FKY: Pesta Rakyat Yogya
Sunday, January 08, 2017
Edit
Tak lama lagi
(7 Juni--7 Juli 2010) Yogya akan punya hajat: Festival Kesenian Yogyakarta (FKY).
Kegiatan rutin tahunan itu (sejak 1989)
kini telah memasuki usia yang ke-22. Ibarat seorang manusia, ia telah tumbuh
dewasa dan bisa berbenah. Kita berharap FKY yang sejak awal digagas dengan idealisme
dan semangat kebersamaan itu kelak berlangsung lancar dan lebih baik. Semoga lewat wahana seni (dalam FKY itu) akan terbangun
harmoni dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat DIY.
Saya yakin Pemda
(Dinas Kebudayaan) telah mempersiapkan segala ubarampe-nya agar FKY sukses. Panitia yang dibentuk pun tentu telah
menyusun strategi dan agendanya. Untuk
mengantisipasi munculnya klaim atau kritik yang terjadi, konon Dinas Kebudayaan
juga telah menyatukan suara lewat forum pertemuan para ketua FKY sebelumnya. Meski
demikian, bagaimana pun, kritik terhadapnya tetap saja akan muncul. Sebab biasanya
antara harapan (banyak orang) dan kemampuan (penyelenggara) tak pernah bisa
klop. Tapi, saya kira hal itu lumrah dan wajar-wajar saja, bahkan itu justru menunjukkan
di situ ada dinamika.
Lewat tulisan
ini saya tak akan mempersoalkan apa yang telah menjadi agenda FKY 2010.
Apalagi, saya tak tahu persis apa agenda yang telah disiapkan. Saya hanya ingin
menyoal istilah festival berkaitan
dengan kegiatan yang sudah menjadi ikon dan kehadirannya selalu ditunggu oleh
masyarakat DIY ini. Dan pemahaman istilah itu dirasa penting karena bisa jadi,
kalau bersepakat, hal itu akan memberikan arah bagi orientasi penyelenggaraan
kegiatan rutin tahunan tersebut.
Menurut berbagai
sumber, istilah festival berarti “hari
atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting dan bersejarah”.
Selain itu, festival juga berarti “pesta rakyat”. Merujuk pengertian
itu jelas bahwa kegiatan festival, termasuk FKY, memfokuskan perhatian dan
sasarannya pada publik. Artinya, kegiatan itu tak lain ditujukan kepada
masyarakat luas, tanpa pandang bulu, sebab siapa pun punya hak sama. Sementara,
ungkapan “hari atau pekan gembira” berarti dalam waktu tertentu (sehari,
sepekan, sebulan, dst) kegiatan itu mengajak publik untuk bergembira; hal ini
berarti orang atau masyarakat diminta melepas (barang sejenak) segala bentuk beban
yang mungkin menimpa atau menghimpit kehidupan sehari-hari.
Hal itu dipertegas
oleh kata festival yang berarti “pesta rakyat”, suatu pesta yang di dalamnya
tergambar adanya perilaku carnival. Menurut Bakhtin, carnival
adalah perilaku yang mencoba memperlakukan “dunia” sebagai milik semua orang
sehingga mereka (siapa pun yang menghuni “dunia” itu) dapat menjalin kontak
atau dialog secara bebas, akrab, tanpa dihalangi tatanan, dogma, atau hierarki
sosial. Perilaku semacam itu hanya mungkin terjadi dalam lokasi carnival,
yaitu lokasi atau tempat-tempat umum yang memungkinkan semua orang bisa datang
dan menikmatinya.
Itu sebabnya, festival
kesenian lebih tepat diartikan sebagai sebuah “pesta rakyat tentang kesenian” yang
penyelenggaraannya di lokasi atau tempat-tempat umum; yang memperlakukan
berbagai genre kesenian (lukis, sastra, drama, tari, pahat, rupa, ukir,
musik, sungging, dll, baik tradisional maupun modern) sebagai subjek sekaligus
objek perhatian; dan tolok ukurnya ialah dapat dihadiri dan dinikmati oleh
siapa pun karena pada intinya kegiatan semacam itu mengajak semua orang untuk
bergembira.
Yang jadi
pertanyaan sekarang, dalam kaitan dengan FKY, sudahkah konsep ”pesta rakyat
tentang kesenian” itu terimplementasikan? Terus terang saya tidak tahu persis apa
saja kegiatan yang bakal digelar FKY. Tetapi, sejarah mencatat, belum seluruh kegiatan
FKY sebelumnya terarah pada bentuk “pesta rakyat”. Memang, beberapa kegiatan
yang digelar telah memungkinkan semua orang bisa hadir dan menikmatinya,
misalnya pentas seni (ketoprak, wayang, drama, tari, baca puisi, musik, dll),
pameran dan bursa (lukis, kerajinan, foto, buku, dll), dan karnaval/arak-arakan
(andong, becak, dll).
Tetapi, tampak
masih banyak agenda kegiatan FKY yang digelar secara eksklusif, hanya
memungkinkan dihadiri kelompok tertentu, dan diselenggarakan di tempat non-carnival.
Misalnya, seminar atau diskusi seni di perguruan tinggi atau instansi tertentu.
Jelas kegiatan itu tak mencerminkan suatu pesta yang dimaksudkan untuk
membangkitkan kegembiraan rakyat (publik). Lebih-lebih itu juga jauh dari
harapan jika dikaitkan dengan upaya menarik minat publik untuk mengapresiasi
karya seni atau menarik minat wisatawan terhadap hasil kreasi seni.
Mestinya, seni
dalam kegiatan festival bukan dikemas dalam bentuk diskusi/seminar, tetapi
lebih terarah pada bentuk pertunjukan, pameran, atau sosialisasi seni (boleh
juga perlombaan) kepada publik di tempat-tempat umum yang strategis (alun-alun,
hotel, kompleks restoran, pusat perbelanjaan, arena pariwisata, dll). Sementara
diskusi dan seminar ada forum dan waktunya sendiri, bukan diselenggarakan pada
saat festival kesenian. Sebab kegiatan itu lebih berupa arena berpikir
ketimbang arena penikmatan seni dan hiburan.
Pertanyaan
berikutnya adalah: sudahkah seluruh genre atau aspek seni terakomodasi ke dalam
pesta rakyat Yogyakarta itu? Kita tahu di Yogya ada banyak padepokan (ketoprak,
wayang, dagelan, dll), sanggar seni (lukis, patung, pahat, ukir, sungging,
tari, kerajinan perak, keramik, dll), dan kantong-kantong seni (sastra, teater,
macapatan, fotografi, dll) baik tingkat anak-anak, remaja, maupun dewasa
yang siap tampil menyosialisasikan hasil kreasi seninya. Kalau semua
terakomodasi, tentu tidak mungkin terjadi beberapa pihak yang merasa punya hak
tetapi tidak dilibatkan.
Hanya saja, itu
memang tak mudah dilakukan. Sebab sarana dan infrastruktur pendukungnya harus
kuat. Dan dana yang terbatas (bagi FKY) tentulah jauh dari cukup. Tapi, jika
dilihat kepentingannya, utamanya bagi legitimasi identitas serta idealisme
Yogya, tak ada salahnya jika porsi APBD digemukkan. Tentu ini mustahil jika
tanpa ada program sinergis jangka pendek dan panjang yang disiapkan bersama Pemprov
dan Pemkab/Pemkot. Tampaknya masalah program ini selalu jadi problem FKY: biasanya
disusun mendadak sesuai dana yang ada, bukan dirancang secara matang, terukur,
dan berkelanjutan.***
Dimuat MINGGU PAGI Minggu IV April 2010