Fungsi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Multimedia
Friday, January 13, 2017
Edit
Tidak diragukan lagi teknologi telekomunikasi dan informasi (multimedia) yang antara lain berupa radio, televisi, film, video, telepon (ponsel), komputer, laptop, internet, dan sebagainya, banyak menjanjikan harapan (rising expectations). Tetapi, tampaknya kini terjadi paradoks. Sebab wacana yang berkembang justru sebaliknya: teknologi informasi lebih banyak membuat frustrasi (rising frustrations). Lima hal inilah yang sering dikhawatirkan banyak orang.
Pertama, teknologi informasi
akan membentuk kelas baru. Toffler menyebut kelas baru ini sebagai kelas kognitariat.
Prinsip utamanya adalah information is power. Di sini informasi akan
menjadi komoditas sosial, ekonomi, dan politik akibat ekses informasi yang
tidak merata. Kedua, teknologi informasi akan membentuk nilai baru.
Sebab ia tidak sekadar sebagai sarana, tetapi juga sumber imitasi sikap
dan perilaku. Ini akan jadi masalah besar pula jika nilai baru itu tidak compatible.
Ketiga, teknologi informasi
akan menambah jumlah unemployment (pengangguran). Sebab jangkauan utama
teknologi adalah efektivitas dan efisiensi. Ini juga akan menjadi masalah jika
waktu luang yang tersisa hanya digunakan untuk aktivitas negatif. Keempat,
teknologi informasi akan membentuk budaya konsumtif akibat persuasi massal
besar-besaran oleh para pengusaha. Dan ini akan membuat frustrasi karena rasio
keinginan dan pemenuhan tidak seimbang. Kelima, teknologi informasi akan
semakin mempertinggi ketergantungan pada Barat. Konsekuensinya ialah kekayaan
dan sumber daya alam tersedot habis oleh negara-negara maju.
Itulah yang menghantui pikiran
banyak orang. Menurut beberapa penelitian, kekhawatiran itu ada benarnya.
Tetapi, perlu disadari bahwa teknologi bukan satu-satunya variabel yang
menentukan segalanya. Sebab ia tak lebih sekadar alat. Yang paling menentukan
adalah tetap faktor manusianya. Tampaknya, selama ini kecanggihan teknologi
informasi hanya dimanfaatkan beberapa gelintir orang demi memenuhi ambisi
pribadi. Sementara sebagian besar masyarakat belum siap menerima sehingga hanya
ekses negatif yang mencuat ke permukaan.
Melihat realitas tersebut agaknya
kita harus mulai mengubah paradigma. Kita harus kembali kepada aspek manusia
dan kemanusiaan. Kita harus melihat teknologi tetap hanya sebagai sarana.
Sehingga kita wajib menguasai dan memanfaatkannya, bukan justru jadi budaknya.
Karena itu, kita perlu segera menemukan kiat yang jitu bagaimana memfungsikan
teknologi informasi untuk kepentingan yang positif. Jika sudah demikian, kita
yakin teknologi multimedia yang berkembang pesat sekarang ini akan sangat
fungsional (bermanfaat) bagi kemaslahatan sosial, ekonomi, dan budaya.
Fungsi atau manfaat apakah yang
dapat diharapkan dari teknologi multimedia? Di bidang sosial, misalnya,
teknologi multimedia cukup signifikan bagi kepentingan sosialisasi nilai,
sikap, dan perilaku. Ia tidak perlu menggeser dan menggantikan agen-agen
sosialisasi tradisional seperti orang
tua, guru, kiai, pendeta, pemerintah, dll. Melalui telepon atau internet,
misalnya, orang tua justru bisa selalu dekat dengan anak meski berada di tempat
yang jauh. Guru bisa juga mendidik murid di luar jam pelajaran di kelas. Kiai
dan pendeta bisa juga berpetuah setiap saat di luar masjid dan gereja.
Pemerintah pun bisa lebih mudah mensosialisasikan aturan, undang-undang, atau
kebijakan demi tegaknya pemerintahan; sebaliknya, rakyat bisa terberdayakan.
Jadi, pola interaksi sosial tak langsung ini tidak perlu kehilangan sentuhan
kasih dan tata krama. Justru dengan sarana teknologi hubungan sosial bisa lebih
dioptimalkan. Sebab forum-forum silaturahmi tetap bisa dibangun lewat e-mail
dll.
Hanya persoalannya, agen-agen
sosialisasi tersebut harus memiliki home-page sebagai pusat sekaligus
pengendali informasi. Mungkin di sini akan terjadi kendala, terutama bagi
pengakses. Apakah anak, murid, masyarakat, atau rakyat mau mengakses home-page
orang tua, guru, kiai, pendeta, atau pemerintah, sementara di hadapannya ada
jutaan pilihan home-page atau web-site lainnya? Di sinilah
diperlukan kegigihan para pemegang pusat-pusat informasi untuk membuka forum
diskusi dan silaturahmi demi penyebaran informasi yang positif. Guru dan dosen,
misalnya, sebisa mungkin selalu memberikan “kuliah tak langsung” via internet
sehingga murid dan mahasiswa senantiasa terkendali. Selain itu diperlukan juga aturan
hukum (disertai sanksi yang berat tetapi adil) bagi lembaga-lembaga penyebar
informasi (perusahaan perfilman, penerbitan, pers, dll) yang bertindak hanya
demi keuntungan pribadi.
