-->

Budi Darma: Menggarap Jiwa Manusia Berdasarkan Takdirnya

Selama masih terus mengarang, konsep kepengarangan seorang pengarang sesungguh-nya tidak dapat ditentukan secara pasti karena konsep tersebut biasanya akan berubah selaras dengan perubahan diri pengarang itu sendiri (kemampuan dan kematangan jiwanya). Jika su-atu saat konsep kepengarangan seorang penga-rang dapat ditentukan, konsep tersebut pasti hanyalah bersifat sementara. Demikian juga konsep kepengarangan Budi Darma yang dicoba untuk dirumuskan kali ini. Apa pun hasilnya, konsep Budi Darma, hingga saat ini tetap bersifat sementara, karena kemungkinan besar masih akan mengalami perubahan sesuai dengan perubahan diri Budi Darma sendiri. Kecuali jika seorang pengarang, termasuk Budi Darma, sejak awal hingga akhir hayatnya, telah menentukan dan menyatakan secara pasti konsepnya sendiri. Konsep itu jelas bukan bersifat sementara lagi.
            Berdasarkan esai-esai yang telah ditulis Budi Darma, misalnya “Mula-Mula adalah Tema” (1980), “Mulai dari Tengah” (1981), “Laki-Laki Putih” (1982), Solilokui (1983), “Asal-Usul Olenka” dalam novel Olenka (1983), “Kemampuan Mengebor Sukma” (1984), dan “Tanggung Jawab Pengarang” (1988), dan berdasarkan esai karya Darma Putra (1995), secara sekilas konsep kepenga-rangan Budi Darma dapat digambarkan sebagai berikut.
            Di dalam salah satu tulisannya Budi Darma berpendapat bahwa bagaimanapun juga karya sastra lahir dari kekayaan batin dan untuk memperkaya batin, bukan untuk kepentingan sosial. Baginya, pandangan mengenai sastra untuk memperbaiki keadaan sosial adalah sia-sia belaka, sebab keadaan sosial hanya dapat diatasi dengan suatu perencanaan dan tindakan nyata, misalnya melalui pendidikan, program KB, pemberantasan  pengangguran, kemiskinan, dan sejenisnya, bukan melalui sastra.
            Kendati berpendapat demikian, bukan berarti Budi Darma tidak commited terhadap masalah-masalah sosial. Ketika bertindak seba-gai manusia biasa, ia tetap komit terhadap masalah sosial. Tetapi, ketika bertindak sebagai pengarang, ia bekerja dengan bawah sadarnya dan melupakan masalah-masalah sosial, politik, dan ekonomi. Karena itu, pada waktu menga-rang, ia memasuki jiwa manusia sebagai ma-nusia, bukan manusia sebagai makhluk sosial. Jadi, masalah kondisi manusia (human condi-tion) itulah yang utama (primer), sedang-kan masalah kondisi sosial (social condition) hanya sekunder belaka. Menurut Budi Darma, human condition lebih esensial daripada social condi-tion walaupun keduanya tetap tidak dapat dipi-sahkan.
            Budi Darma juga berpandangan bahwa “takdir” merupakan sesuatu yang berpengaruh besar di dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia, pengaruh takdir lebih pen-ting daripada pengaruh lingkungan. Itulah sebabnya, dalam dunia karang-mengarang Budi Darma cenderung menggarap persoalan manusia berdasarkan takdirnya, bukan berdasarkan ling-kungan sosialnya. Karena sastra yang baik pada dasarnya lahir dari dan untuk kekayaan batin, tidak heran jika dalam karya-karyanya Budi Darma berusaha meng-ungkapkan masalah batin manusia, yaitu emosi, sukma, dan motivasi tindakannya; sementara hal-hal yang berada di luarnya hanya sebagai penunjang saja. Karena itu, seperti tergambar dalam esainya Kemam-puan Mengebor Sukma, Budi Darma menegas-kan bahwa pengarang yang baik adalah penga-rang yang mampu mengebor sukma, mampu menggali hal-hal yang fundamental, hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan batin manusia, yang semua itu ditentukan oleh takdir. Dalam hal ini, konsep takdir diartikan sebagai suatu ekspresi pengakuan--yang tidak dapat ditolak atau digugat, semacam kehendak dari Atas--akan adanya kekuatan di luar diri manusia, mungkin dari Tuhan; sedangkan konsep batin diartikan sebagai kekuatan dalam yang ada pada diri manusia.
            Karena yakin akan adanya kekuatan tak-dir, Budi Darma terus terang mengaku bahwa, seperti tampak dalam tulisannya “Pangakuan” (Solilokui, 1983), takdir telah memberikan ke-kuatan tertentu untuk menjadi pengarang. Me-nurutnya, ketika mengarang, semuanya datang dengan sendirinya, tanpa direncanakan, tanpa dapat dikuasai; bahkan, ia sendirilah yang telah dikuasai oleh apa yang dikarang. Jadi, sebagai pengarang, ia bukan  subjek, melainkan justru menjadi objek yang dikuasai dan dikontrol oleh kekuatan takdir.
