Cerpen Pilihan Pembaca
Tuesday, January 03, 2017
Edit
Sejak 1992 Kompas telah
menerbitkan 11 buku kumpulan “Cerpen Pilihan Kompas”. Setiap buku memuat
sekitar 15 cerpen dan satu cerpen ditetapkan sebagai cerpen terbaik. Dan yang
telah memetik kemenangan: Jujur Prananto (Kado Istimewa, 1992),
Seno Gumira Adjidarma (Pelajaran Mengarang, 1993), Joni Ariadinata (Lampor,
1994), Kuntowijoyo (Laki-Laki yang Kawin dengan Peri, 1995; Pistol
Perdamaian, 1996; Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, 1997), Budi Darma
(Derabat, 1999; Mata yang Indah, 2001), Motinggo Busye (Dua
Tengkorak Kepala, 2000), Danarto (Jejak Tanah, 2002), dan
Djenar Maesa Ayu (Waktu Nayla, 2003).
Publik sastra percaya bahwa program tahunan yang semula digagas oleh
Afrizal Malna, Sutardji Calzoum Bachri, Ikranagara, dan Hamsad Rangkuti ini
menerbitkan gairah baru bagi para kreator cerpen Indonesia. Selain itu juga
memberi peluang bagi pembaca untuk mendapat cerpen-cerpen terbaik/bermutu. Dan
koran-koran lain pun diharap berbuat hal yang sama, seperti yang dimulai koran Republika
dengan antologi Pembisik-nya (2002). Cuma, tradisi semacam itu bukan
tanpa resiko. Tak jarang resikonya boleh jadi menyesatkan.
Tidak lama setelah Kado Istimewa terbit (1992), terbangunlah
semacam opini bahwa cerpen bermutu tak cuma lahir di Horison yang
berlabel “majalah sastra”, tetapi juga di Kompas, Matra, Republika, dll
yang sama sekali tak berpretensi menjadi koran/majalah sastra. Ketika Pelajaran
Mengarang menyusul (1993) dan diikuti Lampor (1994), kehadiran
“cerpen koran” dan terutama “Cerpen Koran Kompas” kian legitimate.
Sebagian orang lalu menilai bahwa kegagahan Horison “luntur” dan “obor
kemenangan” pun dipegang Kompas. Publik sastra pun percaya begitu saja
dan Kompas kemudian diklaim sebagai “barometer” mutu cerpen Indonesia.
Tetapi, pada perkembangan berikutnya, ketika Kuntowijoyo menyabet
kemenangan beruntun (1995, 1996, 1997), demikian juga Budi Darma (1999, 2001),
banyak pihak, terutama dari kalangan cerpenis, terhenyak. Beberapa kritik pedas
pun kemudian dilancarkan, salah satu di antaranya dari Saut Situmorang (Horison,
November 2002). Dengan begitu, disadari atau tidak, opini publik serta-merta
berubah dan kepercayaan/pemitosan terhadap “Cerpen (Pilihan) Kompas” pun goyah.
Terlepas dari apakah ketidakpercayaan publik tersebut sebenarnya hanya karena
mereka (terutama para cerpenis) tak mampu bersaing di Kompas atau bukan,
yang jelas ada tiga persoalan pokok yang menjadi sorotan.
Pertama, disoroti bahwa nama-nama yang
tampil dalam buku “Cerpen Pilihan Kompas” hanya itu-itu saja, padahal, dalam
setahun Kompas memuat lebih dari 50 cerpen. Nama-nama yang muncul di Kompas
Minggu pun hanya itu-itu pula, padahal, setiap minggunya (konon) redaksi
Kompas diserbu sekitar 50—100 cerpen. Tak jarang dalam buku “Cerpen
Pilihan Kompas” satu nama bahkan tampil dengan dua cerpen; dan tak jarang pula
dalam setahun satu pengarang bisa tampil dengan dua-tiga cerpen di Kompas.
Meski Panitia Pemilihan Cerpen Kompas (2002) telah berkilah bahwa
pemilihan itu tetap berpijak pada kualitas karya, bukan pada nama besar
pengarangnya, tetapi di benak publik nampak masih tetap ada keraguan. Benar
pula bahwa panitia telah mengemukakan data untuk meyakinkan publik, tapi banyak
pihak bisa pula menunjukkan data-data lain yang simpulannya bisa berbeda. Pendek
kata, alasan panitia itu belum mampu meyakinkan publik untuk tidak mengatakan
bahwa pemilihan cerpen Kompas cenderung dominatif dan diskriminatif.
Kedua, disoroti bahwa reader yang
ditunjuk mengulas cerpen terpilih tak bekerja serius dan acapkali mereka
membuat generalisasi yang dangkal walau harus diakui ada beberapa yang
menunjukkan kejeniusannya. Malahan “pesan sponsor” sering terlihat di dalamnya
sehingga ulasannya “ngecap” seolah memang cerpen-cerpen itu yang terbaik.
Padahal, publik sastra kita tak terlalu bodoh, dan memang tak semua cerpen yang
masuk dalam buku “Cerpen Pilihan Kompas” bermutu tinggi. Malahan ada yang
dengan tegas menyatakan “cerpen kayak begitu kok terpilih”.
Itulah sebabnya lahir persoalan ketiga. Bertolak dari
keraguan publik itu keberadaan dewan juri kemudian dipertanyakan. Betul-betul
mengerti sastra yang baik-kah mereka? Bahkan muncul pernyataan, mereka “cuma”
para wartawan (bukan sastrawan atau ahli sastra) yang sehari-harinya bekerja
dengan fakta (realitas empirik) yang secara substansial berbeda dengan fiksi
(realitas imajiner). Walaupun, harus diakui, tidak semua yang menyebut dirinya
ahli/pakar sastra mampu menilai karya sastra secara tepat, adil, dan
bertanggung jawab.
Kalau begitu, poin apa yang mesti dicermati ulang? Barangkali saja
model atau strategi pemilihan dan penilaiannya. Kita tahu bahwa dalam berbagai
acara pemberian hadiah seni tingkat dunia (sastra, film, dll), pemilihan
sekaligus penentuan pemenang diserahkan sepenuhnya kepada publik (pemirsa,
pembaca). Di Indonesia pun sudah sering dilakukan strategi model ini, terutama
dalam lomba baca puisi atau baca cerpen. Melalui strategi ini, selain lebih
mempererat hubungan karya sastra dengan pembaca, tentulah akan dapat
dipilih/disaring karya yang benar-benar bermutu. Walaupun, disadari pula bahwa
strategi ini juga mengandung resiko, yaitu mutu sastra mengabdi pada selera
pembaca (suatu ciri utama sastra pop).
Tetapi, apa salahnya jika pemilihan dan penentuan “Cerpen Pilihan
Kompas” dilakukan oleh para “Pembaca (Cerpen) Kompas?” Saya kira hal ini tidak
terlalu salah; bahkan perlu dicoba, tidak hanya oleh Kompas tapi juga
koran-koran lain jika berniat memilih dan menerbitkan cerpen-cerpennya. Hal itu
dapat dilakukan misalnya melalui penjaringan nilai semacam pooling. Hanya
saja, siapa “pembaca” yang bisa mengikuti pooling dan berhak memberikan
penilaian? Akan lebih afdol jika mereka adalah para siphisticated reader.
***
Dimuat MINGGU PAGI Minggu V Februari 2004