Bahasa Daerah Menjadi Mapel, Serahkan Pemda
Friday, January 13, 2017
Edit
Memang
sangat ironis kalau (jadi) benar dalam Kurikulum Baru (2013) nanti Bahasa
Daerah diintegrasikan ke dalam mata pelajaran (mapel) Seni Budaya dan
Keterampilan (SBK). Rasanya menjadi lebih ironis lagi karena hal itu justru
muncul pada saat kita sedang mencari format pendidikan karakter. Padahal selama
ini kita yakin bahwa Bahasa Daerah memiliki kontribusi besar bagi tercapainya upaya
pembangunan karakter (bangsa). Karena itu, wajar jika Forum Peduli Bahasa
Daerah se-Indonesia beberapa waktu lalu berunjuk rasa di kantor DPRD DIY
menuntut agar Bahasa Daerah tetap menjadi mapel yang berdiri sendiri (KR,
17/1).
Secara yuridis keberadaan Bahasa Daerah memang sangat kuat. Hak hidup dan
tumbuhnya tidak saja dilindungi UU No. 24/2009, tetapi juga UUD 45. Dan karena
dijamin oleh undang-undang, langkah strategis agar Bahasa Daerah tetap hidup
dan berkembang adalah dilakukan melalui jalur pendidikan. Sebab, hanya lewat
jalur pendidikanlah Bahasa Daerah menjadi sesuatu yang dipelajari tanpa henti
sehingga ia akan tetap bertahan walau diterpa angin kencang
(kolonisasi/globalisasi/imperialisasi) dari berbagai sisi. Maka, tak berlebihan
jika Bahasa Daerah tetap menjadi mapel tersendiri dan tetap menjadi muatan
lokal wajib.
Baiklah. Itu tadi kita hanya berpikir mikro. Melihat hal itu secara mikro
memang langsung dapat diprediksi dampak dan eksesnya. Dengan hilangnya mapel
Bahasa Daerah (Jawa, Sunda, Bali, Bugis), misalnya, mau dikemanakan guru yang
salama ini mengampu mapel itu, bagaimana nasib jurusan Sastra Daerah di PT, dan
apa arti Kongres Bahasa Daerah yang berulang kali dilakukan dan telah menelan
milyaran rupiah? Tentulah itu menjadi masalah tersendiri yang pelik. Dan lebih
jauh lagi, bagaimana nasib budaya daerah (karena bahasa adalah media utamanya)
yang selama ini menjadi cermin bahwa besarnya nama Indonesia tidak lain adalah
karena keberagaman bahasa dan budaya daerah?
Tetapi, memang kemudian menjadi maklum jika kita mencoba berpikir secara makro.
Maksudnya, kita paham jika (benar) Kemdikbud menggagas mapel Bahasa Daerah
diintegrasikan ke dalam mapel yang lain (SBK). Semua itu sesungguhnya merupakan
konsekuensi dari kekayaan bahasa daerah yang kita miliki. Justru karena
banyaknya bahasa daerah itulah, agaknya Kemdikbud menjadi sangat sulit untuk
bertindak adil. Bayangkanlah, Indonesia hanya terdiri atas 33 provinsi (berarti
33 dinas pendidikan, 33 dinas kebudayaan), sementara jumlah bahasa daerah di
Indonesia lebih dari 700.
Bagi Provinsi Jateng, DIY, dan Jatim misalnya, memang tidak menjadi soal karena
Bahasa Jawa adalah bahasa mayoritas. Karena itu, Bahasa Jawa tepat menjadi
mapel tersendiri. Demikian juga Bahasa Sunda di Jabar atau Bahasa Bali di Bali.
Tetapi, bagaimana dengan Provinsi NTB yang punya lebih dari 10 bahasa, NTT dan
Maluku yang masing-masing punya lebih dari 50 bahasa, dan Papua yang punya
lebih dari 200 bahasa daerah? Dengan banyaknya bahasa daerah di provinsi itu,
lalu bahasa apa dan milik suku mana yang harus dijadikan mapel di sekolah di
wilayah provinsi tersebut?
Agaknya itulah akar masalahnya. Kalau di antara sekian puluh/ratus bahasa daerah
di provinsi tertentu (katakanlah di NTT atau Papua) ada satu atau dua bahasa
yang oleh pemerintah ditetapkan menjadi mapel di wilayah provinsi tersebut,
apakah suku pemilik bahasa lainnya bisa terima? Atau mungkinkah semua bahasa
yang dimiliki semua suku itu diajarkan di wilayah masing-masing suku tersebut?
Jelas bahwa ini tidak mungkin. Sebab, di wilayah Papua misalnya, di satu
kabupaten saja ada sekian banyak bahasa daerah yang digunakan. Lagi pula, suatu
bahasa baru dapat menjadi mata pelajaran jika bahasa itu telah dilengkapi
dengan berbagai perangkat lainnya (tata bahasa, sistem ejaan, dan kamus).
Demikianlah agaknya, kalau benar Kemdikbud akan mengintegrasikan mapel Bahasa
Daerah ke dalam mapel yang lain (SBK), sudut pandang yang digunakan adalah
makro; dalam arti lebih terarah pada pertimbangan kebangsaan dan atau
ke-Indonesia-an. Tujuannya tidak lain adalah agar tidak memperbesar
konflik-konflik vertikal dan horizontal antardaerah (antarsuku) seperti yang
sudah terjadi selama ini. Sebab, bagaimana pun juga, bagi pemerintah, NKRI
adalah sesuatu yang tak bisa ditawar lagi.
Akhirnya, di sinilah kita berdiri di antara dua hal yang tidak mengenakkan.
Agar dicapai suatu keadilan, agaknya usul yang dapat diajukan adalah bahwa
pengintegrasian mapel Bahasa Daerah ke dalam mapel lain tidak perlu dipaksakan.
Artinya, akan lebih baik jika masalah perlu atau tidaknya Bahasa Daerah menjadi
mapel tersendiri diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan Pemda (Provinsi)
setempat. Sebab, Pemda setempatlah yang tahu persis situasi dan kondisi
masyarakat dan daerahnya. Hal ini berarti bahwa untuk Bahasa Jawa, Sunda, Bali,
Minang, Bugis, Madura, dan bahasa-bahasa besar lain yang jumlah penuturnya
mayoritas tetap penting untuk menjadi mata pelajaran tersendiri di sekolah. ***
Telah dimuat Kedaulatan Rakyat, 25 Januari 2013