FBMM: Membangun Kecerdasan Cara Berbahasa Pelaku Media
Saturday, January 14, 2017
Edit
Pertengahan Desember 2009 lalu Forum
Bahasa Media Massa (FBMM) Provinsi DIY telah terbentuk. Pengurusnya pun telah
resmi dilantik oleh Ketua Umum FBMM Pusat. Hal ini berarti forum yang mewadahi
kiprah para pelaku media (wartawan, redaktur, editor, reporter, penyiar) dan para
pengajar, pembina, peneliti, serta ahli bahasa ini dapat mulai bekerja. Diharapkan
ke depan organisasi lintas profesi ini tidak hanya sekadar membentuk organisasi,
tetapi benar-benar dapat membangun kecerdasan cara berbahasa pelaku media.
Akankah FBMM mampu membangun
kecerdasan para pelaku media dalam menggunakan bahasa? Harapan kita tentu
demikian karena sesuai AD-ART tujuan dibentuknya FBMM agar para pelaku media
dapat (1) menyamakan tata cara yang benar dalam hal penulisan --alfabet, ejaan,
kosa kata, istilah, tata bahasa-- dan pelafalan di media massa, (2) menggiatkan
pengunaan bahasa yang baik dan benar dalam media massa, dan (3) membantu
mengembangkan bahasa Indonesia.
Mengapa FBMM bertujuan demikian? Karena,
sejak awal pendiriannya (1990-an) FBMM memang dimaksudkan untuk mengatasi
kebingungan masyarakat pengguna bahasa (Indonesia). Sebab, selama ini di media
massa telah terjadi banjir istilah asing dan istilah-istilah itu tidak
diperlakukan secara cerdas oleh para pelaku media. Sering satu istilah ditulis
dengan cara berbeda baik oleh media yang sama maupun media yang berbeda. Hari
ini kata atau istilah ditulis begini, besok ditulis begitu, lusa ditulis dengan
cara lain lagi. Itulah yang membuat masyarakat bingung. Padahal, maksudnya adalah
sama. Jadi, intinya, di antara para pelaku media telah terjadi
ketidakkonsistenan dalam berbahasa. Tegasnya, sampai hari ini para pelaku media
kurang memerhatikan bahasa yang benar.
Sering orang menganggap bahwa bahasa
media massa tidak perlu menganut berbagai aturan kebahasaan karena media massa,
lebih-lebih media massa umum seperti koran, memiliki prinsip tersendiri. Sesuai
dengan ragam bahasa jurnalistik, prinsip yang dipegang oleh para pelaku media sering
hanya terbatas pada faktor ini: singkat, padat, lugas, komunikatif, dan mudah
dipahami. Dan mereka menganggap, kalau apa yang dimaksudkan telah diketahui
pembaca, selesailah tugasnya. Padahal, mestinya, tidaklah sesederhana itu.
Memang tidak salah kalau media massa
memiliki prinsip dan ragam bahasa tersendiri. Dan itu telah menjadi sebuah
keniscayaan yang diakui. Tetapi, yang kemudian menjadi salah ialah pelaku media
sering mengingkari prinsip dan tidak menaati ketentuan yang seharusnya mereka
taati. Dalam menerapkan prinsip penggunaan bahasa yang “singkat dan lugas”
misalnya, tidak berarti dapat dengan mudah menghilangkan kata atau kelompok
kata agar lebih pendek (singkat), tetapi logika bahasa (logika berpikir) harus
tetap terjaga.
Demikian juga dalam penerapan prinsip
“komunikatif.” Prinsip ini tidak sekadar asal isi informasinya sampai kepada
pembaca, tetapi harus diingat bahwa bahasa tulis memiliki perbedaan prinsipal
dengan bahasa lisan. Struktur bahasa tulis menuntut kelengkapan (syarat
minimal) unsurnya karena ketidakhadiran penulis dan pembaca, sedangkan bahasa
lisan tidak. Sebab, kelancaran komunikasi lisan dibantu oleh konteks atau
situasi karena kehadiran penutur dan pendengar.
Satu hal yang patut dipertanyakan
ialah tentang keyakinan pelaku media (wartawan, redaktur) terhadap terjadinya
komunikasi yang benar. Benarkah masyarakat pembaca selama ini sudah menangkap
dengan benar isi dan maksud yang dituangkan oleh para pelaku media dalam
tulisan-tulisannya (berita, feature,
tajuk, dll)? Dalam tulisan yang benar dan lengkap pun terkadang informasi tidak
seratus persen dapat ditangkap dengan benar, apalagi dalam tulisan yang tidak
benar. Hal itu berarti bahwa penggunaan bahasa yang benar menjadi sesuatu yang
sangat penting bagi para pelaku media.
Hanya saja, yang terjadi selama ini,
masyarakat pembaca umumnya juga kurang paham apakah bahasa yang digunakan untuk
menyampaikan informasi itu benar atau tidak. Karena itu, yang kemudian terjadi,
ketidakbenaran terus berulang, dan akibatnya, tanpa disadari, ketidakbenaran
itu kemudian dianggap benar. Hal inilah yang selama ini luput dari perhatian
kita (para pelaku media) sehingga muncul kesan (kenyataan) bahwa bahasa media
massa kita kurang mencerdaskan.
Akhirnya, di sinilah FBMM ditunggu
peranannya. Melalui kegiatan seminar, sarasehan, lokakarya, dan diskusi secara
rutin tentang penggunaan bahasa yang benar diharapkan para pelaku media dapat memperbaiki
cara berbahasa yang mencerdaskan masyarakat pembaca. Pertanyaan kritisnya,
dapatkah aktivitas rutin itu dibangun? Tentu saja bisa asal semua pihak (KR,
Bernas, Kompas, Harjo, RRI, TVRI, UGM, USD, UNY, BBY, dan semua media massa
Yogyakarta) memiliki komitmen yang sama. ***
Dimuat BERNAS, Selasa 26 Januari 2010