"Derabat" Budi Darma: Tanpa "Kelebat"
Monday, January 02, 2017
Edit
Jauh sebelum novel Ny. Talis (Kisah Mengenai Madras) terbit (Grasindo, 1996),
sebenarnya, dalam dunia kepengarangan (bersastra), akan terjadinya pergeseran
dan atau perubahan pada diri Budi Darma sudah dapat diprediksikan. Sebab, dalam
sebuah wawancara yang dimuat di Surabaya Post, 14 Juli 1991, terungkap bahwa
novel ketiganya, Ny. Talis, yang ditulis kurang lebih dua bulan pada
akhir 1990 dan awal 1991, tidak sehebat novel pertama dan keduanya, Olenka (1983)
dan Rafilus (1988).
Menurut
Budi Darma, masalah yang digarap dan diungkapkan di dalam novel Ny. Talis
masih sama dengan novel-novel sebelumnya, yaitu masalah di sekitar usaha
manusia dalam mencari jati diri atau identitasnya. Akan tetapi, katanya lebih
lanjut, cara penceritaannya saja yang berbeda. Kalau dua novel sebelumnya, juga
cerpen-cerpennya, cenderung surealistik, novel ketiga ini lebih realistik,
lebih mendekati kehidupan sehari-hari.
Dari
sinilah kita dapat memprediksikan bahwa pada masa-masa selanjutnya Budi Darma
pasti akan berubah. Kenapa? “Karena, setiap pengarang itu akan berkembang. Setiap
pengarang banyak mengamati perubahan-perubahan, membaca banyak karya sastra,
kemudian membaca lingkungan hidup. Pengarang selalu mengalami perkembangan
dalam dirinya.” Demikian alasan Budi Darma dalam wawancara tersebut.
Kalau
kita mengamati dan membaca karya-karya Budi Darma pasca novel Ny. Talis,
dan itu terlihat jelas di dalam beberapa cerpennya yang dimuat di Horison
dan Kompas, memang tampak ada pergeseran yang cukup mencolok.
Cerpen-cerpen Budi Darma tidak hanya berubah dalam hal teknik atau cara
penceritaannya, tetapi juga termasuk persoalan yang digarapnya. Cobalah kita
baca cerpen “Derabat” yang dimuat Kompas, 3 Agustus 1997, yang kemudian
cerpen itu dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 1999.
Bagi
kita, terutama saya, cerpen “Derabat” biasa-biasa saja, walaupun, harus diakui,
dibandingkan dengan cerpen-cerpen lain dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas
1999 itu, cerpen Budi Darma relatif lebih unggul. Saya katakan biasa karena
cerpen semacam itu sebenarnya sudah umum ditulis oleh banyak pengarang
Indonesia. Bahkan, kesan terakhir ketika selesai membaca cerpen itu adalah
bahwa sebenarnya kita “tidak memperoleh apa-apa” kecuali hanya sebuah gambaran
bahwa di mana-mana, di sekitar kita, kejahatan dan kerakusan telah merajalela.
Lagipula, cerpen tersebut tidak sarat dengan surprises dan
tegangan-tegangan yang menyegarkan.
Kisah
ringkasnya begini. Di desa “saya” ada seorang pemburu bernama Matropik.
Matropik sangat kejam, ganas, beringas, suka mabok, mencuri, menghasut warga
desa, mengganggu istri orang, memperkosa, dan sejenisnya. Karena itu, “saya”
(seorang penarik pedati ikan) kecewa dan gelisah menyaksikan kekejaman
Matropik. Tiba-tiba, suatu ketika, di perjalanan, “saya” diganggu oleh seekor
burung yang besar, kejam, cekatan, beringas, keji, dan suka merampok ikan.
Karena itu, tanpa sengaja, “saya” menyebut burung keji itu sebagai “Derabat”.
Melihat burung itu terbayang di benak “saya” bahwa burung kejam itu sama dengan
Matropik.
