Fakta Sejarah Kekejaman Lekra: Ulasan Buku
Friday, January 06, 2017
Edit
Tirto Suwondo
Kalau
kita, terutama ge-nerasi muda yang lahir pada zaman Orde Baru, mengenal apa
yang disebut LEKRA --sebuah Lembaga Kebudayaan Rakyat yang berafiliasi dengan
partai terlarang PKI yang mencoba meraih “medali kemenangan” lewat Gerakan 30
September 1965 tetapi gagal itu-- melalui buku-buku sejarah (sastra dan budaya)
yang, tentu saja, sudah dikemas dengan cara pandang pendidikan, sehingga kita
hanya bisa merasakan bahwa hal itu sebagai “biasa”, namun dengan terbitnya buku
ini, terus terang, hati kita menjadi “tergetar” dibuatnya.
Bahwa
apa yang pernah kita dengar selama ini tentang “kekejaman” seniman dan bu-dayawan Lekra (Pramudya Ananta Toer,
Sitor Situmorang, Sobron Aidit, Agam Wispi, Bakri Siregar, T. Iskandar,
Setiawan Hs, dkk.) bukan hanya meru-pakan fakta yang difiksikan oleh guru-guru
atau buku sejarah sastra dan budaya kita, mela-inkan lebih merupakan fakta yang
sama sekali bukan fiksi yang dicoba disodorkan oleh para saksi sejarah. Dan
kita dibuat percaya karena dua orang penyusun (editor) buku ini adalah saksi sejarah
yang bahkan sempat menjadi “bulan-bulan-an” prahara budaya yang ber-muatan
politik itu.
Walaupun
buku ini lahir dari tangan dua seniman dan budayawan kelompok Manifes
Kebudayaan, yang sering di-sebut Manikebu, --yang saat itu Manifes menjadi “musuh utama”
Lekra-- peristiwa sejarah yang dicoba direkonstruksikan di dalamnya bukanlah
sekadar sebagai sebuah kristal dari sikap subjektivisme. Sebab berbagai fakta
prahara budaya itu disajikan secara seimbang, dari kedua belah pihak, tidak hanya
menurut penglihatan seniman Manifes, tetapi juga fakta tertulis yang
menunjukkan polah-tingkah Lekra yang berlindung di bawah ketiak PKI.
Karena
itu, isi buku ini sungguh mampu menempati ruang memori kita, bahwa kita tidak
hanya bisa “membe-narkan” cerita tentang betapa keblingernya kelompok yang menyebut dirinya sebagai “revolusioner”,
tetapi juga melihat sebuah “kebenaran” bahwa komunis memang tidak sesuai dengan
garis haluan hidup Indonesia.
Politik Jadi Panglima
Buku
ini mengungkapkan berbagai peristiwa sejarah pada saat politik menjadi panglima
di zaman Orde Lama. Oleh karena politik jadi panglima, politik adalah
segala-galanya, sehingga yang tanpa politik diklaim sebagai kontra, tidak
terelakkan bahwa kancah kebudayaan dan sastra pun menjadi medan pertempuran
politik. Dan sejarah mencatat bahwa memang lapangan kebudayaan adalah salah
satu bidang tercanggih untuk mencapai bermacam ragam tujuan politik. Karena
pada masa itu, masa demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin, PKI
mendapatkan ruang gerak yang leluasa, bahkan mengalami “naik daun” dalam kancah
kehidupan bernegara negeri ini, tak pelaklah bahwa mereka memanfaatkan
corong-corong kebudayaan untuk menghasut dan mempengaruhi massa.
Karenanya,
dalam media masa corong seniman Lekra, dua diantaranya Bintang Timur dan Harian
Rakyat, yang terbit di seputar paroh pertama tahun 1960-an, berserakanlah
artikel dan sajak-sajak yang isinya berupa pemujaan terhadap Marx, Engels,
Lenin, Mao, dan sebagainya. Pramudya, misal-nya, memuja Nikolai Lenin sebagai
“pencipta surga dunia”. Dan Bakri Siregar, ketika berkunjung ke Moskow, bahkan
“menundukkan kepala dengan khidmat di depan Lenin”, dan dia “berjanji akan
menjadi murid Lenin yang patuh dan baik”.
Melalui
media Lekra/PKI itu pula sastra dan budaya benar-benar telah “diperkuda” oleh
politik, oleh partai, dengan alasan untuk menegakkan revolusi, membangun
kesejah-teraan rakyat, menumpas kolonialis-imperialis, sehingga apa pun harus
berhaluan manipol. Yang tidak manipol, dicap sebagai kontra-revolusi, sehingga
harus dilenyapkan.
Dan
nasib naas agaknya benar-benar
menimpa para seniman dan budayawan kelompok Manifes Kebudayaan (Wiratmo Sukito,
Jassin, Taufiq Ismail, D.S. Moeljanto, Goena-wan Mohamad, Boen Oemarjati,
Zaini, Bokor, Trisno Sumardjo, dkk.). Sebab kelompok Manifes yang oleh Lekra
disebut “kontra-revolusi” itu tak bersedia “mempanglimakan politik”, tetapi
tetap berpegang pada falsafah kebudayaan Pancasila. Oleh Lekra pun prinsip
“humanisme universal” para seniman manifes diklaim sebagai “Barat” yang
kapitalis, tidak memihak rakyat, tidak “realisme sosialis”, sehingga perlu
dibabat habis. Dan apa yang terjadi? Seniman manifes dibungkam, kreativitasnya
dibe-rangus, terjadi pula pemecatan-pemecatan, bahkan juga pem-buian. Dengan
meminjam tangan sang proklamator kita, Bung Karno, Lekra/PKI akhir-nya berhasil
membubarkan Manikebu.
Kendati
demikian, toh Lekra belum puas-puas juga. Sasaran ofensif revolusionernya
semakin meluas-lebar ke berbagai bidang, di antaranya media masa, dunia
perfilman, dan bahkan ke perguruan tinggi. Tujuannya hanya satu: memanipol-usdek-kan
mereka. Ceramah-ceramah politik yang berkedok sastra-budaya, lewat orator
Pramudya yang piawai itu, di gelar di mana-mana.
Dengan
begitu, silatu-rahim dari hati ke
hati menjadi sulit, segala bentuk diskusi menjadi kandas, soal-soal
kesusastraan dan hukum pun tak relevan lagi. “Yang ada cuma satu, Revolusi,
1000 slogan 0 puisi”, begitu keluh Goenawan Mohamad. Dan tuduhan-tuduhan minir seperti Subagio penyair sekarat
yang siap masuk ke liang lahat, Hamka sang plagiator yang berkomplot ingin membunuh
presiden, Jassin yang manikebuis harus diganti, dan kawan-kawan manifes lain
pun mengalir deras.
Kalau
ditengok di ber-bagai harian Lekra/PKI sekitar 1964--1965, bertebaranlah
artikel -artikel dan berita yang bernada hasutan dan tuduhan yang mengerikan.
Misalnya, “Sitor Situmorang: Manikebu Meng-hendaki Sistem Fasisme”, “Tujuh
Organisasi Mahasiswa: HB Jassin Dituntut segera Mundur dari UI dan LBK”,
“Pramudya Ananta Toer: Manikebu-KK-PSI Sasaran Tembakan Kita yang Pasti Kena”,
“Joebar Ajoeb: Mani-kebuis Ular-Ular Berbisa”, “Joebar Ajoeb: Gerakan Human-isme
Universal Harus Diga-nyang”, “D.N. Aidit: Manikebu adalah Usaha Kasar untuk
Mengebiri Revolusi”, “PPMI Tuntut Tempat Jassin Harus Diduduki Ahli Manipol”,
“Menko Aidit: Manikebu Bertu-gas Lucuti Senjata Rakyat”, “Jebol Manikebuisme
Film”, “Pramudya: Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total”, dan masih banyak lagi.
Dan berita-berita ini bukanlah sekadar berita, tetapi berita yang boleh
dibilang faktual.
Karena
itu, bagaimana-pun, melalui buku yang lebih tepat disebut sebagai dokumen
sejarah-politik ini, pembaca tahu bahwa bukanlah sekadar berita jika dikatakan
betapa kejamnya Lekra saat itu. Dan barangkali ini pula yang menyebabkan
mengapa tahun 1995 lalu Pramudya, pengarang handal pimpinan Lekra itu, sempat
menimbulkan “prahara” tersen-diri ketika menerima Hadiah Magsaysay.
Walaupun
Pramudya menyangkal tindakannya saat itu, dan ia mengatakan: “Kan, saya cuma
membuka polemik waktu itu. Tapi, mereka pada ketakutan. Nggak mau menulis. Sekarang mereka baru nggrundel, dulu ditindas. Padahal, justru saya sendiri yang
dilarang menerbitkan buku”, katanya seperti dikutip PARON, 27 Agustus 1995.
Akan tetapi, bagaimana dengan setumpuk fakta seperti dalam guntingan-guntingan
koran dalam buku ini?
Dan
satu hal yang mem-buat kita tercengang adalah bahwa akan adanya puncak kudeta G-30-S itu --walaupun akhirnya gagal total--
ternyata sebagian seniman Lekra sudah mengetahui jauh sebelumnya. Hal itu dapat
dibaca pada beberapa sajak mereka, di antaranya karya Mawie yang berjudul “Kunanti
Bumi Meme-rah Darah” (Bintang Timur,
21 Maret 1965). Mungkinkah mereka termasuk sebagian dari pemrakarsanya?
Sikap Kritis
Betapapun,
buku ini penting bagi kita, terutama bagi generasi Orde Baru, yang tidak terlibat
langsung dalam peris-tiwa itu. Penting bukan hanya sekadar sebagai catatan
sejarah bahwa saat itu terjadi “kekejian” yang perlu dicatat dalam aneka warna
gerak kebudayaan Indo-nesia, tetapi penting juga sebagai titik pijak berpikir
dan bersikap kritis dalam kerangka “Ke-Indonesia-an” masa depan.
Dan
kita tentulah tidak akan mengatakan bahwa yang hitam itu putih, atau yang putih
itu hitam. Walaupun, yang namanya sejarah, di manapun, tetaplah dapat dilihat
dari banyak dimensi. Dan ia agaknya sulit untuk mencapai tingkat inter-(trans-)subjektif.
Wasalam.
Buku PRAHARA BUDAYA (Kilas Balik Offensif LEKRA/PKI
dkk.), D. S.
Moeljanto
dan Taufiq Ismail (Editor),
Mizan, Bandung, 1995, 472 halaman.