Bahasa dan Pemertahanan Identitas Bangsa (Catatan Budaya)
Saturday, January 14, 2017
Edit
Bahasa Jawa tidak akan pernah mati
selama masih ada orang Jawa. Ungkapan itulah yang sering kita dengar ketika
kita sedang berbicara tentang prospek dan nasib bahasa Jawa ke depan. Jelas
bahwa ungkapan tersebut bernada positif. Tetapi, kemudian, kita dapat bertanya,
masih akan adakah orang (suku bangsa) Jawa jika bahasa Jawa tidak ada? Atau,
dalam konteks yang lebih luas (ke-Indonesia-an), masih akan adakah orang (bangsa)
Indonesia
jika bahasa Indonesia tidak ada?
Merenungi pertanyaan itu kita tahu betapa erat kaitan antara bahasa dan bangsa. Suatu bangsa akan dapat diidentifikasi sebagai bangsa jika masih ada bahasa. Maka, bahasa menjadi sarana ampuh untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya bangsa. Lalu, berkait dengan pertanyaan tadi, apakah bangsa (suku) Jawa masih bisa diidentifikasi sebagai bangsa (suku) Jawa jika bahasa Jawa tidak ada? Dan, apakah bangsa Indonesia juga masih bisa diidentifikasi sebagai bangsa Indonesia jika bahasa Indonesia tidak ada.
Merenungi pertanyaan itu kita tahu betapa erat kaitan antara bahasa dan bangsa. Suatu bangsa akan dapat diidentifikasi sebagai bangsa jika masih ada bahasa. Maka, bahasa menjadi sarana ampuh untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya bangsa. Lalu, berkait dengan pertanyaan tadi, apakah bangsa (suku) Jawa masih bisa diidentifikasi sebagai bangsa (suku) Jawa jika bahasa Jawa tidak ada? Dan, apakah bangsa Indonesia juga masih bisa diidentifikasi sebagai bangsa Indonesia jika bahasa Indonesia tidak ada.
Berbicara mengenai bahasa dan bangsa, jelas
bahwa kita masuk ke dalam wilayah politik identitas. Politik identitas ini berkait
erat dengan keberadaan dan jatidiri. Kalau ingin jatidiri bangsa kita tetap
ada, tentu bahasa kita juga harus tetap ada (eksis). Pertanyaannya sekarang,
masih akan tetap ada selamanyakah bahasa kita dalam kerangka pemertahanan
identitas bangsa kita? Terhadap pertanyaan ini, walau sampai kini kita masih
bisa mengatakan tetap ada, di masa mendatang keberadaan bahasa kita perlu kita
renungi kembali.
Cobalah kita tengok sejarah. Beberapa
puluh tahun yang lalu, Indonesia memiliki lebih dari 740 bahasa daerah. Hal itu
berarti Indonesia juga memiliki lebih dari 740 suku bangsa. Tetapi, realitasnya,
hingga kini jumlah bahasa itu terus menurun --terutama di wilayah Timur
Indonesia-- akibat sebagian dari mereka tak lagi bertutur dengan bahasanya
sendiri. Maka, analoginya, jumlah suku itu pun menurun akibat hilangnya bahasa
mereka. Mengapa bahasa mereka hilang? Tak lain karena para pemiliknya tak lagi
memertahankannya sehingga lambat-laun identitas (jatidiri) mereka pun hilang. Atau,
seandainya masih ada, setidaknya mereka (suku-suku itu) tak lagi dapat
diidentifikasi.
Kalau saat ini hal itu bisa terjadi,
bukankah hal itu juga bisa terjadi pada bahasa Jawa dan Indonesia di masa
mendatang? Sebab, kalau dilihat sekarang, tanda-tandanya sudah jelas: banyak generasi
muda Jawa yang tak lagi mampu berbahasa (dan bersastra) Jawa. Selain itu, di
era informasi ini sikap positif bangsa kita terhadap bahasa Indonesia pun
cenderung menurun. Sekadar untuk menghibur diri, kita terkadang tabu mengatakannya,
tetapi realitas-lah yang membuktikan demikian. Karena itu, jika ingin identitas
bangsa kita tetap bertahan, perlu ada upaya keras dan serius dalam penanganan
bahasa kita.
Sebenarnya penanganan masalah bahasa
(Indonesia dan Daerah/Jawa) ini telah banyak dilakukan, tetapi hasilnya belum
signifikan. Bahasa Jawa telah masuk kurikulum muatan lokal wajib mulai SD
hingga SMA, tetapi tingkat keberhasilannya masih rendah. Kongres Bahasa Jawa
pun sudah berkali-kali dilaksanakan, tetapi sebagian rekomendasinya belum terimplementasikan.
Mendagri (dengan Permen No. 40 Thn 2007) juga telah menugasi Pemda untuk membina
dan mengembangkan bahasa (Indonesia/Daerah) di Daerah, tetapi hasilnya belum
tampak. Gubernur, Bupati, Walikota, dan Dinas Kebudayaan pun telah mengeluarkan
instruksi penggunaan bahasa Jawa, tetapi hasilnya belum maksimal.
Demikian juga dengan
penanganan masalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia telah masuk
ke seluruh ranah/jenjang pendidikan, tetapi upaya dan komitmen terhadapnya harus
bersaing ketat dengan penanganan bahasa asing akibat tuntutan sosial, ekonomi,
politik, dan budaya global. Agaknya hal itu pula yang melatarbelakangi mengapa
Pemerintah melahirkan UU No. 24 Tahun 2009 yang salah satu di antaranya
mengatur upaya pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa (Indonesia dan
Daerah) di Indonesia. Hanya sayangnya, UU No. 24/2009 ini belum mendapatkan respon
yang kuat dan belum diapresiasi secara serius oleh pemerintah bersama
masyarakat luas.
Karena penanganan masalah bahasa
(Indonesia dan Daerah) ini telah menjadi amanat UU yang memiliki kekuatan hukum
yang sah, perlu dan wajib kiranya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (provinsi,
kabupaten, dan kota) memasukkan program dan kegiatan kebahasaan (kesastraan) ke
dalam berbagai aspek Renstra (5 tahunan) dan RKT-(Rencana Kerja Tahunan)-nya. Tentu
ini harus didukung oleh semua pihak, tidak terkecuali DPR yang memiliki
wewenang memberikan persetujuan atas program-program pemerintah.
Bahkan, kalau perlu, jika dalam
Penyusunan Programnya Pemerintah tidak memberikan alokasi untuk kegiatan
kebahasaan dan kesastraan, bisa saja DPR justru mengusulkannya. Mengapa? Sebab,
diyakini bahasa mampu menjadi salah satu sarana ampuh bagi pemertahanan
identitas, jatidiri, dan karakter bangsa. Bukankah kita ingin bangsa kita tetap
eksis? Dan, satu hal lagi yang tak kalah pentingnya, Pemda bersama DPR perlu
segera melahirkan Perda yang mengatur masalah penanganan dan penggunaan bahasa
di Daerah.***