Budi Darma: Telah Membaca Karya Sastra Dunia Sejak SMP
Friday, January 06, 2017
Edit
Budi Darma dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah, pada 25
April 1937. Sebagai putra keempat dari enam bersaudara (semua laki-laki) dari
pasangan Darmo Widagdo--Sri Kunmar-yati, Budi Darma hadir dari
keluarga “biasa” karena ketika itu sang ayah hanya seorang pegawai kantor pos.
Setelah berusia tiga bulan, Budi Darma kecil dibawa ke Bandung karena saat itu
Pak Darmo Widagdo, sang ayah, ditugaskan di Bandung.
Sebagai seorang pegawai negeri, ayah Budi Darma memang
sering dipindahtugaskan ke berbagai kota (Jombang, Yogyakarta, Ban-dung, Semarang,
Kendal, Kudus, dan Salatiga). Karena itu, sebagai seorang anak yang harus
selalu mengikuti orang tua ke mana mereka hidup, Budi Darma pun mengalami
kehidupan di berbagai kota itu. Namun, akibat lain yang diderita karena selalu
berpindah-pindah kerja ialah sampai meninggal orang tua Budi Darma tidak
memiliki rumah sendiri (selalu tinggal di rumah dinas, ataukah kontrak rumah?).
Itulah sebabnya, Budi Darma mengaku berasal dari keluarga biasa.
Kendati berasal dari keluarga biasa, boleh dikata Budi
Darma tidak mengalami hambatan dalam meniti karier pendidikannya. Setelah tamat
dari Sekolah Rakyat di Kudus (1950), Budi Darma masuk ke SMP Negeri di
Salatiga. Ketika itu memang ayah Budi Darma sedang bertugas di Salatiga. Sejak
di Salatiga, Budi Darma mulai gemar membaca, bukan hanya buku pelajaran
sekolah, melainkan juga buku-buku sastra Indonesia dan asing. Di perpustakaan
pemerintah yang tidak jauh dari tempat tinggalnya Budi Darma lebih sering
menghabiskan waktu luangnya untuk membaca karya-karya Pramudya, Idrus, Merari
Siregar, Suman H.S., dan lainnya. Dengan kemampuan bahasa Inggrisnya yang
pas-pasan ia juga membaca karya-karya Karl May, Hector Malot, Alexander Dumas,
dan sebagainya. Bahkan, kisah dalam
salah satu cerpen Rusia (berbahasa Inggris) yang berjudul The Darling masih di-ingatnya sampai sekarang.
Tokoh dalam cerpen itu sedikit banyak juga memiliki hubungan dengan Olenka
dalam novelnya Olenka (Balai Pustaka,
1983).
Setamat dari SMP Negeri di Salatiga (1953), Budi Darma
melanjutkan ke salah satu SMA Negeri di Semarang. Ketika itu di Salatiga belum
ada SMA. Karenanya, saat SMA ia harus
berpisah dengan orang tua yang masih dinas di Salatiga. Sejak SMA karier Budi
Darma di bidang tulis-menulis mulai berkem-bang. Di usia sekitar 17 ia
sudah menjadi redaktur budaya di surat kabar Tanah Air di Semarang.
Karier itu dijalani dengan tekun sampai ia tamat SMA tahun 1956. Karena
semangat belajarnya begitu menggebu, setamat SMA ia berkemauan keras untuk
melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Namun, sayang sekali, tidak lama setelah
tamat SMA, Budi Darma kemudian jatuh sakit sehingga ia harus beristirahat
selama setahun.
Istirahat selama setahun tersebut tidak hanya disebabkan
oleh Budi Darma sakit, tetapi juga oleh kesempatan memperoleh beasiswa sudah
tutup karena terlambat. Mengapa harus mencari beasiswa? Menurut Budi Darma,
karena orang tua sudah tidak sanggup lagi membiayai kuliah; saat itu sang ayah
sudah pensiun dari pegawai pos. Barulah pada tahun 1957, Budi Darma resmi
menjadi mahasiswa jurusan Sastra dan Kebudayaan Barat, Fakultas Sastra UGM;
semua itu tidak lepas dari jasa Prof. Nugroho Notosusanto, sang paman,. Prof.
Nugroho Notosusanto adalah suami tante Budi Darma; istri Pak Nugroho adalah
adik kandung ayah Budi Darma.
Selama menjadi mahasiswa di Yogya-karta, Budi Darma
tinggal di rumah Prof. Nug-roho Notosusanto. Saat itu Pak Nugroho adalah dosen
UGM. Sebagai seorang dosen, ia memi-liki cukup banyak buku.
Itulah yang membuat “kerasan” Budi Darma selama tinggal di rumah pamannya. Di
situ pula tumbuh keintelektualan Budi Darma. Sebagai intelek-tual muda yang
selalu ingin maju, ia menya-lurkan bakat-bakat-nya lewat majalah
maha-siswa
Gama sebagai redaktur. Sebagai
seorang redaktur ia sering mengikuti berbagai perte-muan di berbagai
kota (Bandung, Yogya, Semarang, Jakarta, dan seba-gainya).
Sebagai mahasiswa yang berminat ke bidang seni dan
budaya, Budi Darma banyak bergaul dan berbincang tentang kesenian dan
kesusastraan bersama Subagyo Sastrowardoyo, W.S. Rendra, dan Sapardi Djoko
Damono. Saat itu mereka sama-sama menjadi mahasiswa UGM. Karena itu, saat
menjadi mahasiswa Budi Darma sangat sibuk. Namun, kesi-bukannya tidak
terlalu menghambat studinya, tetapi justru memacu kemauan belajarnya. Itulah
sebabnya, tidak lebih dari tujuh tahun, Budi Darma diwi-suda menjadi
sarjana (1963). Sebagai wisuda-wan terbaik ia memperoleh penghargaan berupa Bintang Bhakti Wisuda, sebuah
penghargaan yang diberikan kepada mahasiswa terbaik di bidang pendidikan dan
pengabdian pada masyarakat.
Berkat prestasinya yang membang-gakan, setamat
UGM Budi Darma banyak mendapat tawaran pekerjaan. Oleh dosennya yang warga
negara Canada, Budi Darma dita-wari untuk mengajar di IKIP Negeri Semarang. Namun,
karena sesuatu hal, akhirnya gagal. Lalu datang lagi tawaran dari Prof. Siti
Baroroh Baried (almarhumah) yang saat itu menjabat Dekan Fakultas Sastra UGM.
Oleh Prof. Baroroh, Budi Darma ditawari untuk menjadi dosen di IKIP Negeri
Surabaya. Tawaran inilah yang kemudian diterima, dan sejak 1 Oktober 1963
hingga sekarang Budi Darma resmi menjadi staf pengajar di IKIP Negeri Surabaya.
Selama tinggal di kota Surabaya, ketika itu masih
membujang, Budi Darma tidak banyak berkarya. Ia sibuk mengajar. Karena teman
bujangnya demikian banyak, dan mereka sering menginap di kamarnya, gaji Budi
Darma habis hanya untuk jajan dan nonton bersama. Ia tidak banyak menulis tidak
hanya karena hidupnya tidak teratur, tetapi memang situasi kebudayaan saat itu
tidak menguntungkan akibat berpenga-ruhnya kelompok Lekra yang
dikuasai oleh Partai Komunis. Meski demikian, Budi Darma mengaku situasi
kehidupan selama bujangan di Surabaya juga banyak mengilhami cerpen-cerpennya
yang ditulis setelah ia menikah, antara lain, cerpen Kitri dan Pistol (1970).
Budi Darma menikahi gadis bernama Sitaresmi (bukan mantan
istri Rendra) pada 14 Maret 1968. Dari pernikahannya lahir tiga orang anak:
Diana, Guritno, dan Hananto Widodo. Setelah berkeluarga, Budi Darma rajin
menulis; tidak hanya karya kreatif-imajinatif, terutama cerpen, tetapi juga
artikel, esai, atau makalah untuk berbagai diskusi dan seminar. Ia pernah juga
mengisi acara sastra di RRI dan TVRI Surabaya. Karya-karya cerpennya, sejak
tahun 70-an, banyak dimuat di majalah dan koran seperti Budaya, Basis, Tjerita, Gelora, Horison, Kompas, Minggu Pagi, dan
seba-gainya.
Atas beasiswa dari East West Centre, bersama dengan Sapardi
Djoko Damono, Budi Darma belajar ilmu budaya dasar di University of Hawai, Honolulu (1970--1971). Sebelum, selama, dan
sesudah mengikuti program Hawai, Budi Darma banyak menulis cerpen. Cerpennya Sahabat Saya Bruce (1973) antara lain
ditulis dengan latar cerita di Hawai. Cerpen-cerpen lainnya kemudian dimuat Horison “Edisi Khu-sus Budi Darma”
(April 1974). Edisi itu khusus memuat
cerpen, wawancara, dan tanggapan atas karya-karya Budi Darma.
Bulan Agustus 1974, dengan sponsor Fulbright, Budi Darma
pergi ke Indiana Uni-versity, Bloomington,
Amerika Serikat. Dengan tesis The Death and The Alive, ia meraih gelar
Master of Arts in English Creative
Writing pada November 1975. Dan puncak karier pendi-dikannya ialah,
dengan disertasi berjudul Cha-racter and Moral
Judgment in Janes’s Austin Novel, Budi Darma memperoleh gelar Doktor di Indiana University, Bloo-mington, tahun
1980. Gelar tersebut diperoleh hanya dalam waktu 4 tahun (1976--1980).
Masih dalam tahun yang sama (1980), Budi Darma ke Indiana University lagi, bukan sebagai
mahasiswa, tetapi sebagai visiting
research. Karena selama belajar dan tinggal di Amerika menunjukkan
prestasi, Budi Darma terpilih sebagai salah seorang mahasiswa ber-prestasi sehingga
dicatat dalam buku Who’s Who in The World
(1982/1983). Dari penga-laman selama belajar dan bermasyarakat dengan
orang-orang Bloomington (AS), Budi Darma menghasilkan beberapa cerpen yang
dikumpul-kan dalam buku Orang-Orang
Bloomington (1980) dan novel Olenka
(1983).
Sebelum terbit, naskah novel Olenka diikutsertakan dalam sebuah sayembara menga-rang roman DKJ
(Dewan Kesenian Jakarta) tahun 1980. Dan hasilnya ternyata cukup mem-banggakan, yakni
sebagai peme-nang utama. Setelah terbit, Olenka juga men-dapat Hadiah
Sastra 1983 dari DKJ. Setahun kemudian (1984), berkat novel Olenka, Budi Darma memperoleh SEA Write Award dari Kerajaan Thailand.
Bahkan, novel tersebut juga menyabet Hadiah
Sirikit.
Di IKIP Negeri Surabaya, Budi Darma pernah berkali-kali
menduduki jabatan, antara lain, sebagai Ketua Jurusan Sastra Inggris, Dekan
FKSS, dan puncaknya menjadi Rektor (1984--1987). Di sela-sela kesibukannya juga
dipercaya sebagai anggota Dewan Kesenian Surabaya dan sebagai dosen terbang di
Universitas Negeri Jember. Selain itu, di sela-sela kesibukan pulang-pergi ke
luar dan dalam negeri untuk memberikan ceramah dalam ber-bagai seminar, ia
masih sempat menulis bebe-rapa cerpen dan novel. Bahkan, novel keduanya, Rafilus (Balai Pustaka, 1988), juga
ditulis ketika ia mengikuti serangkaian perjalanan dalam rang-ka English Studies Summer di Cambridge Uni-versity. Namun, karena
belum selesai, penulisan novel itu dilanjutkan di Singapura, Jakarta, dan
selesai di Surabaya. Novel ketiganya, Ny.
Talis (Grasindo, 1996) digarap juga (dalam waktu 2 bulan) ketika ia selama
6 bulan tinggal di Bloomington (1990/1991).
Nyata bahwa sumbangan Budi Darma dalam kancah sastra
Indonesia cukup besar. Karya cerpen dan novelnya dianggap banyak orang sebagai
“membawa corak baru”. Konse-kuensinya, karya-karya Budi Darma ditanggapi banyak
pihak, baik sebagai bahan diskusi di surat kabar dan majalah maupun sebagai
bahan ceramah, skripsi, dan tesis para mahasiswa sastra. Berbagai karya
ilmiahnya tentang sastra dan kebudayaan juga banyak diterbitkan men--jadi buku. Tiga
buah buku kumpulan esainya ialah Solilokui
(1983), Sejumlah Esai Sastra (1984),
dan Harmonium (1995).
Sebagai novelis, cerpenis, esais, budaya-wan, ahli sastra,
dosen, dan sebagai warga-negara serta kepala keluarga yang baik, hingga kini
Budi Darma masih tetap menun-jukkan aktivitasnya, baik di luar maupun dalam
negeri. Berkat kelebihannya yang “menumpuk”, ia banyak menerima hadiah dan
penghargaan, di antaranya dari Walikota Surabaya, Gubernur Jawa Timur, Dewan
Kesenian Jakarta, Hadiah Sastra Asean, Anugerah
Seni dari Pemerintah RI.
Dalam
beberapa tahun terakhir ini, salah satu cerpennya berjudul “Derabat” (Kompas, 3 Agustus 1997), yang ditulis di
India ketika ia diundang untuk memberikan komentar terhadap usulan penelitian
para calon doktor, terpilih sebagai Cerpen
Terbaik Pilihan Kompas 1999.
Sebelumnya, meski bukan yang terbaik, cer-pennya “Gauhati” (Kompas, 22 September 1996) masuk pula
sebagai Cerpen Pilihan Kompas 1997.
Selain itu, cerpennya “Potret Itu, Gelas Itu, Pakaian Itu” (Horison,
Juli 1990) juga menjadi salah satu dari 10 cerpen terbaik majalah sastra
Horison tahun 1990--2000. Cerpen itu
kemudian dimuat di Horison edisi
khusus ulang tahun ke-34, Juli 2000. Menurut berita yang dapat dipercaya, saat
ini (2001), Budi Darma juga sedang dalam proses menyelesaikan sebuah novel. Apa
judulnya, kita tunggu.
Demikian sekilas
riwayat dan karier Budi Darma yang sampai sekarang masih terus berkarya.
Dilihat tingkat pendidikan, pengha-silan, pengalaman di luar
dan di dalam negeri, dan sekian banyak aktivitas sosial dan intelek-tual lainnya,
agaknya ia dapat digolongkan sebagai orang yang berkelas sosial menengah atas.
Atau, menurut istilah Geertz dan Young (Putra, 1993), Budi Darma termasuk ke
dalam kelas metropolitan superculture,
atau menengah kota urban middle class,
atau a state-dependent middle class. Itulah
sebabnya, karya-karya cer-pen dan novelnya, ditulis untuk ditujukan kepa-da khalayak yang
“sekelas” dengannya. Namun, entah apa, siapa, mengapa, dan bagaimana Budi
Darma, yang jelas ia masih tetap sebagai orang yang berkepribadian Indonesia
(dan Jawa). ***
Telah dimuat
HORISON/KAKILANGIT, Januari 2002