-->

Beberapa Cerpen yang Berbicara tentang MATA

1. Mata -- Motinggo Busye (Horison, No. 6, Juni 1986). 

Syafii, mata kanannya buta, akibat terkena Sipilis saat melacur di Paris. Ia adalah mahasiswa di Kairo, Mesir. Ia sadar itu adalah kutukan Tuhan. Karenanya ia sedih dan tak bahagia. Tapi, ia sedikit terhibur, saat ia membaca karya Descartes, Andre Gide, Albert Camus, Jalaluddin Ar Rumi, filsafat absurdis Samuel Becket. Namun lagi-lagi ia tak bahagia. Dan ia berpikir, mata inilah yang membuat tak bahagia. Terlebih ketika Sukma menyatakan sindiran setelah ia intip saat mandi. Karena itu, mata kirinya lalu dicungkil, sehingga buta semua. Lama kemudian, Sukma datang. Syafii berjalan dengan tongkat. Sukma menjerit lalu mati. Syafii dihajar massa karena dikira membunuh dan memperkosa Sukma. Syafii mati tersenyum. Tapi setelah tahu di rak bukunya banyak buku bertuliskan Arab, banyak orang menganggap Syafii orang suci, sehingga ingin memandikan dan menguburnya. Kuburannya oleh banyak orang dianggap keramat. Malahan ada yang percaya ia adalah wali kesebelas di Jawa setelah Syeh Siti Jenar.

2. Mata yang Enak Dipandang – Ahmad Tohari (Kompas, 29 Desember 1991), masuk dalam Kado Istimewa, cerpen pilihan Kompas 1992.

Mirta, kere picek, dan Tarsa, penuntunnya, berseting di stasiun. Mirta sudah puluhan tahun jadi kere/pengemis. Akibat dibiarkan oleh Tarsa terpanggang matahari terlalu lama, Mirta sakit dan tak lagi bisa diajak kerja: mengemis. Mirta tahu betul: kereta kelas utama orang-orangnya tak mau memberi, matanya seperti mata bambu, sehingga ia nunggu kereta kelas tiga. Orang2 di kereta kelas tiga-lah yang banyak memberi sedekah baginya. Katanya, mata yang suka memberi itu: matanya enak dipandang. Tapi, setelah kereta kelas tiga datang, Mirta ternyata mati. Tarsa bingung, sementara perut sudah sangat lapar.

3. Saksi Mata – Seno Gumira Adjidarma (Suara Pembaruan, 1992) dimuat dalam Saksi Mata (Seno, Bentang, 1994).

Saksi mata datang ke pengadilan tanpa mata. Darah mengalir memenuhi ruang pengadilan, sampai halaman, jalan raya. Tapi tak ada yang melihatnya. Ditanya hakim, saksi mata menjawab: Matanya dicungkil pakai sendok oleh lima orang ala ninja. Katanya buat thengkelng. Itu terjadi dalam mimpi. Tapi ketika bangun matanya sudah hilang. Hakim bingung. Hakim bilang: agar diingat baik2 sebab banyak orang tahu kejadian pembantaian tapi satu satu pun yang berani jadi saksi. Ia adalah saksi satu2nya. Sidang ditunda. Hakim bilang pada sopir ketika pulang: betapa gigih orang buta mau jadi saksi mata.

4. Sepasang Mata yang Hilang – Indra Tranggono (Kompas, 6 September 1992), masuk dalam Pagelaran (FKY, 1993), Sang Terdakwa (YUI, 2000), dan Iblis Ngambek (PB Kompas, 2003).

Kamil, anak Pak Kardi dan Yu Sonto di desa Krowotan, akibat terjatuh, perasaan matanya jadi aneh. Jika melihat orang-orang kaya, orang itu seperti raksasa. Karenanya ia meraung dan menjerit. Tapi, tidak apa-apa jika melihat orang biasa, miskin, muslim. Karenanya, Pak Karso, juragan tembakau, Pak Karsan juragan dari Duwitan, jadi tersinggung. Ia dilaporkan ke polisi. Lurah jadi marah. Bupati jadi marah. Lalu Kamil dilarang ayahnya keluar. Kamil protes. Tapi akhirnya mata Kamil betul-betul dicongkel oleh antek-antek orang kaya.  Kini ia berjalan pakai tongkat. Sudah 10 tahun ini. Ia jadikan ejekan anak-anak kecil.

5. Mata yang Indah – Budi Darma (Kompas, 12 November 2000), masuk dalam “Mata yang Indah”: Cerpen Pilihan Kompas 2001.

Menjelang ibu maninggal, Haruman diminta melihat mata ibu. Mata itu lembut, spt nyala lilin, tenang. Tiba-tiba ada bau segar. Entah dari mana datangnya. Kata ibu, itu dari Malaikat, dari Sorga. Haruman ingat kata ibu masa kecil. Jika orang mau mati, pasti akan datang malaikat. Dulu, ibu menyuruh pergi Haruman. Haruman mengembara, berpindah-pindah. Tak pernah menetap selama lebih dari tiga hari. Haruman menjadi pendayung perahu tambang. Itupun tak sengaja. Sebab ia tiba-tiba dibawa orang buta bernama Gues yang punya perahu. Haruman sempat dimintai memberi anak oleh istri Gues. Itulah sebabnya Haruman pergi lagi. Lalu pulang. Ketemu ibu, yang sudah mau mati. Tiba-tiba mata Haruman buta. Ibu mengaku dosa. Dulu ia pernah perkosa lelaki bermata indah. Ia tidur dan bermimpi. Dalam mimpi Ia merasa mengandung anak yang nanti akan hidup tanpa mata. Tampaknya ada bidadari kasihan pada ibu. Bidadari itu membawa sepasang mata yang dicomot entah dari siapa. Saat ibu menghembuskan nafas terakhir, Haruman berkata, “Ibu, pergilah dengan damai. Sejak dulu saya sudah memaafkan kesalahan ibu. Bidadari yang ibu harapkan sudah datang menjemput saya”. Saya yakin ibu sudah tak dengar.

6. Mata – Titie Said (Republika, 27 April 2003)

Nebukadnezar, 6 tahun, anak Irak, menggigil takut oleh bom-bom Amerika, ngumpet di badan ibunya, Umi Najilah. Nebu sakit panas. Ia sekonyong melihat ayahnya datang. Padahal tak ada siapa2. Nebu haus. Ibunya keluar cari air. Nebu diselimuti poster Saddam Husein. Tapi di luar ibunya lupa, justru ikut menolong banyak korban. Ketika kembali, bunker-nya sudah hancur. Di serakan itu ia menemukan mata anaknya, tinggal sebelah. Mata itu masih mengeluarkan air mata. Mata ia pungut dan bungkus dengan kain jubah hitam. Ia bergumam, gumamnya jadi jeritan. Jeritan peradaban Irak atas penindasan Amerika.

7. Mata Sunyi Perempuan Takroni – Triyanto Triwikromo
           

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel