Tiga Karya AA Navis: Persoalan Religiositas Kesusastraan Indonesia
Thursday, December 22, 2016
Edit
Judul
di atas pastilah membawa pikiran kita kepada persoalan yang mendasar, yaitu
persoalan keagamaan, atau lebih tepatnya keyakinan atau kepercayaan (iman).
Seorang Muslim memiliki keyakinan kepada Islam, seorang Nasrani memiliki
keyakinan kepada Kristen, begitu seterusnya. Kedua istilah ini, antara religiositas dan agama, agaknya
tidaklah sama tetapi tidak saling bertentangan, bahkan sangat berkaitan erat. Mangunwijaya
menyatakan bahwa persoalan agama lebih mengarah pada kelembagaan tertentu, atau
lebih tepatnya secara formal seseorang menganut agama tertentu seperti Islam,
Katholik, Budha, Hindu, dan sebagainya.
Namun, tidak demikian dengan apa yang disebut religiositas. Guna meng-Agung-kan Tuhan (masing-masing, yang secara formalitas), ia tidak pandang bulu atau terbatas pada Tuhan yang ia agungkan, sebab persoalan kedua ini lebih dekat dengan intimitas jiwa. Jadi hal ini lebih mempersoalkan sesuatu yang lebih “dalam” pada lubuk hati seseorang. Sebagai contoh, misalnya, seseorang yang telah berbuat baik dan rendah hati dengan tidak memandang ia mempunyai keyakinan agama apa (tertentu), niscaya perbuatan ini sudah dapat dianggap sebagai perbuatan yang sesuai dengan prinsip religositas. Pendek kata, orang yang demikian dapat dianggap sebagai orang yang berada dalam kategori religiositas.
Namun, tidak demikian dengan apa yang disebut religiositas. Guna meng-Agung-kan Tuhan (masing-masing, yang secara formalitas), ia tidak pandang bulu atau terbatas pada Tuhan yang ia agungkan, sebab persoalan kedua ini lebih dekat dengan intimitas jiwa. Jadi hal ini lebih mempersoalkan sesuatu yang lebih “dalam” pada lubuk hati seseorang. Sebagai contoh, misalnya, seseorang yang telah berbuat baik dan rendah hati dengan tidak memandang ia mempunyai keyakinan agama apa (tertentu), niscaya perbuatan ini sudah dapat dianggap sebagai perbuatan yang sesuai dengan prinsip religositas. Pendek kata, orang yang demikian dapat dianggap sebagai orang yang berada dalam kategori religiositas.
Menurut
Mangunwijaya, persoalan yang bersangkut-paut dengan kelembagaan disebut
formalitas hukum agama, sedangkan yang lebih dekat dengan intimitas jiwa,
kedalaman hati nurani, disebut religiositas yang otentik. Dan persoalannya
sekarang, bagaimana persoalan demikian digarap oleh para pengarang Indonesia
dalam dunia sastra? Di antara sekian banyak sastrawan Indonesia, yang pertama
kali mempersoalkannya ialah Ali Akbar Navis (AA Navis) dalam ketiga karyanya,
yakni cerpen "Robohnya Surau Kami", dan "Datangnya dan
Perginya" (1956) dan novel Kemarau
(1967). Ketiga karya ini, bila dilihat tema dan warnanya memiliki persamaan,
yaitu warna keagamaan. Hanya saja, yang membedakannya ialah sikap pengarang
terhadap masalah yang dilontarkan.
Dalam
"Robohnya Surau Kami" Navis menampilkan tokoh seorang penjaga surau,
Kakek Garin, yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Tuhan.
Meskipun ia taat beribadah, beriman kuat, tetapi ternyata ia mati bunuh diri
akibat terpengaruh hasutan Ajo Sidi, seorang pembual ulung. Persoalannya
demikian, pada suatu hari, Kakek Garin ditemui oleh Ajo Sidi. Ajo Sidi
bercerita bahwa ada seorang haji, bernama Haji Saleh. Karena dalam hidupnya
Haji Saleh hanya mencurahkan ibadah saja, tanpa mengimbanginya dengan
perbuatan-perbuatan duniawiyah, akhirnya Haji Saleh tetap dimasukkan neraka
oleh Malaikat Penimbang Pahala dan Dosa. Karena Kakek Garin tidak kuat menerima
kenyataan sebagaimana diceritakan oleh Ajo Sidi itu, akhirnya iman Kakek Garin
menjadi goyah sehingga mengantarkannya untuk bunuh diri dengan cara menggorok
lehernya dengan pisau cukur.
Dalam
cerpen ini Navis menyelesaikan cerita dengan cara mengalahkan seseorang yang hanya
mementingkan formalitas hukum agama tanpa diimbangi dengan sikap religiositas
yang otentik. Dilihat sepintas memang Navis memilih alternatif keduniawian yang
dapat menghancurkan keimanan seseorang. Namun, bila ditinjau secara lebih
dalam, Navis sesungguhnya mempunyai tujuan tertentu, yaitu untuk menyadarkan
seseorang yang hanya mementingkan akhirati saja. Jadi, jelasnya, keimanan
seseorang harus diimbangi dengan perbuatan-perbuatan. Ibaratnya, perjuangan dan
doa harus berjalan bersama-sama.
Berkenaan
dengan masalah pemilihan atau sikap Navis dalam cerpen tersebut, yang lebih
cenderung memenangkan perihal duniawiyah, juga terungkap dalam cerpen
"Datangnya dan Perginya". Dalam cerpen ini Navis juga memenangkan
persoalan dunia, atau oleh Umar Junus dikatakan bahwa Navis memilih alternatif
kemanusiaan daripada keagamaan. Dalam cerpen ini diceritakan bahwa ada
seseorang yang karena ditinggal mati istrinya, ia mengalami duka yang dalam.
Kini hidupnya hanya berdua dengan anaknya, Masri. Dengan maksud untuk mengobati
luka hati tersebut, ia kawin lagi. Oleh karena perkawinan berikutnya juga tidak
membawa kebahagiaan, tak lama kemudian cerai juga. Setelah beberapa kali kawin
cerai, akhirnya bosan, dan mengalihkan gelimang hidupnya ke dunia pelacuran.
Oleh karena suatu hari perbuatan sang ayah ini tertangkap basah oleh anaknya
(Masri), lalu terjadilah pertikaian yang diteruskan dengan kepergian Masri.
Karena itulah, kini hidupnya tinggal sendirian.
Dalam
kesendiriannya itulah, setelah beberapa tahun, ia sadar bahwa perbuatannya itu
dosa. Namun, dosa-dosa sang ayah ini tidak berhenti sampai di sini saja. Sebab
ia menghadapi persoalan yang lebih besar. Masri, anak yang dulu pergi, ternyata
kawin dengan Arni, yang ternyata Arni adalah juga anaknya sendiri lain ibu, dari
istri yang pernah diceraikannya. Cerpen ini diakhiri dengan kepergian sang
Ayah, karena maksud untuk memberitahukan dosa perkawinan saudara kedua anaknya
itu gagal.
Kegagalan
sang Ayah itu barangkali telah disengaja oleh Navis sebab bila persoalan perkawinan
saudara (se-ayah) itu diberitahukan kepada mereka, mereka tentu akan cerai dan
hancurlah hidupnya. Meskipun, dosa-dosa yang ada pada diri sang Ayah tetap
membebani dirinya. Maka, dapat disimpulkan bahwa sikap Navis dalam cerpen
"Datangnya dan Perginya" lebih “mengedepankan” persoalan kemanusiaan
daripada keagamaan. Lebih jelasnya, Navis cenderung mempertahankan sikap
religiositasnya daripada sikap formalitas hukum agama. Mungkin hal semacam ini
cukup beralasan sebab agama sendiri tidak menghendaki timbulnya kehancuran.
Barangkali
bukanlah suatu kebetulan, persoalan yang terdapat dalam cerpen tersebut sama
persis dengan persoalan yang terdapat dalam novel Kemarau, yang kira-kira berselang waktu 10 tahun (1956-1967). Yang
membedakan kedua karya tersebut (cerpen "Datangnya dan Perginya" dan
novel Kemarau) ialah sikap Navis yang
diungkapkan di bagian akhir cerita. Dalam cerpen “Datang dan Perginya” Navis
menyelesaikan ceritanya dengan kegagalan sang Ayah untuk membongkar dosa yang
diderita oleh kedua anaknya, Masri dan Arni. Jadi, persoalan dosa dalam cerita
pertana masih tetap membelenggu diri dan kedua anaknya, tetapi di sudut lain,
perkawinan antara Masri dan Arni tetap berbahagia dalam ketidaktahuannya.
