Sumarah: Tipe Sikap Wanita Jawa
Thursday, December 15, 2016
Edit
Sri Sumarah dan Bawuk. Ini adalah buku
Umar Kayam terbitan Pustaka Jaya (1975) yang berisi dua cerita, yaitu “Sri
Sumarah” dan “Bawuk”. Sebagian orang menyebut dua cerita itu masing-masing
sebagai cerpen, tetapi sebagian lain menyebutnya sebagai cerpen panjang atau
novelet. Pendek atau panjangnya dua cerita itu tidaklah penting karena yang
terpenting adalah bahwa secara menyeluruh keduanya masih berpijak pada konvensi
yang jelas, realistis, dan kita sebagai pembaca tak terlalu sulit memahaminya.
Secara dominan tokoh-tokohnya dibeberkan secara analitik dan perwatakan
terkesan kuat karena dibangun bersama dengan suasana dan latar yang kuat pula.
Ada
kesan bahwa cerita didominasi oleh pembalikan alur (backtracking) dan cakapan batin (monoloque interireur) sehingga muncul pula kesan adanya penguluran
alur. Tetapi, hal itu tidaklah mengurangi kuatnya teknik pembeberan watak,
bahkan justru karena itu cerita tersebut tepat untuk digolongkan ke dalam jenis
cerpen yang panjang (long short story).
Dalam cerita tersebut Umar Kayam menghadirkan tokoh sebagai penanda judul
cerita, yaitu Sri Sumarah dalam Sri
Sumarah dan Bawuk dalam Bawuk.
Hakikatnya tokoh ini ialah tokoh utama yang menunjukkan kehadirannya dari kelompok
etnis Jawa. Hal itu diperkuat oleh adanya nama-nama khas Jawa seperti Tun,
Ginuk, Pak Carik, Tukimin, Suryo, dan lainnya.
Sistem pemberian nama
dalam masyarakat Jawa memang sering dikaitkan dengan tujuan tertentu sehingga
kelak yang diberi nama berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan. Sri
Sumarah, misalnya, diharapkan kelak ia senantiasa sumarah, pasrah, dan sabar
sesuai dengan arti dan makna istilah sumarah
dalam masyarakat Jawa yaitu sebagai “salah satu jalan untuk mencapai
kesempurnaan hidup”. Selain menunjukkan sikap dan perilaku, nama seseorang juga
dapat digunakan untuk membedakan sesuatu dengan lainnya, misalnya mengenai
jenis kelamin, suku, status, dan atau kedudukannya dalam masyarakat.
Tokoh Sri Sumarah
sesungguhnya memiliki bentuk watak yang datar statik karena cara dan sikapnya
menunjukkan sifat sumarah, pasrah, dan menyerah terhadap apa saja yang menimpa
dirinya. Sikap demikian inilah yang secara turun-menurun telah menjadi sesuatu
yang diakui kebenarannya dalam masyarakat Jawa. Meskipun Sri Sumarah banyak
mengalami kepahitan hidup karena harus menanggung hidupnya sendirian dengan
kerja keras menjadi tukang pijit dan tukang jahit, ia tetaplah bersikap statis
sehingga bagaimanapun juga ia tidak dapat mengubah cara hidupnya yang selalu
sumarah. Ia selalu menolak tatkala mendapat tawaran untuk kawin lagi juga
karena ia 'mengerti' dan 'sadar' akan sikap sumarahnya.
Sikap
statis ini juga dimiliki oleh tokoh Bawuk dalam Bawuk. Tidak demikian
sesungguhnya apa yang dikhayalkan oleh ibunya (Nyonya Suryo) tentang
surat-surat Bawuk yang menunjukkan kelincahannya. Bawuk berwatak periang
(seperti khayalan Nyonya Suryo), pemurah, dan lincah bagai burung kepodang,
tetapi di balik sikap itu sesungguhnya tersirat arti yang dalam tentang
hubungan antarmanusia. Ia memiliki sifat yang lain dari sifat waktu kecilnya.
Setelah diperistri Hasan, si tokoh ekstrim CGMI, Bawuk memiliki sifat yang
senantiasa dipegang teguh. Bawuk memilih menunggu dan menunggu suaminya (walau
bagai menunggu godot) padahal tidak jelas suaminya itu berada di mana. Sikap
dan pilihan inilah yang mengakibatkan ia berwatak datar statik. Dan pilihan ini
barangkali merupakan salah satu usaha mempertahankan eksistensinya secara
pribadi karena ia merasa bahwa menunggu Hassan adalah menunggu seorang suami,
bukan menunggu Hassan sebagai tokoh komunis. Itulah barangkali tipologi Jawa
yang dieksplisitkan Umar Kayam dalam tokoh-tokoh ceritanya. Maksud lainnya
ialah bahwa watak demikian barangkali yang sesuai dengan orang Jawa, khususnya
wanita, dalam gelimang eksistensi hidupnya.
Jika
dilihat dari pola alurnya, dua cerita Umar Kayam dalam buku ini memang sesuai
dengan hakikatnya sebagai jenis cerpen. Walaupun terjadi penguluran alur, dari
awal sampai akhir bentuk watak tokohnya selalu datar dan statis. Barangkali,
ini merupakan persepsi Umar Kayam dengan maksud untuk menunjukkan gejala dan
sikap hidup budaya Jawa. Oleh karena itu, sejalan dengan apa yang dikatakan de
Jong (1976), sikap sumarah dalam hal narima 'menerima apa saja' ialah sikap
yang semata bukan untuk menyelamatkan seseorang dari bahaya, melainkan sebagai
perisai terhadap penderitaan yang disebabkan adanya malapetaka.
Selain
penampilan tokoh dengan segala kestatisannya tersebut, sesungguhnya tipologi
Jawa ala Sri Sumarah dan Bawuk juga berkaitan dengan persepsi orang Jawa
terhadap karakter wayang. Karakter wayang ini oleh orang Jawa telah diyakini
pula sebagai simbol watak manusia. Marbangun Hardjowirogo (1983) pernah
mengatakan bahwa wayang merupakan identitas
utama manusia Jawa. Manusia gemar beridentifikasi dengan tokoh wayang
tertentu dan bercermin padanya dalam melakukan tindakannya. Oleh karena itu,
Sri Sumarah diibaratkan sebagai Sembadra karena ia pandai memikat Mas Marto,
suaminya, atau sang Arjunanya. Begitu pula karakter baik dikategorikan sebagai
keturunan Pandawa dan sebaliknya yang dengki-srei
digolongkan sebagai Kurawa. Itulah tipologi Jawa terhadap karakter wayang.
Sikap
sumarah sesungguhnya merupakan cermin
bagi wanita Jawa. Sebab, sumarah
dalam artian ini justru terjadi karena manusia sebagai makhluk Tuhan. Meskipun
arti sumarah sering dibayangkan
sebagai salah satu bidang ilmu kebatinan, tetapi kebatinan dalam hal ini juga
mengandung arti justru karena Tuhan. Dan karena istilah sumarah merupakan istilah yang hidup dan bahkan berkembang dalam
masyarakat Jawa, layaklah bila istilah tersebut menjadi salah satu elemen ilmu
kebatinan yang diyakini kebenarannya oleh manusia (orang) Jawa.
Salah
satu aliran kebatinan murni yang berkembang dalam masyarakat Jawa ialah Pangestu.
Pangestu merupakan sikap hidup manusia Jawa yang erat berkaitan baik dengan
dunia material maupun spiritual. De Jong (1976) membedakan paham Pangestu
menjadi tiga kunci pokok, yaitu distansi,
konsentrasi, dan respresentasi.
Ketiga kunci itu dapat menjelmakan makna yang berarti sesuai dengan citra
kebudayaan Jawa dan sikap-sikap hidupnya.
Distansi
ialah kunci yang mencerminkan sikap manusia terhadap dunia dan akhirat. Manusia
Jawa, khususnya wanita berkeyakinan bahwa sikap rila (rela), narima
(menerima), dan sabar menjadi ciri khas yang harus ditaati. Sikap sumarah sudah tergolong ke dalam sikap
hidup tersebut. Sumarah berarti harus
tunduk, patuh, dan menerima segala yang menimpa diri, dilandasi dengan
kesabaran, apalagi bagi kaum wanita, yang harus taat, patuh, dan bersikap sumarah terhadap suaminya. Distansi yang
telah diyakini inilah yang dijadikan garis pemisah antara dunia besar (jagat
gedhe) di luar dirinya dan dunia kecil (jagat cilik) dalam dirinya
sendiri.
Upaya
untuk menemukan diri harus dilandasi dengan konsentrasi
sehingga dari pandangan dunia besar dan dunia kecil diperoleh hasil positif.
Setelah diri manusia ditemukan dan telah memperoleh kekayaan batin, berarti
manusia itu telah meraih representasi
atau mencapai kesempurnaan hidup. Dengan demikian, bila ketiga konsep mengenai
sikap hidup itu telah dipahami dan ditemukan serta disadari pula bahwa manusia
itu hidup di dunia, maka hal ini dapat dikatakan bahwa manusia itu telah
menemukan arti sumarah-nya. Sikap inilah yang selama ini
diyakini oleh manusia Jawa, dan sikap itu pula yang dapat memberikan cermin
kepada wanita Jawa.
Dari
seluruh uraian di atas akhirnya dapat disimpulkan bahwa tokoh Sri Sumarah dan
Bawuk merupakan prototipe wanita Jawa sebagai pengejawantahan
transformatif tokoh-tokoh mite jagat pewayangan. Dapat pula dikatakan bahwa
tipologi Jawa ala Sri Sumarah merupakan sajian jagat wanita Jawa yang
dicoba utuh dan didukung oleh masyarakat yang plural dan atau majemuk. ***
Suara Karya, 12 Januari 1986