-->

Geliat Awal Kehidupan Kritik Sastra Yogya

          Dari dulu kritik sastra sering dilihat sebelah mata, diremehkan. Pun kritik sastra Yogya. Alasannya, kritik itu tak penting. Meski, sebenarnya, kritik menjadi bagian penting dari kehidupan sastra. Mengapa? Mungkin, karena kritik yang muncul dianggap tak bermutu, tak membuat gairah. Itu sebabnya, kritik sastra tak mampu mengejar perkembangan karya sastra. Memang benar kritik sastra tak berkembang baik. Tapi ini tak berarti kritik sastra mati. Di Yogya, kritik sastra tumbuh sejak awal kemerdekaan. Ia lahir bersama majalah Arena, Medan Sastera, Seriosa, Minggu Pagi, Suara Muhammadiyah, Basis, Pelopor, Gadjah Mada, Gama, dll. Hanya, aktivitas kritikus di majalah itu tak sama; ia bergantung pada seberapa luas majalah itu memberi ruang bagi karya kritik.
          Di majalah Arena (1946), muncul nama Idroes, Anas Ma’roef, Siagian, Abu Hanifah, Usmar Ismail, KH Dewantara, Djajakoesoema, S’wan, Soelarko, dll. Bahkan, kalau sependapat dengan Edward Said bahwa esai teori dan sejarah juga termasuk kritik, nama-nama itu dapat diperpanjang lagi: Dullah, Sri Moertono, Roesly, S. Tasrif, Tengku Hamidy, M. Soetikno, dan banyak lagi.
          Beberapa kritik dalam Arena, misalnya, “Kesusastraan dan Masyarakat” (S’wan, Juli—Agt 46), “Tentang Kesenian Sandiwara” (KH Dewantara, Jul—Agt 46), “Jongos di Atas Panggung” (Djajakusuma, Jun 46), “Verslag Istimewa” (Idroes, Mei 46), “Sandiwara: Membangun Corps Proffesionals Terdidik” (Usmar Ismail, Mei 46), “Kesenian dan Revolusi” (Anas Ma’roef, Jul—Agt 46), “Penonton dan Tontonan” (G. Siagian, Jun 46). Selain itu, muncul juga kritik di rubrik Berita Redaksi; kritikusnya redaktur yang menangani sastra-budaya, misalnya, di Arena, Juni 46.
          Sayangnya, Arena hanya hidup sebentar (1946—1947) akibat pergolakan politik 1949. Maka, para kritikus itu pun tenggelam dan baru muncul lagi bersama lahirnya majalah-majalah baru pada awal 1950-an. Saat itu kritik lahir di Medan Sastera. Misalnya, “Pertemuan Sastrawan Jogjakarta” (Mat Delan, Okt 53); “Plagiat dan Bahayanya: Surat untuk Mas Djon (Chandra A.M., Jun 53). Selain itu, di majalah Seriosa, muncul beberapa kritik berupa resensi buku; salah satunya pada edisi Juli 54.
          Media yang saat itu aktif melahirkan kritik adalah Basis dan Minggu Pagi (MP). Basis tidak khusus memuat kritik sastra, demikian juga MP, tapi juga kritik seni lukis, patung, musik, dll. Kritik di Basis cenderung semi ilmiah, sedangkan kritik di MP cenderung impresionistik. Kritikus di Basis, misalnya, L. Koessoediarto (“Kenapa Majalah Sastra selalu Mari Muda?”, Okt 57—Sept 58); Subadhi (“Sastra Indonesia Dewasa ini: Suatu Ulasan tentang Hadiah Sastra BMKN 57—58”, Okt 59—Sept 60; “Tugas Sastrawan”, Okt 59—Sept 60; “Sastra Indonesia Dewasa Ini”, Okt 59—Sept 60); Ahar (“Poesi Sepanjang Jalan”, Okt 59—Sept 60); Ajip Rosidi “Sastra, Sastrawan, dan Krisis Kemerdekaan”, Okt 57—Sept 58); A. Broto (“Thermometer Cerpen Indonesia”, Okt 59—Sept 60); Slamet Mulyana (“Pertikaian Sastra Pujangga Baru dan Angkatan 45”, Okt 52—Sept 53); Dick Hartoko (“Tersesat Bersama dengan Dombanya”, Okt 62—Sept 63); B. Soelarto (“Meninjau Beberapa Aspek Mentalita Kesusastraan”, Okt 62—Sept 63); Th. Koendjono (“Achdiat dan Cerita Pendek”, Okt 56—Sept 57);  dan W.S. Rendra (“Produksi Sandiwara di Indonesia”, Okt 60—Sept 61).
          Kritikus di MP, misalnya, Pramoedya Ananta Toer (“Kemampuan Pengarang”, Sept 53). Hanya saja, di MP karya kritik yang muncul kebanyakan anonim; penulisnya mungkin redaktur yang mengasuh rubrik sastra-budaya. Beberapa di antaranya, “Dunia Sastra Erat Hubungannya dengan Penerbit: BP Budayata Mempelopori Penerbitan Karya-Karya Sastrawan Indonesia” (Jan 69); “MP di Tengah Masyarakat” (Apr 54); “Tiada Krisis dalam Kesusastraan (Tapi Kantong Para Sastrawan yang Mengalami Krisis)” (Jan 55). Sementara, kritik muncul pula di Surat Pembaca, misalnya, surat dari S. Ning (Sala), Soeparno (Ngawi), dan M. Sugijono (Yogya) di MP, 20 Des 64; atau surat A.T.Darnoto (Cimahi), S.Dajani (Pacitan), dan Tjeng Thay Hien (Djuwana) di MP, 1 Febr 53.
          Di samping itu, kritik juga muncul di Suara Muhammadiyah (SM), Gadjah Mada (GM), dan Gama. Hanya saja, SM tidak aktif memuat kritik; ia hanya muncul sesekali di tengah karya-karya keislaman. Tapi, kritikus yang muncul juga nama-nama besar, misalnya Arifin C. Noer dengan tulisannya “Kritik Teater Kita” (Sept 66). Seperti dalam majalah lainnya, kritik dalam GM dan Gama juga tak hanya menyoroti karya sastra (puisi, cerpen, drama, dll.), tapi juga seni dan budaya umumnya. Di kedua majalah itu juga muncul kritik sastra dan budaya dunia. Tokoh yang paling rajin adalah Wiratmo Sukito. Dalam GM Mei 54, misalnya, Wiratmo menulis “Eksistensialisme dan Perdamaian: Sartre Tambah Musuh Lagi” dan di GM Mei 1956 ia menulis “Jean Paul Sarttre di Jakarta” serta “Les Jeux Sont Faits”, dan masih banyak lagi.
          Kritik dalam GM dan Gama cukup beragam; tak hanya mengupas karya sastra, tapi juga pengarang, penerbit/pengayom, pembaca, kritik. Tulisan “Buah Kesusastraan SMA bagian A dan Surat Terbuka kepada Sdr. Suharno” (GM, Nov 51) karya Mayang n’Dresjwari berupa tanggapan tulisan Urip Citrosuwarno “Buah Kesusastraan SMA bagian A” (GM, Apr 51). Dalam polemik ini, terjadi perdebatan beragam; tak hanya terfokus pada persoalan sistem mikro, tapi juga sistem makro. Dan kritikus yang menulis kritik sistem mikro: Setiawan H.S., Djalinus Sjah, Budi Darma, Muhardi Atmosentono, Amir Prawira, Anas Ma’ruf, Wiratmo Sukito, dan masih banyak lagi.
          Dalam GM (Jan 56), Setiawan menulis “Keluarga Kemuning dalam SAYANG ADA ORANG LAIN buah pena Utuy Tatang Sontani”. Kritik ini membahas pementasan drama oleh kelompok teater “Kemuning” di gedung CHTH Yogya dalam rangka Malam Kesenian oleh Kelompok Mahasiswa Yogya (2--3 Agt 55). Bukan kebetulan pementasan itu mengambil lakon “Sayang Ada Orang Lain” Utuy Tatang Sontani. Dalam kritik ini, Setiawan tak hanya menyoroti pementasannya, tapi juga sampai pada tokoh dan teknik penggarapannya.
          Jalinus Sjah menulis “Aku Ini Binatang Jalang” (Gama, Feb 58). Jalinus mengkritik puisi Chairil Anwar berjudul “Aku”. Ia menjelaskan relevansi apa yang dikristalisasikan Chairil dengan keadaan masyarakat Indonesia umumnya dan para pemimpin bangsa khususnya. Kritik mikro ini dikaitkan dengan aspek sosial-politik waktu itu. Selain itu, muncul kritik “Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek Lain” (Gama, Jun-Jul 58) dan “Hujan Kepagian” (Gama, Nov 58). Dua tulisan ini anonim; mungkin yang menulis adalah redakturnya: Muhardi Atmosentono, Budi Darma, atau Amir Prawira. Kritik pertama mengupas buku cerpen Hujan Kepagian (BP, 58) Nugroho Notosusanto. Selain membicarakan tema dan struktur, penulis juga mengaitkan dengan keadaan masyarakat saat itu. Kritik ini objektif sekaligus mimetik. Sementara, kritik kedua mengkritik cerpen Rijono Pratikto Si Rangka (1958). Selain mengupas karya, tulisan ini juga mengaitkan dengan pengarangnya.
          Kritikus yang menyoroti soal pengarang, misalnya, S. Mundingsari (“Pengarang sebagai Pemberontak”, GM, Feb 53) dan Rip (“Masalah Penulis”, GM, Jan 54). Mundingsari menguraikan hasil pengamatan beberapa pengarang Indonesia (Abdul Muis, Armijn Pane, Sutomo J. Arifin, dan STA) yang menulis dengan semangat “memberontak” tradisi. Sementara Rip membahas proses kreatif bagaimana sebaiknya menjadi pengarang. Katanya, pengarang harus menajamkan mata dan pikiran agar dapat menulis karya bermutu dan bermanfaat bagi masyarakat.
          Selain itu, di GM dan Gama ada juga kritikus menulis kritik terhadap masalah kemasyarakatan di sekitar kesusastraan. Kritik ini berupa esai lepas yang mengarah pada diskusi tentang “dunia sastra”. Anas Ma’ruf dalam “Kesusastraan dan Masyarakat” (GM, Jul 51), menjelaskan pentingnya sastra dalam masyarakat. Mengapa penting? Menurutnya, sastra berfungsi memberi penerangan kepada masyarakat; dengan membaca sastra orang akan memiliki kesadaran diri dan lingkungan. Sementara, dalam “Pengaruh Revolusi 17 Agustus terhadap Kesusastraan Indonesia” (GM, Agt—Sept 51) Anas Ma’ruf menjelaskan efek peristiwa dalam masyarakat (peristiwa 17 Agustus) terhadap pertumbuhan sastra.
          Dalam “Wanita dalam Musik dan Kesusastraan” (GM, Feb 53) Wiratmo Sukito membahas unsur “wanita”, tidak hanya di dunia sastra, tapi juga di dunia musik. Hal serupa tampak dalam “Pelukis Kontra Polisi” (GM, Nov 54) atau “Seniman, Radio, dan Politik” (GM, Nov 55) dan “Revolusi dalam Bahasa” (GM, Mrt 56). Berbeda dengan itu, tulisan “Simposium Sastra 55” (GM, Jan 56) hanya berupa laporan kegiatan simposium nasional yang diselenggarakan FS UI 11 Des 55. Jadi, kritiknya lebih tertuju pada kegiatan penyelenggaraannya, bukan kritik atas karya dan atau dunia sastra.
          Selain Wiratmo Sukito, muncul Subagijo Sastrowardojo dan Muhardi Atmosentono. Dalam “Prasaran Simposium: Situasi Sastra Puisi Sesudah Tahun 45” (Gama, Jun-Jul 58) Subagijo mengkritik perkembangan puisi sesudah 1945. Katanya, dunia puisi Indonesia sesudah 1945 terjadi epigonisme. Mengapa? Sebab, menurutnya, epigonisme terjadi karena (1) kini tak ada pemikiran yang berani mendobrak kebiasaan yang sudah beku, dan (2) kita sudah mencapai taraf di mana kita sudah bisa membayangkan diri dengan setepatnya sebagai suatu bangsa, suatu cita-cita yang sadar atau tidak kita dukung bersama telah menemukan ekspresinya yang uniform dalam puisi. Sementara, dalam “Seni, Seniman, dan Estetika” (Gama, Apr 58) Muhardi berbicara masalah kesenian umumnya. Ia tak menyinggung karya sastra tertentu, dan tulisan itu berupa penjelasan umum kepada pembaca (termasuk pada seniman dan sastrawan).
           Selain itu, L. S. Rrento menulis “Masalah Plagiat dalam Kesusastraan Indonesia” (Gama, Febr 58). Ia menanggapi masalah plagiat di seputar Chairil Anwar sebagaimana telah dibahas oleh E. Wardaya dalam Gama, No. 11—12/57. Pada intinya, Rrento bersikeras mempertahankan nama baik Chairil Anwar meskipun diakui Chairil telah melakukan beberapa plagiat.
          Begitulah, antara lain, pertumbuhan awal kritik sastra dalam kehidupan sastra (Indonesia) Yogya. Dari penelusuran terhadap beberapa majalah yang terbit di Yogya tahun 1945--1965 dapat dikatakan bahwa khazanah kritik sastra Indonesia di Yogya tak didominasi orang-orang yang khusus terjun ke dunia kritik, tapi sebagian besar dari mereka juga pengarang. Hal ini nyata ketika yang muncul adalah nama-nama besar: Idroes, Wiratmo Sukito, Mundingsari, Pramudya Ananta Toer, B. Sularto, Ajip Rosidi, Subagijo Sastrowardojo, Arifin C. Noer, Budi Darma, Anas Ma’ruf, W.S. Rendra, Umar Kayam, dan masih banyak lagi. Dan nama-nama ini (plus nama-nama baru) pula yang kemudian mewarnai pertumbuhan kritik pada masa selanjutnya (sejak awal Orba). ***
Dimuat Kedaulatan Rakyat Minggu 2 April 2006

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel