Sejarah Sastra: Hanya Data Semu
Tuesday, December 27, 2016
Edit
Meski telah berulang kali gagasan penyusunan kembali
sejarah sastra Indonesia (modern) diperdebatkan, tetapi menurut saya masih ada
substansi terpenting yang belum terangkat ke permukaan. Akibatnya, diskusi
cenderung hanya sekadar menjadi “isu” tanpa menumbuhkan minat seseorang untuk
segera menyusun kembali sejarah sastra.
Siapapun setuju jika buku-buku sejarah sastra Indonesia
modern yang ada saat ini direvisi atau disusun kembali. Sebab data-data sejarah
(sastra) yang ada di dalamnya sudah tidak lengkap, tidak proporsional, bahkan
tidak relevan lagi. Ini terjadi karena, di satu pihak, konsep serta pandangan
masyarakat mengenai sastra selalu bergeser dari waktu ke waktu, sehingga, di
lain pihak, ciri-ciri artistik karya sastra pun bergeser. Karena itu, karya
sastra sebagai fakta sejarah pun kehilangan sifat historisitasnya, sehingga
data itu berubah menjadi data semu.
Di saat tertentu orang bisa memandang sastra tertentu
sebagai penanda semangat zaman (spirit of
the age) tertentu, tetapi di saat lain ia tidak bisa lagi memandangnya
sebagai penanda (pemberi ciri) zaman itu. Ini disebabkan karena sastra
senantiasa “hidup” dan menunjukkan dina-mikanya kepada para pembacanya.
Ciri-ciri artistik (estetik dan ekstra-estetik) karya sastra selalu bergeser
bersamaan dengan pergeseran pemi-kiran masyarakat pembaca itu pula.
Inilah yang saya sebut sebagai substansi terpenting yang
belum diangkat ke permukaan dalam diskusi mengenai penulisan ulang sejarah
sastra. Bila kita menyadari bahwa sastra adalah ‘makhluk hidup’ yang aspek-aspek estetiknya --menurut Jauss--
senantiasa berubah seiring dengan perubahan horison harapan pembaca, --dan
perubahan horison ini akibat adanya pertentangan antara pengalaman pembacaan
masa lalu dan masa kini--, niscaya kita tidak akan dapat memperlakukan sastra
sebagai data sejarah yang berlaku umum dan menjadi ciri zaman tertentu.
Artinya, karya sastra tak lagi bisa dinyatakan sebagai ‘objektif’, dan nilainya
pun tak dapat ditentukan sekali untuk selamanya.
Karya sastra Pujangga Baru, misalnya, hingga kini masih
dibaca, ditafsirkan, dan dipahami terus-menerus oleh pembaca masa kini. Bila
berbagai pemahaman pembaca masa kini ternyata mampu mengubah aspek estetik dan
ekstra-estetik karya-karya sastra itu, jelas bahwa ciri-ciri artistik sastra
yang dipakai sebagai penanda zaman Pujangga Baru itu tak berlaku lagi, dan bahkan hilang. Karenanya, bisa jadi,
karya sastra zaman Pujangga Baru tak
relevan lagi disebut sebagai ‘wakil’ zaman Pujangga Baru.
Jika demikian, dapatkah sastra tertentu menjadi fakta
sejarah pada masa tertentu? Di sinilah sebenarnya muaranya, sehingga terlalu
sulit untuk menyusun sejarah sastra umum (general) yang benar-benar objektif.
Sebab, berkat sifat dinamisnya, data sastra senantiasa pseudoik, tak pernah langgeng. Apalagi, khususnya bagi sastra
Indonesia modern, setidak-tidaknya sejak 1920, ciri-ciri artistiknya secara
prinsipiil tidak pernah mengalami per-geseran yang berarti (radikal). Di antara
karya yang lahir, sepanjang sejarahnya, masih menunjukkan adanya benang merah
yang bertautan.
Oleh karenanya, strategi paling tepat dalam penulisan
sejarah sastra adalah dengan mempertimbangkan tujuan-tujuan pragmatisnya, yaitu
pembaca sasarannya. Untuk siapa sejarah sastra itu disusun? Pertanyaan inilah
yang harus dijadikan pijakan pertama. Sejarah sastra bagi anak SMP tentu
berbeda penulisannya dengan sejarah sastra bagi anak SMA, dan berbeda pula
dengan penulisan sejarah sastra bagi mahasiswa. Penulisan sejarah sastra bagi
anak-anak dan remaja juga berbeda dengan penulisan sejarah sastra bagi orang
dewasa. Dan, yang terpenting di sini, bagaimana cara menulis karya sejarah
sastra itu bagi mereka.
Agaknya Sapardi Djoko Damono benar, penulisan sejarah
sastra harus didasarkan pada penelitian, tetapi sama sekali bukan berupa
laporan penelitian yang menyertakan jargon-jargon ilmu sastra. Sebab, pembaca
sejarah sastra hanya perlu mendengar cerita tentang sastra dan
per-kembangannya, bukan penjelasan yang disertai konsep-konsep ilmu sastra.
Karena karya sejarah (sastra) pada hakikatnya adalah juga sebuah cerita, hal
terpenting lain yang harus diperhatikan adalah kemampuan bercerita. Dengan
demikian teknik narasi harus dikuasai oleh penulis sejarah sastra. Ini semata
agar pembaca sejarah sastra tidak hanya mengetahui kelahiran dan perkembangan
karya sastra, tetapi juga menumbuhkan minat para pembaca untuk lebih banyak
membaca sastra. Dalam penulisan sejarah sastra, menurut Sapardi, perhatian utamanya
bukan hanya objek tulisannya, yaitu karya sastra, melainkan juga sasarannya,
yaitu pembaca.
Walaupun kecenderungan semacam itu jelas-jelas menjurus
pada pseudo-sejarah,
--karena dalam pengangkatan datanya penulis (sejarah) terperangkap oleh subjektivitasnya
akibat adanya tujuan pragmatis--, tetapi pendapat Sapardi itulah yang agaknya
mulai bisa dipahami jika kita akan menulis (kembali) sejarah sastra. Sebab,
pembaca itulah yang pertama dan terakhir memberi ‘penilaian’ bagi karya (buku)
sejarah sastra itu.
Dan oleh karena sepanjang sejarahnya estetika sastra
selalu bergeser, jelas bahwa fungsi sastra juga selalu bergeser dari masa ke
masa. Karena itu, penulisan sejarah sastra hendaknya juga mengungkapkan sejarah
per-kembangan pergeseran fungsi sastra sejak kemunculannya hingga masa-masa
terakhir. Dan pergeseran fungsi itu dapat dijelaskan melalui ‘cerita’ tentang
ciri-ciri formalnya, misalnya perkembangan stilistik dan tematiknya, dapat pula
melalui ‘cerita’ mengenai konteks-konteks lain yang mencakupi keseluruhan
sistem yang melingkupi karya sastra (riwayat hidup pengarang, sistem
reproduksi, masyarakat pembaca, dan sebagainya).
Agak berlebihan kiranya jika masih banyak orang
menganggap bahwa penelitian (penulisan) sejarah sastra harus didasarkan pada
pendekatan objektif. Memang teori genre
menyarankan demikian, --seperti telah dijelaskan oleh Wellek dan Warren--,
tetapi saya kira sejarah sastra bukan hanya sejarah jenis-jenis sastra yang
dapat diklasifikasikan berdasarkan alur, pusat pengisahan, penokohan, tema,
atau fokalisasinya, melainkan juga sejarah perkembangan sastra dengan segala
sistem yang mendukungnya. Sebab, tidak jarang, pembaca justru tertarik kepada
sastra setelah ia membaca riwayat hidup penulisnya.
Satu hal yang penting yang perlu diperhatikan juga ialah
bahwa penulisan sejarah sastra mestinya disusun dalam jangka waktu tertentu
secara periodik. Setiap 10 atau 20 tahun, misalnya, sejarah sastra perlu
direvisi atau diperbaharui lagi. Sebab,
seperti kita sadari, karya sastra adalah ‘makhluk hidup’, ia senantiasa
berbicara dan dibicarakan (dibaca) orang, sehingga ciri-ciri estetiknya pun
berubah. Perubahan ciri estetik itulah yang menyebabkan karya sastra tidak
mungkin dapat didata dan dijadikan fakta sejarah yang objektif yang berlaku
pada zaman tertentu.
Sejarah sastra barangkali memang unik. Ia berbeda dengan
sejarah umum. Fakta dan data sejarah sastra lebih bersifat dinamik,
bergeser-geser; sedangkan fakta dan data sejarah umum cenderung bersifat
statik, tetap. Tetapi justru karena kedinamikan itulah data sastra senantiasa
‘meng-undang’ pembaharuan-pembaharuan sejarah sastra. Dan karena data sastra
itu semu (pseudo), sejarah sastra
tentunya juga semu (pseudo-sejarah).
Barangkali, secara agak ekstrem, bisa dikatakan bahwa harapan mengenai lahirnya
sejarah sastra yang objektif, berlaku umum, dan ‘abadi’ hampir-hampir tidak
pernah mungkin bisa disusun. Yang dimungkinkan, agaknya, hanyalah sejarah
sastra yang disusun secara khusus. Untuk siapa sejarah sastra itu ditulis.
Inilah pertanyaan sekaligus jawaban untuk memulai menulis karya (buku) sejarah
sastra. ***
Dimuat
Harian REPUBLIKA, 20 Juli 1996