Totalitas, Tranformasi, dan Otoregulasi
Wednesday, December 14, 2016
Edit
Beruntunglah
kita dengan terbitnya buku terjemahan karya Jean Piaget yang aslinya berbahasa
Prancis ini. Beruntung karena kita dapat dengan mudah memahami konsep
pokok strukturalisme ala Piaget. Dalam
menulis karya ilmiah, kita (peneliti,
dosen, mahasiswa, dll) sering mengutip konsep strukturalisme yang dikembangkan
oleh Jean Piaget, tetapi kutipan itu biasanya hanya berasal dari sumber
sekunder, bukan dari sumber primernya. Akibatnya, pemahaman kita tentang
strukturalisme model Piaget kurang sempurna. Karena itu, perlu kita sambut baik
hadirnya terjemahan ini.
Buku
ini aslinya berjudul Le Structuralisme.
Terbit tahun 1968, pada masa ‘penyebaran’ dan ‘penerangan’ gagasan
strukturalisme ke berbagai bidang pengetahuan. Karena ditulis (berdasarkan
permintaan Presse Univer-sitaire de
France) pada masa ‘penerangan’, buku ini, bersama buku-buku lainnya, berisi
pula sebuah gagasan persuasif yang berusaha menjelaskan (menerangkan) paham
strukturalisme kepada masyarakat luas.
Dalam
usahanya menjelaskan paham strukturalisme, Piaget secara sistematis memaparkan
gagasannya menjadi delapan bab (bagian). Dalam bab pertama Piaget menjelaskan
konsep pokok (umum) yang mendasari ciri-ciri atau sifat utama suatu struktur.
Konsep pokok itu kemudian diakumulasikan ke dalam bidang ilmu pengetahuan
tertentu, yaitu matematik dan logika, fisika dan biologi, psikologi,
linguistik, penelitian sosial, dan filsafat; yang semua itu disajikan dalam bab
dua sampai dengan tujuh. Sementara itu, sebagai konklusinya, Piaget merangkum
tesis-tesisnya dalam kesimpulan (bagian terakhir).
Seperti
diketahui bahwa strukturalisme merupakan paham yang berpijak dan bertolak dari
konsep tentang “struktur”. Dikatakan oleh Piaget (bab 1, hlm. 1--12) bahwa pada
hakikatnya suatu struktur mempunyai tiga sifat utama, yaitu totalitas (wholeness), tranformasi (transformation), dan
otoregulasi/pengaturan diri (self
regulation, autoreglage). Tiga sifat tersebut masing-masing merupakan
gagasan yang secara bersama-sama membangun atau membentuk suatu struktur.
Sifat
pertama, yaitu totalitas, pada
dasarnya muncul dari sebuah kon-sep yang menyatakan bahwa suatu struktur
sesungguhnya terdiri atas se-jumlah unsur. Karena unsur-unsur itu tidak mungkin
dapat dipisahkan, dan memang senantiasa berkaitan, sebuah struktur harus
dilihat sebagai suatu kesatuan/keseluruhan (totalitas). Secara hierarkis, dalam
suatu struktur muncul struktur-struktur lain yang lebih kecil (substruktur),
dan keberadaan struktur yang lebih kecil itu terikat oleh struktur yang lebih
besar.
Munculnya
konsep totalitas (keseluruhan dalam bagian dan bagian dalam keseluruhan) itu
sesungguhnya berawal dari adanya gagasan tentang kaidah transformasi (sifat kedua). Karena di dalam struktur keberadaan
unsur tidak hanya bersifat terstruktur,
tetapi juga menstruktur, yaitu
melaku-kan strukturasi (transformasi) dengan unsur lainnya, maka struktur itu
bukan merupakan sesuatu yang statis, melainkan dinamis. Kedinamisan setiap unsur itulah yang pada
hakikatnya mengaitkan hubungan antar-mereka sehingga tercipta suatu keseluruhan
(totalitas); dan setiap bagian atau unsurnya tidak mungkin dapat dipahami
secara mandiri.
Karena
setiap unsur selalu dapat melakukan transformasi, setiap perubahan yang terjadi
pada satu unsur akan selalu mengakibatkan peru-bahan pada unsur lainnya. Karena
itu, keberadaan dan hubungan di antara mereka (unsur-unsur) akan selalu mencukupi dirinya sendiri (sifat
ketiga). Jika ada unsur yang berubah atau bahkan hilang, berkat bantuan atau
transfor-masi unsur lainnya, unsur-unsur itu akan mengatur dirinya sendiri,
tidak memerlukan bantuan dari luar. Demikian konsep utama Jean Piaget tentang
struktur yang mendasari paham strukturalisme.
Pengertian
tentang “struktur” pada umumnya dikaitkan dengan “sistem”. Kaitan di antara
mereka ibarat dua sisi mata uang. Untuk melihat kaitan dan perbedaannya, kita
dapat menganalogikannya dengan konsep Saussure (dalam linguistik) tentang
relasi sintagmatis dan asosiatif. Relasi sintagmatis membentuk
struktur, sedangkan relasi asosiatif membentuk sistem. Karena itu, konsep
struktur dan sistem relevan untuk berbagai bidang ilmu, antara lain matematik dan logika (bab 2, hlm. 13--29); fisika
dan biologi (bab 3, hlm. 30--43); psikologi (bab 4, hlm. 44--61); linguistik (bab 5, hlm. 62--81),
penelitian sosial/antropologi (bab 6,
hlm. 82--101) yang antara lain dilakukan oleh Levi-Strauss dalam menyelidiki
sistem kekerabatan; dan juga filsafat
(bab 7, hlm. 102--116).
Setelah
mengajukan tesis-tesisnya tentang struktur dalam berbagai bidang pengetahuan,
Piaget akhirnya menyimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, penelitian tentang struktur, dalam bidang apapun, tidak
akan bersifat eksklusif, tetapi justru mengintegrasikannya. Kedua, penelitian struktur hanya akan
terbuka pada koordinasi antardisiplin. Sebab, jika pem-bicaraan struktur hanya
dibatasi pada ilmu khusus, peneliti tidak akan mampu memahami di mana ‘makhluk’
yang disebut struktur itu, karena menurut definisinya, struktur tidak pernah bercampur dengan sistem
hu-bungan (dalam ilmu yang bersangkutan) yang dapat diamati. Untuk hal ini,
dengan meminjam istilah Levi-Strauss, Piaget menyatakan bahwa struktur itu
terletak “di tengah jalan antara sistem-sistem saraf dan tingkah laku sadar itu
sendiri” (hlm. 119). Ketiga,
berdasarkan penelitian bandingan, pe-nelitian struktur terbukti tidak membunuh
manusia atau kegiatan subjek; dan struktur senantiasa berkaitan dengan suatu
konstruksi, baik abstrak ataupun genetik.
Ditekankan oleh Piaget bahwa strukturalisme adalah
sebuah metode, bukan sebuah doktrin. Sebagai metode, strukturalisme
hanya dapat dibatasi penggunaannya, yaitu efektivitas pada jaringan hubungan.
Jadi, dengan metode-metode lain, strukturalisme lebih cenderung “mengandaikan”,
bukan “memperlawankan”. Selain itu, sebagai metode, strukturalisme juga
“terbuka”, dalam arti ia menerima sepanjang perjalanan pertukarannya dalam
suatu hubungan-hubungan.
Jadi,
kunci strukturalisme yang diuraikan
Piaget dalam buku ini adalah keunggulan operasi-operasinya dalam epistemologi
matematik, fisika, psikologi kecerdasan, dan hubungan sosial antara praktik
dengan teori. Namun, Piaget memberikan
rambu-rambu bahwa jika strukturalisme
cenderung dijadikan sebuah paham filsafat, ia akan terancam oleh bahaya besar.
Demikianlah, buku ini
amat menarik. Ia bukan saja penting bagi mahasiswa, dosen, dan peneliti ilmu
humaniora seperti linguistik, sastra, antropologi, dan psikologi, tetapi juga
penting bagi mereka yang mendalami ilmu eksakta seperti fisika, biologi, dan matematika.
***
Tinjauan buku Strukturalisme karya Jean Piaget (Yayasan Obor, 1995)
Dimuat Pikiran Rakyat, 11 Agustus 1996.