Gus tf Sakai: Mengarang dengan Mengatasi Tiga Hambatan
Friday, January 06, 2017
Edit
Bagaimanakah
proses kreatif Anda mengarang? Barangkali, kalau pertanyaan ini diajukan kepada
A.A. Navis, Budi Darma, Arswendo Atmowiloto, Wildan Yatim, Danarto, Putu
Wijaya, Umar Kayam, Nh. Dini, atau yang lain, mereka akan segera bercerita
panjang mengenai proses mengapa dan bagaimana ia mengarang (menulis sastra).[1] Tapi,
tak demikian jika pertanyaan ini diajukan kepada Gus tf Sakai. Bagi Gus,
pertanyaan ini terasa ganjil, bahkan mungkin sangat bodoh, dan karenanya
--dengan sangat menyesal-- ia akan selalu menjawab: "Entah, mungkin tak
ada ...". Sebab, katanya, ketika menjenguk ke dalam diri setiap kali
mencipta, memeriksa bagaimana proses itu terjadi, selalu tak pernah bisa ia
temukan, tak pernah bisa ia terangkan. Sebab, katanya, semuanya terjadi begitu
tiba-tiba, ajaib, men-cengangkan. Satu letupan, dan tiba-tiba ia menjelma, ada.
"Bagaimana mungkin saya bisa menjelaskan itu?" tanyanya.[2]
Di
satu sisi, jawaban dan atau alasan Gus itu boleh jadi membawa pengertian bahwa
proses kreatif bagi Gus memang tak ada. Tetapi, di sisi lain, justru jawaban
dan alasan itulah yang sesungguhnya menjadi dasar atau kata kunci proses
kreatif Gus. Walau tak setuju dengan istilah "proses kreatif" dan
kemudian menggantinya dengan istilah "cerita tentang pengalaman",
disadari atau tidak, Gus sebe-narnya telah menjelaskan kepada kita tentang
mengapa dan bagaimana ia (mencapai keber-hasilan dalam) mengarang. Lalu bagai-mana
proses Gus mencapai keberhasilan (dalam mengarang) sehingga lahir sekian banyak
puisi, cerpen, dan novel-novelnya? Jawabnya amat sederhana: "bila ia mampu
mengatasi tiga hambatan". Tiga hambatan itu ialah berikut.
Pertama,
karangan akan macet bila saat mengarang ia terlalu terpaku pada bentuk
penyajian yang telah ada. Artinya, bila sebelum mengarang ia terlebih dulu
berpikir dan menimbang bentuk atau cara penyajian mana yang akan digunakan;
apakah bentuk penyajian yang sangat terikat pada alur (plot) ataukah
bentuk penyajian yang bertitik tolak pada penokohan (karakter); dapat
dipastikan ia akan mengalami jalan buntu. Sebab, katanya, bila ia telah
berpikir pada bentuk penyajian yang sudah ada, berarti ia telah terikat
(mengikatkan diri) pada ketentuan yang sudah ada pada masing-masing bentuk itu.
Keterikatan pada bentuk penyajian itulah yang justru membuat kema-cetan karena
berbagai ketentuan yang sudah ada itu berbenturan dengan esensi proses kreatif
yang mensyaratkan dirinya dalam keadaan terbuka.
Kedua,
karangan juga bakal macet bila saat mengarang ia terlalu percaya bahwa
tokoh-tokoh yang hadir dalam karangannya karena ia ciptakan. Itu artinya segala
tindakan dan segenap pikiran tokoh hanya mungkin dan dapat tercipta bila ia
menginginkannya. Dan bila ia berpikir dan terlalu percaya bahwa
"nyawa" dan "hidup" si tokoh dalam karangannya sepe-nuhnya
bergantung di tangannya, tokoh-tokoh tersebut justru tidak akan bernyawa, tidak
berkembang, bahkan tidak hidup. Sebab, menurutnya, tokoh-tokoh itu bukanlah
dirinya; mereka adalah manusia yang memiliki watak sendiri-sendiri, yang
mungkin sangat khas, yang berbeda dengan manusia-manusia lainnya. Maka, tak
mungkinlah ia (Gus) yang hanya menjadi bagian kecil dari kehidupan ini mampu
menentukan dan atau mengendalikan tokoh-tokoh (manusia-manusia) itu. Sebab,
mereka (tokoh-tokoh itu) adalah bagian dari luasnya jagat yang multidimensi,
yang penuh misteri, yang unik, dengan kebenaran-kebenarannya sen-diri pula. Dan
ini akan lain, katanya, kalau ia menulis autobiografi. Sebab, dalam menulis
autobiografi, penulis sepenuhnya menceritakan dirinya sendiri.
Ketiga,
karangan juga tak mungkin bakal selesai bila ketika akan mengarang ia berpikir
karangannya harus mengandung atau membawa pesan moral tertentu. Itu artinya,
bila pada suatu saat ia kebetulan memperoleh ide/gagasan dan kemudian ia harus
berpikir tentang pesan moral apa yang harus disampaikan lewat karangannya,
sudah dapat dipastikan karangan itu tidak akan terwujud. Sebab, katanya,
karangan sastra bukanlah karangan agama, bukan pula karya filsafat, naskah
pidato, atau risalah yang hanya memperlakukan "bahasa" tak lebih
sebagai alat untuk menyampaikan pesan, rumusan, aturan, metode, atau
dogma-dogma belaka. Lebih jelasnya, katanya, bahasa sastra bukanlah bahasa
rumusan, pesan, aturan, diktum-diktum, atau dogma-dogma yang cenderung abstrak
dan diskursif, sebab bahasa sastra lebih bersifat kongkret, eksperiensial, dan
karenanya mem-bebaskan.
Tiga
hambatan itulah yang --menurut pengalaman Gus-- acapkali mengganggu dirinya
dalam berproses kreatif mengarang. Kendati begitu, kalau sampai hari ini
terbukti ia mampu dan berhasil melahirkan sekian banyak karya (2 kumpulan
puisi, 3 kumpulan cerpen, dan 6 novel), hal itu berarti bahwa sampai hari ini
pula ia mampu dan berhasil mengatasi tiga hambatan tersebut. Dan kalau ke depan
Gus masih terus mampu mengatasi tiga hambatan itu, berarti Gus kelak juga akan
terus bisa melahirkan karya-karya terbarunya. Meski demikian, Gus me-nyadari
bahwa pada hakikatnya setiap orang berbeda dan memiliki pengalaman yang ber-beda-beda
pula. Oleh karenanya, tiga hal di atas yang bagi Gus menjadi hambatan, sangat
mungkin bagi orang (pengarang) lain tidak. Dan lagi, hambatan itu pun sangat
relatif, sangat terikat oleh ruang dan waktu, sebab hambatan tertentu di waktu
tertentu belum tentu menjadi hambatan di waktu lain.
Lalu,
bagaimana cara Gus mengatasi hambatan-hambatan itu? Untuk mengetahui hal ini
kita dapat menyimak, antara lain, lewat penuturan Gus ketika ia hendak menulis
cerpen Ulat dalam Sepatu (bacalah sekali lagi cerpen yang dikutip di
depan). Menurutnya, dengan ketiadaan hambatan itulah yang membuat cer-pen itu
lahir. Pada awalnya, Gus merasa bahwa hambatan kedua yang bakal menghadang penu-lisan
cerpen itu. Sebab, ia sendiri yang pada saat itu melihat sebuah sepatu, butut,
tergeletak, di suatu ruangan di Kantor Gubernur. Akan tetapi, ketika ia mencoba
mengatasinya dengan "mem-berikan" sifat lugu dan terutama pandangan
positif pada tokohnya (Khairul Safar, si seniman ukir), akhirnya cerita menjadi
mengalir begitu saja dan tiba-tiba menjelma ada tanpa disa-darinya.
Hanya
saja, memang, selain melihat sepatu itu, ketika Gus tiba-tiba sadar akan
menulis sebuah cerpen, ia juga ingat pada sebuah ungkapan yang memang telah
lama menguasai dirinya saat itu (di sekitar tahun 1997 di masa Orde Baru) yang
berbunyi "duri dalam daging". Ungkapan dan simbol-simbol
itulah yang kemudian bermetamorfosis secara ajaib menjadi cerpen Ulat dalam
Sepatu, di samping bermetamorfosis secara ajaib pula menjadi beberapa sajak
yang diantologikan dalam buku Sangkar Daging (1997). Meski demikian,
seperti diakuinya, semua itu (melihat sepatu dan berkelebatnya ungkapan duri
dalam daging) hanyalah menjadi pemicu belaka, sebab jika "dunia"
cerpen itu tidak ada dalam diri Gus jauh sebelumnya, mungkin sekali cerpen itu
tak akan lahir.
Demikian
antara lain proses kreatif atau cerita tentang pengalaman Gus dalam menga-rang.
Nah, pertanyaannya sekarang, akan ber-tahan atau berubahkah cerita tentang
penga-laman itu, katakanlah, dalam sepuluh atau dua puluh tahun lagi? Tetapi,
baiklah, berubah atau tidak, bagi Gus (juga bagi kita) bukanlah menjadi hal
yang penting. Sebab, semua itu telah menjadi bagian dari proses kreatifnya
dalam menulis karya sastra. Yang lebih penting ialah bahwa proses dan
pengalaman Gus bagai-manapun telah menjadi pengalaman menarik yang barangkali
dapat menambah wawasan kita (terutama pengarang, lebih-lebih pemula).
Akhirnya,
satu hal yang pantas dicatat dari Gus ialah bahwa ia menentukan pilihan pada
dunia sastra tak lain karena sastra memiliki kemampuan dalam melintas. Sastra
bisa mem-pertemukan manusia yang berlainan suku, agama, ras, dan sebagainya, juga karena ke-mampuannya
dalam melintas. Begitu juga ia mempertemukan beragam bidang, seperti sains,
psikologi, dan filsafat karena kemampuannya dalam melintas. Sebab, seperti
dikatakannya dalam Pidato Penerimaan SEA Write Award 2004, hanya dengan
kemampuannya melintaslah sastra mampu menciptakan sebuah dunia yang di dalamnya
kita bisa mempertanyakan kembali keberadaan kita (sebagai manusia). ***
[1] Mengenai hal ini dapat dibaca buku Proses Kreatif:
Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (2 jilid) susunan Pamusuk Eneste
(Gramedia, 1984) dan juga buku Dua Puluh Sastrawan Bicara susunan Dewan
Kesenian Jakarta (Sinar Harapan, 1984).
[2] Hal (jawaban) ini
dikatakan dalam sebuah tulisannya yang disampaikan pada Workshop Cerpen
Festival Kreativitas Pemuda yang diselenggarakan oleh Direktorat Kepemudaan
Ditjen PKSP bekerja sama dengan Creative Writing Institut, 30
September--3 Oktober 2003.
Dimuat di Horison/ Kakilangit 135/Maret 2008