“Gauhati” Budi Darma: Senantiasa Gagal Mengenali Jatidiri
Sunday, January 01, 2017
Edit
Sebagai pengarang,
Budi Darma memang selalu konsisten. Mengapa? Karena, dari dulu hingga sekarang,
ia nyaris tidak berubah. Dalam karya-karyanya, baik novel maupun
cerpen-cerpennya, pokok soal yang digarap tetap sama, yakni tentang manusia
sebagai manusia (ya jiwanya, batinnya, emosinya, dan segala yang berkecamuk
dalam dada dan pikirannya). Kalau toh pada tahun-tahun terakhir ini ada
perubahan, saya kira perubahan itu hanyalah sebatas pada caranya bercerita. Bacalah misalnya novel Ny. Talis (1996). Novel itu
lebih realistis ketimbang Olenka (1983) dan Rafilus (1988).
Tetapi, masalah esensial dalam ketiga novel itu tetap sama, yakni di seputar
kegagalan manusia dalam usahanya untuk menemukan identitas atau jati dirinya.
Hal yang sama terlihat pula pada cerpen-cerpennya yang ditulis sejak tahun
1970-an. Memang, cerpennya “Kritikus Adinan” (Horison, April 1974) atau
yang dihimpun dalam Orang-Orang Bloomington (1980), misalnya, terasa
begitu aneh bin absurd. Sementara, cerpen yang ditulis belakangan, seperti
yang sering muncul di Horison dan Kompas, absurditasnya semakin
hilang. Tetapi, sekali lagi, itu hanya berubah cara penceritaannya, bukan pokok
soal atau esensinya. Jadi, bagaimanapun juga, sampai kini, Budi Darma masih
konsisten.
Untuk
mengetahui lebih jauh mengenai hal tersebut, marilah kita coba baca sekaligus
pahami salah satu cerpennya berjudul “Gauhati” (Kompas, 22 September
1996). Dan pemahaman ini sebisa mungkin dicoba untuk dikaitkan dengan beberapa
konsep Budi Darma (baca proses kreatifnya) mengenai sastra seperti yang biasa
diungkap dan sekaligus tercermin dalam karya-karyanya. Setidak-tidaknya, kita
dapat melihat sekaligus berpegang pada beberapa hal berikut.
Pertama,
Budi Darma berkeyakinan bahwa karya sastra lahir dari kekayaan batin dan hanya
untuk kepentingan batin, bukan untuk kepentingan sosial. Karena, menurutnya,
karya sastra yang diciptakan untuk kepentingan sosial hanyalah sia-sia belaka.
Konsep inilah yang menuntun dia sehingga semua karya ciptaannya jauh dari
hiruk-pikuk sosial, sebab baginya yang paling inti adalah aspek manusia dan
kemanusiaannya. Itulah sebabnya, karya-karyanya sering hanya merupakan
serangkaian imajinasi yang liar, tidak masuk akal, karena sesungguhnya, kalau
kita mau jujur, apa yang terjadi di dalam batin kita (manusia) memang sering
aneh, tidak logis, dan tidak terkendalikan. Hal ini, saya kira terlihat jelas
dalam cerpen “Gauhati”.
Membaca
cerpen “Gauhati”, dari awal kita disuguhi peristiwa aneh, peristiwa dunia
antah-berantah. Tiba-tiba tiga bidadari datang menemui “saya” (Gauhati). Belum
tahu apa maksudnya, tiba-tiba kelebat pikiran “saya” beralih pesan ibunya.
“Gauhati, suatu saat tiga bidadari akan mendatangi kamu. Kalau tiba saatnya
tiga bidadari datang, janganlah berbuat macam-macam. Ikutilah segala kehendak
tiga bidadari.” Demikian pesan yang diterima Gauhati dari ibunya. Dari sinilah
kemudian, ketika tiga bidadari bertanya tentang Kuthari, “saya” terus berkisah
mengenai Kuthari hingga menjelang akhir cerita. Jadi, cerpen ini sepenuhnya
berisi kisah tentang hubungan “saya” dengan Kuthari.
Namun,
di tengah cerita tentang Kuthari, imajinasi “saya” demikian liar, aneh, dan
bertentangan dengan logika. Sebab, ketika bidadari bertanya mengapa “saya”
bersemangat bercerita, “saya” menyatakan bahwa “saya” tidak lain adalah
Kuthari, Kuthari tidak lain adalah “saya”. Dan yang aneh lagi ialah, ketika
“saya” menyudahi cerita tentang Kuthari dan dilaporkan kepada tiga bidadari,
secara tidak terbendung cerita (laporan) itu terus mengalir. Itulah sebabnya,
kita (pembaca) harus berhadapan dengan cara pengisahan yang mengacaukan: apakah
yang bercerita itu “saya” Gauhati ataukah “saya” Budi Darma. Jadi, inilah satu
sisi yang dapat kita pahami, bahwa membaca karya-karya Budi Darma, kita hanya
disuguhi serangkaian peristiwa yang dikemas dengan imajinasi yang liar dan
kelebat pikiran yang tak terkendali. Karena itu, wajar jika banyak ahli
mengatakan bahwa bahasa karya-karya Budi Darma sering mengocor seperti air
pancuran di sawah, tanpa dipilah-pilah atau disaring. Pokoknya, ke mana pikiran
dan batin berkelebat, itulah yang keluar (tertulis) di kertas (jadi cerita).
Seolah tidak ada pretensi apa pun, kecuali hanya bercerita.
Kedua,
Budi Darma berkeyakinan bahwa takdir senantiasa melekat pada diri manusia,
tidak bisa ditolak atau diharapkan kehadirannya. Karena itu, dalam
karya-karyanya, ia selalu menggarap manusia berdasarkan takdirnya.
Konsekuensinya ialah bahwa Budi Darma berusaha sekuat tenaga untuk meneropong
jiwa dan batin (sukma) manusia karena hal itulah yang paling fundamental.
Tetapi, karena takdir adalah segala-galanya, ia sadar dan menyatakan sebuah
pengakuan bahwa usahanya pasti gagal. Kegagalan demi kegagalan itulah yang
membuat dirinya tidak tahu siapa dirinya, ia tidak mampu mengenali apalagi
menentukan identitas dan jati dirinya.
Saya
kira, hal itu terlihat jelas dalam cerpen “Gauhati”. Misteri yang muncul pada
awal cerita, yakni tentang siapa tiga bidadari yang menjumpai tokoh “saya”,
terbuka dan terjawab pada akhir cerita. Terungkap dalam akhir cerita bahwa tiga
bidadari itu tidak lain adalah takdir. Bidadari pertama adalah takdir yang
menentukan manusia hadir (lahir) di dunia, entah di mana, atau menjadi siapa. Bidadari kedua
adalah takdir yang memintal, merajut, dan menentukan kehidupan manusia di
dunia, entah jadi manusia berguna atau tidak, berpangkat atau tidak, jadi kere
atau tidak. Sementara itu, bidadari ketiga (terakhir) adalah takdir yang
menentukan dan memutuskan semua tali-temali kehidupan manusia.
Jadi,
kalau dibuat rangkuman, tiga bidadari itu adalah tiga hal mengenai takdir
manusia, yang bersangkut paut dengan keberadaan manusia, yaitu mulai dari
“tiada” (lahir) menjadi “ada” (hidup) dan akhirnya (mati) menjadi “tiada”
kembali. Inilah sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar oleh manusia karena
semua itu telah menjadi takdir (Tuhan). Pandangan eksistensialis inilah yang
memang menjadi kesukaan sekaligus ciri khas Budi Darma dalam bersastra.