Pada
suatu saat, “saya” harus berhadapan dengan si pemburu Matropik. Ketika Matropik
hendak merampok “saya”, tiba-tiba burung yang besar, hitam, dan kejam yang
sudah lama menghilang itu datang dan mencoba menyerang Matropik. Akhirnya
terjadilah perkelahian yang seru antara Derabat dengan Matropik. Mereka sama-sama
kejam, saling menyerang. Sementara “saya” membiarkan keduanya terus bertempur.
Akhirnya, “saya” menganggap bahwa Derabat tidak lain adalah Matropik, Matropik
tidak lain adalah juga Derabat. “Biarlah iblis bertempur dengan iblis.”
Demikian bunyi kalimat terakhir cerpen “Derabat” karya Budi Darma.
Terlihat
jelas bahwa cerpen tersebut tidak kaya akan pikiran yang “berkelebat”. Padahal,
selama ini, Budi Darma secara tegas mengatakan bahwa karya sastra yang baik
adalah karya yang di dalamnya berkelebat sekian banyak pikiran, bukan sekian
banyak tindakan jasmani. Mengapa? Karena, menurutnya, karya sastra yang lebih
mengedepankan tindakan jasmani akan cepat lapuk dan cepat pula ditinggalkan
orang, sementara karya yang di dalamnya penuh pikiran yang berkelebat akan
mampu mengorek seluruh isi hati nurani manusia sehingga menimbulkan kesan yang
begitu dalam. Namun, kenapa cerpen terbaik pilihan Kompas 1999 itu tidak
demikian?
Itulah
suatu perubahan. Entah sengaja atau tidak, Budi Darma kini bukanlah Budi Darma
yang dulu dalam penulisan cerita. Memang, di dalam setiap cerpen yang
ditulisnya, “makhluk-makhluk aneh” selalu muncul. Burung aneh, misalnya, selain
muncul dalam “Derabat”, muncul pula dalam Ny. Talis dan cerpen “Mata
yang Indah” (Kompas, 12 November 2000). Sementara itu, persoalan yang
berkaitan dengan “kematian” bahkan hampir muncul dalam keseluruhan karyanya,
baik novel maupun cerpen. Demikian juga dengan masalah yang berkaitan dengan
“ibu” atau “perempuan”.
Hanya
saja, yang perlu dicatat ialah bahwa di dalam beberapa karya terakhirnya,
ungkapan-ungkapan filosofis jarang sekali muncul. Hal ini menandai bahwa Budi
Darma agaknya mulai “bosan” dengan berbagai hal yang bergayut dengan keberadaan
atau eksistensi manusia; padahal, persoalan ini, begitu dominan di dalam
novel-novel dan cerpen-cerpen sebelumnya. Kalau toh persoalan itu muncul,
kemunculannya pun tidak terlalu eksplisit. Dalam cerpen “Gauhati” (Kompas,
12 September 1996), misalnya, muncul “tiga bidadari” yang datang menjumpai
tokoh “saya” (Gauhati). Akan tetapi, pengungkapan eksistensi manusia melalui
simbol “tiga bidadari” itu kurang terartikulasikan secara memadai ke dalam
keseluruhan cerita.
Akhirnya,
sebagai sebuah catatan, kita dapat menyatakan bahwa dalam bersastra Budi Darma
kini telah berubah. Apakah perubahan tersebut merupakan suatu “kesengajaan”
dengan maksud dan tujuan tertentu (entah apa, kita tidak tahu, mungkin lebih
spektakuler), ataukah justru hal demikian membuktikan bahwa ia telah
“kehilangan vitalitas?” Ke manakah “kelebat-kelebat” pikiran Budi Darma selama
ini? Jawabannya, tentu saja, terserah pada Anda. Sekarang, sebaiknya, kita
tunggu karya-karya berikutnya. Barangkali akan muncul karya yang lebih baru,
yang lebih spektakuler.
Desember,
2000.