Sementara
dalam novel Kemarau Navis
menyelesaikan ceritanya dengan cara sang Ayah berhasil membongkar rahasia
perkawinan saudara kedua anaknya itu. Meskipun, dalam novel ini, keberhasilan
sang Ayah dengan tidak disengaja sebab ketika ia berdebat sengit dengan
jandanya, Iyah, ia dipukul kepalanya hingga pingsan. Karena pingsan inilah ia
tidak bisa segera pergi (yang mungkin dimaksudkan oleh jandanya, seperti dalam
cerita pendeknya), maka pada akhirnya kedua anaknya itu tahu. Di sinilah letak
kunci pembongkaran rahasia gejolak keluarga itu. Setelah rahasia tersebut
semuanya terbongkar, akhirnya, seperti dikisahkan dalam novel ini, Masri-Arni
bercerai.
Kendati
demikian, meskipun perkawinan Masri-Arni mengalami kehancuran, yang jelas
dosa-dosa yang diderita sang Ayah dan kedua anaknya sudah terasa tidak membelenggu
lagi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sikap Navis dalam novel ini
lebih tidak memihak kepada masalah “keagamaan” atau “kemanusiaan”, tetapi Navis
cenderung menyeimbangkan antara kedua sikap itu. Baik masalah kemanusiaan atau
religiositas maupun formalitas hukum agama sama-sama dijunjung seiring dan
sejalan. Jadi tidak seperti apa yang dikatakan Umar Junus di Horison,
Juni 1972, bahwa Navis lebih cenderung memilih alternatif keagamaan.
Hal
yang dikemukakan itu bukan tidak beralasan sebab hal tersebut cukup mempunyai
bukti yang kuat. Ternyata Navis dalam novel ini bersikap seimbang. Ia tetap
menjunjung formalitas hukum agama dengan disertai sikap religiositas yang
otentik. Pasalnya demikian, ternyata perceraian Masri-Arni tidak hancur, tetapi
perceraian mereka dilaksanakan atas kesadaran mereka masing-masing. Atas
kesadaran itu pulalah akhirnya mereka kawin lagi dengan orang lain dan
berbahagia. Dengan begitu, dosa-dosa yang diderita terasa sudah hilang dan
kebahagiaan pun menyertai mereka bersama, baik sang Ayah, ibu, dan kedua
anaknya itu.
Demikian
selintas ketiga karya A.A. Navis yang mempunyai warna khas, yaitu warna yang
tidak hanya terikat oleh formalitas keagamaan tetapi juga disertai dengan sikap
religiositas yang otentik. Keseimbangan kedua hal ini tampak jelas dalam
karyanya yang terakhir, yaitu novel Kemarau
(1967). Dan keseimbangan ini belum begitu jelas dikedepankan oleh Navis dalam
kedua cerpennya terdahulu sebab di dalam kedua cerpen itu masih ada
kecenderungan untuk memberikan alternatif yang sama-sama berat.
Kalau
dilihat secara intertekstual, agaknya kedua cerpennya itu menjadi dasar, latar,
atau hipogram novel Kemarau yang
dicipta dengan selang waktu 10 tahun. Dan, novel yang dicipta kemudian itu pun
agaknya merupakan revisi atas pemikirannya yang dilontarkan dalam cerpen
terdahulunya. Begitu juga, kalau diteliti dengan cermat, kata-kata, bahasa, dan
dialog yang terdapat dalam cerpen "Datangnya dan Perginya" terdapat
pula dalam novelnya itu. Inilah suatu bukti kuat bahwa penciptaan novel itu
tidak dapat dipisahkan dengan cerpen sebelumnya. Namun, apakah dalam kasus ini
ada keseimbangan antara "religiositas otentik" dan "formalitas
hukum agama", jawabnya adalah bergantung pada penilaian kita
masing-masing.*** Kedaulatan Rakyat, 28 Juni
1987