Sementara itu, pemerintah perlu pula
mengeluarkan undang-undang tentang hak dan kewajiban pengguna teknologi
informasi. Ini diperlukan untuk mengatur persebaran informasi sehingga tidak
terjadi perubahan drastis atas sikap, perilaku, dan gaya hidup akibat penetrasi
budaya Barat secara besar-besaran. Sebaliknya, perlu ada kewajiban bagi
pengguna (neter) untuk turut mentransformasikan tata nilai yang
bersumber dari etika, budaya, dan agama. Dengan cara ini tentu arus informasi
tidak berjalan searah (dari Barat yang destruktif-sekularistik), tetapi
timbal-balik (juga dari Timur yang humanis-religius). Sehingga kita tidak hanya
bisa menerima, tetapi juga memberi. Di sini tersirat pula bahwa tata nilai
Timur berfungsi sebagai penyaring atau filter atas penetrasi budaya Barat yang
memuja kekerasan seperti yang biasa dipertontonkan dalam film-film impor.
Selain pemanfaatan di bidang
sosial-kemasyarakatan, teknologi multimedia bermanfaat pula bagi pembangunan
ekonomi. Memang pembangunan ekonomi Indonesia cenderung menciptakan masyarakat
kita menjadi masyarakat konsumtif. Sebab sistem pembangunan kita masih dikuasai
oleh para kapitalis; dan mereka dapat melakukan persuasi massal secara
besar-besaran lewat iklan di koran, radio, televisi, komputer, dsb. Karenanya,
sistem dan paradigma pembangunan ekonomi Indonesia juga perlu diubah dan dibenahi.
Ekonomi kerakyatan yang didominasi oleh usaha kecil dan menengah (UKM) agaknya
perlu diberdayakan dan sekaligus diposisikan sebagai yang utama.
Hanya persoalannya, apakah UKM yang
menurut data di Depkop jumlahnya mencapai 98% dari total 38 juta usaha di
Indonesia itu sudah optimal menggunakan teknologi informasi? Agaknya belum.
Sejauh ini mereka baru memanfaatkan teknologi informasi sebatas untuk keperluan
intern administrasi, sedangkan jaringan bisnis global belum dibangun. Padahal,
melalui teknologi multimedia mereka bisa membangun jaringan bisnis (e-business)
dan perdagangan (e-commerce) dengan siapa pun. Mereka bisa menawarkan
dan mempromosikan produk-produknya ke berbagai negara hanya dengan duduk di
depan komputer. Mereka bisa membangun trust, membangun market,
dsb, tanpa terhalang oleh ruang dan waktu. Agaknya, kendala utamanya terletak
pada SDM. Karena itu, perlu segera ada revolusi pengembangan SDM. Sebab, walau
seperangkat teknologi ada, tapi jika SDM nol, hasilnya pun nol.
Kita tahu bahwa Indonesia kaya akan
karya seni-budaya. Seni tari, patung, kriya, musik, sastra, arsitektur,
benda-benda budaya, teater rakyat, upacara adat, ketoprak, wayang dll ada
hampir di setiap daerah (Jawa, Sunda, Bali, Makasar, Minang, Betawi, Bugis,
dll). Selama ini karya-karya seni-budaya tersebut hanya menjadi barang antik,
hanya jadi konsumsi wisata, hanya menjadi pajangan di museum, bahkan hanya
menjadi objek penelitian orang asing. Nilai dan esensinya pun nyaris hilang
akibat desakan arus budaya Barat. Lebih jelasnya, karya seni-budaya tradisi
kita semakin jauh dari apresiatornya.
Namun tidak demikian pada era
informasi sekarang ini. Melalui teknologi multimedia (internet) kekayaan seni
dan budaya kita bisa disosialisasikan ke arena global. Lewat situs-situs atau cyber-space
di internet kita bisa membuka galery, arena pameran, dsb sehingga koleksi
seni-budaya itu dapat diakses oleh siapa pun di dunia ini. Melalui itu kita
bisa pula menunjukkan betapa nilai seni-budaya adiluhung yang berbasis
pada ritual-keagamaan tidak kalah atau lebih rendah dibanding nilai seni-budaya
Barat. Kita bisa membuktikan kepada dunia internasional bahwa kita bukan bangsa
yang tidak beradab.
Karena itu, kita, para seniman dan
kreator, perlu menguasai teknologi telekomunikasi, mampu mengkolaborasi seni
dan teknologi informasi, sehingga dapat mempublikasikan sekaligus menjual
karya-karya seninya kepada para pecinta seni dan apresian di berbagai negara.
Mereka bisa juga berhubungan langsung dengan pusat-pusat seni-budaya atau
badan-badan penerbitan atau pers dunia. Sebaliknya, melalui teknologi
multimedia para seniman dan budayawan, juga penikmat seni umumnya, bisa belajar
banyak pada karya-karya para seniman besar kelas dunia untuk kepentingan
peningkatan kemampuan apresiasi.
Begitulah antara lain fungsi sosial,
ekonomi, dan budaya teknologi multimedia. Sebenarnya, fungsi lain masih banyak
yang bisa diungkapkan, misalnya untuk kepentingan di bidang pendidikan,
politik, hankam, dll. Tetapi, secara prinsip itulah fungsi teknologi multimedia
bagi kehidupan kita. Terlepas dari dampak negatif seperti yang telah dikatakan
di muka, terbukti teknologi multimedia membawa banyak kemajuan bagi Indonesia.
Sebab, teknologi informasi (multimedia) memungkinkan tegaknya sistem demokrasi
di segala bidang (sosial, ekonomi, budaya, politik, dll) sejauh teknologi itu
difungsikan secara positif dan proporsional. ***
Dimuat harian Kedaulatan Rakyat, 17 November 2001.