-->

Sejarah Sastra: Hanya Data Semu


        Meski telah berulang kali gagasan penyusunan kembali sejarah sastra Indonesia (modern) diperdebatkan, tetapi menurut saya masih ada substansi terpenting yang belum terangkat ke permukaan. Akibatnya, diskusi cenderung hanya sekadar menjadi “isu” tanpa menumbuhkan minat seseorang untuk segera menyusun kembali sejarah sastra.
      Siapapun setuju jika buku-buku sejarah sastra Indonesia modern yang ada saat ini direvisi atau disusun kembali. Sebab data-data sejarah (sastra) yang ada di dalamnya sudah tidak lengkap, tidak proporsional, bahkan tidak relevan lagi. Ini terjadi karena, di satu pihak, konsep serta pandangan masyarakat mengenai sastra selalu bergeser dari waktu ke waktu, sehingga, di lain pihak, ciri-ciri artistik karya sastra pun bergeser. Karena itu, karya sastra sebagai fakta sejarah pun kehilangan sifat historisitasnya, sehingga data itu berubah menjadi data semu.
           Di saat tertentu orang bisa memandang sastra tertentu sebagai penanda semangat zaman (spirit of the age) tertentu, tetapi di saat lain ia tidak bisa lagi memandangnya sebagai penanda (pemberi ciri) zaman itu. Ini disebabkan karena sastra senantiasa “hidup” dan menunjukkan dina-mikanya kepada para pembacanya. Ciri-ciri artistik (estetik dan ekstra-estetik) karya sastra selalu bergeser bersamaan dengan pergeseran pemi-kiran masyarakat pembaca itu pula.
            Inilah yang saya sebut sebagai substansi terpenting yang belum diangkat ke permukaan dalam diskusi mengenai penulisan ulang sejarah sastra. Bila kita menyadari bahwa sastra adalah ‘makhluk hidup’ yang  aspek-aspek estetiknya --menurut Jauss-- senantiasa berubah seiring dengan perubahan horison harapan pembaca, --dan perubahan horison ini akibat adanya pertentangan antara pengalaman pembacaan masa lalu dan masa kini--, niscaya kita tidak akan dapat memperlakukan sastra sebagai data sejarah yang berlaku umum dan menjadi ciri zaman tertentu. Artinya, karya sastra tak lagi bisa dinyatakan sebagai ‘objektif’, dan nilainya pun tak dapat ditentukan sekali untuk selamanya.
            Karya sastra Pujangga Baru, misalnya, hingga kini masih dibaca, ditafsirkan, dan dipahami terus-menerus oleh pembaca masa kini. Bila berbagai pemahaman pembaca masa kini ternyata mampu mengubah aspek estetik dan ekstra-estetik karya-karya sastra itu, jelas bahwa ciri-ciri artistik sastra yang dipakai sebagai penanda zaman Pujangga Baru itu tak berlaku lagi,  dan bahkan hilang. Karenanya, bisa jadi, karya sastra zaman Pujangga Baru  tak relevan lagi disebut sebagai ‘wakil’ zaman Pujangga Baru.
            Jika demikian, dapatkah sastra tertentu menjadi fakta sejarah pada masa tertentu? Di sinilah sebenarnya muaranya, sehingga terlalu sulit untuk menyusun sejarah sastra umum (general) yang benar-benar objektif. Sebab, berkat sifat dinamisnya, data sastra senantiasa pseudoik, tak pernah langgeng. Apalagi, khususnya bagi sastra Indonesia modern, setidak-tidaknya sejak 1920, ciri-ciri artistiknya secara prinsipiil tidak pernah mengalami per-geseran yang berarti (radikal). Di antara karya yang lahir, sepanjang sejarahnya, masih menunjukkan adanya benang merah yang bertautan.
            Oleh karenanya, strategi paling tepat dalam penulisan sejarah sastra adalah dengan mempertimbangkan tujuan-tujuan pragmatisnya, yaitu pembaca sasarannya. Untuk siapa sejarah sastra itu disusun? Pertanyaan inilah yang harus dijadikan pijakan pertama. Sejarah sastra bagi anak SMP tentu berbeda penulisannya dengan sejarah sastra bagi anak SMA, dan berbeda pula dengan penulisan sejarah sastra bagi mahasiswa. Penulisan sejarah sastra bagi anak-anak dan remaja juga berbeda dengan penulisan sejarah sastra bagi orang dewasa. Dan, yang terpenting di sini, bagaimana cara menulis karya sejarah sastra itu bagi mereka.
            Agaknya Sapardi Djoko Damono benar, penulisan sejarah sastra harus didasarkan pada penelitian, tetapi sama sekali bukan berupa laporan penelitian yang menyertakan jargon-jargon ilmu sastra. Sebab, pembaca sejarah sastra hanya perlu mendengar cerita tentang sastra dan per-kembangannya, bukan penjelasan yang disertai konsep-konsep ilmu sastra. Karena karya sejarah (sastra) pada hakikatnya adalah juga sebuah cerita, hal terpenting lain yang harus diperhatikan adalah kemampuan bercerita. Dengan demikian teknik narasi harus dikuasai oleh penulis sejarah sastra. Ini semata agar pembaca sejarah sastra tidak hanya mengetahui kelahiran dan perkembangan karya sastra, tetapi juga menumbuhkan minat para pembaca untuk lebih banyak membaca sastra. Dalam penulisan sejarah sastra, menurut Sapardi, perhatian utamanya bukan hanya objek tulisannya, yaitu karya sastra, melainkan juga sasarannya, yaitu pembaca.
            Walaupun kecenderungan semacam itu jelas-jelas menjurus pada  pseudo-sejarah, --karena dalam pengangkatan datanya penulis (sejarah) terperangkap oleh subjektivitasnya akibat adanya tujuan pragmatis--, tetapi pendapat Sapardi itulah yang agaknya mulai bisa dipahami jika kita akan menulis (kembali) sejarah sastra. Sebab, pembaca itulah yang pertama dan terakhir memberi ‘penilaian’ bagi karya (buku) sejarah sastra itu.
            Dan oleh karena sepanjang sejarahnya estetika sastra selalu bergeser, jelas bahwa fungsi sastra juga selalu bergeser dari masa ke masa. Karena itu, penulisan sejarah sastra hendaknya juga mengungkapkan sejarah per-kembangan pergeseran fungsi sastra sejak kemunculannya hingga masa-masa terakhir. Dan pergeseran fungsi itu dapat dijelaskan melalui ‘cerita’ tentang ciri-ciri formalnya, misalnya perkembangan stilistik dan tematiknya, dapat pula melalui ‘cerita’ mengenai konteks-konteks lain yang mencakupi keseluruhan sistem yang melingkupi karya sastra (riwayat hidup pengarang, sistem reproduksi, masyarakat pembaca, dan sebagainya).
            Agak berlebihan kiranya jika masih banyak orang menganggap bahwa penelitian (penulisan) sejarah sastra harus didasarkan pada pendekatan objektif. Memang teori genre menyarankan demikian, --seperti telah dijelaskan oleh Wellek dan Warren--, tetapi saya kira sejarah sastra bukan hanya sejarah jenis-jenis sastra yang dapat diklasifikasikan berdasarkan alur, pusat pengisahan, penokohan, tema, atau fokalisasinya, melainkan juga sejarah perkembangan sastra dengan segala sistem yang mendukungnya. Sebab, tidak jarang, pembaca justru tertarik kepada sastra setelah ia membaca riwayat hidup penulisnya.
            Satu hal yang penting yang perlu diperhatikan juga ialah bahwa penulisan sejarah sastra mestinya disusun dalam jangka waktu tertentu secara periodik. Setiap 10 atau 20 tahun, misalnya, sejarah sastra perlu direvisi atau diperbaharui lagi.  Sebab, seperti kita sadari, karya sastra adalah ‘makhluk hidup’, ia senantiasa berbicara dan dibicarakan (dibaca) orang, sehingga ciri-ciri estetiknya pun berubah. Perubahan ciri estetik itulah yang menyebabkan karya sastra tidak mungkin dapat didata dan dijadikan fakta sejarah yang objektif yang berlaku pada zaman tertentu.
            Sejarah sastra barangkali memang unik. Ia berbeda dengan sejarah umum. Fakta dan data sejarah sastra lebih bersifat dinamik, bergeser-geser; sedangkan fakta dan data sejarah umum cenderung bersifat statik, tetap. Tetapi justru karena kedinamikan itulah data sastra senantiasa ‘meng-undang’ pembaharuan-pembaharuan sejarah sastra. Dan karena data sastra itu semu (pseudo), sejarah sastra tentunya juga semu (pseudo-sejarah). Barangkali, secara agak ekstrem, bisa dikatakan bahwa harapan mengenai lahirnya sejarah sastra yang objektif, berlaku umum, dan ‘abadi’ hampir-hampir tidak pernah mungkin bisa disusun. Yang dimungkinkan, agaknya, hanyalah sejarah sastra yang disusun secara khusus. Untuk siapa sejarah sastra itu ditulis. Inilah pertanyaan sekaligus jawaban untuk memulai menulis karya (buku) sejarah sastra. ***
Dimuat Harian REPUBLIKA, 20 Juli 1996

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel