederhana ini
ialah perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam. Penelitian
lanjutan itu penting artinya karena hal itu akan semakin memperjelas
masalah-masalah yang muncul di hadapan kita, termasuk masalah kebahasaan di
Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Roksana Bibi. 2003. Malay Language in
Singapore: Shift and Maintenance. Singapore: DeeZed (Consult Singapore).
Alisjahbana,
Sutan Takdir. 1975. “Sejarah Bahasa Indonesia.” Dalam Kridalaksana,
Harimurti (ed.). 1991. Masa Lampau Bahasa
Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Kanisius.
Collins,
James T. 2005.Bahasa Melayu Bahasa Dunia.
Terjemahan dari buku Malay, World
Language: A Short History. Jakarta: Obor.
Ghani,
Rusli Abdul. 2008. “Bahasa Melayu sebagai Bahasa Utama Dunia.” Makalah Kongres
Bahasa Indonesia Internasional IX. Jakarta.
Kementerian
Pendidikan Nasional. 2010. Undang-Undang
No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Kementerian
Pendidikan Nasional. 2011. Peraturan
Presiden No. 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato
Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara Lainnya.
Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Moeliono,
Anton M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa: Ancangan Alternatif di Dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Penerbit
Djambatan.
Peraturan
Pemerintah No. 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah.
Peraturan
Pemerintah No. 25/2000 tentang Kewenangan
Pemerintah Daerah sebagai Daerah Otonom.
Permendagri
No. 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi
Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Bahasa
Daerah.
Prentice,
D.J. 1978. “Perkembangan Bahasa Melayu sebagai Bahasa (Inter)-nasional.” Dalam Kridalaksana, Harimurti (ed.). 1991. Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai.
Yogyakarta: Kanisius.
Samuel,
Jerome. 2008. Kasus Ajaib Bahasa
Indonesia: Permodernan Kosakata dan Politik Peristilahan. Terjemahan dari
buku Modernisation Lexicale et Politique
Terminologique: Le Cas de l’Indonesien. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia).
Sugiyono.
2008. “Pengembangan Bahasa Indonesia dari Kongres ke Kongres.” Makalah Kongres
Bahasa Indonesia Internasional IX. Jakarta.
Sugono, Dendy. 2005. “Perencanaan Bahasa Indonesia
dalam Era Globalisasi.” Makalah dalam Persidangan Linguistik Asean Ketiga,
Jakarta 28—30 November 2005.
Teeuw, A. 1987. “Pertumbuhan Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Dunia.”
Dalam Kridalaksana, Harimurti (ed.). 1991. Masa
Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Kanisius.
Unesco: Separuh Bahasa
Dunia Nyaris Punah. Dalam Tempo,
Rabu, 21 Pebruari 2007.
Utorodewo,
Felecia N. 2010. “Memprediksi Bahasa Indonesia sebagai Lingua Franca di Asia
Tenggara.” Dalam Toha-Sarumpaet, Riris K. dan Melani Budianta. Rona Budaya: Festschrift untuk Sapardi Djoko
Damono. Jakarta: Obor.
Zarbaliyev, Habib M. 2008. “Kondisi Terkini Pengajaran Bahasa Indonesia di
Azerbaijan.” Makalah Kongres Bahasa Indonesia Internasional IX. Jakarta.
[2] UU Nomor 24 Tahun
2009 tidak secara khusus mengatur masalah bahasa, tetapi juga bendera, lambang
negara, dan lagu kebangsaan. Akan tetapi, karena dalam konteks ini hanya masalah
bahasa yang dibahas, penyebutan UU No. 24/2009 dalam tulisan ini harus dipahami
sebagai penyebutan yang hanya berkaitan dengan bahasa. Hal ini berarti bahwa
khusus dalam konteks tulisan ini UU No. 24/2009 diidentikkan dengan UU Bahasa.
[3] Tentang
jumlah bahasa di dunia tidak dapat ditentukan secara pasti karena beberapa
sumber ada yang menyebut jumlah 6000, 6500, 6800, bahkan 6900.
[4] Dalam usahanya
menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional itu akhirnya mulai tahun
ini (2012) Pemerintah Malaysia mencabut kebijakan penggunaan bahasa Inggris
sebagai bahasa pengantar untuk pelajaran Matematika dan Sains. Analog dengan
hal ini, belum diketahui apakah dengan terbitnya UU No. 24/2009 kebijakan
penggunaan bahasa Inggris untuk pelajaran tertentu di RSBI/SBI akan dicabut
atau tidak.
[5] Setiap
tahun Balai/Kantor Bahasa yang ada di 30 provinsi di Indonesia oleh Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa ditugasi untuk menginventarisasi kosa kata
bahasa daerah yang dimungkinkan masuk ke dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia).
[6] Dinyatakan dalam UU
No. 24/2009 bahwa bahasa Indonesia (selanjutnya
disingkat BI) wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan (pasal 26) dan
dalam dokumen resmi negara (pasal 27). Dokumen resmi itu berupa surat
keputusan, surat berharga,
ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat
perjanjian, dan putusan pengadilan. Sementara, BI juga wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil
Presiden, dan pejabat negara lainnya di dalam dan atau di luar negeri (pasal
28); dan hal ini telah ditindaklanjuti dengan Perpres No. 16/2010. Kecuali,
untuk forum resmi internasional di luar negeri, jika negara yang
bersangkutan telah menetapkan penggunaan bahasa tertentu, BI tidak wajib
digunakan dalam forum tersebut. Dalam pasal 29 diatur
bahwa BI wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.
Akan tetapi, jika untuk tujuan tertentu, pendidikan dapat menggunakan bahasa
asing. Bahkan, kewajiban itu tidak berlaku bagi satuan pendidikan asing.
Sementara, BI wajib digunakan dalam pelayanan administrasi publik di instansi
pemerintahan (pasal 30). Selain itu, BI wajib pula digunakan dalam surat
perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga swasta
atau perseorangan WNI (pasal 31). Akan tetapi, jika melibatkan pihak asing,
perjanjian itu ditulis juga dalam bahasa asing dan atau bahasa Inggris. Pasal
32 mengatur bahwa BI wajib digunakan dalam forum nasional atau internasional di
Indonesia dan dapat pula dalam forum internasional di luar negeri. Sementara,
pasal 33 mengatur bahwa BI wajib digunakan dalam
komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta. Jika ada pegawai
negeri atau karyawan swasta yang belum mampu berbahasa Indonesia, mereka wajib
mengikuti pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia. BI wajib
pula digunakan dalam laporan tiap lembaga atau perseorangan kepada instansi
pemerintah (pasal 34). BI juga wajib digunakan dalam penulisan karya atau
publikasi ilmiah di Indonesia (pasal 35). Akan tetapi, jika memiliki tujuan
khusus, publikasi itu dapat menggunakan bahasa daerah atau asing. Sementara
itu, penamaan geografi juga wajib menggunakan bahasa Indonesia (pasal 36) dan
hal itu berlaku pula untuk penamaan bangunan, gedung, apartemen, permukiman,
jalan, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga
pendidikan, organisasi milik warga negara atau badan hukum Indonesia. Namun,
jika bernilai sejarah, budaya, adat istiadat, atau keagamaan, penamaan itu
dapat menggunakan bahasa daerah atau asing. Hal serupa berlaku pula untuk
informasi produk barang/jasa dalam/luar negeri di Indonesia (pasal 37). Namun,
jika diperlukan, penggunaan BI itu dapat dilengkapi bahasa daerah atau asing.
Sementara, penunjuk jalan, rambu, fasilitas, spanduk, dan sejenisnya yang
berupa pelayanan umum juga wajib menggunakan BI (pasal 38). Akan tetapi, bila
diperlukan, dapat disertai bahasa daerah atau asing. Hal yang sama berlaku
untuk informasi di media massa (pasal 39). Hanya saja, jika ada tujuan khusus,
hal itu dapat menggunakan bahasa daerah atau asing.