-->

Fakta Sejarah Kekejaman Lekra: Ulasan Buku

Tirto Suwondo

Kalau kita, terutama ge-nerasi muda yang lahir pada zaman Orde Baru, mengenal apa yang disebut LEKRA --sebuah Lembaga Kebudayaan Rakyat yang berafiliasi dengan partai terlarang PKI yang mencoba meraih “medali kemenangan” lewat Gerakan 30 September 1965 tetapi gagal itu-- melalui buku-buku sejarah (sastra dan budaya) yang, tentu saja, sudah dikemas dengan cara pandang pendidikan, sehingga kita hanya bisa merasakan bahwa hal itu sebagai “biasa”, namun dengan terbitnya buku ini, terus terang, hati kita menjadi “tergetar” dibuatnya.

        Bahwa apa yang pernah kita dengar selama ini tentang “kekejaman” seniman  dan bu-dayawan Lekra (Pramudya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Sobron Aidit, Agam Wispi, Bakri Siregar, T. Iskandar, Setiawan Hs, dkk.) bukan hanya meru-pakan fakta yang difiksikan oleh guru-guru atau buku sejarah sastra dan budaya kita, mela-inkan lebih merupakan fakta yang sama sekali bukan fiksi yang dicoba disodorkan oleh para saksi sejarah. Dan kita dibuat percaya karena dua orang penyusun (editor) buku ini adalah saksi sejarah yang bahkan sempat menjadi “bulan-bulan-an” prahara budaya yang ber-muatan politik itu.
         Walaupun buku ini lahir dari tangan dua seniman dan budayawan kelompok Manifes Kebudayaan, yang sering di-sebut Manikebu,  --yang saat itu Manifes menjadi “musuh utama” Lekra-- peristiwa sejarah yang dicoba direkonstruksikan di dalamnya bukanlah sekadar sebagai sebuah kristal dari sikap subjektivisme. Sebab berbagai fakta prahara budaya itu disajikan secara seimbang, dari kedua belah pihak, tidak hanya menurut penglihatan seniman Manifes, tetapi juga fakta tertulis yang menunjukkan polah-tingkah Lekra yang berlindung di bawah ketiak PKI.
         Karena itu, isi buku ini sungguh mampu menempati ruang memori kita, bahwa kita tidak hanya bisa “membe-narkan” cerita tentang betapa keblingernya kelompok yang menyebut dirinya sebagai “revolusioner”, tetapi juga melihat sebuah “kebenaran” bahwa komunis memang tidak sesuai dengan garis haluan hidup Indonesia.

Politik Jadi Panglima
         Buku ini mengungkapkan berbagai peristiwa sejarah pada saat politik menjadi panglima di zaman Orde Lama. Oleh karena politik jadi panglima, politik adalah segala-galanya, sehingga yang tanpa politik diklaim sebagai kontra, tidak terelakkan bahwa kancah kebudayaan dan sastra pun menjadi medan pertempuran politik. Dan sejarah mencatat bahwa memang lapangan kebudayaan adalah salah satu bidang tercanggih untuk mencapai bermacam ragam tujuan politik. Karena pada masa itu, masa demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin, PKI mendapatkan ruang gerak yang leluasa, bahkan mengalami “naik daun” dalam kancah kehidupan bernegara negeri ini, tak pelaklah bahwa mereka memanfaatkan corong-corong kebudayaan untuk menghasut dan mempengaruhi massa.
           Karenanya, dalam media masa corong seniman Lekra, dua diantaranya Bintang Timur dan Harian Rakyat, yang terbit di seputar paroh pertama tahun 1960-an, berserakanlah artikel dan sajak-sajak yang isinya berupa pemujaan terhadap Marx, Engels, Lenin, Mao, dan sebagainya. Pramudya, misal-nya, memuja Nikolai Lenin sebagai “pencipta surga dunia”. Dan Bakri Siregar, ketika berkunjung ke Moskow, bahkan “menundukkan kepala dengan khidmat di depan Lenin”, dan dia “berjanji akan menjadi murid Lenin yang patuh dan baik”.
           Melalui media Lekra/PKI itu pula sastra dan budaya benar-benar telah “diperkuda” oleh politik, oleh partai, dengan alasan untuk menegakkan revolusi, membangun kesejah-teraan rakyat, menumpas kolonialis-imperialis, sehingga apa pun harus berhaluan manipol. Yang tidak manipol, dicap sebagai kontra-revolusi, sehingga harus dilenyapkan.
        Dan nasib naas agaknya benar-benar menimpa para seniman dan budayawan kelompok Manifes Kebudayaan (Wiratmo Sukito, Jassin, Taufiq Ismail, D.S. Moeljanto, Goena-wan Mohamad, Boen Oemarjati, Zaini, Bokor, Trisno Sumardjo, dkk.). Sebab kelompok Manifes yang oleh Lekra disebut “kontra-revolusi” itu tak bersedia “mempanglimakan politik”, tetapi tetap berpegang pada falsafah kebudayaan Pancasila. Oleh Lekra pun prinsip “humanisme universal” para seniman manifes diklaim sebagai “Barat” yang kapitalis, tidak memihak rakyat, tidak “realisme sosialis”, sehingga perlu dibabat habis. Dan apa yang terjadi? Seniman manifes dibungkam, kreativitasnya dibe-rangus, terjadi pula pemecatan-pemecatan, bahkan juga pem-buian. Dengan meminjam tangan sang proklamator kita, Bung Karno, Lekra/PKI akhir-nya berhasil membubarkan Manikebu.
            Kendati demikian, toh Lekra belum puas-puas juga. Sasaran ofensif revolusionernya semakin meluas-lebar ke berbagai bidang, di antaranya media masa, dunia perfilman, dan bahkan ke perguruan tinggi. Tujuannya hanya satu: memanipol-usdek-kan mereka. Ceramah-ceramah politik yang berkedok sastra-budaya, lewat orator Pramudya yang piawai itu, di gelar di mana-mana.
            Dengan begitu, silatu-rahim dari hati ke hati menjadi sulit, segala bentuk diskusi menjadi kandas, soal-soal kesusastraan dan hukum pun tak relevan lagi. “Yang ada cuma satu, Revolusi, 1000 slogan 0 puisi”, begitu keluh Goenawan Mohamad. Dan tuduhan-tuduhan minir seperti Subagio penyair sekarat yang siap masuk ke liang lahat, Hamka sang plagiator yang berkomplot ingin membunuh presiden, Jassin yang manikebuis harus diganti, dan kawan-kawan manifes lain pun mengalir deras.
            Kalau ditengok di ber-bagai harian Lekra/PKI sekitar 1964--1965, bertebaranlah artikel -artikel dan berita yang bernada hasutan dan tuduhan yang mengerikan. Misalnya, “Sitor Situmorang: Manikebu Meng-hendaki Sistem Fasisme”, “Tujuh Organisasi Mahasiswa: HB Jassin Dituntut segera Mundur dari UI dan LBK”, “Pramudya Ananta Toer: Manikebu-KK-PSI Sasaran Tembakan Kita yang Pasti Kena”, “Joebar Ajoeb: Mani-kebuis Ular-Ular Berbisa”, “Joebar Ajoeb: Gerakan Human-isme Universal Harus Diga-nyang”, “D.N. Aidit: Manikebu adalah Usaha Kasar untuk Mengebiri Revolusi”, “PPMI Tuntut Tempat Jassin Harus Diduduki Ahli Manipol”, “Menko Aidit: Manikebu Bertu-gas Lucuti Senjata Rakyat”, “Jebol Manikebuisme Film”, “Pramudya: Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total”, dan masih banyak lagi. Dan berita-berita ini bukanlah sekadar berita, tetapi berita yang boleh dibilang faktual.
       Karena itu, bagaimana-pun, melalui buku yang lebih tepat disebut sebagai dokumen sejarah-politik ini, pembaca tahu bahwa bukanlah sekadar berita jika dikatakan betapa kejamnya Lekra saat itu. Dan barangkali ini pula yang menyebabkan mengapa tahun 1995 lalu Pramudya, pengarang handal pimpinan Lekra itu, sempat menimbulkan “prahara” tersen-diri ketika menerima Hadiah Magsaysay.
        Walaupun Pramudya menyangkal tindakannya saat itu, dan ia mengatakan: “Kan, saya cuma membuka polemik waktu itu. Tapi, mereka pada ketakutan. Nggak mau menulis. Sekarang mereka baru nggrundel, dulu ditindas. Padahal, justru saya sendiri yang dilarang menerbitkan buku”, katanya seperti dikutip PARON, 27 Agustus 1995. Akan tetapi, bagaimana dengan setumpuk fakta seperti dalam guntingan-guntingan koran dalam buku ini?
        Dan satu hal yang mem-buat kita tercengang adalah bahwa akan adanya puncak kudeta  G-30-S itu --walaupun akhirnya gagal total-- ternyata sebagian seniman Lekra sudah mengetahui jauh sebelumnya. Hal itu dapat dibaca pada beberapa sajak mereka, di antaranya karya Mawie yang berjudul “Kunanti Bumi Meme-rah Darah” (Bintang Timur, 21 Maret 1965). Mungkinkah mereka termasuk sebagian dari pemrakarsanya?  

Sikap Kritis
            Betapapun, buku ini penting bagi kita, terutama bagi generasi Orde Baru, yang tidak terlibat langsung dalam peris-tiwa itu. Penting bukan hanya sekadar sebagai catatan sejarah bahwa saat itu terjadi “kekejian” yang perlu dicatat dalam aneka warna gerak kebudayaan Indo-nesia, tetapi penting juga sebagai titik pijak berpikir dan bersikap kritis dalam kerangka “Ke-Indonesia-an” masa depan.
            Dan kita tentulah tidak akan mengatakan bahwa yang hitam itu putih, atau yang putih itu hitam. Walaupun, yang namanya sejarah, di manapun, tetaplah dapat dilihat dari banyak dimensi. Dan ia agaknya sulit untuk mencapai tingkat inter-(trans-)subjektif. Wasalam. 

Buku PRAHARA BUDAYA (Kilas Balik Offensif LEKRA/PKI dkk.),  D. S. Moeljanto 
dan Taufiq Ismail (Editor),  Mizan, Bandung, 1995, 472 halaman.



Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel