Iwan Simatupang dan Kesederhanaannya
Monday, December 12, 2016
Edit
Dalam
peta kesusastraan Indonesia, Iwan Simatupang lebih dikenal seagai novelis
ternama. Berkat novel Merahnya Merah
(1968), Ziarah (1969), Kering (1972), dan Koong (1975) yang menampilkan renik-renik filsafat
eksistensialisme, ia agaknya telah melakukan suatu pendobrakan drastis.
Pendobrakan tersebut ternyata berhasil dan mendapat berbagai simpati dari
sebagian besar pihak. Karena itu tak ayal bila karya-karyanya juga dikenal
dunia.
Sebelum
namanya mencuat ke permukaan, sastrawan kelahiran Sibolga, Sumatra Utara, pada
18 Januari 1928 ini juga berangkat dari kesederhanaan. Hal itu terlihat pada
cerpen-cerpen karyanya yang dikumpulkan Dami N. Toda dalam buku Tegak Lurus dengan Langit (Sinar Harapan, 1982). Di antara lima
belas cerpen dalam antologi itu tidak seluruhnya berupa cerpen yang sederhana,
tetapi ada empat cerpen yang cukup intens, yaitu "Lebih Hitam dari
Hitam", "Monolog Simpang Jalan", "Kereta Api Lewat di Jauhan",
dan "Tegak Lurus dengan Langit". Sedangkan cerpen lainnya tidak
terlalu rumit dan kita dapat mengatakannya sebagai cerpen yang sederhana.
Barangkali
keempat cerpen tadi bisa disejajarkan dengan keberadaan novel-novelnya, yang
menurut sinyalemen Dami N Toda, mempunyai ciri-ciri: bertemakan kesunyian
hidup, bertokoh yang tak punya darah daging, beralur yang serba tak terduga,
gaya penyelarasan kualitas ekspresi ke dalam bahasa kisahan, dan lain-lain.
Namun, tidak demikian dengan cerpen-cerpen lain dalam antologi itu.
Cerpen
yang dapat dikatakan sederhana, terutama cerpen yang semula dimuat pada surat
kabar Warta Harian yang kala itu diredakturi oleh Iwan sendiri. Mungkin sekali
kesederhanaan ini karena diakibatkan oleh keterbatasan ruang (rubrik) sebuah
surat kabar. Atau mungkin disebabkan oleh ketergesaan Iwan untuk memburu ruang
yang belum terisi, sementara surat kabar diburu oleh waktu terbit.
Kesederhanaan cerpen itu terutama tampak dalam hal penampilan tema dan masalah.
Cerpen "Tak Semua Tanya Punya Jawab", "Oleh-Oleh untuk Pulau
Bawean", "Prasarana, Apa itu, Anakku", "Aduh, Jangan
Terlalu Maju, Atuh", "Husy! Geus! Hoechst", "Di Suatu
Pagi", "Seorang Pangeran Datang dari Seberang Lautan", dan
"Dari Tepi Langit yang lain",
semuanya tidak terlalu sulit dipahami.
Cerpen
"Tak Semua Punya Jawab" mengisahkan seorang yang tidak berhasil
menjawab pertanyaan sendiri. Pertanyaan itu ditujukan kepada seorang pemuda
yang duduk di bawah pohon dan kepada dua orang yang sedang bercakap di warung.
Siapakah sebenarnya mereka itu? Tak pula ada jawabnya, karena itulah tidak
semua pertanyaan ada jawabnya, apalagi pertanyaan terhadap diri sendiri.
Cerpen "Oleh-Oleh untuk Pulau
Bawean" juga amat sederhana permasalahannya. Di situ diceritakan bahwa
seorang kakek tua bekas pahlawan bercerita kepada anak-anak tentang
kepahlawanannya. Kemudian dia mempertanyakan apakah masih ada jiwa pahlawan di
zaman sekarang ini? Bila ada bahagialah batinnya. Itulah sebabnya dia
mempertanyakan hal itu sebab dia sendiri telah mengalami secara nyata.
Dalam
"Prasarana, Apa itu, Anakku" diceritakan tentang nenek tua yang
menerima telegram kematian anaknya. Tapi telegram itu baru diterima sebulan
sesudah kematiannya. Karena itulah sesal terlalu abadi di hati nenek itu.
Keterlambatan itu apakah dikarenakan keteledoran jawatan pos ataukah prasarana
yang belum lancar, itulah yang menjadi sebab ketidakjelasan baginya. Karema
semua bisa terjadi demikian, maka setiap orang bisa berbuat pura-pura. Cerpen
Iwan yang amat sederhana ialah cerpen "Aduh … Jangan Terlalu Maju, Atuh".
Dalam cerpen itu dikisahkan seorang murid SD yang bagian kelangkangnya terjepit
ritsluiting celananya. Cerpen itu barangkali dapat dikatakan sebagai cerpen
untuk anak dan bernada humor meski ada juga pertanyaan tentang dampak
modernisasi. Hal sederhana yang serupa terdapat dalam cerpen "Di Suatu
Pagi" dan "Seorang Pangeran Datang dari Seberang Lautan". Kedua
cerpen ini menampilkan nasib kaum kecil yang selalu terperdaya oleh keadaan.
Demikian
pula cerpen "Dari Tepi Langit yang Satu ke Tepi Langit yang Lain".
Cerpen ini juga mengisahkan kaum miskin yang selalu digusur tempat tinggalnya
oleh pemerintah, sementara pihak atasan tidak punya waktu untuk memikirkan hal
itu. Dan memang hal seperti inilah yang menjadi tujuan utama Iwan dalam usaha
membenahi situasi dan keadaan masyarakat yang kurang mapan.
Satu hal lagi, Iwan menyuguhkan
perihal arti dan fungsi repelita dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu dituang
dalam cerpen "Husy! Geus! Hoechsr". Diceritakan bahwa Pak Dolah,
dedengkot sebuah desa, mendamaikan dua orang yang sedang baku hantam. Pak Dolah
bilang bahwa mereka berdua tidak boleh demikian sebab zaman repelita ini
seharusnya hidup rukun, tidak saling berselisih. Dan Pak Dolah berhasil. Itulah
memang yang diharapkan semua umat manusia.
Delapan
cerpen sederhana yang telah diuraikan di atas semula semuanya diterbitkan oleh
Warta Harian, sebuah harian yang diredakturi Iwan. Cerpen-cerpen itu oleh Dami
N. Toda dikatakan sebagai cerpen "potret suasana". Namun, dilihat
permasalahannya tampak jelas, berlatar yang jelas, artinya menunjuk pada tempat
tertentu yang jelas pula. Tidak demikian halnya dengan cerpen lainnya atau
lebih-lebih dalam keempat novelnya. Novel-novel Iwan tidak menampilkan hal-hal
yang jelas, bahkan yang ditampilkan justru serba ketidakberesan hidup. Karena
itu, hakikat hidup manusia selalu dipertanyakan oleh Iwan. Dami N. Toda juga
menyebutkan bahwa manusia-manusia di dalam novel-novel itu adalah manusia
"praktis". Kesadarannya bergelimang irasionalisme, kesadaran terhadap
nilai gelandangan, tak jelas realitasnya, sehingga timbul manusia kalah-menang
dalam usaha memahami kehidupan.
Meskipun
cerpen yang digolongkan dalam cerpen sederhana ini memiliki ciri khas yang agak
berbeda dengan cerpen lain maupun novelnya, namun dilihat dari gaya ungkapnya,
hakikat tokoh-tokohnya, dan orientasi kemanusiannya sangat menarik. Dan itu
dapat dibedakan dengan pengarang-pengarang cerpen lainnya. Itulah memang
kekhasan Iwan sebagai sastrawan yang cukup berhasil. Meski begitu cerpen
sederhana Iwan ini adalah cerpen sederhana yang bermutu. Dan kita semua
menyayangkan atas usianya yang pendek. Namun kita berharap kelak hadir orang
lain sebagai pengganti Iwan. Siapakah orangnya, kita tunggu saja.***
Kedaulatan
Rakyat, 22 Maret 1987