            Pernyataan mengenai pengarang seba-gai objek tersebut  berkali-kali dikatakan dalam beberapa esainya yang lain. Meskipun kekuatan takdir dianggap segala-galanya, tidak berarti Budi Darma mengesampingkan hal lain yang ada pada diri manusia. Karena itu, menurutnya, selain harus yakin akan adanya kekuatan takdir, pengarang juga harus memiliki otak, insting, dan persepsi. Hal itu dilandasi oleh suatu ke-nyataan bahwa pengarang pada hakikatnya adalah manusia pemikir (man of thought) seka-ligus manusia terlibat (man of action). Artinya, terlibat dalam kehidupan sosial manusia. “Ha-nya manusia yang terlibat dengan perkem-bangan dan dunia pemikiranlah yang sanggup mengembangkan imajinasi dan menawarkan nilai-nilai,” demikian ungkap Budi Darma dalam artikelnya “Tanggung Jawab Pengarang”.
            Dalam paparan di atas tampak bahwa sebagai pengarang Budi Darma memiliki dua konsep, yaitu kekuatan takdir dan otak, insting, dan persepsi manusia. Jika diamati, dua konsep tersebut terkesan kontradiktif. Dengan mun-culnya konsep otak, insting, dan persepsi, berarti konsep kekuatan takdir tidak lagi segala-galanya. Akan tetapi, apabila dipahami dengan lebih seksama, dua konsep tersebut tidak ter-kesan kontradiktif atau tumpang tindih. Untuk memahami ketidakkontradiktifan dua konsep itu kita dapat  mensinyalir penjelasan Budi Darma seperti berikut.
            Dalam penjelasannya mengenai takdir, Budi Darma mengandaikan suatu kelahiran dan kematian manusia. Kekuatan takdir terlihat dalam pernyataan bahwa manusia tidak dapat memilih waktu kapan ia harus lahir atau harus mati. Sebenarnya, ketika lahir manusia sudah membawa tanggal kematiannya, hanya saja manusia tidak mengetahuinya. Manusia juga tidak dapat menentukan kapan ia harus bahagia, kapan harus sengsara, karena semua itu sudah kehendak takdir. Memang manusia oleh Tuhan dikaruniai otak, insting, persepsi, dan kekuatan-kekuatan lain sehingga ia dapat berpikir dan terlibat dalam berbagai kehidupan, tetapi semua itu takdirlah yang menentukan. “Kabeh iku wus ginaris, manungsa mung sakdrema nglakoni”, barangkali itulah jika diungkapkan dalam ba-hasa Jawa. Artinya, semua hal sudah ditentukan (oleh Tuhan), manusia hanya dapat menjalani.
            Konsep itulah yang senantiasa dipegang oleh Budi Darma sehingga tidak aneh jika di dalam karya-karyanya ia menggarap persoalan-persoalan manusia sebagai individu yang senantiasa mencari identitas atau jati dirinya. Identitas dan atau jati diri yang dicari itu pun tidak pernah diketemukan karena semua itu adalah misteri. Dan tidak aneh pula jika manusia-manusia yang digarap oleh Budi Darma semuanya misterius. Barangkali memang sudah ditakdirkan demikian.
            Dari seluruh paparan di atas, secara sekilas konsep kepengarangan Budi Darma dapat digeneralisasikan seperti berikut. Per-tama, karya sastra baginya merupakan ekspresi batin untuk lebih memperkaya batin (manusia), bukan untuk merombak atau memperbaiki keadaan sosial masyarakat. Kedua, selaras dengan ekspresi batin tersebut, dalam bersastra Budi Darma cenderung mengangkat atau mem-persoalkan kondisi manusia sebagai manusia, sebagai individu, bukan sebagai makhluk sosial. Itulah sebabnya, tokoh-tokoh yang dicipta-kannya adalah manusia-manusia individual yang seluruh kehidupannya telah ditentukan oleh takdir, bukan oleh lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya.
            Faktor manusia berdasarkan takdir itu dinilai lebih universal, lebih esensial, dan lebih human, karena faktor sosial dan sebagainya hanya bersifat semu dan sementara. Karena itu, Budi Darma menganggap bahwa karya sastra yang baik adalah karya yang mengungkapkan esensi kehidupan dan sukma manusia, seperti benci, cinta, ego, bahagia, pilu, sengsara, dan sejenisnya; sementara karya yang meng-ungkapkan persoalan sosial dinilai cepat lapuk dan cepat ditinggalkan orang. Persoalan esensial manusia yang memang sudah kehen-dak takdir itulah yang agaknya mewarnai seluruh karya imajinatif Budi Darma.
            Demikian antara lain konsep sekaligus proses kreatif Budi Darma dalam bersastra. Kendati yang terpenting baginya adalah takdir dan esensi kehidupan manusia, bukan berarti karya-karya sastra yang telah ditulisnya dapat mengungkapkan secara tuntas seluruh kehi-dupan manusia. Dalam sebuah tulisannya ia berterus terang bahwa dalam menghadapi segala rahasia kehidupan ia hanyalah seorang yang dungu dan tidak dapat memberikan kesimpulan apa-apa. Barangkali, “kedunguan” Budi Darma itu juga sudah menjadi kehendak takdir. *** 
Dimuat HORISON/KAKILANGIT, Januari 2002

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel