Geliat Awal Kehidupan Kritik Sastra Yogya
Monday, January 09, 2017
Edit
Dari dulu kritik sastra sering dilihat
sebelah mata, diremehkan. Pun kritik sastra Yogya. Alasannya, kritik itu tak
penting. Meski, sebenarnya, kritik menjadi bagian penting dari kehidupan
sastra. Mengapa? Mungkin, karena kritik yang muncul dianggap tak
bermutu, tak membuat gairah. Itu sebabnya, kritik sastra tak mampu mengejar
perkembangan karya sastra. Memang benar kritik sastra tak berkembang baik. Tapi
ini tak berarti kritik sastra mati. Di Yogya, kritik sastra tumbuh sejak awal
kemerdekaan. Ia lahir bersama majalah Arena, Medan Sastera, Seriosa, Minggu
Pagi, Suara Muhammadiyah, Basis, Pelopor, Gadjah Mada, Gama, dll. Hanya,
aktivitas kritikus di majalah itu tak sama; ia bergantung pada seberapa luas
majalah itu memberi ruang bagi karya kritik.
Di majalah Arena (1946), muncul
nama Idroes, Anas Ma’roef, Siagian, Abu Hanifah, Usmar Ismail, KH Dewantara,
Djajakoesoema, S’wan, Soelarko, dll. Bahkan, kalau sependapat dengan Edward
Said bahwa esai teori dan sejarah juga termasuk kritik, nama-nama itu dapat
diperpanjang lagi: Dullah, Sri Moertono, Roesly, S. Tasrif, Tengku Hamidy, M.
Soetikno, dan banyak lagi.
Beberapa kritik dalam Arena, misalnya,
“Kesusastraan dan Masyarakat” (S’wan, Juli—Agt 46), “Tentang Kesenian
Sandiwara” (KH Dewantara, Jul—Agt 46), “Jongos di Atas Panggung” (Djajakusuma, Jun
46), “Verslag Istimewa” (Idroes, Mei 46), “Sandiwara: Membangun Corps
Proffesionals Terdidik” (Usmar Ismail, Mei 46), “Kesenian dan Revolusi” (Anas
Ma’roef, Jul—Agt 46), “Penonton dan Tontonan” (G. Siagian, Jun 46). Selain itu,
muncul juga kritik di rubrik Berita Redaksi; kritikusnya redaktur yang
menangani sastra-budaya, misalnya, di Arena, Juni 46.
Sayangnya, Arena hanya hidup
sebentar (1946—1947) akibat pergolakan politik 1949. Maka, para kritikus itu pun
tenggelam dan baru muncul lagi bersama lahirnya majalah-majalah baru pada awal 1950-an.
Saat itu kritik lahir di Medan Sastera. Misalnya, “Pertemuan Sastrawan
Jogjakarta” (Mat Delan, Okt 53); “Plagiat dan Bahayanya: Surat untuk Mas Djon (Chandra
A.M., Jun 53). Selain itu, di majalah Seriosa, muncul beberapa kritik
berupa resensi buku; salah satunya pada edisi Juli 54.
Media yang saat itu aktif melahirkan
kritik adalah Basis dan Minggu Pagi (MP). Basis tidak
khusus memuat kritik sastra, demikian juga MP, tapi juga kritik seni
lukis, patung, musik, dll. Kritik di Basis cenderung semi ilmiah, sedangkan
kritik di MP cenderung impresionistik. Kritikus di Basis, misalnya,
L. Koessoediarto (“Kenapa Majalah Sastra selalu Mari Muda?”, Okt 57—Sept 58);
Subadhi (“Sastra Indonesia Dewasa ini: Suatu Ulasan tentang Hadiah Sastra BMKN 57—58”,
Okt 59—Sept 60; “Tugas Sastrawan”, Okt 59—Sept 60; “Sastra Indonesia Dewasa Ini”,
Okt 59—Sept 60); Ahar (“Poesi Sepanjang Jalan”, Okt 59—Sept 60); Ajip Rosidi “Sastra,
Sastrawan, dan Krisis Kemerdekaan”, Okt 57—Sept 58); A. Broto (“Thermometer
Cerpen Indonesia”, Okt 59—Sept 60); Slamet Mulyana (“Pertikaian Sastra Pujangga
Baru dan Angkatan 45”, Okt 52—Sept 53); Dick Hartoko (“Tersesat Bersama dengan
Dombanya”, Okt 62—Sept 63); B. Soelarto (“Meninjau Beberapa Aspek Mentalita
Kesusastraan”, Okt 62—Sept 63); Th. Koendjono (“Achdiat dan Cerita Pendek”, Okt
56—Sept 57); dan W.S. Rendra (“Produksi
Sandiwara di Indonesia”, Okt 60—Sept 61).
