Senyum Karyamin Ahmad Tohari: Cerpen Sastra Bergaya Populer
Thursday, December 29, 2016
Edit
Dalam
kehidupan kesusastraan Indonesia, Ahmad Tohari bukanlah sastrawan kelas satu.
Di antara sastrawan lainnya, ia tergolong sastrawan biasa-biasa saja, dan
kehadirannya pun tidak membawa ekspresimen baru. Namun, karena beberapa novel
yang lahir dari tangannya memiliki ciri khas dan mempunyai nilai lebih, ia pun
punya andil yang besar dalam kancah sastra modern Indonesia. Berkat
beberapa novelnya, yakni Di Kaki Bukit
Cibalak (1977), Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jantera Bianglala (1986), Ahmad Tohari
lahir dan sah disebut sebagai sastrawan ternama.
Bahkan, nama Tohari semakin populer karena Ronggeng Srintil-nya banyak dibicarakan oleh para kritikus sastra. Novel tersebut, selain disanjung juga dicerca, misalnya, oleh Eko Endarmoko dan F. Rahardi dalam Horison, Januari 1984. Di sanjung karena Tohari dianggap telah berhasil menciptakan dan mengangkat dunia pedesaan yang “terasing” dari gemerlapnya budaya populer; dan dicerca karena ia dianggap telah menggarap latar yang tidak konsisten dengan alam flora dan fauna yang sebenarnya.
Bahkan, nama Tohari semakin populer karena Ronggeng Srintil-nya banyak dibicarakan oleh para kritikus sastra. Novel tersebut, selain disanjung juga dicerca, misalnya, oleh Eko Endarmoko dan F. Rahardi dalam Horison, Januari 1984. Di sanjung karena Tohari dianggap telah berhasil menciptakan dan mengangkat dunia pedesaan yang “terasing” dari gemerlapnya budaya populer; dan dicerca karena ia dianggap telah menggarap latar yang tidak konsisten dengan alam flora dan fauna yang sebenarnya.
Akan
tetapi, cercaan demikian tidaklah mengurangi eksistensi dirinya sebagai seorang
sastrawan yang berbakat. Bahkan, oleh banyak pihak, Tohari dianggap sebagai
sastrawan yang masih mempunyai peluang dan masa depan yang cerah. Dan, bagi
pertumbuhan sastra Indonesia, ia bagaikan “mutiara” yang berwarna khas yang
memperkaya kehidupan sastra kita.
***
Dalam
perjalanan kesastrawanannya, Tohari ternyata tidak hanya menulis novel, tetapi
juga cerpen. Tiga belas buah cerpen itu dihimpun oleh Maman S. Mahayana dalam
buku Senyum Karyamin (Gramedia,
1989). Dalam cerpen-cerpen itu kita belum menemukan hal baru karena tema, tokoh,
latar, dan konflik-konflik yang digarap masih "senafas" dengan
karya-karya novelnya. Memang, ciri khas
ini merupakan kesukaan Tohari dalam menciptakan dunia rekaan. Ia mencoba
mengangkat “suara rakyat kecil” ke permukaan dan dipoles sedemikian rupa sehingga
menjadi sebuah dunia kecil yang indah, skematis, dan gamblang.
Seperti
dalam novel-novelnya, dalam cerpen yang ditulisnya Tohari masih saja
bergelimang dalam kehidupan lapisan sosial bawah. Ia menghadirkan tokoh yang
berpribadi khas, yaitu orang-orang yang selalu kesulitan menghadapi hidup
karena kebodohan dan kemiskinannya, sebagaimana orang ndeso umumnya; juga nama-nama khas di desa Jawa seperti Kenthus,
Minem, Blokeng, dan Samin. Kehadiran tokoh yang terasing dari dunia modern kota
ini agaknya justru bisa hidup dengan semestinya karena didukung oleh latar
tempat dan sosial yang khas pula, yakni hutan, kali, sawah, rumah reyot, dan
sekelompok masyarakat yang mudah terhasut isu-isu tak masuh akal. Keluguan
seperti inilah yang membuat ceritanya tampak sederhana dan bobot sastranya
ringan karena pesan-pesan simbolik tidak banyak muncul. Hal ini, tentu saja,
lebih memudahkan pembaca untuk menikmati pesan yang disampaikan Tohari.
Secara
tematis, Tohari memang tidak menggarap cerpen-cerpennya dengan lebih variatif.
Hal ini barangkali terasa amat wajar karena latar belakang kehidupan cerita
hanya seputar problem kalangan orang kecil yang sederhana, lugu, dan tidak
punya masa depan yang jelas. Namun, secara keseluruhan permasalahan yang
digarap sangat luas dan bervariasi. Dari sebuah tema kemiskinan, Tohari mampu
memunculkan beberapa masalah, misalnya dalam kaitan dengan kehidupan sosial di
sekitarnya, kemerosotan moral masyarakat, mitos dan kepercayaan, dan iman
seseorang.
Masalah
kenyataan sosial yang aneh dan sekarang banyak terjadi, misalnya, dilukiskan
Tohari dalam cerpen "Senyum Karyamin", "Orang-Orang Seberang
Kali", dan "Ah, Jakarta". Dalam "Senyum Karyamin"
Tohari melukiskan tokoh Karyamin sebagai tukang penjual batu, hidupnya susah,
dan perutnya selalu lapar. Ia mengatasi kesulitan hidupnya hanya dengan selalu
tersenyum. Karyamin merasa bahwa senyum itulah jawaban terbaik untuk mengatasi
keterjepitannya. Bahkan, ketika dirinya dimintai iuran untuk membantu kelaparan
di Afrika, ia pun hanya tersenyum. Di sinilah, Tohari menyisipkan sebuah kritik
kecil, bahwa dalam kenyataannya, meskipun masih banyak orang kita kelaparan,
tetapi kita tetap dimintai iuran untuk membantu kelaparan di negara lain.
Sementara
itu, dalam "Orang-Orang Seberang Kali", Tohari menggambarkan
kemiskinan akibat kesukaan warga masyarakat mengadu ayam jago. Bahkan, karena
adu jago sudah menjadi bagian hidupnya, maka tokohnya (Madrakum) pun menjelang
mati bertingkah seperti ayam jago yang sedang berlaga. Sedangkan di dalam
cerpen "Ah, Jakarta" digambarkan bahwa kota Jakarta ternyata lebih
memungkinkan orang berbuat jahat sebab kehidupan Jakarta justru lebih ganas dan
panas. Masalah kebobrokan masyarakat akibat kemiskinan tampak dalam cerpen
"Blokeng". Dikisahkan bahwa Blokeng hamil. Tetapi, karena kebodohan
dan kemiskinannya, warga masyarakat selalu menghindar apabila ada pembicaraan
mengenai siapa yang menghamili Blokeng. Dalam cerpen ini tampak jelas adanya
kemunafikan. Sementara itu, masalah mitos juga digarap dengan baik dalam cerpen
"Syukuran Sutabawor" dan "Kenthus".
Dalam
cerpen "Syukuran Sutabawor" Tohari mengisahkan bahwa apabila
diinginkan pohon jengkol berbuah banyak maka pohon itu harus dimanterai dan
diikat dengan kukusan bekas. Tetapi, dalam cerpen ini juga dilukiskan
adanya kritik terhadap perbedaan kelas
sosial. Sedangkan dalam cerpen "Kenthus" Tohari menggambarkan adanya
ambisi yang besar. Tokoh Kenthus, karena selamanya merasa miskin dan hina,
berkat mimpinya naik macan (dan macan merupakan lambang kekuasaan), maka Kenthus
pun ingin menguasai orang lain. Cara yang ditempuh adalah mengumumkan kepada
warga lain bila dirinya akan membeli buntut tikus dari siapa pun. Ternyata cara
ini berhasil, dan ia senang ketika melihat orang-orang lain antri berjejalan.
Masalah
kemorosotan iman agaknya muncul secara bagus dalam cerpen "Rumah yang
Terang" dan "Pengemis dan Shalawat Badar". Dalam cerpen pertama,
dilukiskan adanya orang yang justru lebih suka cahaya terang di akhirat. Oleh
sebab itu, Haji Bakir yang mau pasang listrik, oleh mereka dianggap sebagai
Haji Bakil. Padahal, menurut Haji Bakir, cahaya listrik justru menghilangkan
keaslian indahnya alam. Cerpen kedua, "Pengemis dan Shalawat Badar",
agaknya menempati urutan teratas dalam kualitas. Cerpen ini mengetengahkan
bahwa jika seseorang selalu beriman, antara lain dengan cara membaca shalawat
badar, ia akan selalu mendapat keselamatan. Hal itu terbukti, ketika bus yang
ditumpangi pengemis yang selalu membaca shalawat itu terjun masuk jurang, hanya
pengemis itulah yang selamat.
Cerpen
lain yang juga menarik dan masalahnya selalu terjadi di sekeliling kita adalah
"Si Minem Beranak Bayi", "Surabanglus", dan "Tinggal
Matanya Berkedip". Namun, cerpen ini agaknya hanyalah sekedar hiburan
belaka. Ada kecenderungan cerita sekadar untuk bercerita saja, tanpa ada nuansa
makna yang lebih dalam untuk direnungkan. Demikian beberapa masalah yang
diangkat dan digarap Tohari dalam cerpen-cerpennya, dan secara keseluruhan
cerpen ini dilatarbelakangi oleh kemiskinan di pedesaan.
***
Secara
struktural, cerpen-cerpen Tohari terasa amat sederhana. Fakta sastra seperti
tokoh, alur, dan latarnya jelas dan mudah dipahami karena unsur suspense dan foreshadowing tidak begitu tampak. Begitu juga sarana sastra
seperti cara pengisahan, gaya bahasa, dan simbol atau ironi tidak tergarap
dengan baik sehingga estetika cerita kurang menyentuh perasaan pembaca. Lagi
pula, sarana sastra yang kurang mendukung tema itulah yang membuat
cerpen-cerpen tersebut tampak bergaya populer. Artinya, tema besar yang memungkinkan
untuk dimunculkan dengan baik menjadi tidak terasa karena sarana dan fakta yang
menjadi medianya tidak mampu mengantarkan ide-ide besar itu ke lubuk hati.
Hal lain yang pantas dicatat adalah bahwa
sesungguhnya Tohari tidak memiliki kecenderungan untuk menulis cerpen-cerpen
populer. Mengapa, karena cerpen-cerpen itu tidak mengungkapkan adanya gemerlap
kehidupan sebagaimana ciri kebudayaan populer. Di sini Tohari mencoba
mengetengahkan berbagai masalah apa adanya, dan kehadiran masalah itu
mewajibkan kita untuk ikut merenungkannya. Dan, masalah kemiskinan di desa yang
tak pernah habis itulah kiranya yang ingin disampaikan Tohari kepada kita
semua.
Meski
demikian, pantas pula dicatat bahwa kecenderungan gaya populer itu memang
merasuki cerpen-cerpen Tohari. Hal ini tampak dalam gaya berceritanya yang
ingin memberi nasihat langsung kepada pembaca. Jadi, terkesan adanya unsur
“menggurui” pembaca sehingga pembaca dipaksa hanya untuk menerima nasihat dan
menelannya mentah-mentah, dan kurang dibiarkan untuk berpikir sendiri. Kiranya,
demikian cerpen-cerpen Tohari yang berbobot sastra tetapi digarap dengan gaya
populer. ***
Yogya
Post, 10 November 1991