Budi Darma: Menggarap Jiwa Manusia Berdasarkan Takdirnya
Friday, January 06, 2017
Edit
Selama masih terus mengarang, konsep kepengarangan
seorang pengarang sesungguh-nya tidak dapat ditentukan secara pasti karena
konsep tersebut biasanya akan berubah selaras dengan perubahan diri pengarang
itu sendiri (kemampuan dan kematangan jiwanya). Jika su-atu saat konsep
kepengarangan seorang penga-rang dapat ditentukan, konsep tersebut pasti
hanyalah bersifat sementara. Demikian juga konsep kepengarangan Budi Darma yang
dicoba untuk dirumuskan kali ini. Apa pun hasilnya, konsep Budi Darma, hingga
saat ini tetap bersifat sementara, karena kemungkinan besar masih akan
mengalami perubahan sesuai dengan perubahan diri Budi Darma sendiri. Kecuali
jika seorang pengarang, termasuk Budi Darma, sejak awal hingga akhir hayatnya,
telah menentukan dan menyatakan secara pasti konsepnya sendiri. Konsep itu
jelas bukan bersifat sementara lagi.
Berdasarkan esai-esai yang telah ditulis Budi Darma,
misalnya “Mula-Mula adalah Tema” (1980), “Mulai dari Tengah” (1981), “Laki-Laki
Putih” (1982), Solilokui (1983),
“Asal-Usul Olenka” dalam novel Olenka
(1983), “Kemampuan Mengebor Sukma” (1984), dan “Tanggung Jawab Pengarang”
(1988), dan berdasarkan esai karya Darma Putra (1995), secara sekilas konsep
kepenga-rangan Budi Darma dapat digambarkan sebagai berikut.
Di dalam salah satu tulisannya Budi Darma berpendapat
bahwa bagaimanapun juga karya sastra lahir dari kekayaan batin dan untuk
memperkaya batin, bukan untuk kepentingan sosial. Baginya, pandangan mengenai
sastra untuk memperbaiki keadaan sosial adalah sia-sia belaka, sebab keadaan
sosial hanya dapat diatasi dengan suatu perencanaan dan tindakan nyata,
misalnya melalui pendidikan, program KB, pemberantasan pengangguran, kemiskinan, dan sejenisnya,
bukan melalui sastra.
Kendati berpendapat demikian, bukan berarti Budi Darma
tidak commited terhadap
masalah-masalah sosial. Ketika bertindak seba-gai manusia
biasa, ia tetap komit terhadap masalah sosial. Tetapi, ketika bertindak sebagai
pengarang, ia bekerja dengan bawah sadarnya dan melupakan masalah-masalah
sosial, politik, dan ekonomi. Karena itu, pada waktu menga-rang, ia memasuki
jiwa manusia sebagai ma-nusia, bukan manusia sebagai makhluk sosial. Jadi,
masalah kondisi manusia (human condi-tion) itulah yang
utama (primer), sedang-kan masalah kondisi sosial (social condition) hanya sekunder belaka. Menurut Budi Darma, human condition lebih esensial daripada social condi-tion walaupun keduanya
tetap tidak dapat dipi-sahkan.
Budi Darma juga berpandangan bahwa “takdir” merupakan
sesuatu yang berpengaruh besar di dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan
manusia, pengaruh takdir lebih pen-ting daripada pengaruh
lingkungan. Itulah sebabnya, dalam dunia karang-mengarang Budi Darma cenderung
menggarap persoalan manusia berdasarkan takdirnya, bukan berdasarkan ling-kungan sosialnya.
Karena sastra yang baik pada dasarnya lahir dari dan untuk kekayaan batin,
tidak heran jika dalam karya-karyanya Budi Darma berusaha meng-ungkapkan masalah
batin manusia, yaitu emosi, sukma, dan motivasi tindakannya; sementara hal-hal
yang berada di luarnya hanya sebagai penunjang saja. Karena itu, seperti
tergambar dalam esainya Kemam-puan Mengebor
Sukma, Budi Darma menegas-kan bahwa pengarang yang baik adalah penga-rang yang mampu
mengebor sukma, mampu menggali hal-hal yang fundamental, hal-hal yang berkaitan
dengan jiwa dan batin manusia, yang semua itu ditentukan oleh takdir. Dalam hal
ini, konsep takdir diartikan sebagai suatu ekspresi pengakuan--yang tidak dapat
ditolak atau digugat, semacam kehendak dari Atas--akan adanya kekuatan di luar
diri manusia, mungkin dari Tuhan; sedangkan konsep batin diartikan sebagai
kekuatan dalam yang ada pada diri manusia.
Karena yakin akan adanya kekuatan tak-dir, Budi Darma
terus terang mengaku bahwa, seperti tampak dalam tulisannya “Pangakuan” (Solilokui, 1983), takdir telah
memberikan ke-kuatan tertentu untuk menjadi pengarang. Me-nurutnya, ketika
mengarang, semuanya datang dengan sendirinya, tanpa direncanakan, tanpa dapat
dikuasai; bahkan, ia sendirilah yang telah dikuasai oleh apa yang dikarang.
Jadi, sebagai pengarang, ia bukan
subjek, melainkan justru menjadi objek yang dikuasai dan dikontrol oleh
kekuatan takdir.
Pernyataan mengenai pengarang seba-gai objek tersebut berkali-kali dikatakan dalam beberapa esainya
yang lain. Meskipun kekuatan takdir dianggap segala-galanya, tidak berarti Budi
Darma mengesampingkan hal lain yang ada pada diri manusia. Karena itu,
menurutnya, selain harus yakin akan adanya kekuatan takdir, pengarang juga
harus memiliki otak, insting, dan persepsi. Hal itu dilandasi oleh suatu ke-nyataan bahwa
pengarang pada hakikatnya adalah manusia pemikir (man of thought) seka-ligus manusia terlibat (man of action). Artinya, terlibat dalam kehidupan
sosial manusia. “Ha-nya manusia yang terlibat dengan perkem-bangan dan dunia
pemikiranlah yang sanggup mengembangkan imajinasi dan menawarkan nilai-nilai,”
demikian ungkap Budi Darma dalam artikelnya “Tanggung Jawab Pengarang”.
Dalam paparan di atas tampak bahwa sebagai pengarang Budi
Darma memiliki dua konsep, yaitu kekuatan
takdir dan otak, insting, dan persepsi manusia. Jika diamati, dua
konsep tersebut terkesan kontradiktif. Dengan mun-culnya konsep
otak, insting, dan persepsi, berarti konsep kekuatan takdir tidak lagi
segala-galanya. Akan tetapi, apabila dipahami dengan lebih seksama, dua konsep
tersebut tidak ter-kesan kontradiktif atau tumpang tindih. Untuk
memahami ketidakkontradiktifan dua konsep itu kita dapat mensinyalir penjelasan Budi Darma seperti
berikut.
Dalam penjelasannya mengenai takdir, Budi Darma
mengandaikan suatu kelahiran dan kematian manusia. Kekuatan takdir terlihat
dalam pernyataan bahwa manusia tidak dapat memilih waktu kapan ia harus lahir
atau harus mati. Sebenarnya, ketika lahir manusia sudah membawa tanggal
kematiannya, hanya saja manusia tidak mengetahuinya. Manusia juga tidak dapat
menentukan kapan ia harus bahagia, kapan harus sengsara, karena semua itu sudah
kehendak takdir. Memang manusia oleh Tuhan dikaruniai otak, insting, persepsi,
dan kekuatan-kekuatan lain sehingga ia dapat berpikir dan terlibat dalam
berbagai kehidupan, tetapi semua itu takdirlah yang menentukan. “Kabeh iku wus ginaris, manungsa mung
sakdrema nglakoni”, barangkali itulah jika diungkapkan dalam ba-hasa Jawa.
Artinya, semua hal sudah ditentukan (oleh Tuhan), manusia hanya dapat
menjalani.
Konsep itulah yang senantiasa dipegang oleh Budi Darma
sehingga tidak aneh jika di dalam karya-karyanya ia menggarap
persoalan-persoalan manusia sebagai individu yang senantiasa mencari identitas
atau jati dirinya. Identitas dan atau jati diri yang dicari itu pun tidak
pernah diketemukan karena semua itu adalah misteri. Dan tidak aneh pula jika
manusia-manusia yang digarap oleh Budi Darma semuanya misterius. Barangkali
memang sudah ditakdirkan demikian.
Dari seluruh paparan di atas, secara sekilas konsep
kepengarangan Budi Darma dapat digeneralisasikan seperti berikut. Per-tama, karya sastra
baginya merupakan ekspresi batin untuk lebih memperkaya batin (manusia), bukan
untuk merombak atau memperbaiki keadaan sosial masyarakat. Kedua, selaras dengan ekspresi batin tersebut, dalam bersastra Budi
Darma cenderung mengangkat atau mem-persoalkan kondisi manusia
sebagai manusia, sebagai individu, bukan sebagai makhluk sosial. Itulah
sebabnya, tokoh-tokoh yang dicipta-kannya adalah
manusia-manusia individual yang seluruh kehidupannya telah ditentukan oleh
takdir, bukan oleh lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Faktor manusia berdasarkan takdir itu dinilai lebih
universal, lebih esensial, dan lebih human,
karena faktor sosial dan sebagainya hanya bersifat semu dan sementara. Karena
itu, Budi Darma menganggap bahwa karya sastra yang baik adalah karya yang
mengungkapkan esensi kehidupan dan sukma manusia, seperti benci, cinta, ego,
bahagia, pilu, sengsara, dan sejenisnya; sementara karya yang meng-ungkapkan
persoalan sosial dinilai cepat lapuk dan cepat ditinggalkan orang. Persoalan
esensial manusia yang memang sudah kehen-dak takdir itulah yang
agaknya mewarnai seluruh karya imajinatif Budi Darma.
Demikian antara lain konsep sekaligus proses kreatif Budi
Darma dalam bersastra. Kendati yang terpenting baginya adalah takdir dan esensi
kehidupan manusia, bukan berarti karya-karya sastra yang telah ditulisnya dapat
mengungkapkan secara tuntas seluruh kehi-dupan manusia. Dalam sebuah
tulisannya ia berterus terang bahwa dalam menghadapi segala rahasia kehidupan
ia hanyalah seorang yang dungu dan
tidak dapat memberikan kesimpulan apa-apa. Barangkali, “kedunguan” Budi Darma
itu juga sudah menjadi kehendak takdir. ***
Dimuat HORISON/KAKILANGIT, Januari 2002