Hanya
saja, yang menjadi aneh sekaligus menohok batin kita dalam konteks cerpen ini
adalah bahwa lagi-lagi kita dihadapkan pada gaya bercerita yang mengacaukan.
Sebab, kita (pembaca) jadi ragu, benarkah tiga bidadari itu datang menjumpai
“saya”? Pasalnya, pernyataan yang berbunyi “takdir tidak lain adalah tiga
bidadari” itu merupakan ajaran dari ibu “saya” yang pernah dibisikkan kepada
“saya” ketika maut siap menjemput. Pola bercerita yang mempermainkan pembaca
inilah yang sering dan bahkan pasti dijumpai dalam karya-karya Budi Darma.
Tetapi, seperti tampak dalam cerpen ini, dengan penggunaan sudut pandang yang
bertingkat-tingkat, pola alur yang disusun seperti anak tangga, cerita-cerita
Budi Darma relatif mengesankan dan memikat perhatian pembaca. Pokok soal yang
diungkapkan sederhana saja, tetapi berkat kepiawaiannya bercerita, pembaca mau
tidak mau harus menerima apa yang dikatakannya.
Ketiga,
Budi Darma berkeyakinan bahwa sastra dapat menimbulkan rasa sakit, takjub, dan
syahdu. Sastra menimbulkan rasa sakit karena pada kenyataannya kita
sering melihat banyak sekali manusia yang aneh, gila, mementingkan dirinya
sendiri, dan sia-sia dalam usaha menentukan identitas dirinya. Sastra juga
menimbulkan rasa takjub karena pada galibnya sastra menggambarkan
manusia-manusia yang terlalu baik yang mungkin tidak terjangkau oleh kenyataan
sehari-hari. Sastra juga menimbulkan rasa syahdu karena nostalgia
pengarang adalah nostalgia yang tidak mungkin tercapai. Makin baik suatu karya
sastra, katanya, makin banyak karya tersebut menimbulkan rasa sakit, takjub,
dan syahdu. Makin baik karya sastra, makin universal pula masalah yang
diungkapkan di dalamnya (emosi, ambisi, kebencian, kematian, kesepian, dan
sebagainya).
Keyakinan
tersebut agaknya tercermin dalam cerpen “Gauhati”. Tokoh “saya”, Kuthari,
penggesek biola (si buta), dan lain-lain yang sama-sama menghadiri pesta ulang
tahun Kuthari ke-30, misalnya, adalah tokoh-tokoh yang keras, individual, dan
mementingkan diri sendiri. Mereka semua adalah manusia-manusia aneh, gila,
sehingga sulit untuk dapat saling memahami. Inilah hal yang menyakitkan. Namun,
mereka semua adalah manusia-manusia yang jujur, apa adanya, tanpa tedeng
aling-aling, walaupun kejujurannya itu membuatnya menderita. Ini pulalah hal
yang menerbitkan rasa takjub. Sementara itu, membaca cerpen tersebut, kita
(pembaca) seolah larut dalam tokoh-tokoh rekaan Budi Darma, bahkan terlibat
dalam pengalaman bawah sadar Budi Darma sehingga dalam diri kita terasa muncul
semacam kesyahduan.
Demikianlah,
akhirnya, perjumpaan kita dengan karya-karya Budi Darma, salah satunya cerpen
“Gauhati”. Melalui tiga konsep di atas, setidaknya kita dapat memberikan sebuah
penilaian. Tentu saja, apa yang telah kita bicarakan tadi barulah sebagian dari
sekian banyak kemungkinan yang ada, karena kita tahu bahwa karya sastra tak
lain adalah suatu kehidupan yang terabstraksikan dalam bahasa sehingga karya
sastra sama kayanya, atau sama ruwetnya, dengan kehidupan. Jadi, semakin kita
lebih dalam menyelami kehidupan, semakin dalam pula kita dapat menyelami karya
sastra. ***
Kakilangit
(Horison), Januari 2002.