Catatan Kecil Buat KBJ III
Monday, January 09, 2017
Edit
Tidak terasa Kongres Bahasa Jawa (KBJ)
III sudah semakin dekat. Sebagian besar orang Jawa, lebih-lebih para pecinta
bahasa dan sastra Jawa, berharap bahwa KBJ III pada 15--21 Juli 2001 nanti
bakal sukses. Sebab, berkembang dan berdaya tahan atau tidaknya bahasa dan
sastra Jawa di masa mendatang, bagaimanapun juga, sebagian ditentukan oleh
bagaimana sebuah kongres mampu memberikan resep yang tepat dan sesuai bagi
masyarakat pendukungnya. Karena itu, jika KBJ III berhasil menelorkan berbagai
kebijakan dan keputusan yang akomodatif, adil, tidak memihak atau menguntungkan
kelompok tertentu saja, sudah pasti “pesta akbar” yang konon menelan dua milyar
uang rakyat itu akan menjadi momen penting yang dikenang sepanjang sejarah.
Tapi, sebaliknya, jika KBJ III hanya
sekadar untuk “memenuhi apa yang telah terlanjur menjadi komitmen bersama tiga
Pemda (Jateng, Jatim, DIY)”, atau tanpa dilandasi keinginan kuat untuk
memprediksi apa yang mesti dibutuhkan oleh masyarakat sekian tahun mendatang,
tentulah rakyat akan merasa dikhianati dan bahkan mungkin akan marah. Sebab,
jika terjadi demikian, kongres hanyalah dianggap sebagai sebuah “pesta besar,
kangen-kangenan, makan tidur di hotel berbintang”, padahal saudara-saudara kita
masih banyak yang dirundung malang akibat krisis politik, ekonomi, sosial, dan
moral yang tak kunjung reda.
Karena itu, mumpung masih punya waktu
sekitar dua bulan, ada baiknya KBJ III didiskusikan secara terbuka, diberi catatan
sana-sini, sesuai dengan anjuran Gubernur DIY bahwa kita semua perlu mangayubagyo hadirnya KBJ III. Kita
percaya bahwa Badan Pekerja Kongres bersama panitia telah bekerja keras, dan
tentu akan senantiasa meningkatkan kinerjanya (Pranowo, KRM 15/4). Tapi, harus
diakui, masih banyak pihak yang belum terakomodasikan (Suwardi, KRM 8/4),
sehingga wajar bila saat ini masih terjadi pro-kontra.
KBJ III memang perlu dan penting untuk
digelar, lebih-lebih bagi kota Yogyakarta. Ini sekaligus menjadi semacam ujian
bagi Pemda DIY selaku tuan rumah seiring dengan diberlakukannya PP No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Karena itu, KBJ III
diharapkan mampu merumuskan kebijakan bagaimana cara menggali potensi bahasa
dan sastra Jawa demi peningkatan kemandirian masyarakat daerah, di samping
memberdayakan masyarakat agar mampu menjadikan bahasa dan sastra Jawa sebagai
salah satu lahan garapan demi peningkatan taraf hidupnya.
Setidak-tidaknya ada beberapa poin
penting yang dapat dipetik dari peristiwa KBJ III. Jika KBJ III berhasil
menelorkan keputusan yang lebih memberi peluang bagi masyarakat untuk mampu
mengemas bahasa dan sastra Jawa menjadi karya-karya nyata yang menarik minat
publik, tentulah hal ini akan memberikan andil besar bagi peningkatan potensi
wisata di Yogyakarta. Namun, ini harus didukung oleh kebijakan lain mengenai
bagaimana cara mengubah sikap masyarakat agar tidak menjadikan bahasa dan sastra
Jawa hanya sebagai aspek budaya yang eksklusif, yang terkungkung di lingkungan
sendiri yang juga eksklusif, tetapi sebagai aspek budaya yang sejajar dengan
aspek seni dan budaya lainnya.
Kalau seni rupa, patung, dan tari
cukup punya gengsi di kalangan menengah atas, bahkan mampu menembus
tembok-tembok kapitalisme dan menjangkau hotel-hotel berbintang serta punya
nilai yang tinggi, mengapa seni bahasa dan sastra Jawa tidak? Inilah pertanyaan
yang mesti dijawab melalui kebijakan yang lebih memberi peluang bagi para ahli
dan praktisi bahasa, juga bagi para pengarang sastra Jawa, untuk secara serius
dan kreatif menciptakan karya-karya seni bahasa dan sastra Jawa yang tidak
sekadar punya nilai estetika yang tinggi, tetapi juga punya nilai ekonomi yang
tinggi.
Upaya itu sekaligus untuk
merealisasikan tujuan bahwa KBJ III memang tidak dimaksudkan untuk mempertajam
sifat kedaerahan, tetapi untuk membangun konsentrisitas budaya Jawa sebagai
bagian integral dari budaya nasional. Bertolak dari konsentrisitas itu diharapkan
masyarakat Jawa mampu membangun semacam konvergensi, mampu bergaul dengan
tatanan baru dunia global. Karena itu, sudah waktunya masyarakat Jawa
menciptakan jurus-jurus baru untuk mengubah salah satu unsur budaya lokal ini
menjadi sebuah produk kapitalis yang humanis.
Namun, kebijakan yang hanya sekadar
“memberi peluang” tidaklah cukup. Sebab, setiap komponen (para ahli, teoretisi,
pembina, praktisi, pengarang, dst) memerlukan dukungan lain dan karenanya perlu
ada kebijakan mengenai bagaimana menghidupkan dan atau memberdayakan
organisasi, sanggar-sanggar, pusat studi, kelompok pembina, paguyuban, pusat
dokumentasi, manajemen penerbitan dan penyebarluasan, kelompok pecinta,
kepengayoman, dan sebagainya. Kita yakin bahwa tanpa ada strategi jitu yang berwawasan
masa depan, bahasa dan sastra Jawa tetap eksklusif dan tak mampu bertahan,
apalagi bersaing dengan produk seni-budaya lain di tengah merebaknya industri
kapitalisme.
Hanya persoalannya, apakah hal itu
telah menjadi agenda KBJ III yang bakal dibicarakan secara serius? Memang, di
dalam rumusan tema “Dengan bahasa dan sastra Jawa, kita bangun manusia
Indonesia baru yang memiliki budi pekerti luhur, berketahanan nasional, dan
berketahanan bangsa”, harapan mengenai bagaimana seharusnya sosok bahasa dan
sastra Jawa di masa depan sudah terakomodasikan dan mestinya menjadi agenda
penting yang bakal dibahas, dirumuskan, dan diputuskan.
Namun, dari gejala yang muncul ke
permukaan, terlihat bahwa KBJ III lebih condong untuk menjadikan bahasa dan
sastra Jawa hanya sebagai alat, hanya sebagai sarana untuk memenuhi kepentingan
pragmatis, yakni untuk membentuk budi pekerti luhur. Hal ini dapat dicermati,
antara lain, melalui pola seleksi makalah berdasarkan “budi pekerti” sebagai
tolok ukur. Atau lebih jelasnya, tanpa ada unsur “budi pekerti” di dalamnya,
makalah itu tidak akan lulus (lolos). Jadi, dapat dibayangkan, dan
mudah-mudahan bayangan saya keliru, bahwa di dalam KBJ III nanti akan terjadi
perdebatan sengit mengenai “budi pekerti”, sementara definisi tentang “budi
pekerti” itu sendiri senantiasa berubah dari waktu ke waktu, lagipula sifatnya
sangat dogmatis.
Kalau kita mengkorelasikan dengan
kondisi kehidupan sosial yang terjadi akhir-akhir ini, terutama sejak terjadi
krisis ekonomi, kemudian krisis politik, kepercayaan, moral, dan kemudian
terjadi hujat-menghujat di tengah proses penumbangan rezim Orde Baru, bahkan
terus berlangsung di era reformasi, tema pokok mengenai “budi pekerti” memang
sangat relevan. Namun, “budi pekerti”
macam apakah yang dapat diharapkan dari bahasa dan sastra Jawa?
Saya kira, persoalan krisis moral dan
etika terjadi berkat akumulasi dari berbagai sektor kehidupan (ekonomi,
politik, sosial, budaya, agama, psikologi, media massa, dsb), sehingga
penanganannya juga harus melibatkan berbagai macam komponen. Jadi, agak
berlebihan jika kita terlalu banyak berharap dari KBJ III yang memfokuskan
perhatian pada “budi pekerti”.
Barangkali, kalau kita berkeinginan untuk memberikan andil bagi kepentingan
perbaikan moral atau budi pekerti, mestilah kita tidak sekadar mengadakan
Kongres Bahasa Jawa (KBJ), tetapi Kongres Budi Pekerti (KBP) yang melibatkan
sekian banyak komponen masyarakat.
Selain itu, ada hal lain yang sangat
penting dan perlu digarisbawahi. Kalau KBJ III tetap bertahan pada pendirian
bahwa “budi pekerti” sebagai tema yang eksklusif, yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi, yang paling “tidak diuntungkan” adalah nasib sastra Jawa modern dan para
pengarangnya. Mengapa? Karena, kalau nanti muncul tuntutan bahwa karya yang
layak dianggap “sastra” hanyalah karya yang bersifat “mendidik dan membina budi
pekerti manusia”, dan dengan demikian pengarang dipaksa untuk berkarya demi
kepentingan pragmatis, hal ini berarti bahwa sastra Jawa jauh mengalami
kemunduran. Kalau ini benar terjadi, berarti estetika atau keindahan sebagai
hakikat seni yang selama ini diperjuangkan pengarang menjadi sia-sia karena
terlibas oleh kepentingan pragmatis dan partisan.
Lagipula, kalau itu betul-betul jadi
kenyataan, para pengarang sastra Jawa modern “dipaksa” untuk menjadi “duta”
yang tugasnya tidak lebih sebagai kurir yang menyampaikan pesan-pesan dari
“pusat kekuasaan” dan akhirnya hanya menjadi alat legitimasi saja. Mengapa?
Sebab, sejak dulu hingga sekarang, orang masih percaya bahwa nilai etika dan
moral bersumber dari pusat kekuasaan (keraton, misalnya). Hal ini sekaligus
berarti bahwa kita diajak untuk kembali ke masa lalu, ke sebuah masyarakat yang
berkelas, yang berpola pikir primordial, padahal pintu masuk ke sebuah
masyarakat yang demokratis baru saja berhasil sedikit kita buka. Apakah pintu
yang baru sedikit terkuak itu akan ditutup kembali? Mudah-mudahan, tidak.
Sebab, telah menjadi komitmen sejak awal bahwa KBJ III tidak untuk mempertajam
sifat atau sinisme kedaerahan, tetapi untuk menggalang kerukunan dalam
keberbedaan dan untuk menciptakan persatuan dalam keberagaman.
Inilah sekadar catatan kecil buat KBJ
III. Terlepas dari berbagai kendala yang dihadapi, bagaimanapun KBJ III harus
berlangsung dan harus didukung. Kongres salah satu aspek budaya etnis (Jawa)
yang melibatkan pakar-pakar dalam dan luar negeri ini perlu mendapatkan support dari berbagai pihak karena
berhasil-tidaknya KBJ III berimplikasi pada predikat Yogyakarta sebagai kota
budaya, pendidikan, dan daerah tujuan wisata. Bukankah Yogyakarta telah
mendapat pengakuan banyak pihak sebagai daerah yang paling siap melaksanakan
otonomi daerah? ***
Telah dimuat KRM, 13 Mei 2001