Kritikus di MP, misalnya, Pramoedya
Ananta Toer (“Kemampuan Pengarang”, Sept 53). Hanya saja, di MP karya
kritik yang muncul kebanyakan anonim; penulisnya mungkin redaktur yang mengasuh
rubrik sastra-budaya. Beberapa di antaranya, “Dunia Sastra Erat Hubungannya
dengan Penerbit: BP Budayata Mempelopori Penerbitan Karya-Karya Sastrawan
Indonesia” (Jan 69); “MP di Tengah Masyarakat” (Apr 54); “Tiada Krisis dalam
Kesusastraan (Tapi Kantong Para Sastrawan yang Mengalami Krisis)” (Jan 55).
Sementara, kritik muncul pula di Surat Pembaca, misalnya, surat dari S. Ning
(Sala), Soeparno (Ngawi), dan M. Sugijono (Yogya) di MP, 20 Des 64; atau
surat A.T.Darnoto (Cimahi), S.Dajani (Pacitan), dan Tjeng Thay Hien (Djuwana) di
MP, 1 Febr 53.
Di samping itu, kritik juga muncul di Suara
Muhammadiyah (SM), Gadjah Mada (GM), dan Gama. Hanya saja, SM
tidak aktif memuat kritik; ia hanya muncul sesekali di tengah karya-karya
keislaman. Tapi, kritikus yang muncul juga nama-nama besar, misalnya Arifin C.
Noer dengan tulisannya “Kritik Teater Kita” (Sept 66). Seperti dalam majalah
lainnya, kritik dalam GM dan Gama juga tak hanya menyoroti karya
sastra (puisi, cerpen, drama, dll.), tapi juga seni dan budaya umumnya. Di
kedua majalah itu juga muncul kritik sastra dan budaya dunia. Tokoh yang paling
rajin adalah Wiratmo Sukito. Dalam GM Mei 54, misalnya, Wiratmo menulis
“Eksistensialisme dan Perdamaian: Sartre Tambah Musuh Lagi” dan di GM
Mei 1956 ia menulis “Jean Paul Sarttre di Jakarta” serta “Les Jeux Sont Faits”,
dan masih banyak lagi.
Kritik dalam GM dan Gama
cukup beragam; tak hanya mengupas karya sastra, tapi juga pengarang,
penerbit/pengayom, pembaca, kritik. Tulisan “Buah Kesusastraan SMA bagian A dan
Surat Terbuka kepada Sdr. Suharno” (GM, Nov 51) karya Mayang n’Dresjwari
berupa tanggapan tulisan Urip Citrosuwarno “Buah Kesusastraan SMA bagian A” (GM,
Apr 51). Dalam polemik ini, terjadi perdebatan beragam; tak hanya terfokus pada
persoalan sistem mikro, tapi juga sistem makro. Dan kritikus yang menulis
kritik sistem mikro: Setiawan H.S., Djalinus Sjah, Budi Darma, Muhardi
Atmosentono, Amir Prawira, Anas Ma’ruf, Wiratmo Sukito, dan masih banyak lagi.
Dalam GM (Jan 56), Setiawan
menulis “Keluarga Kemuning dalam SAYANG ADA ORANG LAIN buah pena Utuy Tatang
Sontani”. Kritik ini membahas pementasan drama oleh kelompok teater “Kemuning”
di gedung CHTH Yogya dalam rangka Malam Kesenian oleh Kelompok Mahasiswa Yogya (2--3
Agt 55). Bukan kebetulan pementasan itu mengambil lakon “Sayang Ada Orang Lain”
Utuy Tatang Sontani. Dalam kritik ini, Setiawan tak hanya menyoroti pementasannya,
tapi juga sampai pada tokoh dan teknik penggarapannya.
Jalinus Sjah menulis “Aku Ini Binatang
Jalang” (Gama, Feb 58). Jalinus mengkritik puisi Chairil Anwar berjudul
“Aku”. Ia menjelaskan relevansi apa yang dikristalisasikan Chairil dengan
keadaan masyarakat Indonesia umumnya dan para pemimpin bangsa khususnya. Kritik
mikro ini dikaitkan dengan aspek sosial-politik waktu itu. Selain itu, muncul kritik
“Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek Lain” (Gama, Jun-Jul 58) dan
“Hujan Kepagian” (Gama, Nov 58). Dua tulisan ini anonim; mungkin yang
menulis adalah redakturnya: Muhardi Atmosentono, Budi Darma, atau Amir Prawira.
Kritik pertama mengupas buku cerpen Hujan Kepagian (BP, 58) Nugroho
Notosusanto. Selain membicarakan tema dan struktur, penulis juga mengaitkan
dengan keadaan masyarakat saat itu. Kritik ini objektif sekaligus mimetik.
Sementara, kritik kedua mengkritik cerpen Rijono Pratikto Si Rangka (1958).
Selain mengupas karya, tulisan ini juga mengaitkan dengan pengarangnya.
Kritikus yang menyoroti soal pengarang,
misalnya, S. Mundingsari (“Pengarang sebagai Pemberontak”, GM, Feb 53)
dan Rip (“Masalah Penulis”, GM, Jan 54). Mundingsari menguraikan hasil
pengamatan beberapa pengarang Indonesia (Abdul Muis, Armijn Pane, Sutomo J.
Arifin, dan STA) yang menulis dengan semangat “memberontak” tradisi. Sementara Rip
membahas proses kreatif bagaimana sebaiknya menjadi pengarang. Katanya,
pengarang harus menajamkan mata dan pikiran agar dapat menulis karya bermutu dan
bermanfaat bagi masyarakat.
Selain itu, di GM dan Gama
ada juga kritikus menulis kritik terhadap masalah kemasyarakatan di sekitar kesusastraan.
Kritik ini berupa esai lepas yang mengarah pada diskusi tentang “dunia sastra”.
Anas Ma’ruf dalam “Kesusastraan dan Masyarakat” (GM, Jul 51), menjelaskan
pentingnya sastra dalam masyarakat. Mengapa penting? Menurutnya, sastra
berfungsi memberi penerangan kepada masyarakat; dengan membaca sastra orang
akan memiliki kesadaran diri dan lingkungan. Sementara, dalam “Pengaruh
Revolusi 17 Agustus terhadap Kesusastraan Indonesia” (GM, Agt—Sept 51)
Anas Ma’ruf menjelaskan efek peristiwa dalam masyarakat (peristiwa 17 Agustus)
terhadap pertumbuhan sastra.
Dalam “Wanita dalam Musik dan
Kesusastraan” (GM, Feb 53) Wiratmo Sukito membahas unsur “wanita”, tidak
hanya di dunia sastra, tapi juga di dunia musik. Hal serupa tampak dalam
“Pelukis Kontra Polisi” (GM, Nov 54) atau “Seniman, Radio, dan Politik”
(GM, Nov 55) dan “Revolusi dalam Bahasa” (GM, Mrt 56). Berbeda
dengan itu, tulisan “Simposium Sastra 55” (GM, Jan 56) hanya berupa
laporan kegiatan simposium nasional yang diselenggarakan FS UI 11 Des 55. Jadi,
kritiknya lebih tertuju pada kegiatan penyelenggaraannya, bukan kritik atas
karya dan atau dunia sastra.
Selain Wiratmo Sukito, muncul Subagijo
Sastrowardojo dan Muhardi Atmosentono. Dalam “Prasaran Simposium: Situasi
Sastra Puisi Sesudah Tahun 45” (Gama, Jun-Jul 58) Subagijo mengkritik perkembangan
puisi sesudah 1945. Katanya, dunia puisi Indonesia sesudah 1945 terjadi
epigonisme. Mengapa? Sebab, menurutnya, epigonisme terjadi karena (1) kini tak
ada pemikiran yang berani mendobrak kebiasaan yang sudah beku, dan (2) kita
sudah mencapai taraf di mana kita sudah bisa membayangkan diri dengan
setepatnya sebagai suatu bangsa, suatu cita-cita yang sadar atau tidak kita
dukung bersama telah menemukan ekspresinya yang uniform dalam puisi. Sementara,
dalam “Seni, Seniman, dan Estetika” (Gama, Apr 58) Muhardi berbicara
masalah kesenian umumnya. Ia tak menyinggung karya sastra tertentu, dan tulisan
itu berupa penjelasan umum kepada pembaca (termasuk pada seniman dan
sastrawan).
Selain itu, L. S. Rrento menulis “Masalah
Plagiat dalam Kesusastraan Indonesia” (Gama, Febr 58). Ia menanggapi
masalah plagiat di seputar Chairil Anwar sebagaimana telah dibahas oleh E.
Wardaya dalam Gama, No. 11—12/57. Pada intinya, Rrento bersikeras
mempertahankan nama baik Chairil Anwar meskipun diakui Chairil telah melakukan
beberapa plagiat.
Begitulah, antara lain, pertumbuhan
awal kritik sastra dalam kehidupan sastra (Indonesia) Yogya. Dari penelusuran
terhadap beberapa majalah yang terbit di Yogya tahun 1945--1965 dapat dikatakan
bahwa khazanah kritik sastra Indonesia di Yogya tak didominasi orang-orang yang
khusus terjun ke dunia kritik, tapi sebagian besar dari mereka juga pengarang.
Hal ini nyata ketika yang muncul adalah nama-nama besar: Idroes, Wiratmo
Sukito, Mundingsari, Pramudya Ananta Toer, B. Sularto, Ajip Rosidi, Subagijo
Sastrowardojo, Arifin C. Noer, Budi Darma, Anas Ma’ruf, W.S. Rendra, Umar
Kayam, dan masih banyak lagi. Dan nama-nama ini (plus nama-nama baru) pula yang
kemudian mewarnai pertumbuhan kritik pada masa selanjutnya (sejak awal Orba).
***
Dimuat Kedaulatan Rakyat Minggu 2
April 2006