-->

"Derabat" Budi Darma: Tanpa "Kelebat"

Jauh sebelum novel Ny. Talis (Kisah Mengenai Madras) terbit (Grasindo, 1996), sebenarnya, dalam dunia kepengarangan (bersastra), akan terjadinya pergeseran dan atau perubahan pada diri Budi Darma sudah dapat diprediksikan. Sebab, dalam sebuah wawancara yang dimuat di Surabaya Post, 14 Juli 1991, terungkap bahwa novel ketiganya, Ny. Talis, yang ditulis kurang lebih dua bulan pada akhir 1990 dan awal 1991, tidak sehebat novel pertama dan keduanya, Olenka (1983) dan Rafilus (1988).
            Menurut Budi Darma, masalah yang digarap dan diungkapkan di dalam novel Ny. Talis masih sama dengan novel-novel sebelumnya, yaitu masalah di sekitar usaha manusia dalam mencari jati diri atau identitasnya. Akan tetapi, katanya lebih lanjut, cara penceritaannya saja yang berbeda. Kalau dua novel sebelumnya, juga cerpen-cerpennya, cenderung surealistik, novel ketiga ini lebih realistik, lebih mendekati kehidupan sehari-hari.
            Dari sinilah kita dapat memprediksikan bahwa pada masa-masa selanjutnya Budi Darma pasti akan berubah. Kenapa? “Karena, setiap pengarang itu akan berkembang. Setiap pengarang banyak mengamati perubahan-perubahan, membaca banyak karya sastra, kemudian membaca lingkungan hidup. Pengarang selalu mengalami perkembangan dalam dirinya.” Demikian alasan Budi Darma dalam wawancara tersebut.
            Kalau kita mengamati dan membaca karya-karya Budi Darma pasca novel Ny. Talis, dan itu terlihat jelas di dalam beberapa cerpennya yang dimuat di Horison dan Kompas, memang tampak ada pergeseran yang cukup mencolok. Cerpen-cerpen Budi Darma tidak hanya berubah dalam hal teknik atau cara penceritaannya, tetapi juga termasuk persoalan yang digarapnya. Cobalah kita baca cerpen “Derabat” yang dimuat Kompas, 3 Agustus 1997, yang kemudian cerpen itu dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 1999.
            Bagi kita, terutama saya, cerpen “Derabat” biasa-biasa saja, walaupun, harus diakui, dibandingkan dengan cerpen-cerpen lain dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas 1999 itu, cerpen Budi Darma relatif lebih unggul. Saya katakan biasa karena cerpen semacam itu sebenarnya sudah umum ditulis oleh banyak pengarang Indonesia. Bahkan, kesan terakhir ketika selesai membaca cerpen itu adalah bahwa sebenarnya kita “tidak memperoleh apa-apa” kecuali hanya sebuah gambaran bahwa di mana-mana, di sekitar kita, kejahatan dan kerakusan telah merajalela. Lagipula, cerpen tersebut tidak sarat dengan surprises dan tegangan-tegangan yang menyegarkan.
            Kisah ringkasnya begini. Di desa “saya” ada seorang pemburu bernama Matropik. Matropik sangat kejam, ganas, beringas, suka mabok, mencuri, menghasut warga desa, mengganggu istri orang, memperkosa, dan sejenisnya. Karena itu, “saya” (seorang penarik pedati ikan) kecewa dan gelisah menyaksikan kekejaman Matropik. Tiba-tiba, suatu ketika, di perjalanan, “saya” diganggu oleh seekor burung yang besar, kejam, cekatan, beringas, keji, dan suka merampok ikan. Karena itu, tanpa sengaja, “saya” menyebut burung keji itu sebagai “Derabat”. Melihat burung itu terbayang di benak “saya” bahwa burung kejam itu sama dengan Matropik.
            Pada suatu saat, “saya” harus berhadapan dengan si pemburu Matropik. Ketika Matropik hendak merampok “saya”, tiba-tiba burung yang besar, hitam, dan kejam yang sudah lama menghilang itu datang dan mencoba menyerang Matropik. Akhirnya terjadilah perkelahian yang seru antara Derabat dengan Matropik. Mereka sama-sama kejam, saling menyerang. Sementara “saya” membiarkan keduanya terus bertempur. Akhirnya, “saya” menganggap bahwa Derabat tidak lain adalah Matropik, Matropik tidak lain adalah juga Derabat. “Biarlah iblis bertempur dengan iblis.” Demikian bunyi kalimat terakhir cerpen “Derabat” karya Budi Darma.
            Terlihat jelas bahwa cerpen tersebut tidak kaya akan pikiran yang “berkelebat”. Padahal, selama ini, Budi Darma secara tegas mengatakan bahwa karya sastra yang baik adalah karya yang di dalamnya berkelebat sekian banyak pikiran, bukan sekian banyak tindakan jasmani. Mengapa? Karena, menurutnya, karya sastra yang lebih mengedepankan tindakan jasmani akan cepat lapuk dan cepat pula ditinggalkan orang, sementara karya yang di dalamnya penuh pikiran yang berkelebat akan mampu mengorek seluruh isi hati nurani manusia sehingga menimbulkan kesan yang begitu dalam. Namun, kenapa cerpen terbaik pilihan Kompas 1999 itu tidak demikian?
            Itulah suatu perubahan. Entah sengaja atau tidak, Budi Darma kini bukanlah Budi Darma yang dulu dalam penulisan cerita. Memang, di dalam setiap cerpen yang ditulisnya, “makhluk-makhluk aneh” selalu muncul. Burung aneh, misalnya, selain muncul dalam “Derabat”, muncul pula dalam Ny. Talis dan cerpen “Mata yang Indah” (Kompas, 12 November 2000). Sementara itu, persoalan yang berkaitan dengan “kematian” bahkan hampir muncul dalam keseluruhan karyanya, baik novel maupun cerpen. Demikian juga dengan masalah yang berkaitan dengan “ibu” atau “perempuan”.
            Hanya saja, yang perlu dicatat ialah bahwa di dalam beberapa karya terakhirnya, ungkapan-ungkapan filosofis jarang sekali muncul. Hal ini menandai bahwa Budi Darma agaknya mulai “bosan” dengan berbagai hal yang bergayut dengan keberadaan atau eksistensi manusia; padahal, persoalan ini, begitu dominan di dalam novel-novel dan cerpen-cerpen sebelumnya. Kalau toh persoalan itu muncul, kemunculannya pun tidak terlalu eksplisit. Dalam cerpen “Gauhati” (Kompas, 12 September 1996), misalnya, muncul “tiga bidadari” yang datang menjumpai tokoh “saya” (Gauhati). Akan tetapi, pengungkapan eksistensi manusia melalui simbol “tiga bidadari” itu kurang terartikulasikan secara memadai ke dalam keseluruhan cerita.
            Akhirnya, sebagai sebuah catatan, kita dapat menyatakan bahwa dalam bersastra Budi Darma kini telah berubah. Apakah perubahan tersebut merupakan suatu “kesengajaan” dengan maksud dan tujuan tertentu (entah apa, kita tidak tahu, mungkin lebih spektakuler), ataukah justru hal demikian membuktikan bahwa ia telah “kehilangan vitalitas?” Ke manakah “kelebat-kelebat” pikiran Budi Darma selama ini? Jawabannya, tentu saja, terserah pada Anda. Sekarang, sebaiknya, kita tunggu karya-karya berikutnya. Barangkali akan muncul karya yang lebih baru, yang lebih spektakuler.
                                                                                                Desember, 2000.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel